1. Multikutural
Multikultural adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pandangan seseorang tentang berbagai kehidupan di bumi, atau kebijakan yang menekankan penerimaan keragaman budaya, dan berbagai budaya nilai-nilai (multikultural) masyarakat, sistem, budaya, adat istiadat, dan politik yang mereka pegang.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman dikenal sebagai masyarakat multikultural.
Ketika kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok orang yang telah hidup cukup lama dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisir diri dan menganggap dirinya sebagai entitas sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat dikombinasikan dengan multikurtural telah pemahaman yang sangat luas dan mendalam diperlukan untuk memahami apa yang masyarakat multikultural.
Dapat didefinisikan sebagai keragaman multikultural atau perbedaan budaya dengan budaya lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang yang tinggal dan hidup menetap di tempat yang memiliki karakteristik sendiri dan budaya yang mampu membedakan antara satu komunitas yang lain. Setiap komunitas akan menghasilkan budaya masing-masing yang akan khas untuk masyarakat.
Multikulturalisme yang pada dasarnya merupakan pandangan dunia yang kemudian diterjemahkan ke dalam kebijakan kenyataan kebudayaan, menekankan penerimaan keragaman, pluralitas dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme juga bisa menjadi pandangan dunia dipahamni kemudian diwujudkan dalam “politik pengakuan”
2. Hegemoni
Istilah hegemoni berasal dari istilah yunani, hegeisthai. Konsep hegemoni banyak digunakan oleh sosiolog untuk menjelaskan fenomena terjadinya usaha untuk mempertahankan kekuasaan oleh pihak penguasa. Penguasa disini memiliki arti luas, tidak hanya terbatas pada penguasa negara (pemerintah).
Hegemoni bisa didefinisikan sebagai: dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense).
Dalam hegemoni, kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok dominan (the ruling party, kelompok yang berkuasa).
Hegemoni diterima sebagai sesuatu yang wajar, sehingga ideologi kelompok dominan dapat menyebar dan dipraktekkan. Nilai-nilai dan ideologi hegemoni ini diperjuangkan dan dipertahankan oleh pihak dominan sedemikian sehingga pihak yang didominasi tetap diam dan taat terhadap kepemimpinan kelompok penguasa. Hegemoni bisa dilihat sebagai strategi untuk mempertahankan kekuasaan. Jika dilihat sebagai strategi, maka konsep hegemoni bukanlah strategi eksklusif milik penguasa. Maksudnya, kelompok manapun bisa menerapkan konsep hegemoni dan menjadi penguasa. Sebagai contoh hegemoni, adalah kekuasaan dolar amerika terhadap ekonomi global. Kebanyakan transaksi internasional dilakukan dengan dolar amerika.
4. Revitalisasi
Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan sebagainya). Pengertian melalui bahasa lainnya revitalisasi bisa berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai program kegiatan apapun. Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali.
Revitalisasi termasuk di dalamnya adalah konservasi-preservasi merupakan bagian dari upaya perancangan kota untuk mempertahankan warisan fisik budaya masa lampau yang memiliki nilai sejarah dan estetika-arsitektural. Atau tepatnya merupakan upaya pelestarian lingkungan binaan agar tetap pada kondisi aslinya yang ada dan mencegah terjadinya proses kerusakan.Tergantung dari kondisi lingkungan binaan yang akan dilestarikan, maka upaya ini biasanya disertai pula dengan upaya restorasi, rehabilitasi dan/atau rekonstruksi.Jadi, revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Selain itu, revitalisasi adalah kegiatan memodifikasi suatu lingkungan atau benda cagar-budaya untuk pemakaian baru. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang publik) kota, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal ini mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota.
5. Postkolonialisme
Teori postkolonial merupakan teori kritis sebagai salah satu bentuk dari kelompok teori-teori postmodern. Postkolonial menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai “dunia ketiga” tidaklah seragam. Ada heterogenitas baik karena wilayah, manusianya, dan kulturnya. Ia juga menunjukkan bahwa ada resistensi tertentu dari Timur kepada Barat. Salah satu bentuk yang sangat terkenal adalah apa yang disebut “subaltern” oleh Spivak. Intinya, post kolonial menyediakan kerangka untuk mendestabilisasi bahwa ada asumsi tersembunyi (inherent assumptions) yang melekat dalam pemikiran Barat yang selama ini selalu mengklaim diri sebagai kebenaran tertinggi dan juga universal. Teori postkolonial dikembangkan secara grounded dengan mengangkat berbagai bukti riel hasil kolonialisme, baik secara fisik, politis maupun kultur.
Tujuan pengembangan teori postkolonial adalah melawan sisa-sisa dampak dari terjadinya kolonialisme dalam pengetahuan termasuk pada sisi kultur. Postkolonial berorientasi pada terwujudnya tata hubungan dunia yang baru di masa depan. Postkolonial merupakan teori yang berasumsikan dan sekaligus mengeksplor perbedaan fundamental antara negara penjajah dan negara terjajah dalam menyikapi arah perkembangan kebudayaannya. Teori ini diterapkan untuk mengkaji karakter budaya yang lahir terutama pada negara-negara dunia ketiga atau negara bekas jajahan pada dekade setelah penjajahan berakhir.
Postkolonial dapat pula dipandang
sebagai ancangan teoritis untuk mendekonstruksi pandangan kaum kolonialis Barat
(disebut dengan kaum orientalis) yang merendahkan Timur atau masyarakat
jajahannya. Secara tegas Edward Said menyebut bahwa teori-teori yang dihasilkan
Barat tidaklah netral dan obyektif. Teori tersebut sengaja didesain sebagai
sebuah rekayasa sosial-budaya demi kepentingan dan kekuasaan mereka. Edward
Said membongkar kekerasan epistemologi Barat terhadap Timur ini dengan
menunjukkan adanya bias kepentingan, dan power yang terkandung dalam berbagai
teori yang disusun kaum kolonialis dan orientalis. Kalangan ilmuwan zaman
penjajahan bersikap kurang kritis, dan banyak yang mengandalkan pada
catatan-catatan tentara dan staf yang tidak memiliki metodologi yang netral.
Satu contohnya adalah pandangan ”negatif” Weber terhadap agama Timur termasuk
Islam, meskipun ia mengakui bahwa teorinya tersebut belum memadai secara
ilmiah.
Menurut Edward Said, orientalisme dapat didefinisikan dengan tiga cara yang
berbeda yaitu memandang orientalisme sebagai mode atau paradigma berfikir yang
berdasarkan epistemologi dan ontologi tertentu dalam upaya membedakan timur
dengan barat, sebagai gelar akademis; dan sebagai lembaga resmi yang pada
hakekatnya peduli pada timur. Saat ini kita bisa melihat betapa pemikiran
kolonial, khususnya orientalisme, telah menciptakan sejarah pahit menyangkut
hubungan Eropa dan Asia-Afrika.
Orientalis cenderung merendahlan cara berpikir Timur yang dianggap tidak selaras dan sederajat dengan mereka. Epsitemologi orientalis memposisikan dirinya sebagai subyek (self), sementara yang lain adalah obyek (the other). Sampai dengan akhir abad ke-20 pun, saat penjajahan telah lama berakhir, alih-alih menyesal dengan perbuatannya, pemikir kolonial masih tetap merendahkan timur. Untunglah lahir pemikir postkolonial untuk menunjukkan borok-borok itu semua.
Sesungguhnya, sebagai wacana postcolonial telah muncul pada era penjajahan. Namun teori poskolonial mewujud untuk memberikan kritik lama setelah itu. Perspektif postkolonial memberikan kesadaran akan pentingnya identitas kebangsaan, pentingnya nilai-nilai kemerdekaan dan juga humanisme. Jadi, teori ini lahir untuk membongkar relasi kuasa yang membungkus struktur yang didominasi dan dihegemoni oleh kolonial. Sumbangan besar datang dari karya Edward W. Said bertajuk Orientalism yang mengawali pembongkaran ”kebusukan” pandangan Barat dalam melihat Timur selama ini.
Inti kritik dari postkolonial (terhadap kolonialisme) sesungguhnya bukan dalam bentuk penjajahan secara fisik yang telah melahirkan berbagai kesengsaraan dan penghinaan hakekat kemanusiaan, melainkan pada bangunan wacana dan pengetahuan termasuk bahkan bahasa. Postkolonial juga mengritik pendekatan dikotomi yang merupakan simplifikasi yang menyesatkan.
6. Dekonstruksi
Dekonstruksi berasal dari kata de + construktio (latin). Pada umumnya de berarti ke bawah, pengurangan, atau terlepas dari. Sedangkan kata Construktio berarti bentuk, susunan, hal menyusun, hal mengatur. Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku. Kristeva (1980:36-37), misalnya, menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana. Menurut Al-fayyadl (2011: 232) dekonstruksi adalah testimoni terbuka kepada mereka yang kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka, sebuah dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri.
Dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika Barat seperti fenomenologi Husserlin, strukturalisme saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, disattu pihak mengungkap problematika wacana-wacana yang dipusatkan, di pihak lain membongkar metafisika dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual. Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpamgan di balik teks-teks.
7. Feminisme
Feminisme lahir awal abad ke 20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own (1929). Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang lebih luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.
Teori feminis sebagai alat kaum wanita untuk memperjuangkan hak-haknya, erat berkaitan dengan konflik kelas ras, khususnya konflik gender. Dalam teori sastra kontemporer, feminis merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di seluruh dunia. Gerakan ini dipicu oleh adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan sama dengan kaum laki-laki. Keberagaman dan perbedaan objek dengan teori dan metodenya merupakan ciri khas studi feminis. Dalam kaitannya dengan sastra, bidang studi yang relevan, diantaranya: tradisi literer perempuan, pengarang perempuan, pembaca perempuan, ciri-ciri khas bahasa perempuan, tokoh-tokoh perempuan, dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan kajian budaya, permasalahan perempuan lebih banyak berkaitan dengan kesetaraan gender. Feminis, khususnya masalah-masalah mengenai wanita pada umumnya dikaitkan dengan emansipasi, gerakan kaum perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, baik dalam bidang politik dan ekonomi, maupun gerakan sosial budaya pada umumnya. Dalam sastra emansipasi sudah dipermasalahkan sejak tahun 1920-an, ditandai dengan hadirnya novel-novel Balai Pustaka, dengan mengemukakan masalah-masalah kawin paksa, yang kemudian dilanjutkan pada periode 1930-an yang diawali dengan Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Aliajahbana.
Contoh-contoh dominasi laki-laki, baik dalam bentuk tokoh-tokoh utama karya fiksi yang terkandung dalam karya sastra maupun tokoh faktual sebagai pengarang dapat dilihat baik dalam sastra lama maupun sastra modern. Kesadaran berubah sejak tahun 1970-an, sejak lahirnya novel-novel populer, yang diikuti dengan hadirnya sejumlah pengarang dan tokoh perempuan. Sebagai pengarang wanita memang agak jarang. Sepanjang perjalanan sejarah sastra Indonesia terdapat beberapa pengarang perempuan, antara lain: Sariamin, Hamidah, Suwarsih Djojopuspito, Nh. Dini, Oka Rusmini, Ayu Utami, Dee, dan lain-lain.
Ada lima masalah yang biasa muncul dalam kaitannya dengan teori feminis, yaitu a) masalah biologis, b) pengalaman, c) wacana, d) ketaksadaran, dan e) masalah sosioekonomi. Perdebatan terpentinag dalam teori feminis timbul sebagai akibat masalah wacana sebab perempuan sesungguhnya termarginalisasikan melalui wacana yang dikuasaioleh laki-laki. Pada dasarnya teori feminis dibawa ke Indonesia oleh A. Teeuw. Kenyataan ini pun sekaligus membuktikan bahwa teori-teori Barat dapat dimanfaatkan untuk menganalisis sastra Indonesia, dengan catatan bahwa teori adalah alat, bukan tujuan.
Pemikiran feminis tentang kesetaraan gender sudah banyak diterima dan didukung baik oleh kalangan perempuan sendiri maupun oleh kalangan laki-laki. Dukungan ini terlihat melalui penerimaan masyarakat terhadap kaum perempuan di bidang-bidang yang tadinya hanya didominasi oleh kaum laki-laki, melalui tulisan dan media. sebuah proses ataupun keadaan yang ditempatkan sebagai suatu perwakilan terhadap sebuah sikap / perbuatan dari sekelom Representasi merupakan sebuah proses sosial yang berhubungan dengan pola hidup dan budaya masyarakat tertentu yang memungkinkan terjadinya sebuah perubahan konsep-konsep ideologi dalam bentuk yang konkret. Hal ini dapat dilihat melalui pandangan-pandangan hidup kita terhadap beberapa hal seperti : pandangan hidup tentang seorang wanita, anak-anak dan yang lainnya. pok orang / golongan tertentu di dalam sebuah lingkungan.
Kita dapat mengambil contoh yang terjadi dalam hal ini ketika seseorang yang baru saja pindah dan menempati sebuah lingkungan masyarakat yang baru sudah tentu akan membawa serta budaya yang selama ini dijalankannya di lingkungan tempat tinggalnya yang lama.
8. Representasi
Representasi berasal dari kata “Represent” yang bermakna stand for artinya “berarti” atau juga “act as delegate for” yang bertindak sebagai perlambang atas sesuatu.”Representasi juga dapat berarti sebagai suatu tindakan yang menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol”
Representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra, atau kombinasinya. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) tersebut itulah seseorang yang dapat mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide tentang sesuatu.
Konsep representasi bisa berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru, intinya adalah makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan, praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.
“Representasi adalah produksi makna melalui bahasa”. Representasi adalah proses bagaimana kita member makna pada sesuatu melalui bahasa. Untuk mempresentasikan sesuatu adalah untuk menggambarkan atau melukisnya, untuk “memanggilnya” ke dalam pikiran kita dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan atau membayangkan; untuk terlebih dahulu menempatkan persamaan ke dalam pikiran kita atau perasaan kita. Untuk mempresentasikan juga berarti menyimbolkan, untuk mewakili, menjadi contoh, atau menjadi pengganti dari sesuatu.
9. Diaspora
Istilah “diaspora” digunakan untuk merujuk pada penyebaran kelompok agama atau kelompok etnis dari tanah air mereka, baik dipaksa maupun dengan sukarela. Kata ini juga digunakan untuk merujuk pada penyebaran orang-orang sebagai kelompok kolektif dan masyarakat.
Sejarah manusia menunjukkan sejumlah diaspora. Tercerabut dari tanah kelahiran dan budaya, bisa menjadi suatu peristiwa besar bagi seseorang atau sekelompok orang. Diaspora berasal dari istilah Yunani Kuno yang berarti “menyebarkan atau menabur benih.”
Diaspora berbeda dengan imigrasi. Diaspora mengharuskan anggota suatu masyarakat pergi bersama dalam periode waktu yang singkat, bukan pergi perlahan-lahan dalam waktu lama meninggalkan kampung halaman.
Masyarakat yang melakukan diaspora juga dicirikan dengan usaha mereka untuk mempertahankan budaya, agama, dan kebiasaan lainnya di tempat baru. Mereka biasanya hidup berkelompok dengan sesamanya, dan kadang tidak mau berinteraksi dengan warga lokal. Salah satu contoh diaspora yang terkenal adalah diaspora Yahudi yang dimulai pada tahun 600 SM. Orang-orang Yahudi sering digunakan sebagai contoh klasik diaspora karena telah berpindah beberapa kali, dengan banyak diantaranya melalui paksaan.
Meskipun beberapa kali berpindah tempat, orang Yahudi yang mengalami diaspora tetap berusaha mempertahankan ikatan komunitas yang kuat beserta dengan tradisi, budaya, dan agama mereka. Konsep diaspora juga bisa digunakan dalam konteks diaspora Afrika. Orang Afrika banyak mengalami pemindahan paksa oleh orang Eropa untuk kemudian dijadikan budak.
Banyak diaspora terjadi sepanjang sejarah, dengan penyebab mulai dari bencana alam, usaha mencari tempat yang lebih baik, hingga akibat paksaan. Selin berusaha untuk mempertahankan identitas mereka, banyak anggota dari diaspora berharap suatu saat nanti kembali ke tanah air mereka untuk sekedar berkunjung atau untuk hidup permanen
10. Ideologi
Kata ideologi pertama kali dikenalkan oleh Destutt de Tracy pada 1796 untuk mendefinisikan “science of idea“. yaitu suatu program yang diharapkan dapat membawa suatu perubahan institusional dalam masyarakat Perancis Menurut Tracy ideologi adalah studi terhadap ide-ide / pemikiran tertentu.SedangkanmenurutReneDescartes, ideologi adalah inti dari semua pemikiran manusia, dan menurut Francis Bacon, ideologi adalah sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup. Ketiga pengertian ini berbicara definisi ideologi tidak berbicara secara spesifik tentang kehidupan bernegara. Di bawah ini adalah beberapa pendapat para ahli tentang ideology dalam kehidupan bernegara:
Antonio Gramsci menyatakan ideologi yang dominan tidak hanya dapat dimenangkan melalui jalan revolusi atau kekerasan oleh institusi-institusi negara tetapi juga dapat melalui jalan hegemoni melalui institusi-institusi negara dan institusi-institusi lain, seperti institusi agama, pendidikan, media massa, dan keluarga. Sedangkan menurut Machiavelli ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa. Kedua pendapat ini saling mendukung dengan sistem yang dimiliki penguasa, yaitu institusi-institusi Negara dan insitusi lainnya, dengan tujuan melindungi kekuasaannya.
Berbeda dengan Gramsci dan Machiavelli, Karl Marx menyatakan bahwa ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Pendapat ini mengandung esensi dari ideologi komunis, paham ini biasa disebut Marxisme. Ideologi Marxisme lahir dari cita-cita Karl Marx untuk menghapus kelas dunia, yakni strata sosial, kelas atas (borjuis) dan kelas bawah (proletar).
11. Geneologi
Genealogi berasal dari kata dasar gene, yaitu plasma pembawa sifat-sifat keturunan. Geneologi berarti ilmu yang mempelajari masalah keturunan. Ia berarti juga saling bergantung dua hal, yaitu muda berasal dari yang tua. Misalnya tulisan Jawa berasal dari perkembangan (baca : keturunan) abjad Pallawa. Tulisan Pallawa berasal dari konteks ini yang dimaksud genealogi ialah yang menyangkut hubungan keturunan individu.
Peletak dasar genealogi sebagai ilmu ialah J. Ch. Gatterr (1727-1799), kemudian Q. Lorerirensa menerapkan dalam penulisan ilmiah (1898). Dalam kenyataan sejarah genealogi sangat penting semenjak manusia memasuki zaman sejarah, khususnya menyangkut masalah tahta. Perhatikan misalnya prasasti Yupa dari Muarakaman di Kutai. Prasasti itu dengan jelas memberitakan Genealogi Mulawarman dengan leluhurnya: Kudungga. Prasasti Canggal (732M) melukiskan genealogi Sanjaya dan leluhurnya.
12. Identitas
Teori Indentitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980). Teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi di antara individu dengan struktur sosial yang lebih besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai dua sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju dengan perspektif struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit kritik terhadap teori peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap kreativitas individu.
Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan konsep diri/self (dari teori interaksi simbolis). Bagi setiap peran yang kita tampilkan dalam berinteraksi dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda dengan diri orang lain, yang oleh Stryker dinamakan “identitas”. Jika kita memiliki banyak peran, maka kita memiliki banyak identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita, begitu juga perilaku pihak yang berinteraksi dengan kita.
Intinya, teori interaksi simbolis dan identitas mendudukan individu sebagai pihak yang aktif dalam menetapkan perilakunya dan membangun harapan-harapan sosial. Perspektif iteraksionis tidak menyangkal adanya pengaruh struktur sosial, namun jika hanya struktur sosial saja yang dilihat untuk menjelaskan perilaku sosial, maka hal tersebut kurang memadai.
13. Komodifikasi
Komodifikasi berasal dari kata komoditi yang berarti barang atau jasa yang bernilai ekonomi dan modifikasi yang berarti perubahan fungsi atau bentuk sesuatu. Jadi komodifikasi berarti memperlakukan produk-produk sebagai komoditas yang tujuan akhirnya adalah untuk diperdagangkan atau pengubahan sesuatu menjadi komoditas (barang dagangan) yang dapat diperjual-belikan. Komodifikasi tidak dapat dipisahkan dari paham kapitalisme yang selalu mengaitkan segala sesuatunya berdasarkan untung dan rugi. Komoditas dipahami sebagai suatu hasil produksi yang dibuat untuk ditukar di pasar. Dengan kata lain, komoditas adalah segala sesuatu yang diproduksi untuk dijual. Komodifikasi ini dipercaya dapat meningkatkan jumlah peminat dan diharapkan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. Sebenarnya tidak ada salahnya melakukan komodifikasi, tetapi hal tersebut menjadi salah ketika nilai-nilai kemasyarakatan, keakraban, dan kekeluargaan berkurang atau bahkan hilang sama sekali akibat terjadinya komodifikasi tersebut.
Dampak dari komodifikasi tersebut dapat berakibat positif dan negatif. Dampak positifnya sebagi peningkatan peluang usaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat, sehingga pendapatan mereka juga dapat meningkat. Masyarakat dapat memperbaiki keadaan ekonominya dengan bekerja pada sektor industri pertelevisian. Pada akhirnya, hal tersebut dapat menguatkan struktur ekonomi masyarakat. Akan tetapi hal tersebut tidak lagi didasari oleh nilai-nilai kemasyarakatan, keakraban, dan kekeluargaan, tetapi lebih dikarenakan oleh nilai-nilai keuntungan (komersial) sehingga nilai-nilai kekeluargaan dan keakraban menjadi hilang dan terkorbankan.
14. Budaya Populer
Mendefinisikan "budaya" dan "populer", yang pada dasarnya adalah konsep yang masih diperdebatkan, sangat rumit. Definisi itu bersaing dengan berbagai definisi budaya populer itu sendiri. John Storey, dalam Cultural Theory and Popular Culture, membahas enam definisi. Definisi kuantitatif, suatu budaya yang dibandingkan dengan budaya "luhur" (Misalnya: festival-festival kesenian daerah) jauh lebih disukai. "Budaya pop" juga didefinisikan sebagai sesuatu yang "diabaikan" saat kita telah memutuskan yang disebut "budaya luhur". Namun, banyak karya yang melompati atau melanggar batas-batas ini misalnya Shakespeare, Dickens, Puccini-Verdi-Pavarotti-Nessun Dorma. Storey menekankan pada kekuatan dan relasi yang menopang perbedaan-perbedaan tersebut seperti misalnya sistem pendidikan.
Definisi ketiga menyamakan budaya pop dengan Budaya Massa. Hal ini terlihat sebagai budaya komersial, diproduksi massal untuk konsumsi massa. Dari perspektif Eropa Barat, budaya pop dapat dianggap sebagai budaya Amerika. Atau, "budaya pop" dapat didefinisikan sebagai budaya "autentik" masyarakat. Namun, definisi ini bermasalah karena banyak cara untuk mendefinisikan "masyarakat". Storey berpendapat bahwa ada dimensi politik pada budaya populer; teori neo-Gramscian "… melihat budaya pop sebagai tempat perjuangan antara 'resistansi' dari kelompok subordinat dalam masyarakat dan kekuatan 'persatuan' yang beroperasi dalam kepentingan kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat." Suatu pendekatan postmodernism pada budaya populer "tidak lagi mengenali perbedaan antara budaya luhur dan budaya populer."
Storey menekankan bahwa budaya populer muncul dari urbanisasi akibat revolusi industri, yang mengindentifikasi istilah umum dengan definisi "budaya massa". Penelitian terhadap Shakespeare (oleh Weimann atau Barber Bristol, misalnya) menemukan banyak vitalitas karakteristik pada drama-drama Shakespeare dalam partisipasinya terhadap budaya populer Renaissance. Sedangkan, praktisi kontemporer, misalnya Dario Fo dan John McGrath, menggunakan budaya populer dalam rasa Gramscian yang meliputi tradisi masyarakat kebanyakan (Ludruk misalnya).
Budaya Pop selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu. Budaya pop membentuk arus dan pusaran, dan mewakili suatu perspektif interdependent-mutual yang kompleks dan nilai-nilai yang memengaruhi masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan berbagai cara. Misalnya, beberapa arus budaya pop mungkin muncul dari (atau menyeleweng menjadi) suatu subkultur, yang melambangkan perspektif yang kemiripannya dengan budaya pop mainstream begitu sedikit. Berbagai hal yang berhubungan dengan budaya pop sangat khas menarik spektrum yang lebih luas dalam masyarakat.
0 Comments: