2020-10-09

Seksualitas Perempuan dalam Novel Saman Karya Ayu Utami: Tinjauan Kritik Sastra Feminis Islam


Didi Suhendi[1]

Hp 081542888989

E-mail: didisuhendioke@yahoo.com

 

Abstrak. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan persoalan seksualitas perempuan dalam novel Saman karya Ayu Utami. Dengan menggunakan metode deskriptif-analitis teknik analisis isi, seksualitas novel Saman menunjukkan hal-hal berikut ini. Pertama, novel ini telah membuka persoalan seks dari ruang privat menuju ruang publik. Kedua, keaktifan seks perempuan dimanifestasikan, baik dengan tema-tema seksualitas yang ekstrem, yang diekspresikan dengan bahasa yang vulgar maupun tindakan para tokoh perempuannya yang melakukan seks bebas dengan pasangannya masing-masing. Hal tersebut merupakan pendekonstruksian definisi seks yang selama ini dianggap berada pada wilayah unspoken ’tak terkatakan’, wilayah intimitas suami istri. Ketiga, Islam tidak melihat seks sebagai persoalan yang tabu, tetapi juga tidak menolerir seks bebas. Relasi seks kedua jenis kelamin dibenarkan hanya dalam kerangka perkawinan yang sah.

 

Kata Kunci: seksualitas,  keaktifan seks, seks bebas, wilayah intimitas

 

 

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengelaborasi isu-isu seksualitas perempuan dan menganalisisnya dengan perspektif kritik sastra feminis Islam terhadap novel Saman karya Utami. Tidak seperti novel-novel Indonesia pada periode-periode sebelumnya yang masih mengunci rapat persoalan seksual dan intimitas laki-laki dan perempuan, Saman telah membuka pintu itu secara transparan. Novel-novel periode 70-an, seperti Pada Sebuah Kapal, misalnya, menggambarkan intimitas Sri dengan Michel dengan bahasa yang bias dan samar-samar. Bahkan, novel-novel periode Balai Pustaka ”menutup rapat-rapat” seks bebas, dan kalaupun intimitas itu terjadi, teks tidak mendeskripsikannya secara vulgar dan panjang lebar. Intimitas seks bebas Kasibun, tokoh antagonis dalam novel pertama periode ini, dilukiskan teks  hanya dengan kalimat ”tidak mengindahkan aturan syarak”.

Dalam konteks di atas, seks dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai suatu hal yang tabu untuk dibicarakan. Seks hanya merupakan persoalan privat, persoalan domestik yang tidak ditujukan untuk konsumsi publik. Seks adalah wilayah intimitas antara suami dan istri, dan praktik seks antara keduanya sekadar untuk memenuhi fungsi utamanya, yaitu prokreasi. Di sini, seperti pada abad pertengahan, seks dipandang sebagai sesuatu yang suci. Sebagai bagian dari satu kosmos yang utuh dan suci, seks dideterminasi oleh kekuatan atau kekuasaan di luar individu, yakni agama dan kekuasaan politik. Agama berperan menentukan politik sehingga politik itu sendiri, seperti juga agama, adalah suci. Pada saat itu, seks hanya dipandang sebagai aktivitas reproduksi belaka (Sindhunata, 2003:12).

Dalam filsafat agama Katolik, ide yang sama juga diberikan. Seksualitas merupakan sesuatu yang dikaitkan dengan keduniawian dan secara potensial bisa menjadi sumber kesesatan. Seksualitas hanya boleh dikembangkan dalam lembaga perkawinan, terutama untuk tujuan reproduksi biologis. Dalam konteks reproduksi ini, seksualitas dalam perkawinan menjadi sesuatu yang suci yang diberkahi oleh Tuhan (Weeks, 1981: 22). Pandangan ini telah mereduksi fungsi seksual perempuan. Bagi perempuan, seks hanya dianggap sebagai sarana reproduksi; vagina dianggap sebagai organ tindakan seksual dan rahim identik dengan "alat reproduksi yang menyempurnakan". Robinson dan Richardson (1992:155) menganggap pengertian di atas sebagai "takdir" dan fenomena alam yang universal, yang merupakan bagian dari peristiwa biologis.

Pereduksian fungsi seksual perempuan memunculkan anggapan dan pandangan masyarakat bahwa kaum perempuan kurang atau tidak memiliki hasrat seksual dibandingkan laki-laki, atau kebutuhan seksual kaum perempuan ditentukan oleh kaum laki-laki. Konsekuensi tersebut menciptakan stereotip kepasifan seksual perempuan dan mewajibkan perempuan bersifat, bersikap, sekaligus bertingkah laku pasif terhadap lawan jenisnya sehingga perempuan yang berperilaku sebaliknya dipandang sebagai perempuan yang nakal. Apalagi, sifat-sifat kepasifan perempuan itu dilegitimasi dan dijustifikasi oleh teks-teks keagamaan melalui interpretasi-interpretasi yang bias gender yang dilakukan para ulama sehingga hasil interpretasi itu seakan-akan merupakan kebenaran yang tidak bisa ditolerir. Penggambaran perempuan yang pendiam, penurut, dan pasif, yang merupakan sebagian dari karakteristik perempuan ideal (salehah), serta ketaatan mutlak seorang perempuan (istri) untuk melayani kehendak seks laki-laki (suami) dalam kondisi apa pun (yang disokong oleh teks keagamaan), merupakan manifestasi hal di atas. Sebaliknya, seorang laki-laki tidak memiliki kewajiban sedikit pun untuk melayani keinginan seksual perempuan. Objektivikasi ini telah mereduksi bahkan menihilkan hasrat seksual perempuan terhadap laki-laki.

Berbeda dengan gagasan tersebut (yang diemban oleh novel-novel periode sebelumnya), Saman dipilih sebagai objek kajian tulisan ini dengan dua alasan mendasar. Pertama, novel ini memiliki karakteristik internal dan eksternal yang berbeda dengan novel-novel periode sebelumnya. Persoalan yang diangkat dalam novel ini sangat beragam mulai dari persoalan HAM, pluralitas, gender, kemiskinan, keadilan, humanisme, agama, perkawinan, feodalisme, lesbian, sampai pada isu-isu seksualitas perempuan.  Oleh karena itu, novel ini dianggap sebagai tonggak kelahiran periode angkatan reformasi atau angkatan 2000-an. Kedua, Saman dipandang sebagai representasi dan teladan liberalisasi seks publik. Seks yang suci, sakral, dan merupakan area intimitas suami-istri dijungkirbalikkan. Persoalan seks adalah persoalan profan yang harus dibuka dalam wacana publik. Bahkan, ideologi kepasifan seksualitas perempuan didekonstruksi secara radikal oleh tokoh-tokoh perempuan novel ini. Pandangan ini kemudian diikuti oleh novel-novel karya wanita pengarang lain, seperti Djenar Mahesa Ayu.

 

SEKSUALITAS PEREMPUAN DALAM PANDANGAN SIGMUND FREUD

Bagi perempuan, seksualitas telah menjadikan dirinya sebagai objek seks yang tidak memiliki hak untuk menikmati seks seperti laki-laki. Dengan menelusuri akar persoalan itu, Freud membongkar sekaligus menjustifikasi kepasifan seks perempuan. Menurut Freud (Fromm, 2002:146), seks merupakan pusat kehidupan manusia dan anatomi identik dengan takdir. Pembentukan maskulinitas dan feminitas manusia terbentuk pada masa perkembangan seksualitas anak yang mencerminkan berbagai ketegangan dalam kehidupan keluarga dan pengasuhan anak. Walaupun teorinya cukup rumit dan luas, pada hakikatnya ia melihat bahwa perbedaan anatomi seksual yang bertumpu pada keberadaan dan ketiadaan penis (alat kelamin laki-laki) merupakan dasar perbedaan psikis seseorang. Karena memiliki penis, laki-laki merasa lebih superior daripada perempuan dan mereka dapat menunjukkan kekuasaannya ketika berhadapan dengan perempuan. Hal demikian, menurut Freud, disebabkan oleh pandangannya bahwa alat kelamin laki-laki memainkan peranan kunci dalam regenerasi manusia. Sebaliknya, perempuan telah ditakdirkan tidak akan pernah meraih harapan, keinginan, dan hasrat apa pun dalam hidupnya. Freud mempercayai hanya laki-laki (maskulin) yang memiliki hasrat seksual terhadap perempuan (feminin). Oleh karena itu, atas persoalan itu, ia menyebut sifat pasif pada seksualitas perempuan dan sifat aktif pada seksualitas laki-laki. Hal ini disebabkan oleh anggapannya yang menyebut klitoral kelamin perempuan sebagai little penis (Michel, 1975:46).

Teori Freud tentang seksualitas tidak semata-mata mengganggu teori-teori pada zamannya karena secara publik ia membicarakan topik tabu, seperti homoseksualitas, sadisme, masokisme, hubungan seksual oral dan anal, tetapi juga karena secara transparan ia menyatakan bahwa "penyimpangan seksual" dan "keabnormalan" pada dasarnya hanyalah merupakan tahapan dalam perkembangan seksualitas manusia normal. Menurut Freud, anak-anak mengalami tahapan perkembangan psikoseksual yang jelas, dan gender dari setiap orang dewasa adalah hasil dari bagaimana ia mengatasi tahapan itu. Jika anak laki-laki berkembang secara normal, secara tipikal, mereka akan menjadi laki-laki yang akan menunjukkan sifat-sifat maskulin yang diharapkan. Begitu pun, jika perempuan berkembang secara normal, mereka akan menjadi perempuan dewasa yang menunjukkan sifat-sifat feminin. Dengan kata lain, maskulinitas dan feminitas, dalam pandangan Freud, adalah produk dari pendewasaan seksual.

            Dalam Three Contributions to the Theory of Sexuality, Freud (Tong, 2004:193—194) mendiskusikan tahapan-tahapan seksual pada masa bayi atau anak, yang terdiri atas tahapan oral, tahapan anal, tahapan falik, dan tahapan genital. Ia menekankan bahwa lanjutan kritis dari proses psikoseksual itu adalah penyelesaian sang anak atas apa yang disebut sebagai oedipus complex dan kastrasi pada tahap falik. Bagi Freud, pengalaman perempuan atas oedipus complex dan kastrasi berbeda dengan pengalaman laki-laki. Seperti anak laki-laki, objek cinta pertama anak perempuan adalah ibunya. Akan tetapi, tidak seperti anak laki-laki normal (tipikal) yang objek cintanya tetap perempuan, anak perempuan normal harus mengalihkan hasratnya dari perempuan kepada laki-laki, yaitu pertama-tama ayahnya kemudian laki-laki lain yang akan menggantikannya. Menurut Freud, transisi dari objek cinta perempuan ke objek cinta laki-laki tersebut dimulai pada saat anak perempuan menyadari bahwa ia tidak memiliki penis dan sejak saat itu pula anak perempuan menjadi korban penis envy, korban dari kecemburuan terhadap penis.

            Konsekuensi jangka panjang dari gagasan Freud tentang penis envy membuat perempuan menerima dua "takdir yang merugikan". (1) Perempuan menjadi narsistik ketika ia mengalihkan tujuan seksual dari aktif (yang terjadi pada perempuan sebelum tahapan falik) menjadi pasif (ketika sensitivitas genital muncul lagi pada masa pubertas). Menurut Freud (Tong, 2004:195), anak perempuan ingin lebih dicintai daripada mencintai. Semakin cantik seorang anak perempuan, semakin tinggi harapan dan tuntutannya untuk dicintai. (2) Perempuan menjadi vain 'kosong'. Sebagai kompensasi dari penis envy, anak perempuan memfokuskan diri pada penampilan fisik secara total seolah-olah penampilannya yang "sempurna" dapat menutupi kekurangannya atas penis. Akhirnya, anak perempuan menjadi korban dari rasa malu yang dibesar-besarkan. Menurut Freud, betapa pun buruknya narsistik, kekosongan, dan rasa malu itu, kelemahan karakter perempuan tersebut sangat kecil dibandingkan dengan apa yang sesungguhnya membentuk inferioritas perempuan sebagai satu jenis kelamin. Dengan kata lain, inferioritas perempuan terjadi disebabkan oleh kekurangan anak perempuan atas penis (Tong, 2004:196).

Penjelasan Freud tentang kepasifan seksual perempuan telah menjadi fenomena yang menginternalisasi kaum perempuan. Mereka tidak memiliki agresivitas untuk menyatakan perasaan cinta atau hasrat seksualnya kepada laki-laki (kekasihnya atau suaminya). Mereka digiring untuk menerima pandangan sosial bahwa perempuan yang ideal, perempuan baik-baik adalah perempuan yang pasif, pendiam, yang tidak menunjukkan sikap agresif kepada laki-laki sebab bagi perempuan, sikap agresif menunjukkan kejalangan, kebinalan, atau keliaran.

 

SEKSUALITAS PEREMPUAN DALAM PANDANGAN KAUM FEMINIS

Gagasan Freud tentang seksualitas perempuan (yang timpang gender itu) mendapat kritik yang tajam dari teori feminisme. Kaum feminis meredefinisikan seks dengan memberikan konsep inti bahwa seksualitas merupakan hasil konstruksi sosial, hasil kekuatan sejarah dan sosial masyarakat. Oleh kaum feminis, seksualitas didefinisikan sebagai proses sosial yang menciptakan, mengorganisasikan, mengekspresikan, dan mengarahkan hasrat. Mulai tahun 1960, ketika Freud memberikan karakter seksualitas perempuan sebagai pasif, masokistis, dan narsistik, teori feminisme melakukan kritik yang menyeluruh terhadap gagasan-gagasan seksualitas yang ada, yang mengabaikan realitas pengalaman perempuan. Teori feminis menyatakan bahwa kontrol laki-laki terhadap reproduksi dan seksualitas tubuh perempuan merupakan aktivitas utama patriarki. Bagi feminis, bentuk-bentuk seksualitas tidak merupakan sesuatu yang inheren dalam diri perempuan, tetapi merefleksikan institusi politik dan budaya yang mempengaruhi kondisi kehidupan dan kesadaran individu. Mereka menolak pandangan Freud yang melihat perbedaan identitas feminin dan maskulin yang semata-mata bersumber pada perbedaan biologis manusia yang bersifat mutlak. Bahkan, bagi feminisme radikal, penindasan perempuan muncul dari kontrol laki-laki atas fertilitas dan seksualitas perempuan. Aliran feminisme ini menyatakan bahwa dominasi laki-laki dalam semua manifestasinya didasarkan kontrol laki-laki terhadap kapasitas prokretif perempuan.

            Seorang ahli sosiologi Inggris yang banyak melakukan penelitian tentang konstruksi sosial masyarakat Inggris pada abad ke-19, Jeffrey Weeks (Saptari dan Holzner, 1997: 93—94), menyatakan bahwa pendekatan yang melihat seksualitas sebagai gejala biologis (yang merupakan suatu kekuatan yang berada di luar kendali individu dan mempengaruhi kehidupan pribadi dan hubungan sosial) telah banyak dikritik dan ditentang. Seks bukan merupakan gejala yang mandiri, yang tidak dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Karena berkaitan erat dengan struktur sosial, bagaimana, kapan, dan dengan siapa hubungan seks itu diperbolehkan serta bagaimana seksualitas laki-laki dan perempuan itu didefinisikan, konsep seks bisa berubah-ubah sesuai dengan perubahan dalam ideologi dan dinamika yang terdapat dalam masyarakat. 

 

SEKSUALITAS PEREMPUAN DALAM NOVEL SAMAN

            Dalam kurun waktu yang panjang, wacana tentang hasrat seksual perempuan kurang diangkat dalam tema seksualitas manusia pada umumnya. Selama ini, wacana seksualitas perempuan sering diposisikan sebagai "instrumen musik" yang dimainkan oleh laki-laki (McCormick dalam Amiruddin, 2003:91). Tema besar seksualitas manusia lebih diciptakan, diorganisasi, dan diekspresikan oleh kepentingan hasrat seksual laki-laki yang kemudian dijadikan sebagai kanon, dan hal ini dipercaya sebagai seksualitas perempuan. Seksualitas laki-laki ini menjadi standar untuk memahami atau mengekspresikan seksualitas perempuan. Oleh karena itu, seksualitas perempuan disebut sebagai  unspoken "tak terkatakan" (tersembunyi). Hal ini, misalnya, tampak jelas pada novel-novel periode Balai Pustaka.

Sebagai novel yang dibuat untuk melawan hegemoni ideologi maskulin, Saman merupakan personifikasi wilayah publik, merupakan representasi tulisan yang bersudut pandang perempuan, dan representasi menguaknya persoalan seksual dari wilayah privat menuju ruang publik. Seks tidak lagi merupakan urusan privat, tetapi sudah menjadi milik publik. Seks bukan lagi persoalan intimitas di antara dua manusia yang berada di balik "dinding tebal dan kuat". Melalui novel ini, seks membuka dirinya, mengundang orang ikut dalam intimitas tersebut. Tentang "seks publik" itu, etnolog Jerman, Peter Duer (Sindhunata, 2003:17) berkata,

"Tak pernah ada masyarakat di mana tendensi untuk buka-bukaan tentang hal atau wilayah privat dan intim menjadi demikian kuat dan terang-terangan seperti yang dilakukan masyarakat sekarang. Seksualitas manusia bangkit untuk membebaskan dirinya dari represi."

 

Para pemikir mulai mengkritik dan menganggap bahwa represi seksualitas bukan merupakan jalan yang baik. Sigmund Freud, misalnya, berpendapat bahwa walaupun rasio harus menundukkan naluri, walaupun logos harus tetap mengatasi eros, naluri seksual manusia tidak harus ditekan, tetapi diarahkan dan disublimasikan. Sublimisasi dilakukan bukan dengan represi libido, melainkan dengan manajemen libido sebab represi yang berlebihan terhadap seksual akan memicu meletusnya apa yang disebut dengan revolusi seksual. Dalam revolusi seksual itu terjadi pemberontakan eros terhadap logos secara terang-terangan (Fourez, 1984:3—9).

            Dalam Saman, personifikasi seks publik yang dibangun oleh teks pertama-tama terlihat pada presentasi tema-tema seksualitas yang mandiri dan otonom. Novel ini telah mengangkat persoalan seks yang semula dianggap privat, tabu, dan sekaligus sakral ke dalam wilayah yang transparan, "tanpa sekat dan tanpa dinding tebal". Hal demikian, misalnya, terlihat dari kutipan berikut ini.

Ia bersimpuh tanpa membantah, sampai kedua ujung dadanya menyentuh kedua ibu jari kaki sang lelaki. Disekanya telapak itu dengan rambutnya. Kemudian ia tengadah, dengan setitik air di mata kirinya, setitik darah di mata kanannya. Lalu perlahan ia merambat ke atas, sepanjang tungkai lelaki tadi. Wajahnya berhenti di pangkalnya yang rimbun seperti pepohonan. Ia merintih: "Kasihanilah, aku cuma haus. Buah yang ini bukan terlarang, kan?" (Utami, 2000:193).

 

Lelaki itu telah mencambuk dada dan punggung perempuan itu, tetapi ia menemukan di selangkangnya sebuah liang yang harum birahi. "Engkau dinamai perempuan karena diambil dari rusuk lelaki." Begitu kata bisikan Tuhan yang tiba-tiba datang kembali. "Dan aku menamai keduanya puting karena merupakan ujung busung dadamu. Dan aku menamainya klentit karena serupa kontol yang kecil." Namun liang itu tidak diberinya sebuah nama. Melainkan, dengan ujung jarinya ia merogoh. Dan dengan penisnya ia menembus (Utami, 2000:194).

 

            Berbeda dengan novel-novel periode sebelumnya, novel ini mempresentasikan aktivitas seks laki-laki dan perempuan dalam kisah mitos penciptaan manusia pertama (Adam dan Hawa) secara transparan dan vulgar. Dalam kutipan itu, aktivitas seksual kedua makhluk lawan jenis itu dinyatakan secara denotatif dengan klausa “dengan ujung jarinya ia merogoh dan dengan penisnya ia menembus.” Begitu pun, alat genital perempuan secara vulgar disebutkan, seperti frasa “sebuah liang yang harum berahi, klentit karena serupa kontol yang kecil.”

Di samping itu, kepasifan seksual perempuan didekonstruksi novel ini dengan menampilkan sikap keaktifan dan agresivitas tokoh-tokoh perempuannya. Kegigihan Laila untuk mendapatkan dan merebut cinta Sihar dari tangan istri dan anaknya, pemberontakan Shakuntala terhadap mitos keperawanan dengan merenggut "virginitasnya sendiri" hanya dengan sendok teh, kisah keintiman Cok dan Yasmin dengan laki-lakinya masing-masing, pengalaman seksual keempat perempuan itu dengan pacar-pacarnya, serta persoalan-persoalan seksualitas lainnya dideskripsikan oleh teks secara bebas dan otonom.

Sikap Laila yang aktif mendapatkan cinta Sihar, yang sesungguhnya telah terikat oleh institusi perkawinan, pemberontakan Shakuntala dan Cok terhadap tradisi dan norma-norma Timur yang mengikat dan terhadap orang tua yang mengekang kebebasan hasrat seksualnya, dengan melakukan intimitas bersama kekasihnya masing-masing, menunjukkan kritik dan penentangan novel ini terhadap identitas feminin yang dilekatkan pada kaum perempuan. Proses kultural yang mengasingkan seks perempuan, yang beranggapan bahwa seks itu tabu, dan perempuan tidak memiliki kehendak seks didekonstruksi dengan ekspresi kebebasan seks, serta hasrat seks Laila, Shakuntala, Yasmin, dan Cok yang merupakan keempat tokoh perempuan sebagai agent of sosial change. Hal tersebut tampak dalam ekspresi seksual Shakuntala dan hasrat seksual Laila di bawah ini.

Kuinginkan mulut yang haus/dari laki-laki yang kehilangan masa remajanya/di antara pasir-pasir tempat ia menyisir arus (Utami, 2000: 3 dan118).

 

Tetapi hangat nafasnya jadi terasa di bibir saya. Bau tembakau hisapnya membangkitkan sesuatu, entah apa. Dari dekat ia tampan, seperti kayu resak tembaga yang terpelitur, coklat keras berkilat (Utami, 2000: 22).

 

            Lalu kami berbaring di ranjang, yang tudungnya pun belum disibakkan, sebab kami memang tak hendak tidur siang. Dia katakan dada saya besar. Saya jawab tidak sepatah kata. Dia katakan, apakah saya siap. Saya jawab, tolong, saya masih perawan. (Adakah cara lain). Dia katakan bibir saya indah. Ciumlah. Cium di sini. Saya menjawab tanpa kata-kata. Tapi saya telah berdosa. Meskipun masih perawan (Utami, 2000: 4).

 

Kebebasan ekspresi seksual sekaligus kebebasan seksual tokoh-tokoh perempuan novel ini menandai pemberontakan yang ekstrem atas pemarginalan tema-tema seksual perempuan yang dikontrol untuk menerima predikat pasif, menjadi objek. “Revolusi seksual ini” sebagian merupakan akibat efek pandangan Freud yang menekankan signifikansi kebebasan psikologis dari berbagai represi, termasuk represi seksual yang disokong oleh agama (Katolik). Revolusi seksual dianggap sebagai reaksi, akibat, dan solusi yang tak terelakkan dari masa represi yang panjang berupa perubahan dan penegasian terhadap apa yang dipandang sebagai moral lama, sebagai sopan santun. Di sini, apa pun yang diperjuangkan oleh kaum perempuan untuk mengetahui identitas seksualnya tetap saja penuh dilema. Pada satu sisi, mereka distereotipekan sebagai makhluk yang pasif secara seksual sehingga karakter agresivitas seksual bagi perempuan dianggap penyimpangan. Namun, pada sisi lain, perempuan dipandang sebagai makhluk, yang secara psikologis, memiliki naluri seksual yang tinggi sehingga perlu diasingkan (dalam anggapan sebagian agama). Pandangan kedua ini turut menciptakan stigma bahwa perempuan yang aktif dan agresif dianggap sebagai perempuan nakal atau perempuan penggoda.

            Akan tetapi, melalui tokoh Saman, novel ini telah menunjukkan paradigma baru, sekaligus mengakui bahwa persoalan perempuan dan seks perempuan bukanlah persoalan yang tunggal, sederhana, dan universal, melainkan persoalan yang plural, kompleks, sekaligus unik, yang tidak dapat ditentukan dan dikontrol oleh laki-laki. Menentukan dan mengevaluasi seksualitas perempuan (perspektif feminin) dengan cara pandang laki-laki (perspektif maskulin) tidak akan dapat menemukan hakikat yang sesungguhnya karena pengalaman (seksualitas) perempuan bersifat unik yang hanya bisa dirasakan oleh kaum perempuan. Bagi perempuan, orgasme, misalnya, tidak hanya dicapai melalui alat reproduksi laki-laki, tetapi juga lewat imaji dan totalitas tubuh. Hal demikian diakui Yasmin dalam suratnya yang ditujukan kepada Saman berikut ini.

            Saman,

            Orgasme dengan penis bukan sesuatu yang mutlak. Aku selalu orgasme jika membayangkan kamu. Aku orgasme karena keseluruhanmu.

 

            Saman,

            Tahukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu (Utami, 2000: 196).

 

Demikian pula, melalui tokoh Saman, novel ini menjungkirbalikkan pandangan tradisional relasi timpang seksual laki-laki dan perempuan bahwa hubungan seksual suami istri merupakan persoalan nafkah batin (seperti juga nafkah lahir) suami yang menjadi kewajibannya yang harus diterima istri. Sang suami memberikan "nafkah batin" dan sang istri menerima nafkah itu dengan sukarela. Dalam hubungan itu, memberikan kenikmatan seksual (yang identik dengan memberikan nafkah batin) adalah tugas suami. Sang istri menerima dan bersikap pasif. Dalam pandangan itu, hasrat seksual perempuan direduksi, bahkan dieliminasi. Akan tetapi, seperti bentuk pelayanan lainnya, memenuhi kebutuhan seksual suami juga merupakan tugas istri. Dalam konteks ini, perempuan harus memenuhi kebutuhan laki-laki dengan memberikan kenikmatan (pelayanan) seksual kepada para suami. Kedua anggapan tersebut berada pada dua pandangan ekstrem yang tumpang tindih, sekaligus membingungkan. Perempuan distereotipkan sebagai "manusia berwajah dua": sebagai makhluk pasif secara seksual dan makhluk penuh berahi. Hal inilah yang dipikirkan Saman. Kendatipun laki-laki itu berada dalam ketidakpahaman (kebingungan) atas citra perempuan yang saling beroposisi tersebut, secara jujur, ia menemukan dan merasakan kenikmatan seksual yang mengesankan bersama Yasmin.

Selama ini aku membaca literatur tentang seks, pendapat, dan peraturan, yang berabad-abad diciptakan oleh kaum lelaki. Para rabid dan bapa-bapa Gereja yang berpendapat bahwa wanita penuh dengan berahi sehingga berbahaya dan patut dikucilkan. Atau ulama yang justru mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang pasif dan enggan secara seksual sehingga secara alamiah lelaki berpasangan dengan banyak istri. Tapi, dengan kamu aku merasa bahwa seks dan perempuan bukanlah hal yang mudah untuk ditafsirkan. Dan barangkali tidak bisa. Kadang, aku merasa seperti perawan yang diperkosa dan menemukan betapa indah persetubuhan itu. Aku tidak ingin menyalahkan kamu atas kenikmatan yang aku alami. Meskipun itu membingungkan aku (Utami, 2000:191).

 

 

SEKSUALITAS  PEREMPUAN DALAM  PANDANGAN FEMINISME ISLAM

Tidak seperti tradisi agama lain, misalnya Katolik, Islam tidak melihat seksualitas sebagai oposisi spiritualitas, tetapi merupakan tanda belas kasih dan rahmat Tuhan bagi kemanusiaan, seperti yang disebutkan dalam al-Quran surat ar-Rum ayat 21. Seksualitas tidak diasosiasikan sebagai semata-mata pemenuhan kebutuhan biologis, tetapi dipandang sebagai alat Ilahi untuk menciptakan relasi laki-laki dan perempuan atas dasar kebersamaan, ketenangan, dan cinta. Dalam ayat itu, hubungan kedua jenis kelamin itu diarahkan untuk mencapai keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.

            Islam tidak memandang seks sebagai sesuatu yang buruk atau kotor bila disalurkan pada “tempatnya yang benar” sebab seks merupakan salah satu fitrah manusia yang suci. Bahkan, apa yang keluar dari hubungan biologis itu (mani atau sperma) dinilai oleh para ulama sebagai sesuatu yang suci. Oleh karena itu, Rasulullah menegaskan dengan sabdanya “fi bud'i ahadikum sadaqah (Allah menganugerahkan ganjaran kepada suami istri yang melakukan hubungan intim) sebab bukankah jika ia meletakkannya pada yang haram dia berdosa?” (HR Muslim melalui Abu Dzar, al-Munziri, 2003: 451).

Dalam perspektif Islam, kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan biologisnya dipandang sebagai sesuatu yang natural, normal, dan suci. Dalam pandangan al-Quran, hidup membiara yang dipaksakan tidak ditetapkan Allah (Q.S. al-Hadid: 27). Dengan kata lain, hidup selibat tidak diperlukan bagi orang Islam yang ingin mempersembahkan hidupnya untuk mencapai derajat muttaqin. Perkawinan bukan merupakan hambatan bagi orang Islam untuk meraih tingkat spiritualitas yang tinggi, tetapi merupakan sarana dalam menciptakan masyarakat yang bermoral. Perkawinan melindungi manusia (laki-laki) dari tindakan amoral dengan memberikan kerangka religius yang di dalamnya energi seksual disalurkan secara konstruktif. Itulah sebabnya, al-Quran berbicara tentang seks, bahkan memerintahkan untuk melakukannya (QS. Al-Baqarah: 187).

Meskipun demikian, dalam mengungkapkan sesuatu yang tidak pantas (tabu), kitab suci ini memilih kata-kata yang amat sopan. Untuk mengungkapkan bersetubuh (hubungan seksual) dalam surat al-Maidah ayat 6, misalnya, al-Quran menggunakan kata lamastum an-nisa ‘menyentuh perempuan’ (menurut pendapat Abu Hanifah. Dalam pandangan Imam Syafi’i, menyentuh dalam kata itu bermakna bersentuhan kulit dengan laki-laki yang bukan muhrim). Kata ini digunakan untuk mengekspresikan hal-hal yang seharusnya dirahasiakan (Shihab, 2005:37). Begitu pun, perintah berhubungan seksual, seperti yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 223, diungkapkan oleh al-Quran dengan “istri-istri kamu adalah tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok tanam kamu itu kapan dan bagaimana pun kamu kehendaki”. Menurut Quraish Sihab (2005:39),  kata furuj, dalam ayat itu, adalah bentuk plural dari kata farj yang pada awalnya berarti celah di antara dua sisi. Al-Quran menggunakan kata yang amat halus itu untuk sesuatu yang amat rahasia bagi manusia, yaitu alat kelamin. Memang, kitab suci ini dan as-Sunah selalu menggunakan kata-kata halus atau kiasan untuk menunjuk hal-hal yang oleh manusia terhormat dipandang aib untuk dibicarakan. Dengan landasan ini, dalam perspektif Islam, seks bukan hal yang tabu, tetapi juga tidak dibuka secara vulgar.

Dalam pandangan Islam, relasi seksual laki-laki dan perempuan tidak dibebaskan secara absolut. Islam membuka relasi seksual antara kedua jenis kelamin itu hanya melalui pintu perkawinan (QS al-Mu’minun: 5—6, QS al-Ma’arij: 29—30). Selain menciptakan hubungan seks yang sehat, hubungan itu juga menciptakan tatanan sosial yang bersih dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, tindakan Laila mendapatkan dan merebut cinta Sihar dari tangan istri dan anaknya, pemberontakan Shakuntala terhadap mitos keperawanan dengan merenggut "kehormatannya sendiri" hanya dengan sendok  teh, hubungan seksual bebas Cok dan Yasmin dengan laki-lakinya masing-masing, pengalaman seksual keempat perempuan itu dengan pacar-pacarnya, tentulah tidak sejalan dengan pandangan Islam.

Meskipun tindakan keempat perempuan di atas bertujuan untuk mengeliminasi dan mendekonstruksi kepasifan seksual perempuan, membebaskan ikatan-ikatan, nilai-nilai, dengan bertindak atas dasar cinta atau seks bukan merupakan solusi yang baik. Apa yang dinyatakan Freud (bahwa kasih sayang ibu, cinta ayah dan saudara, persahabatan, hubungan guru-murid, bayi yang menyusui, anak kecil yang menghisap jarinya, dan sebagainya merupakan manifestasi dorongan seksual) telah menafikan unsur lain yang ada pada diri manusia. Harus diakui, memang, bahwa dorongan seksual begitu besar, yang lahir dari kebutuhan kedua jenis kelamin untuk hidup bersama. Telah menjadi fakta pula bahwa dorongan seksual melahirkan aneka ragam seni. Akan tetapi, menafsirkan semua aktivitas manusia yang hanya lahir dari dorongan seksual merupakan interpretasi yang menjatuhkan makhluk yang dihembuskan kepadanya ruh Ilahi itu ke lembah kehinaan.

Dalam relasi seksual, hubungan laki-laki (suami) dan perempuan (istri) harus dijalankan dengan mengindahkan prinsip saling memberi dan menerima, saling mengasihi dan menyayangi, tidak saling menyakiti, tidak saling memperlihatkan kebencian, serta tidak saling mengabaikan hak dan kewajibannya masing-masing. Dalam konteks ini, persoalan seksualitas merupakan kebutuhan bersama antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri). Baik laki-laki (suami) maupun istri memiliki hak untuk mendapatkan kenikmatan dan kepuasan dalam melakukan hubungan seks. Dalam ayat yang dikutip di atas (QS al-Baqarah: 223), secara eksplisit, al-Quran tidak melarang hubungan seksual dengan cara apa pun asalkan pada “tempatnya”. Kebolehan ini dipertimbangkan untuk tujuan kenikmatan kedua belah pihak. Dengan dasar ini, keaktifan perempuan (dalam hubungan seks, dan sebagainya) bukan sesuatu yang tabu, tidak pantas (seperti anggapan mayoritas orang Islam), atau terlarang dalam pandangan Islam.

Dengan demikian, anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang pasif dan enggan secara seksual—seperti tampak pada kutipan di atas—adalah pandangan yang bias gender. Pandangan demikian telah menciptakan hubungan yang asimetris: perempuan (istri) menjadi objek laki-laki (suami). Sebaliknya, opini bahwa perempuan penuh dengan berahi sehingga berbahaya dan patut dikucilkan juga tidak sejalan dengan perspektif Islam. Agama ini berpandangan bahwa kaum perempuan, seperti juga laki-laki, membutuhkan seks sehingga dalam persoalan itu, keduanya harus saling memberi, menghargai, dan melengkapi. Inilah prinsip dasar feminisme Islam yang melihat seksualitas sebagai kebutuhan bersama perempuan dan laki-laki yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi.

 

PENUTUP

Ada beberapa hal penting yang perlu dinyatakan berkaitan dengan isu-isu seksualitas dalam novel Saman. Pertama, novel ini merupakan personifikasi wilayah publik, merupakan representasi tulisan yang bersudut pandang perempuan, dan representasi menguaknya persoalan seksual dari wilayah privat menuju ruang publik. Kedua, personifikasi seks publik yang dibangun oleh teks terlihat pada presentasi tema-tema seksualitas yang mandiri dan otonom serta sikap keaktifan dan agresivitas tokoh-tokoh perempuannya. Perempuan yang dipandang tidak memiliki kehendak seks didekonstruksi dengan ekspresi kebebasan seks Laila, Shakuntala, Cok, dan Yasmin. Ketiga, Islam memandang bahwa seks bukan persoalan yang kotor, tetapi juga membebaskan seks arbitrasi bukan tindakan yang selaras dengan agama ini. Seks hanya dibenarkan dalam ikatan perkawinan yang sah.  

 

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Mariana. 2003. "Sex and Text (Sexts): Konsep Pembebasan Seksualitas Perempuan Lewat Sastra." Jurnal Perempuan No. 30 Edisi Juli, 2003.

Fourez, Gerard. 1984. "The Seksual Revolution in Perspective." Concilium, Nomor 173, 1984.

Fromm, Erich. 2002. Cinta, Seksualitas, dan Matriarki Gender. Yogyakarta: Jalasutra.

Michel, Juliet. 1975. Psychoanalysis and Feminism. New York: Vantage Books  Division of Randous House.

al-Munziri, Imam. 2003. Ringkasan Hadits Shahih Muslim. Jakarta: Pustaka Amani.

Robinson, Victoria dan Diane Richardson ed. 1992. Introducing Women's Studies, Feminist Theory and Practice. Macmilland Press Limited.

Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. 1997.  Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Anem Kosong Anem.

Shihab, Quraish. 2005. Tafsir al-Mishbah. Tangerang: Lentera Hati.

Sindhunata. 2003. "Seks Undercover: Ikon Bokong Inul." Basis, Nomor 03—04, Tahun ke-52, Maret—April 2003.

Tong, Rosemarie Putnam. 2004. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra.

Utami, Ayu. (2000). Saman. Bogor: SMK Grafika Mardi Yuana.

Weeks, J. 1981. Sex, Politics, and Society: The Regulation of Sexuality since 1800. London: Longman.

 

 


2020-10-01

Pendekatan Objektif Dalam Cerpen Pengemis dan Shalawat Badar Karya Ahmad Tohari

 

A.    PENDAHULUAN

Pendekatan merupakan cara-cara menghampiri objek. Tujuan pendekatan adalah sebagai pengakuan terhadap hakikat ilmiah objek ilmu pengetahuan itu sendiri. Pendekatan dalam karya sastra menurut Abrams melalui Teeuw (1984: 50) mengungkapkan ada empat macam pendekatan terhadap karya sastra, yaitu: objektif, mimetik, pragmatik, dan ekspresif.

Menurut Ratna (2011:73), pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apapun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri. Pendekatan objektif memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur, yang dikenal dengan analisis intrinsik. Dengan pendekatan objektif, karya satra dianggap sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, lepas dari hal yang berada di luar unsur intrinsik. Konsekuensi yang ditimbukan dari pendekatan objektif adalh menolah segala unsur ektrinsik seperti aspek ekonomi, sosial, politik, dan unsur-unsur yang lainnya. Walaupun antara unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik sama-sama berperan dalam membangun karya sastra, namun dengan pendekatan objektif, unsur yang diteliti hanyalah unsur intrinsik.

Mengenai unsur intrinsik karya sastra, khususnya dalam prosa yang meliputi: novel, cerpen, cerbung, agaknya para ahli sastra belum ada kesepakatan mengenai bagian apa saja yang harus dianalisis dalam unsur intrinsik tersebut. Menurut Ratna (2011:93), unsur intrinsik prosa meliputi: tema, peristwa atau kejadian, latar atau setting, penokohan tau perwatakan, alur atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa. Menurut Saad dalam Lukman Ali (1967:116-120), unsur intriksik prosa meliputi: Tokoh, alur, latar, dan pusat pengisahan. Menurut Harjito (2007:2-11), intrinsik prosa meliputi: tema, tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran, latar dan pelataran, dan pusat pengisahan.

Masih mengenai bagian dari unsur intrinsik prosa, menurut  Endraswara (2008:52) meliputi: ide, tema, plot, latar, watak, tokoh, gaya bahasa. Menurut Nuryatin (2010:4) unsur intrinsik cerpen mencakup: tema, penokohan, alur, latar, pusat pengisahan/sudut pandang, dan gaya cerita. Dari berbagai pendapat para pakar ilmu sastra tersebut, disimpulkan secara garis besar unsur intrinsik cerpen adalah: tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, amanat, dan gaya bahasa.

Cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” merupakan judul cerpen penutup dari kumpulan cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari. Alasan pemilihan cerpen tersebut adalah karena dipandang pengarang cerpen tersebut sudah sangat terkenalnya. Ahmad Tohari memiliki tiga kumpulan cerpen, pertama Senyum Karyamin (1989), kedua Nyanyian Malam (2000), dan ketiga Rusmi Ingin Pulang (2004). Tahun 2010 Ahmad Tohari mendapat anugerah sastra yang diberikan oleh Budiono Wakil Presiden RI pada Pekan Produk Kreatif Indonesia. Dan ia dianugerahi PWI Jateng Award 2012 karena karya-karya sastranya yang dinilai mampu menggugah dunia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua orang yang penyuka atau penikmat sastra Indonesia, pasti mengenal Ahmad Tohari-minimal mengenal karya-karyanya.

 

B.     RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah analisis karya sastra dengan pendekatan objektif pada cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar”?


C.     TEORI

1.    Tema

Nuryatin (2010:4), mengatakan  “tema adalah ide sentral sebuah cerita. Tema cerpen ialah dasar cerita, yaitu konsep atau  ide atau gagasan yang menjadi dasar diciptakannya sebuah cerita”.

“Cerpen harus mempunyai tema atau dasar. Dengan dasar itu pengarang dapat melukiskan watak-watak dari orang yang diceritakan dalam cerpen itu dengan maksud yang tertentu, demikian juga segala kejadian  yang dirangkaikan berputar kepada dasar itu”, demikian yang dikatakan Lubis dalam Nuryatin (2010:4).

Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Nurgiyantoro (2010:25), tema adalah sesuatu yang menjdi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, dan sebagaianya.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka disimpulkan bahwa tema adalah sesuatu hal dari karya sastra yang menjadi dasar penceritaan dan dasar diciptakaanya karya sastra itu.

Harjito (2007:4) mengatakan “tema ada 2 macam, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor yaitu tema yang menguasai seluruh cerita. Tema minor merupakan tema-tema tambahan atau sampingan dari tema mayor.

Untuk dapat menemukan tema, langkah-langkah yang perlu dilakukan menurut Saad dalam Harjito (2007:3) adalah.

a.    Melihat persoalan mana yang paling menonjol.

b.    Secara kuantitatif, persoalan mana yang paling banyak menimbulkankonflik yaitu konflik yang melahirkan peristiwa-peristiwa.

c.    Menentukan (menghitung) waktu penceritaan, yakni waktu yang diperlukan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa atau tokoh – tokoh di dalam sebuah karya sastra sehubungan dengan persoalan yang bersangkutan.

 

2.    Tokoh dan Penokohan

“Tokoh ialah pelaku rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan di pelbagai peristiwa” (Harjito, 2007:4).

Abrams dalam Nurgiyantoro (2010:165), mengatakan “tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan”.

Sejalan dengan pendapat tesebut Nuryatin (2010:7), mengatakan  “tokoh adalah pelaku yang dikisahkan perjalanan hidupnya dalam cerita fiksi lewat alur baik sebagai pelaku maupun penderita berbagai peristiwa yang diceritakan”.

Berdasarkan pendapat- pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah seluruh pelaku yang diceritakan dalam sebuah cerita fiksi.

Penokohan menurut Lubis dalam Nuryatin (2010:8) ialah gambaran rupa atau watak lakon. Masih dalam Nuryatin (2010:8), menurut Yudiono penokohan adalah cara menampilkan tokoh-tokoh. Sejalan dengan pendapat tersebut, menurut Jones dalam Nurgiyantoro (2010:165), mengatakan “penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita”. Dari pendapat-pendapat tersebut, disimpulkan bahwa penokohan adalah cara penampilan atau pelukisan mengenai tokoh-tokoh di dalam cerita.

Pelukisan tokoh tersebut bisa secara analitik maupun dramatik. Harjito (2007:6) menyebutkan bahwa penokohan seperti berikut.

Penokohan secara umum ada dua cara yaitu analitik dan dramatik. Disebut analitik kalau pengarangnya menyebut watak dan perangai sang tokoh secara langsung apa adanya atau secara tersurat. Disebut cara dramatik bila pembaca mesti menyimpulkan sendiri bagaimana sifat sang tokoh. Pembaca mesti menyimpulkan sendiri karena pengarang yang menyebutkan secara tersirat mengenai perangai sang tokoh.

Berdasarkan pendapat tersebut, disimpulkan bahwa pelukisan tokoh secara analitik adalah apabila pengarang menggambarkan sifat tokoh secara tersurat di dalam teks. Sedangkan pelukisan tokoh secara dramatik adalah apabila pengarang hanya menggambarkan sifat tokoh dalam cerita secara tersirat, yaitu tidak tertulis dalam teks cerita.

 

3.    Alur

Alur ialah peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain, demikian yang dikemukakan Luxemburg dalam Harjito (1986:8).

Menurut Santosa dan Wahyuningtyas (2010:4), secara sederhana alur dapat didefinisikan sebagai sebuah rangkaian cerita dalam cerpen yang menunjukkan hubungan sebab akibat.

Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Nuryatin (2010:10), “alur adalah sambung sinambung peristiwa berdasarkan hukum sebab akibat. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi juga menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Dengan sambung sinambungnya peristiwa ini terjadilah sebuah cerita”.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dismpulkan bahwa alur adalah rangkaian sambung sinambung cerita yang menunjukkan peralihan dari satu keadaan ke keadaan lain.

Nurgiyantoro (2010:116), mengatakan ”peristiwa, konflik, dan klimaks merupakan tiga unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah alur/plot cerita”.

Berdasarkan hukum Aristoteles, dalam Nuryatin (2010:10), “sebuah alur/plot  terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap awal (beginning), tahap tengah, (middle) dan tahap akhir(end)”.

Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Nuryatin (2010:10), pada tahap awal cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan, berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya, khususunya berkaitan dengan pelataran dan penokohan, serta konflik yang melibatkan tokoh. Selanjutnya tahap tengah disebut juga tahap pertikaian, menampilkan konflik yang sudah mulai dibangun pada tahap awal, konflik menjadi semakin meningkat sampai klimaks atau puncak. Tahap akhir disebut juga tahap peleraian, yaitu menampilkan adegan tertentu yang merupakan penyelesaian dari konflik yang terjadi pada klimaks.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, disimpulkan bahwa alur memiliki tiga tahap, (1) awal, meliputi perkenalan tokoh, latar, dan awalan konflik dalam cerita; (2) tengah, meliputi pertikaian puncak dari konflik cerita; (3) akhir, merupakan penyelesaian dari jalannya cerita.

 

4.    Latar

Harjito (2007:10), mengatakan “latar adalah segala petunjuk, keterangan, acuan yang berkait dengan waktu, ruang, suasana terjadinya peristiwa”.

Menurut Nurgiyantoro (2010:227), “unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial”.

Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Nuryatin (2010:13), Latar adalah gambaran tentang tempat, waktu atau masa, dan kondisi socialterjadinya cerita. Itu berarti bahwa latar terdiri atas latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. (1) latar tempat, menunjuk pada tempat atau lokasi terjadinya cerita, (2) latar waktu atau masa menunjuk pada kapan atau bilamana cerita itu terjadi, dan (3) latar sosial menunjuk pada kondisi sosial yang melingkupi terjadinya cerita.

Berdasarkan pendapat tersebut, disimpulkan bahwa latar dalam cerita memiliki tiga jenis, (1) latar tempat, adalah bagian cerita yang menunjukkan tempat terjadinya peristiwa; (2) latar waktu, adalah bagian cerita yang menunjukkan waktu terjadinya peristiwa; (3) latar sosial, adalah bagian cerita yang menunjukkan keadaan sosial yang terjadi  di dalam peristiwa.

 

 

5.    Amanat

Nuryatin (2010:5), mengatakan “amanat dapat diartikan sebagai pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca”.

Menurut Sudjiman dalam Harjito (2007:4), “amanat merupakan ajaran moral atau pesan yang disampaikan pengarang di dalam karya sastra”.

Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Nurgiyantoro (2010:321), “moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat, pesan, message. Bahkan, unsur amanat itu, sebenarnya, merupakan gagasan yang mendasari penulisan karya itu, gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan”.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka disimpulkan bahwa amanat adalah pesan berupa ajaran moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Pesan berupa ajaran moral meliputi: 1) Religius, 2) sikap baik, 3) keadilan, 4) kejujuran, dan 5) kerendahan hati

Penyampaian amanat bisa dilakukan pegarang secara tersurat maupun tersirat. Yaitu sejalan dengan pendapat Nuryatin (2010:5), cara pertama amanat disampaikan secara tersurat. maksudnya pesan yang hendak disampaikan oleh penulis ditulis secara langsung di dalam cerpen. Biasanya diletakkan pada bagian akhir cerpen, dalam hal ini pembaca dapat langsung mengetahui pesan yang disampaikan oleh penulis. Cara yang kedua adalah amanat disampaiakan secara tersirat, maksudnya pesan tidak dituliskan secara langsung di dalam teks cerpen, melainkan disampaikan melalui unsur-unsur cerpen. Pembaca diharapkan dapat menyimpulkan sendiri pesan yang terkandung di dalam cerpen  yang dibacanya.

 

6.    Gaya Bahasa

Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2010: 276) gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Sejalan dengan pendapat tersebut, menurut Nurgiyantoro (2010:276), gaya bahasa ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain. Menurut Endraswara (2008:75), Gaya bahasa adalah bahasa yang telah dicipta dan bahkan direkayasa untuk mewakili ide sastrawan.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah pilihan kata yang digunakan sastrawan atau pengarang untuk menuangkan ide dalam karya sastra.

 

D.    PEMBAHASAN

1.         Tema

Dalam cerpen ini diceritakan tokoh pengemis yang mengemis dengan melantunkan Shalawat Badar. Untuk menentukan tema cerpen dilakukan dengan cara a) persoalan yang paling menonjol, b) persoalan yang paling banyak menimbulkan konflik, c) persoalan yang banyak memerlukan waktu penceritaan.

 

a.         Persoalan yang Paling Menonjol

       Persoalan yang paling menonjol dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Suasana sungguh gerah, sangat bising dan para penumpang tak berdaya melawan keadaan yang sangat menyiksa itu. Dalam keadaan seperti itu, harapan para penumpang hanya satu; hendaknya sopir cepat datang dan bus segera bergerak kembali untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta. Namun laki-laki yang menjadi tumpuan harapan itu kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Sopir itu enak-enak bergurau dengan seorang perempuan penjual buah. (Tohari, 2005:63).

 

Dari kutipan tersebut, diketahui bahwa persoalan yang paling menonjol adalah keadaan yang sangat menyiksa yang sedang dialami penumpang.

Persoalan yang paling menonjol lainnya dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Kukira aku masih dalam mimpi ketika kurasakan peristiwa yang hebat. Mula-mula kudengar Guntur meledak dengan suara dahsyat. Kemudian kulihat mayat-mayat beterbangan dan jatuh di sekelilingku. Mayat-mayat itu terluka dan beberapa diantaranya kelihatan sangat mengerikan. Karena merasa takut aku pun lari. Namun sebuah batu tersandung dan aku jatuh ke tanah. Mulut terasa asin dan aku meludah. Ternyata ludahku merah. Terasa ada cairan mengalir dari lubang hidungku. Ketika kuraba, cairan itu pun merah. Ya Tuhan. Tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku terluka parah. Aku terjaga dan di depanku ada malapetaka. Bus yang kutumpangi sudah terkapar di tengah sawah dan bentuknya sudah tak keruan. Di dekatnya terguling sebuah truk tangki yang tak kalah ringseknya. Dalam keadaan panik aku mencoba bangkit bergerak ke jalan raya. Namun rasa sakit memaksaku duduk kembali. Kulihat banyak kendaraan berhenti. Kudengar orang-orang merintih. Lalu samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari bangkai bus. Badannya tak tergores sedikitpun. Lelaki itu dengan tenang berjalan kembali kearah kota Cirebon. (Tohari, 2005:66).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa persoalan yang paling menonjol adalah pentingnya membaca shalawat untuk keselamatan diri.

Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa persoalan yang paling menonjol dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah keadaan tersiksa yang dialami penumpang dan pentingnya membaca shalawat untuk keselamatan diri.

 

b.        Persoalan yang Menimbulkan Konflik

Persoalan yang menimbulkan konflik dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Begitu bus berhenti, puluhan pedagang asongan menyerbu masuk. Bahkan beberapa diantara mereka sudah membajingloncat ketika bus masih berada di mulut terminal. Bus menjadi pasar yang sangat hiruk-pikuk. Celakanya, mesin bus tidak dimatikan dan sopir melompat turun begitu saja. Dan para pedagang asongan itu menawarkan dagangan dengan suara melengking aagar bisa mengatasi derum mesin. Mereka menyodor-nyodorkan dagangan, bila perlu sampai dekat sekali ke mata para penumpang. Kemudian mereka mengeluh ketika mendapati tak seorang pun mau berbelanja. Seorang diantara mereka malah mengutuk dengan mengatakan para penumpang adalah manusia-manusia kikir, atau manusia-manusia yang tak punya duit. (Tohari, 2005:63).

 

Berdasarkan kutipan tersebut, diketahui bahwa persoalan yang menimbulkan konflik adalah bus yang berhenti mengundang puluhan pedagang asongan untuk menyerbu masuk dan membuat penumpang bus semakin tidak enak.

Persoalan yang menimbulkan konflik juga terdapat pada kutipan berikut.

 

Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jongkok dekat pintu belakang. (Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa persoalan yang menimbulkan konflik adalah sopir menjalankan bus dengan gila-gilaan dan kondektur menumpahkan kemarahannya kepada pengemis.

Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa persoalan yang menimbulkan konflik adalah bus yang berhenti membuat penumpang merasa tidak nyaman, sopir yang marah dan menjalankan bus dengan gila-gilaan, dan Kondektur yang menumpahkan kemarahannya kepada pengemis.

 

c.         Persoalan yang Banyak Memerlukan Waktu Penceritaan

Persoaalan yang banyak memerlukan waktu penceritaan dapat dilihat dari kutipan berikut.

 

Sementara para penumpang lain kelihatan sangat gelisah dan jengkel, aku mencoba bersikap lain. Perjalanan semacam ini sudah puluhan kali aku alami. Dari pengalaman seperti itu aku mengerti bahwa ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan karena sama sekali tidak mengatasi keadaan. Supaya jiwa dan raga tidak tersiksa, aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya dengan tenang: Sopir yang tak acuh terhadap nasib para penumpang itu, tukang-tukang asongan yang sangat berisik itu, dan lelaki yang setengah mengantuk sambil mengepulkan asap dibelakangku itu. (Tohari, 2005:64).

      

Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa persoaalan yang banyak memerlukan waktu penceritaan adalah para penumpang sangat gelisah dan jengkel dengan berhentinya bus yang ditumpangi.

Persoalan yang banyak memerlukan waktu penceritaan juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

“He, sira!  kenapa kamu tidak turun? Mau jadi gembel di Jakarta?Kamu tidak tahu gembel di sana pada dibuang ke laut dijadikan rumpon?”

Pengemis itu diam saja.

“Turun!”

Sira beli mikir? Bus cepat seperti ini aku harus turun?”

“Tadi siapa suruh kamu naik?”

“Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya Cuma mau ngemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh.”

Kondektur kehabisan kata-kata. Dipandangnya pengemis itu seperti ia hendak menelannya bulat-bulat. Yang dipandang pasrah. Dia tampaknya rela diperlakukan sebagai apa saja asal tidak didorong keluar dari bus yang melaju makin cepat. Kondektur berlalu sambil bersungut. Si pengemis yang merasa sedikit lega, bergerak memperbaiki posisinya di dekat pintu belakang. Mulutnya kembali bergumam. “…shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…”.

(Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa persoalan yang banyak memerlukan waktu penceritaan adalah kondektur yang memarahi pengemis yang mengemis dengan bershalawat karena tidak segera turun dari bus.

Persoalan yang banyak memerlukan waktu penceritaan juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Kukira aku masih dalam mimpi ketika kurasakan peristiwa yang hebat. Mula-mula kudengar Guntur meledak dengan suara dahsyat. Kemudian kulihat mayat-mayat beterbangan dan jatuh di sekelilingku. Mayat-mayat itu terluka dan beberapa diantaranya kelihatan sangat mengerikan. Karena merasa takut aku pun lari. Namun sebuah batu tersandung dan aku jatuh ke tanah. Mulut terasa asin dan aku meludah. Ternyata ludahku merah. Terasa ada cairan mengalir dari lubang hidungku. Ketika kuraba, cairan itu pun merah. Ya Tuhan. Tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku terluka parah. Aku terjaga dan di depanku ada malapetaka. Bus yang kutumpangi sudah terkapar di tengah sawah dan bentuknya sudah tak keruan. Di dekatnya terguling sebuah truk tangki yang tak kalah ringseknya. Dalam keadaan panik aku mencoba bangkit bergerak ke jalan raya. Namun rasa sakit memaksaku duduk kembali. Kulihat banyak kendaraan berhenti. Kudengar orang-orang merintih. Lalu samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari bangkai bus. Badannya tak tergores sedikitpun. Lelaki itu dengan tenang berjalan kembali kearah kota Cirebon.

Telingaku dengan gamblang mendengar suara lelaki yang terus berjalan dengan tenang kearah timur itu: “shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…

(Tohari, 2005:66).

 

Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa persoaalan yang banyak memerlukan waktu penceritaan adalah betapa pentingnya membaca shalawat agar selalu mendapat keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa.

 

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa tema dari cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah pentingya membaca shalawat.

 

2.         Tokoh dan Penokohan

a.    Tokoh

1)   Tokoh Utama

     Tokoh utama ditentukan dengan cara melihat (a) intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita yang sering muncul dan (b) tokoh yang banyak berhubungan dengan tokoh lain melalui petunjuk yang diberikan pengarang.

 

a)        Intensitas Keterlibatan Tokoh dalam Peristiwa

Intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa diketahui pada kutipan berikut.

 

Masih banyak hal yang belum sempat aku baca ketika seorang lelaki naik ke dalam bus. Celana, baju, dan kopiahnya berwarna hitam. Dia naik dari pintu depan. Begitu naik lelaki itu mengucapkan salam dengan fasih. Kemudian dari mulutnya mengalir Shalawat Badar dalam suara yang bening. Dan tanganya menengadah. Lelaki itu mengemis. Aku membaca tentang pengemis ini dengan perasaan yang sangat dalam. Aku dengarkan baik-baik Shalawatnya. Ya, persis. Aku pun sering membaca shalawat seperti itu terutama dalam pengajian-pengajian umum atau rapat-rapat. Sekarang kulihat dan kudengar sendiri ada lelaki membaca shalawat badar untuk mengemis. (Tohari, 2005:64).

 

Dari kutipan tersebut dijelaskan bahwa tokoh yang memiliki intensitas keterlibatan dalam peristiwa adalah pengemis.

Selain itu, intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa diketahui pada kutipan berikut.

 

Perhatianku terhadap si pengemis terputus oleh bunyi pintu bus yang dibanting. Kulihat sopir sudah duduk di belakang kemudi. Kondektur melompat masuk dan berteriak kepada sopir. Teriakannya ditelan oleh bunyi mesin disen yang meraung-raung. Kudengar kedua awak bus itu bertengkar. Kondektur tampaknya enggan melayani bus yang tidak penuh, sementara sopir sudah bosan menunggu tambahan penumpang yang ternyata tak kunjung datang. Mereka terus bertengakar melalui kata-kata yang tak sedap didengar. Dan bus terus melaju meninggalkan terminal Cirebon. (Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut dijelaskan bahwa tokoh yang memiliki intensitas keterlibatan dalam peristiwa adalah pengemis.

Selain itu, intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa diketahui pada kutipan berikut.

 

Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jongkok dekat pintu belakang. (Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut dijelaskan bahwa tokoh yang memiliki intensitas keterlibatan dalam peristiwa adalah pengemis.

 

Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa tokoh yang mempunyai intensitas keterlibatan dalam peristiwa adalah pengemis

 

b)        Tokoh yang Banyak Berhubungan dengan Tokoh Lain

Tokoh yang banyak berhubungan dengan tokoh lain dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

(1)  Tokoh Pengemis berhubungan dengan tokoh aku

Tokoh Pengemis berhubungan dengan tokoh aku dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Semula ada perasaan tidak setuju mengapa hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Tetapi perasaan demikian lenyap ketika pengemis itu sudah berdiri di depanku. Mungkin karena shalawat itu maka tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ratusan. Atau karena ada banyak hal dapat dibaca pada wajah si pengemis itu. (Tohari, 2005:64).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh pengemis mendatangi tokoh aku untuk mengemis.

Selain itu, hubungan tokoh pengemis dengan tokoh aku dapat dilihat dari kutipan berikut.

 

Di sana aku lihat kebodohan, kepasrahan yang memperkuat penampilan kemiskinan. Wajah-wajah seperti itu sangat kuhafal karena selalu hadir mewarnai pengajian yang sering diawali dengan Shalawat Badar. Ya. Jejak-jejak pengajian dan ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup ada berbekas pada wajah pengemis itu. Lalu mengapa dari pengajian yang sering didatanginya ia hanya bisa menghafal Shalawat Badar dan kini menggunakannya untuk mengemis? Ah, kukira ada yang tak beres. Ada yang salah. Sayangnya, aku tak begitu tega menyalahkan pengemis yang terus membaca shalawat itu. (Tohari, 2005:64-65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh aku berusaha melihat keadaan pengemis.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa tokoh Pengemis berhubungan dengan tokoh aku

 

(2)  Tokoh Pengemis berhubungan dengan Kendektur

Tokoh Pengemis berhubungan dengan Kondektur dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jongkok dekat pintu belakang.

“He, sira!  kenapa kamu tidak turun? Mau jadi gembel di Jakarta? Kamu tidak tahu gembel di sana pada dibuang ke laut dijadikan rumpon?”

(Tohari, 2005:65).

      

Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh pengemis dimarahi oleh tokoh kondektur karena tidak turun.

Selain itu, hubungan tokoh Pengemis dengan Kondektur dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Kondektur kehabisan kata-kata. Dipandangnya pengemis itu seperti ia hendak menelannya bulat-bulat. Yang dipandang pasrah. Dia tampaknya rela diperlakukan sebagai apa saja asal tidak didorong keluar dari bus yang melaju makin cepat. Kondektur berlalu sambil bersungut. Si pengemis yang merasa sedikit lega, bergerak memperbaiki posisinya di dekat pintu belakang. Mulutnya kembali bergumam. “…shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…”(Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut, diketahui bahwa tokoh kondektur memandang pengemis seperti hendak menelannya bulat-bulat.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpukan bahwa tokoh pengemis berhubungan dengan tokoh kondektur.

 

(3)  Tokoh Pengemis berhubungan dengan Sopir

Tokoh Pengemis berhubungan dengan sopir dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

“Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya Cuma mau ngemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh.” (Tohari, 2005:65).

 

Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh pengemis meminta kondektur untuk bilang kepada sopir agar memberhentikan sebentar busnya.

Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa tokoh pengemis berhubungan dengan tokoh sopir.

Jadi tokoh yang banyak berhubungan dengan tokoh lain adalah Pengemis.

Berdasarkan analisis tersebut, disimpulkan pula bahwa tokoh utama dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah Pengemis, karena Ia adalah tokoh yang berhubungan dengan (1) Tokoh aku, (2) Kondektur, dan (3) Sopir.

 

 

2)   Tokoh Bawahan

Tokoh bawahan dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

(a)      Tokoh Aku

            Keberadaan tokoh Aku dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Semula ada perasaan tidak setuju mengapa hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Tetapi perasaan demikian lenyap ketika pengemis itu sudah berdiri di depanku. Mungkin karena shalawat itu maka tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ratusan. Atau karena ada banyak hal dapat dibaca pada wajah si pengemis itu. (Tohari, 2005:64).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh aku memberi uang selembar ratusan kepada pengemis.

Keberadaan tokoh aku juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Kukira aku masih dalam mimpi ketika kurasakan peristiwa yang hebat. Mula-mula kudengar Guntur meledak dengan suara dahsyat. Kemudian kulihat mayat-mayat beterbangan dan jatuh di sekelilingku. Mayat-mayat itu terluka dan beberapa diantaranya kelihatan sangat mengerikan. Karena merasa takut aku pun lari. Namun sebuah batu tersandung dan aku jatuh ke tanah. Mulut terasa asin dan aku meludah. Ternyata ludahku merah. Terasa ada cairan mengalir dari lubang hidungku. Ketika kuraba, cairan itu pun merah. Ya Tuhan. Tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku terluka parah. Aku terjaga dan di depanku ada malapetaka. Bus yang kutumpangi sudah terkapar di tengah sawah dan bentuknya sudah tak keruan. Di dekatnya terguling sebuah truk tangki yang tak kalah ringseknya. Dalam keadaan panik aku mencoba bangkit bergerak ke jalan raya. Namun rasa sakit memaksaku duduk kembali. Kulihat banyak kendaraan berhenti. Kudengar orang-orang merintih. Lalu samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari bangkai bus. Badannya tak tergores sedikitpun. Lelaki itu dengan tenang berjalan kembali kearah kota Cirebon. (Tohari, 2005:66).

 

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa pada saat tokoh aku mengalami kecelakaan, ia masih bisa melihat pengemis yang berjalan dengan tenang ke arah Cirebon.

Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa tokoh aku diperlukan untuk mengeksistensikan tokoh utama.

 

(b)     Tokoh Kondektur

            Keberadaan Kondektur dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jongkok dekat pintu belakang. (Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh kondektur menumpahkan kemarahannya kepada pengemis.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa tokoh kondektur diperlukan untuk mengeksistensikan tokoh utama.

 

(c)      Tokoh Sopir

Keberadaan tokoh Sopir dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

“Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya Cuma mau ngemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh.”. (Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh pengemis meminta pada kondektur agar menyuruh sopir menghentikan busnya sebentar.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa tokoh sopir diperlukan untuk mengeksistensikan tokoh utama.

Berdasarkan analisis tersebut, dismpulkan bahwa tokoh bawahan pada cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” karya Ahmad Tohari adalah tokoh aku, kondektur, dan sopir.

 

b.    Penokohan

     Penokohan dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

(1) Tokoh Pengemis

Penokohan Pengemis digambarkan pada kutipan berikut.

 

Masih banyak hal yang belum sempat aku baca ketika seorang lelaki naik ke dalam bus. Celana, baju, dan kopiahnya berwarna hitam. ... (Tohari, 2005:64).

 

Dari kutipan tersebut tokoh Pengemis digambarkan sebagai seorang yang memakai celana, baju dan kopiahnya berwarna hitam. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Selain itu, penokohan Pengemis juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Di sana aku lihat kebodohan, kepasrahan yang memperkuat penampilan kemiskinan. ... (Tohari, 2005:64-65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh pengemis menurut pandangan orang yang melihatnya adalah seorang yang bodoh, pasrah, dan miskin. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Penokohan Pengemis juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya Cuma mau ngemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh.”

(Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh pengemis adalah seorang yang rendah hati walaupun kepada orang yang telah memarahinya. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Penokohan tokoh Pengemis yang lain dapat dilihat pada kutipan berikut.

… Si pengemis yang merasa sedikit lega, bergerak memperbaiki posisinya di dekat pintu belakang. Mulutnya kembali bergumam. “…shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…”(Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa pengemis adalah seorang yang pasrah dan suka bershalawat. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Bedasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa tokoh pengemis adalah seorang yang memakai celana, baju dan kopiahnya berwarna hitam, menurut pandangan orang yang melihatnya adalah seorang yang bodoh, pasrah, dan miskin, rendah hati walaupun kepada orang yang telah memarahinya, dan suka bershalawat. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

 

(2) Tokoh Aku

Tokoh Aku digambarkan pada kutipan berikut.

 

Sementara para penumpang lain kelihatan sangat gelisah dan jengkel, aku mencoba bersikap lain. Perjalanan semacam ini sudah puluhan kali aku alami. Dari pengalaman seperti itu aku mengerti bahwa ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan karena sama sekali tidak mengatasi keadaan. Supaya jiwa dan raga tidak tersiksa, aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya dengan tenang: Sopir yang tak acuh terhadap nasib para penumpang itu, tukang-tukang asongan yang sangat berisik itu, dan lelaki yang setengah mengantuk sambil mengepulkan asap dibelakangku itu. (Tohari, 2005:64).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh Aku adalah orang yang sabar dan dapat berdamai dengan keadaan. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Penokohan  tokoh aku juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Semula ada perasaan tidak setuju mengapa hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Tetapi perasaan demikian lenyap ketika pengemis itu sudah berdiri di depanku. Mungkin karena shalawat itu maka tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ratusan. Atau karena ada banyak hal dapat dibaca pada wajah si pengemis itu. (Tohari, 2005:64).

 

Dari kutipan tersebut, diketahui bahwa tokoh aku adalah seorang yang dermawan karena mau memberi sebagian uangnya untuk pengemis. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa tokoh aku adalah seorang yang sabar, dapat berdamai dengan keadaan, dan dermawan. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

 

(3) Tokoh Kondektur

Penokohan Kondektur dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jongkok dekat pintu belakang. (Tohari, 2005:65).

      

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh kondektur adalah seorang yang pemarah. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Penokohan kondektur juga dapat dilihat dari kutipan berikut.

 

“He, sira!  kenapa kamu tidak turun? Mau jadi gembel di Jakarta? Kamu tidak tahu gembel di sana pada dibuang ke laut dijadikan rumpon?” (Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh kondektur merupakan seorang yang kurang berkeprimanusiaan karena berkata yang tidak pantas pada orang lain. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Berdasarkan kutipan tersebut, disimpulkan bahwa tokoh kondektur adalah seorang yang pemarah dan kurang berkeprimanusiaan. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

 

(4) Tokoh Sopir

Penokohan Sopir dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Suasana sungguh gerah, sangat bising dan para penumpang tak berdaya melawan keadaan yang sangat menyiksa itu. Dalam keadaan seperti itu, harapan para penumpang hanya satu; hendaknya sopir cepat datang dan bus segera bergerak kembali untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta. Namun laki-laki yang menjadi tumpuan harapan itu kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Sopir itu enak-enak bergurau dengan seorang perempuan penjual buah. (Tohari, 2005:63).

      

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa sopir adalah orang yang egois karena memikirkan kepentingannya sendiri. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Penokohan Sopir yang lain juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jongkok dekat pintu belakang. (Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa Sopir merupakan orang yang pemarah. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa tokoh sopir adalah orang yang egois dan pemarah. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

 

3.         Alur

Analisis alur dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” karya Ahmad Tohari meliputi awal, tengah, akhir.

Alur awal meliputi perkenalan tokoh, latar, dan awalan konflik, yaitu saat tokoh aku bercerita telah memasuki stasiun Cirebon tepat ketika matahari telah mencapai pucuk langit. Awalan konflik dimulai saat bus berhenti menunggu tambahan penumpang, yang dengan cepat mengubah bus menjadi pasar yang hiruk-pikuk, disusul dengan seorang lelaki tua berpakaian serba hitam yang mengemis dengan melantunkan shalawat.

Alur tengah meliputi pertikaian puncak dari konflik cerita, yaitu pada saat dua awak bus antara sopir dan kondektur bertengkar. Sopir menjalankan bus dengan gila-gilaan. Kondektur meluapkan kekesalannya pada pengemis. Dan pengemis pasrah dengan apapun yang akan dilakukan kondektur.

Alur akhir, merupakan penyelesaian dari jalannya cerita, yaitu pada saat bus mengalami kecelakaan dengan truk tangki, semua penumpang terluka parah kecuali pengemis yang masih bis keluar dari bus tanpa tergores luka sedikitpun dan terus melantunkan shalawat Badar.

Berdasarkan uraian tersebut, secara berurutan alur dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah: Bus memasuki terminal, dilanjutkan dengan pertikaian antara sopir dan kondektur, dan diakhiri dengan malapetaka kecelakaan bus dengan truk tangki.

 

4.         Latar

Analisis latar dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” karya Ahmad Tohari meliputi latar waktu, tempat, dan sosial.

 

a)        Latar Waktu

Latar waktu diketahui pada kutipan berikut.

 

Bus yang aku tumpangi masuk terminal Cirebon ketika matahari hampir mencapai pucuk langit. Terik matahari ditambah dengan panasnya mesin disel tua memanggang bus itu bersama isinya. (Tohari, 2005:63).

 

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa latar waktunya adalah pada siang hari.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa latar waktu dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah pada siang hari.

 

 

b)        Latar Tempat

Latar tempat dapat dilihat pada kutipan berikut.

Bus yang aku tumpangi masuk terminal Cirebon ketika matahari hampir mencapai pucuk langit. (Tohari, 2005:63).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa latar tempatnya adalah di terminal cirebon

Latar tempat yang lain dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Begitu bus berhenti, puluhan pedagang asongan menyerbu masuk. Bahkan beberapa diantara mereka sudah membajingloncat ketika bus masih berada di mulut terminal. Bus menjadi pasar yang sangat hiruk-pikuk. (Tohari, 2005:63).

 

Dari kutipan tersebut diketahui latar tempatnya adalah di dalam bus.

Latar tempat di dalam bus juga dapat dilihat pada kutipan berikut

 

Perhatianku terhadap si pengemis terputus oleh bunyi pintu bus yang dibanting. (Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui latar tempatnya adalah di dalam bus.

Latar tempat yang lain dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

… Bus yang kutumpangi sudah terkapar di tengah sawah dan bentuknya sudah tak keruan. Di dekatnya terguling sebuah truk tangki yang tak kalah ringseknya. Dalam keadaan panik aku mencoba bangkit bergerak ke jalan raya. Namun rasa sakit memaksaku duduk kembali. Kulihat banyak kendaraan berhenti. Kudengar orang-orang merintih. Lalu samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari bangkai bus. Badannya tak tergores sedikitpun. Lelaki itu dengan tenang berjalan kembali kearah kota Cirebon. (Tohari, 2005:66).

 

Dari kutipan tersebut diketahui latar tempatnya adalah di tengah sawah.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa latar tempat pada cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah di terminal Cirebon, di dalam bus, dan di tengah sawah.

 

c)        Latar Sosial

Latar sosial dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Bus yang aku tumpangi masuk terminal Cirebon ketika matahari hampir mencapai pucuk langit. Terik matahari ditambah dengan panasnya mesin disel tua memanggang bus itu bersama isinya. Untung tak begitu penuh sehingga sesama penumpang tak perlu bersinggungan badan. Namun dari sebelah kiriku bertiup bau keringat melalui udara yang dialirkan dengan kipas Koran. Dari belakang terus-menerus mengepul asap rokok dari mulut seorang lelaki setengah mengantuk. (Tohari, 2005:63).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa latar sosialnya adalah keaadaan yang tidak enak di dalam bus.

Latar sosial yang lain juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Shalawat itu terus mengalun dan terdengar makin jelas karena tak ada lagi suara kondektur. Para penumpang membisu dan terlena dalam pikiran masing-masing. Aku pun mulai mengantuk sehingga lama-lama aku tak bisa membedakan mana suara shalawat dan mana derum mesin diesel. Boleh jadi aku sudah berada di alam mimpi dan di sana kulihat ribuan orang membaca shalawat. Anehnya, mereka yang berjumlah banyak sekali itu memiliki rupa yang sama. Mereka semuanya mirip sekali dengan pengemis yang naik dalam bus yang kutumpangi di terminal Cirebon. Dan dalam mimpi pun aku berpendapat bahwa mereka bisa menghafal teks shalawat itu dengan sempurna karena mereka sering mendatangi ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup di dunia maupun di akhirat. Dan dari ceramah-ceramh seperti itu mereka hanya memperoleh hafalan yang untungnya boleh dipakai modal menadahkan tangan. (Tohari, 2005:65-66).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa latar sosialnya adalah rasa ngantuk yang melanda setiap penumpang bus.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa latar sosial pada cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah keaadaan yang tidak enak di dalam bus dan rasa ngantuk yang melanda setiap penumpang bus.

 

5.         Amanat

Amanat atau pesan moral dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Masih banyak hal yang belum sempat aku baca ketika seorang lelaki naik ke dalam bus. Celana, baju, dan kopiahnya berwarna hitam. Dia naik dari pintu depan. Begitu naik lelaki itu mengucapkan salam dengan fasih. Kemudian dari mulutnya mengalir Shalawat Badar dalam suara yang bening. Dan tanganya menengadah. Lelaki itu mengemis. Aku membaca tentang pengemis ini dengan perasaan yang sangat dalam. Aku dengarkan baik-baik Shalawatnya. Ya, persis. Aku pun sering membaca shalawat seperti itu terutama dalam pengajian-pengajian umum atau rapat-rapat. Sekarang kulihat dan kudengar sendiri ada lelaki membaca shalawat badar untuk mengemis. (Tohari, 2005:64).

 

Dari kutipan tersebut tergambar amanat pesan moral 1) religius dengan mengucapkan salam dan melantunkan shalawat.

Pesan moral 1) religius juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Di sana aku lihat kebodohan, kepasrahan yang memperkuat penampilan kemiskinan. Wajah-wajah seperti itu sangat kuhafal karena selalu hadir mewarnai pengajian yang sering diawali dengan Shalawat Badar. Ya. Jejak-jejak pengajian dan ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup ada bebrbekas pada wajah pengemis itu. Lalu mengapa dari pengajian yang sering didatanginya ia hanya bisa menghafal Shalawat Badar dan kini menggunakannya untuk mengemis? Ah, kukira ada yang tak beres. Ada yang salah. Sayangnya, aku tak begitu tega menyalahkan pengemis yang terus membaca shalawat itu. (Tohari, 2005:64-65).

 

Dari kutipan tersebut tergambar pesan moral 1) religius dengan menceritakan pengajian dan ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup.

Pesan moral yang lain, digambarkan pada kutipan berikut.

 

Semula ada perasaan tidak setuju mengapa hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Tetapi perasaan demikian lenyap ketika pengemis itu sudah berdiri di depanku. Mungkin karena shalawat itu maka tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ratusan. Atau karena ada banyak hal dapat dibaca pada wajah si pengemis itu. (Tohari, 2005:64).

 

Dari kutipan tersebut tergambar pesan moral 2) sikap baik karena tokoh aku mau memberikan sebagian uangnya untuk pengemis.

Pesan moral yang lain juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

”Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya Cuma mau ngemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh.” (Tohari, 2005:65).

 

                 Dari kutipan tersebut terlihat pesan moral 3) kerendahan hati, seorang pengemis yang menerima saat sedang dimarahi orang lain.

       Pesan moral 3) kerendahan hati juga digambarkan pada kutipan berikut.

 

Kondektur kehabisan kata-kata. Dipandangnya pengemis itu seperti ia hendak menelannya bulat-bulat. Yang dipandang pasrah. Dia tampaknya rela diperlakukan sebagai apa saja asal tidak didorong keluar dari bus yang melaju makin cepat. Kondektur berlalu sambil bersungut. Si pengemis yang merasa sedikit lega, bergerak memperbaiki posisinya di dekat pintu belakang. Mulutnya kembali bergumam. “…shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…”(Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut tergambar sikap 3) kerendahan hati tokoh Pengemis yang pasrah dengan keadaan apa yang sedang diterimanya.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa amanat pesan moral yang terdapat pada cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah pesan moral 1) religius, 2) sikap baik, dan 3) kerendahan hati.

 

6.         Gaya Bahasa

Mengenai gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar”, dapat dilihat di sebagian besar teks cerpen tersebut. Misalnya pada kutipan :

 

Suasana sungguh gerah, sangat bising dan para penumpang tak berdaya melawan keadaan yang sangat menyiksa itu. Dalam keadaan seperti itu, harapan para penumpang hanya satu; hendaknya sopir cepat datang dan bus segera bergerak kembali untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta. Namun laki-laki yang menjadi tumpuan harapan itu kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Sopir itu enak-enak bergurau dengan seorang perempuan penjual buah. (Tohari, 2005:63).

 

                 Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa yang digunakan adalah model bahasa seperti lazimnya orang bercerita.

                 Gaya bahasa yang lain dapat dilihat pada kutipan:

 

Shalawat itu terus mengalun dan terdengar makin jelas karena tak ada lagi suara kondektur. Para penumpang membisu dan terlena dalam pikiran masing-masing. Aku pun mulai mengantuk sehingga lama-lama aku tak bisa membedakan mana suara shalawat dan mana derum mesin diesel. Boleh jadi aku sudah berada di alam mimpi dan di sana kulihat ribuan orang membaca shalawat. Anehnya, mereka yang berjumlah banyak sekali itu memiliki rupa yang sama. Mereka semuanya mirip sekali dengan pengemis yang naik dalam bus yang kutumpangi di terminal Cirebon. Dan dalam mimpi pun aku berpendapat bahwa mereka bisa menghafal teks shalawat itu dengan sempurna karena mereka sering mendatangi ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup di dunia maupun di akhirat. Dan dari ceramah-ceramh seperti itu mereka hanya memperoleh hafalan yang untungnya boleh dipakai modal menadahkan tangan. (Tohari, 2005:65-66).

                

                 Dari kutipan tersebut pun, pengarang masih eksis dengan model gaya bahasa yang wajar digunakan untuk menceritakan sebuah kisah. Ditambah lagi dengan penggunaan preposisi “aku” “ku” memperkuat kesan bahwa gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa yang santai, langsung bercerita pada poin yang ingin disampaikan.

                 Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa gaya bahasa yang digunakan pengarang adalah model gaya bahasa santai dan bercerita langsung pada poin yang ingin disampaikan.

 

E.        SIMPULAN

Simpulan dalam penelitian pendekatan objektif dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah.

1.      Tema dari cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah pentingya membaca shalawat.

2.      Tokoh-tokohnya meliputi, tokoh utama: pengemis, tokoh bawahan: aku, sopir, kondektur.

Penokohannya: 1) pengemis : seorang yang memakai celana, baju dan kopiahnya berwarna hitam, menurut pandangan orang yang melihatnya adalah seorang yang bodoh, pasrah, dan miskin, rendah hati walaupun kepada orang yang telah memarahinya, dan suka bershalawat. 2) aku : seorang yang sabar, dapat berdamai dengan keadaan, dan dermawan. 3) kondektur : adalah seorang yang pemarah dan kurang berkeprimanusiaan. 4) sopir : adalah orang yang egois dan pemarah.

3.      Alurnya adalah: Bus memasuki terminal dilanjutkan dengan pertikaian antara sopir dan kondektur dan diakhiri dengan malapetaka kecelakaan bus dengan truk tangki.

4.      Latar waktu : siang hari. Latar tempat : di terminal Cirebon, di dalam bus, dan di tengah sawah. Latar sosial : keaadaan yang tidak enak di dalam bus dan rasa ngantuk yang melanda setiap penumpang bus.

5.      Amanat atau pesan moral yang terdapat pada cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah pesan moral 1) religius, 2) sikap baik, dan 3) kerendahan hati.

6.      Gaya bahasanya santai dan bercerita langsung pada poin yang ingin disampaikan.

 

F.        DAFTAR PUSTAKA

 

Harjito. 2007. Melek Sastra. Semarang: IKIP PGRI Semarang Press.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada Press.

Nuryatin, Agus. 2010. Mengabdikan Pengalaman dalam Cerpen. Semarang: Yayasan  Adhigama

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tohari, Ahmad. 2005. Senyum Karyamin.Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utam