2020-10-01

Pendekatan Objektif Dalam Cerpen Pengemis dan Shalawat Badar Karya Ahmad Tohari

 

A.    PENDAHULUAN

Pendekatan merupakan cara-cara menghampiri objek. Tujuan pendekatan adalah sebagai pengakuan terhadap hakikat ilmiah objek ilmu pengetahuan itu sendiri. Pendekatan dalam karya sastra menurut Abrams melalui Teeuw (1984: 50) mengungkapkan ada empat macam pendekatan terhadap karya sastra, yaitu: objektif, mimetik, pragmatik, dan ekspresif.

Menurut Ratna (2011:73), pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apapun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri. Pendekatan objektif memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur, yang dikenal dengan analisis intrinsik. Dengan pendekatan objektif, karya satra dianggap sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, lepas dari hal yang berada di luar unsur intrinsik. Konsekuensi yang ditimbukan dari pendekatan objektif adalh menolah segala unsur ektrinsik seperti aspek ekonomi, sosial, politik, dan unsur-unsur yang lainnya. Walaupun antara unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik sama-sama berperan dalam membangun karya sastra, namun dengan pendekatan objektif, unsur yang diteliti hanyalah unsur intrinsik.

Mengenai unsur intrinsik karya sastra, khususnya dalam prosa yang meliputi: novel, cerpen, cerbung, agaknya para ahli sastra belum ada kesepakatan mengenai bagian apa saja yang harus dianalisis dalam unsur intrinsik tersebut. Menurut Ratna (2011:93), unsur intrinsik prosa meliputi: tema, peristwa atau kejadian, latar atau setting, penokohan tau perwatakan, alur atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa. Menurut Saad dalam Lukman Ali (1967:116-120), unsur intriksik prosa meliputi: Tokoh, alur, latar, dan pusat pengisahan. Menurut Harjito (2007:2-11), intrinsik prosa meliputi: tema, tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran, latar dan pelataran, dan pusat pengisahan.

Masih mengenai bagian dari unsur intrinsik prosa, menurut  Endraswara (2008:52) meliputi: ide, tema, plot, latar, watak, tokoh, gaya bahasa. Menurut Nuryatin (2010:4) unsur intrinsik cerpen mencakup: tema, penokohan, alur, latar, pusat pengisahan/sudut pandang, dan gaya cerita. Dari berbagai pendapat para pakar ilmu sastra tersebut, disimpulkan secara garis besar unsur intrinsik cerpen adalah: tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, amanat, dan gaya bahasa.

Cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” merupakan judul cerpen penutup dari kumpulan cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari. Alasan pemilihan cerpen tersebut adalah karena dipandang pengarang cerpen tersebut sudah sangat terkenalnya. Ahmad Tohari memiliki tiga kumpulan cerpen, pertama Senyum Karyamin (1989), kedua Nyanyian Malam (2000), dan ketiga Rusmi Ingin Pulang (2004). Tahun 2010 Ahmad Tohari mendapat anugerah sastra yang diberikan oleh Budiono Wakil Presiden RI pada Pekan Produk Kreatif Indonesia. Dan ia dianugerahi PWI Jateng Award 2012 karena karya-karya sastranya yang dinilai mampu menggugah dunia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua orang yang penyuka atau penikmat sastra Indonesia, pasti mengenal Ahmad Tohari-minimal mengenal karya-karyanya.

 

B.     RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah analisis karya sastra dengan pendekatan objektif pada cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar”?


C.     TEORI

1.    Tema

Nuryatin (2010:4), mengatakan  “tema adalah ide sentral sebuah cerita. Tema cerpen ialah dasar cerita, yaitu konsep atau  ide atau gagasan yang menjadi dasar diciptakannya sebuah cerita”.

“Cerpen harus mempunyai tema atau dasar. Dengan dasar itu pengarang dapat melukiskan watak-watak dari orang yang diceritakan dalam cerpen itu dengan maksud yang tertentu, demikian juga segala kejadian  yang dirangkaikan berputar kepada dasar itu”, demikian yang dikatakan Lubis dalam Nuryatin (2010:4).

Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Nurgiyantoro (2010:25), tema adalah sesuatu yang menjdi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, dan sebagaianya.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka disimpulkan bahwa tema adalah sesuatu hal dari karya sastra yang menjadi dasar penceritaan dan dasar diciptakaanya karya sastra itu.

Harjito (2007:4) mengatakan “tema ada 2 macam, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor yaitu tema yang menguasai seluruh cerita. Tema minor merupakan tema-tema tambahan atau sampingan dari tema mayor.

Untuk dapat menemukan tema, langkah-langkah yang perlu dilakukan menurut Saad dalam Harjito (2007:3) adalah.

a.    Melihat persoalan mana yang paling menonjol.

b.    Secara kuantitatif, persoalan mana yang paling banyak menimbulkankonflik yaitu konflik yang melahirkan peristiwa-peristiwa.

c.    Menentukan (menghitung) waktu penceritaan, yakni waktu yang diperlukan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa atau tokoh – tokoh di dalam sebuah karya sastra sehubungan dengan persoalan yang bersangkutan.

 

2.    Tokoh dan Penokohan

“Tokoh ialah pelaku rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan di pelbagai peristiwa” (Harjito, 2007:4).

Abrams dalam Nurgiyantoro (2010:165), mengatakan “tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan”.

Sejalan dengan pendapat tesebut Nuryatin (2010:7), mengatakan  “tokoh adalah pelaku yang dikisahkan perjalanan hidupnya dalam cerita fiksi lewat alur baik sebagai pelaku maupun penderita berbagai peristiwa yang diceritakan”.

Berdasarkan pendapat- pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah seluruh pelaku yang diceritakan dalam sebuah cerita fiksi.

Penokohan menurut Lubis dalam Nuryatin (2010:8) ialah gambaran rupa atau watak lakon. Masih dalam Nuryatin (2010:8), menurut Yudiono penokohan adalah cara menampilkan tokoh-tokoh. Sejalan dengan pendapat tersebut, menurut Jones dalam Nurgiyantoro (2010:165), mengatakan “penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita”. Dari pendapat-pendapat tersebut, disimpulkan bahwa penokohan adalah cara penampilan atau pelukisan mengenai tokoh-tokoh di dalam cerita.

Pelukisan tokoh tersebut bisa secara analitik maupun dramatik. Harjito (2007:6) menyebutkan bahwa penokohan seperti berikut.

Penokohan secara umum ada dua cara yaitu analitik dan dramatik. Disebut analitik kalau pengarangnya menyebut watak dan perangai sang tokoh secara langsung apa adanya atau secara tersurat. Disebut cara dramatik bila pembaca mesti menyimpulkan sendiri bagaimana sifat sang tokoh. Pembaca mesti menyimpulkan sendiri karena pengarang yang menyebutkan secara tersirat mengenai perangai sang tokoh.

Berdasarkan pendapat tersebut, disimpulkan bahwa pelukisan tokoh secara analitik adalah apabila pengarang menggambarkan sifat tokoh secara tersurat di dalam teks. Sedangkan pelukisan tokoh secara dramatik adalah apabila pengarang hanya menggambarkan sifat tokoh dalam cerita secara tersirat, yaitu tidak tertulis dalam teks cerita.

 

3.    Alur

Alur ialah peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain, demikian yang dikemukakan Luxemburg dalam Harjito (1986:8).

Menurut Santosa dan Wahyuningtyas (2010:4), secara sederhana alur dapat didefinisikan sebagai sebuah rangkaian cerita dalam cerpen yang menunjukkan hubungan sebab akibat.

Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Nuryatin (2010:10), “alur adalah sambung sinambung peristiwa berdasarkan hukum sebab akibat. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi juga menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Dengan sambung sinambungnya peristiwa ini terjadilah sebuah cerita”.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dismpulkan bahwa alur adalah rangkaian sambung sinambung cerita yang menunjukkan peralihan dari satu keadaan ke keadaan lain.

Nurgiyantoro (2010:116), mengatakan ”peristiwa, konflik, dan klimaks merupakan tiga unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah alur/plot cerita”.

Berdasarkan hukum Aristoteles, dalam Nuryatin (2010:10), “sebuah alur/plot  terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap awal (beginning), tahap tengah, (middle) dan tahap akhir(end)”.

Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Nuryatin (2010:10), pada tahap awal cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan, berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya, khususunya berkaitan dengan pelataran dan penokohan, serta konflik yang melibatkan tokoh. Selanjutnya tahap tengah disebut juga tahap pertikaian, menampilkan konflik yang sudah mulai dibangun pada tahap awal, konflik menjadi semakin meningkat sampai klimaks atau puncak. Tahap akhir disebut juga tahap peleraian, yaitu menampilkan adegan tertentu yang merupakan penyelesaian dari konflik yang terjadi pada klimaks.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, disimpulkan bahwa alur memiliki tiga tahap, (1) awal, meliputi perkenalan tokoh, latar, dan awalan konflik dalam cerita; (2) tengah, meliputi pertikaian puncak dari konflik cerita; (3) akhir, merupakan penyelesaian dari jalannya cerita.

 

4.    Latar

Harjito (2007:10), mengatakan “latar adalah segala petunjuk, keterangan, acuan yang berkait dengan waktu, ruang, suasana terjadinya peristiwa”.

Menurut Nurgiyantoro (2010:227), “unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial”.

Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Nuryatin (2010:13), Latar adalah gambaran tentang tempat, waktu atau masa, dan kondisi socialterjadinya cerita. Itu berarti bahwa latar terdiri atas latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. (1) latar tempat, menunjuk pada tempat atau lokasi terjadinya cerita, (2) latar waktu atau masa menunjuk pada kapan atau bilamana cerita itu terjadi, dan (3) latar sosial menunjuk pada kondisi sosial yang melingkupi terjadinya cerita.

Berdasarkan pendapat tersebut, disimpulkan bahwa latar dalam cerita memiliki tiga jenis, (1) latar tempat, adalah bagian cerita yang menunjukkan tempat terjadinya peristiwa; (2) latar waktu, adalah bagian cerita yang menunjukkan waktu terjadinya peristiwa; (3) latar sosial, adalah bagian cerita yang menunjukkan keadaan sosial yang terjadi  di dalam peristiwa.

 

 

5.    Amanat

Nuryatin (2010:5), mengatakan “amanat dapat diartikan sebagai pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca”.

Menurut Sudjiman dalam Harjito (2007:4), “amanat merupakan ajaran moral atau pesan yang disampaikan pengarang di dalam karya sastra”.

Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Nurgiyantoro (2010:321), “moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat, pesan, message. Bahkan, unsur amanat itu, sebenarnya, merupakan gagasan yang mendasari penulisan karya itu, gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan”.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka disimpulkan bahwa amanat adalah pesan berupa ajaran moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Pesan berupa ajaran moral meliputi: 1) Religius, 2) sikap baik, 3) keadilan, 4) kejujuran, dan 5) kerendahan hati

Penyampaian amanat bisa dilakukan pegarang secara tersurat maupun tersirat. Yaitu sejalan dengan pendapat Nuryatin (2010:5), cara pertama amanat disampaikan secara tersurat. maksudnya pesan yang hendak disampaikan oleh penulis ditulis secara langsung di dalam cerpen. Biasanya diletakkan pada bagian akhir cerpen, dalam hal ini pembaca dapat langsung mengetahui pesan yang disampaikan oleh penulis. Cara yang kedua adalah amanat disampaiakan secara tersirat, maksudnya pesan tidak dituliskan secara langsung di dalam teks cerpen, melainkan disampaikan melalui unsur-unsur cerpen. Pembaca diharapkan dapat menyimpulkan sendiri pesan yang terkandung di dalam cerpen  yang dibacanya.

 

6.    Gaya Bahasa

Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2010: 276) gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Sejalan dengan pendapat tersebut, menurut Nurgiyantoro (2010:276), gaya bahasa ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain. Menurut Endraswara (2008:75), Gaya bahasa adalah bahasa yang telah dicipta dan bahkan direkayasa untuk mewakili ide sastrawan.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah pilihan kata yang digunakan sastrawan atau pengarang untuk menuangkan ide dalam karya sastra.

 

D.    PEMBAHASAN

1.         Tema

Dalam cerpen ini diceritakan tokoh pengemis yang mengemis dengan melantunkan Shalawat Badar. Untuk menentukan tema cerpen dilakukan dengan cara a) persoalan yang paling menonjol, b) persoalan yang paling banyak menimbulkan konflik, c) persoalan yang banyak memerlukan waktu penceritaan.

 

a.         Persoalan yang Paling Menonjol

       Persoalan yang paling menonjol dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Suasana sungguh gerah, sangat bising dan para penumpang tak berdaya melawan keadaan yang sangat menyiksa itu. Dalam keadaan seperti itu, harapan para penumpang hanya satu; hendaknya sopir cepat datang dan bus segera bergerak kembali untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta. Namun laki-laki yang menjadi tumpuan harapan itu kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Sopir itu enak-enak bergurau dengan seorang perempuan penjual buah. (Tohari, 2005:63).

 

Dari kutipan tersebut, diketahui bahwa persoalan yang paling menonjol adalah keadaan yang sangat menyiksa yang sedang dialami penumpang.

Persoalan yang paling menonjol lainnya dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Kukira aku masih dalam mimpi ketika kurasakan peristiwa yang hebat. Mula-mula kudengar Guntur meledak dengan suara dahsyat. Kemudian kulihat mayat-mayat beterbangan dan jatuh di sekelilingku. Mayat-mayat itu terluka dan beberapa diantaranya kelihatan sangat mengerikan. Karena merasa takut aku pun lari. Namun sebuah batu tersandung dan aku jatuh ke tanah. Mulut terasa asin dan aku meludah. Ternyata ludahku merah. Terasa ada cairan mengalir dari lubang hidungku. Ketika kuraba, cairan itu pun merah. Ya Tuhan. Tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku terluka parah. Aku terjaga dan di depanku ada malapetaka. Bus yang kutumpangi sudah terkapar di tengah sawah dan bentuknya sudah tak keruan. Di dekatnya terguling sebuah truk tangki yang tak kalah ringseknya. Dalam keadaan panik aku mencoba bangkit bergerak ke jalan raya. Namun rasa sakit memaksaku duduk kembali. Kulihat banyak kendaraan berhenti. Kudengar orang-orang merintih. Lalu samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari bangkai bus. Badannya tak tergores sedikitpun. Lelaki itu dengan tenang berjalan kembali kearah kota Cirebon. (Tohari, 2005:66).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa persoalan yang paling menonjol adalah pentingnya membaca shalawat untuk keselamatan diri.

Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa persoalan yang paling menonjol dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah keadaan tersiksa yang dialami penumpang dan pentingnya membaca shalawat untuk keselamatan diri.

 

b.        Persoalan yang Menimbulkan Konflik

Persoalan yang menimbulkan konflik dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Begitu bus berhenti, puluhan pedagang asongan menyerbu masuk. Bahkan beberapa diantara mereka sudah membajingloncat ketika bus masih berada di mulut terminal. Bus menjadi pasar yang sangat hiruk-pikuk. Celakanya, mesin bus tidak dimatikan dan sopir melompat turun begitu saja. Dan para pedagang asongan itu menawarkan dagangan dengan suara melengking aagar bisa mengatasi derum mesin. Mereka menyodor-nyodorkan dagangan, bila perlu sampai dekat sekali ke mata para penumpang. Kemudian mereka mengeluh ketika mendapati tak seorang pun mau berbelanja. Seorang diantara mereka malah mengutuk dengan mengatakan para penumpang adalah manusia-manusia kikir, atau manusia-manusia yang tak punya duit. (Tohari, 2005:63).

 

Berdasarkan kutipan tersebut, diketahui bahwa persoalan yang menimbulkan konflik adalah bus yang berhenti mengundang puluhan pedagang asongan untuk menyerbu masuk dan membuat penumpang bus semakin tidak enak.

Persoalan yang menimbulkan konflik juga terdapat pada kutipan berikut.

 

Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jongkok dekat pintu belakang. (Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa persoalan yang menimbulkan konflik adalah sopir menjalankan bus dengan gila-gilaan dan kondektur menumpahkan kemarahannya kepada pengemis.

Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa persoalan yang menimbulkan konflik adalah bus yang berhenti membuat penumpang merasa tidak nyaman, sopir yang marah dan menjalankan bus dengan gila-gilaan, dan Kondektur yang menumpahkan kemarahannya kepada pengemis.

 

c.         Persoalan yang Banyak Memerlukan Waktu Penceritaan

Persoaalan yang banyak memerlukan waktu penceritaan dapat dilihat dari kutipan berikut.

 

Sementara para penumpang lain kelihatan sangat gelisah dan jengkel, aku mencoba bersikap lain. Perjalanan semacam ini sudah puluhan kali aku alami. Dari pengalaman seperti itu aku mengerti bahwa ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan karena sama sekali tidak mengatasi keadaan. Supaya jiwa dan raga tidak tersiksa, aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya dengan tenang: Sopir yang tak acuh terhadap nasib para penumpang itu, tukang-tukang asongan yang sangat berisik itu, dan lelaki yang setengah mengantuk sambil mengepulkan asap dibelakangku itu. (Tohari, 2005:64).

      

Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa persoaalan yang banyak memerlukan waktu penceritaan adalah para penumpang sangat gelisah dan jengkel dengan berhentinya bus yang ditumpangi.

Persoalan yang banyak memerlukan waktu penceritaan juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

“He, sira!  kenapa kamu tidak turun? Mau jadi gembel di Jakarta?Kamu tidak tahu gembel di sana pada dibuang ke laut dijadikan rumpon?”

Pengemis itu diam saja.

“Turun!”

Sira beli mikir? Bus cepat seperti ini aku harus turun?”

“Tadi siapa suruh kamu naik?”

“Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya Cuma mau ngemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh.”

Kondektur kehabisan kata-kata. Dipandangnya pengemis itu seperti ia hendak menelannya bulat-bulat. Yang dipandang pasrah. Dia tampaknya rela diperlakukan sebagai apa saja asal tidak didorong keluar dari bus yang melaju makin cepat. Kondektur berlalu sambil bersungut. Si pengemis yang merasa sedikit lega, bergerak memperbaiki posisinya di dekat pintu belakang. Mulutnya kembali bergumam. “…shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…”.

(Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa persoalan yang banyak memerlukan waktu penceritaan adalah kondektur yang memarahi pengemis yang mengemis dengan bershalawat karena tidak segera turun dari bus.

Persoalan yang banyak memerlukan waktu penceritaan juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Kukira aku masih dalam mimpi ketika kurasakan peristiwa yang hebat. Mula-mula kudengar Guntur meledak dengan suara dahsyat. Kemudian kulihat mayat-mayat beterbangan dan jatuh di sekelilingku. Mayat-mayat itu terluka dan beberapa diantaranya kelihatan sangat mengerikan. Karena merasa takut aku pun lari. Namun sebuah batu tersandung dan aku jatuh ke tanah. Mulut terasa asin dan aku meludah. Ternyata ludahku merah. Terasa ada cairan mengalir dari lubang hidungku. Ketika kuraba, cairan itu pun merah. Ya Tuhan. Tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku terluka parah. Aku terjaga dan di depanku ada malapetaka. Bus yang kutumpangi sudah terkapar di tengah sawah dan bentuknya sudah tak keruan. Di dekatnya terguling sebuah truk tangki yang tak kalah ringseknya. Dalam keadaan panik aku mencoba bangkit bergerak ke jalan raya. Namun rasa sakit memaksaku duduk kembali. Kulihat banyak kendaraan berhenti. Kudengar orang-orang merintih. Lalu samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari bangkai bus. Badannya tak tergores sedikitpun. Lelaki itu dengan tenang berjalan kembali kearah kota Cirebon.

Telingaku dengan gamblang mendengar suara lelaki yang terus berjalan dengan tenang kearah timur itu: “shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…

(Tohari, 2005:66).

 

Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa persoaalan yang banyak memerlukan waktu penceritaan adalah betapa pentingnya membaca shalawat agar selalu mendapat keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa.

 

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa tema dari cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah pentingya membaca shalawat.

 

2.         Tokoh dan Penokohan

a.    Tokoh

1)   Tokoh Utama

     Tokoh utama ditentukan dengan cara melihat (a) intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita yang sering muncul dan (b) tokoh yang banyak berhubungan dengan tokoh lain melalui petunjuk yang diberikan pengarang.

 

a)        Intensitas Keterlibatan Tokoh dalam Peristiwa

Intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa diketahui pada kutipan berikut.

 

Masih banyak hal yang belum sempat aku baca ketika seorang lelaki naik ke dalam bus. Celana, baju, dan kopiahnya berwarna hitam. Dia naik dari pintu depan. Begitu naik lelaki itu mengucapkan salam dengan fasih. Kemudian dari mulutnya mengalir Shalawat Badar dalam suara yang bening. Dan tanganya menengadah. Lelaki itu mengemis. Aku membaca tentang pengemis ini dengan perasaan yang sangat dalam. Aku dengarkan baik-baik Shalawatnya. Ya, persis. Aku pun sering membaca shalawat seperti itu terutama dalam pengajian-pengajian umum atau rapat-rapat. Sekarang kulihat dan kudengar sendiri ada lelaki membaca shalawat badar untuk mengemis. (Tohari, 2005:64).

 

Dari kutipan tersebut dijelaskan bahwa tokoh yang memiliki intensitas keterlibatan dalam peristiwa adalah pengemis.

Selain itu, intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa diketahui pada kutipan berikut.

 

Perhatianku terhadap si pengemis terputus oleh bunyi pintu bus yang dibanting. Kulihat sopir sudah duduk di belakang kemudi. Kondektur melompat masuk dan berteriak kepada sopir. Teriakannya ditelan oleh bunyi mesin disen yang meraung-raung. Kudengar kedua awak bus itu bertengkar. Kondektur tampaknya enggan melayani bus yang tidak penuh, sementara sopir sudah bosan menunggu tambahan penumpang yang ternyata tak kunjung datang. Mereka terus bertengakar melalui kata-kata yang tak sedap didengar. Dan bus terus melaju meninggalkan terminal Cirebon. (Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut dijelaskan bahwa tokoh yang memiliki intensitas keterlibatan dalam peristiwa adalah pengemis.

Selain itu, intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa diketahui pada kutipan berikut.

 

Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jongkok dekat pintu belakang. (Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut dijelaskan bahwa tokoh yang memiliki intensitas keterlibatan dalam peristiwa adalah pengemis.

 

Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa tokoh yang mempunyai intensitas keterlibatan dalam peristiwa adalah pengemis

 

b)        Tokoh yang Banyak Berhubungan dengan Tokoh Lain

Tokoh yang banyak berhubungan dengan tokoh lain dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

(1)  Tokoh Pengemis berhubungan dengan tokoh aku

Tokoh Pengemis berhubungan dengan tokoh aku dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Semula ada perasaan tidak setuju mengapa hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Tetapi perasaan demikian lenyap ketika pengemis itu sudah berdiri di depanku. Mungkin karena shalawat itu maka tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ratusan. Atau karena ada banyak hal dapat dibaca pada wajah si pengemis itu. (Tohari, 2005:64).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh pengemis mendatangi tokoh aku untuk mengemis.

Selain itu, hubungan tokoh pengemis dengan tokoh aku dapat dilihat dari kutipan berikut.

 

Di sana aku lihat kebodohan, kepasrahan yang memperkuat penampilan kemiskinan. Wajah-wajah seperti itu sangat kuhafal karena selalu hadir mewarnai pengajian yang sering diawali dengan Shalawat Badar. Ya. Jejak-jejak pengajian dan ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup ada berbekas pada wajah pengemis itu. Lalu mengapa dari pengajian yang sering didatanginya ia hanya bisa menghafal Shalawat Badar dan kini menggunakannya untuk mengemis? Ah, kukira ada yang tak beres. Ada yang salah. Sayangnya, aku tak begitu tega menyalahkan pengemis yang terus membaca shalawat itu. (Tohari, 2005:64-65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh aku berusaha melihat keadaan pengemis.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa tokoh Pengemis berhubungan dengan tokoh aku

 

(2)  Tokoh Pengemis berhubungan dengan Kendektur

Tokoh Pengemis berhubungan dengan Kondektur dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jongkok dekat pintu belakang.

“He, sira!  kenapa kamu tidak turun? Mau jadi gembel di Jakarta? Kamu tidak tahu gembel di sana pada dibuang ke laut dijadikan rumpon?”

(Tohari, 2005:65).

      

Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh pengemis dimarahi oleh tokoh kondektur karena tidak turun.

Selain itu, hubungan tokoh Pengemis dengan Kondektur dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Kondektur kehabisan kata-kata. Dipandangnya pengemis itu seperti ia hendak menelannya bulat-bulat. Yang dipandang pasrah. Dia tampaknya rela diperlakukan sebagai apa saja asal tidak didorong keluar dari bus yang melaju makin cepat. Kondektur berlalu sambil bersungut. Si pengemis yang merasa sedikit lega, bergerak memperbaiki posisinya di dekat pintu belakang. Mulutnya kembali bergumam. “…shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…”(Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut, diketahui bahwa tokoh kondektur memandang pengemis seperti hendak menelannya bulat-bulat.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpukan bahwa tokoh pengemis berhubungan dengan tokoh kondektur.

 

(3)  Tokoh Pengemis berhubungan dengan Sopir

Tokoh Pengemis berhubungan dengan sopir dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

“Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya Cuma mau ngemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh.” (Tohari, 2005:65).

 

Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh pengemis meminta kondektur untuk bilang kepada sopir agar memberhentikan sebentar busnya.

Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa tokoh pengemis berhubungan dengan tokoh sopir.

Jadi tokoh yang banyak berhubungan dengan tokoh lain adalah Pengemis.

Berdasarkan analisis tersebut, disimpulkan pula bahwa tokoh utama dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah Pengemis, karena Ia adalah tokoh yang berhubungan dengan (1) Tokoh aku, (2) Kondektur, dan (3) Sopir.

 

 

2)   Tokoh Bawahan

Tokoh bawahan dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

(a)      Tokoh Aku

            Keberadaan tokoh Aku dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Semula ada perasaan tidak setuju mengapa hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Tetapi perasaan demikian lenyap ketika pengemis itu sudah berdiri di depanku. Mungkin karena shalawat itu maka tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ratusan. Atau karena ada banyak hal dapat dibaca pada wajah si pengemis itu. (Tohari, 2005:64).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh aku memberi uang selembar ratusan kepada pengemis.

Keberadaan tokoh aku juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Kukira aku masih dalam mimpi ketika kurasakan peristiwa yang hebat. Mula-mula kudengar Guntur meledak dengan suara dahsyat. Kemudian kulihat mayat-mayat beterbangan dan jatuh di sekelilingku. Mayat-mayat itu terluka dan beberapa diantaranya kelihatan sangat mengerikan. Karena merasa takut aku pun lari. Namun sebuah batu tersandung dan aku jatuh ke tanah. Mulut terasa asin dan aku meludah. Ternyata ludahku merah. Terasa ada cairan mengalir dari lubang hidungku. Ketika kuraba, cairan itu pun merah. Ya Tuhan. Tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku terluka parah. Aku terjaga dan di depanku ada malapetaka. Bus yang kutumpangi sudah terkapar di tengah sawah dan bentuknya sudah tak keruan. Di dekatnya terguling sebuah truk tangki yang tak kalah ringseknya. Dalam keadaan panik aku mencoba bangkit bergerak ke jalan raya. Namun rasa sakit memaksaku duduk kembali. Kulihat banyak kendaraan berhenti. Kudengar orang-orang merintih. Lalu samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari bangkai bus. Badannya tak tergores sedikitpun. Lelaki itu dengan tenang berjalan kembali kearah kota Cirebon. (Tohari, 2005:66).

 

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa pada saat tokoh aku mengalami kecelakaan, ia masih bisa melihat pengemis yang berjalan dengan tenang ke arah Cirebon.

Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa tokoh aku diperlukan untuk mengeksistensikan tokoh utama.

 

(b)     Tokoh Kondektur

            Keberadaan Kondektur dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jongkok dekat pintu belakang. (Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh kondektur menumpahkan kemarahannya kepada pengemis.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa tokoh kondektur diperlukan untuk mengeksistensikan tokoh utama.

 

(c)      Tokoh Sopir

Keberadaan tokoh Sopir dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

“Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya Cuma mau ngemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh.”. (Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh pengemis meminta pada kondektur agar menyuruh sopir menghentikan busnya sebentar.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa tokoh sopir diperlukan untuk mengeksistensikan tokoh utama.

Berdasarkan analisis tersebut, dismpulkan bahwa tokoh bawahan pada cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” karya Ahmad Tohari adalah tokoh aku, kondektur, dan sopir.

 

b.    Penokohan

     Penokohan dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

(1) Tokoh Pengemis

Penokohan Pengemis digambarkan pada kutipan berikut.

 

Masih banyak hal yang belum sempat aku baca ketika seorang lelaki naik ke dalam bus. Celana, baju, dan kopiahnya berwarna hitam. ... (Tohari, 2005:64).

 

Dari kutipan tersebut tokoh Pengemis digambarkan sebagai seorang yang memakai celana, baju dan kopiahnya berwarna hitam. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Selain itu, penokohan Pengemis juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Di sana aku lihat kebodohan, kepasrahan yang memperkuat penampilan kemiskinan. ... (Tohari, 2005:64-65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh pengemis menurut pandangan orang yang melihatnya adalah seorang yang bodoh, pasrah, dan miskin. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Penokohan Pengemis juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya Cuma mau ngemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh.”

(Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh pengemis adalah seorang yang rendah hati walaupun kepada orang yang telah memarahinya. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Penokohan tokoh Pengemis yang lain dapat dilihat pada kutipan berikut.

… Si pengemis yang merasa sedikit lega, bergerak memperbaiki posisinya di dekat pintu belakang. Mulutnya kembali bergumam. “…shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…”(Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa pengemis adalah seorang yang pasrah dan suka bershalawat. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Bedasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa tokoh pengemis adalah seorang yang memakai celana, baju dan kopiahnya berwarna hitam, menurut pandangan orang yang melihatnya adalah seorang yang bodoh, pasrah, dan miskin, rendah hati walaupun kepada orang yang telah memarahinya, dan suka bershalawat. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

 

(2) Tokoh Aku

Tokoh Aku digambarkan pada kutipan berikut.

 

Sementara para penumpang lain kelihatan sangat gelisah dan jengkel, aku mencoba bersikap lain. Perjalanan semacam ini sudah puluhan kali aku alami. Dari pengalaman seperti itu aku mengerti bahwa ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan karena sama sekali tidak mengatasi keadaan. Supaya jiwa dan raga tidak tersiksa, aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya dengan tenang: Sopir yang tak acuh terhadap nasib para penumpang itu, tukang-tukang asongan yang sangat berisik itu, dan lelaki yang setengah mengantuk sambil mengepulkan asap dibelakangku itu. (Tohari, 2005:64).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh Aku adalah orang yang sabar dan dapat berdamai dengan keadaan. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Penokohan  tokoh aku juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Semula ada perasaan tidak setuju mengapa hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Tetapi perasaan demikian lenyap ketika pengemis itu sudah berdiri di depanku. Mungkin karena shalawat itu maka tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ratusan. Atau karena ada banyak hal dapat dibaca pada wajah si pengemis itu. (Tohari, 2005:64).

 

Dari kutipan tersebut, diketahui bahwa tokoh aku adalah seorang yang dermawan karena mau memberi sebagian uangnya untuk pengemis. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa tokoh aku adalah seorang yang sabar, dapat berdamai dengan keadaan, dan dermawan. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

 

(3) Tokoh Kondektur

Penokohan Kondektur dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jongkok dekat pintu belakang. (Tohari, 2005:65).

      

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh kondektur adalah seorang yang pemarah. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Penokohan kondektur juga dapat dilihat dari kutipan berikut.

 

“He, sira!  kenapa kamu tidak turun? Mau jadi gembel di Jakarta? Kamu tidak tahu gembel di sana pada dibuang ke laut dijadikan rumpon?” (Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa tokoh kondektur merupakan seorang yang kurang berkeprimanusiaan karena berkata yang tidak pantas pada orang lain. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Berdasarkan kutipan tersebut, disimpulkan bahwa tokoh kondektur adalah seorang yang pemarah dan kurang berkeprimanusiaan. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

 

(4) Tokoh Sopir

Penokohan Sopir dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Suasana sungguh gerah, sangat bising dan para penumpang tak berdaya melawan keadaan yang sangat menyiksa itu. Dalam keadaan seperti itu, harapan para penumpang hanya satu; hendaknya sopir cepat datang dan bus segera bergerak kembali untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta. Namun laki-laki yang menjadi tumpuan harapan itu kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Sopir itu enak-enak bergurau dengan seorang perempuan penjual buah. (Tohari, 2005:63).

      

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa sopir adalah orang yang egois karena memikirkan kepentingannya sendiri. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Penokohan Sopir yang lain juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jongkok dekat pintu belakang. (Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa Sopir merupakan orang yang pemarah. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa tokoh sopir adalah orang yang egois dan pemarah. Hal itu disampaikan pengarang secara tersurat.

 

3.         Alur

Analisis alur dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” karya Ahmad Tohari meliputi awal, tengah, akhir.

Alur awal meliputi perkenalan tokoh, latar, dan awalan konflik, yaitu saat tokoh aku bercerita telah memasuki stasiun Cirebon tepat ketika matahari telah mencapai pucuk langit. Awalan konflik dimulai saat bus berhenti menunggu tambahan penumpang, yang dengan cepat mengubah bus menjadi pasar yang hiruk-pikuk, disusul dengan seorang lelaki tua berpakaian serba hitam yang mengemis dengan melantunkan shalawat.

Alur tengah meliputi pertikaian puncak dari konflik cerita, yaitu pada saat dua awak bus antara sopir dan kondektur bertengkar. Sopir menjalankan bus dengan gila-gilaan. Kondektur meluapkan kekesalannya pada pengemis. Dan pengemis pasrah dengan apapun yang akan dilakukan kondektur.

Alur akhir, merupakan penyelesaian dari jalannya cerita, yaitu pada saat bus mengalami kecelakaan dengan truk tangki, semua penumpang terluka parah kecuali pengemis yang masih bis keluar dari bus tanpa tergores luka sedikitpun dan terus melantunkan shalawat Badar.

Berdasarkan uraian tersebut, secara berurutan alur dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah: Bus memasuki terminal, dilanjutkan dengan pertikaian antara sopir dan kondektur, dan diakhiri dengan malapetaka kecelakaan bus dengan truk tangki.

 

4.         Latar

Analisis latar dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” karya Ahmad Tohari meliputi latar waktu, tempat, dan sosial.

 

a)        Latar Waktu

Latar waktu diketahui pada kutipan berikut.

 

Bus yang aku tumpangi masuk terminal Cirebon ketika matahari hampir mencapai pucuk langit. Terik matahari ditambah dengan panasnya mesin disel tua memanggang bus itu bersama isinya. (Tohari, 2005:63).

 

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa latar waktunya adalah pada siang hari.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa latar waktu dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah pada siang hari.

 

 

b)        Latar Tempat

Latar tempat dapat dilihat pada kutipan berikut.

Bus yang aku tumpangi masuk terminal Cirebon ketika matahari hampir mencapai pucuk langit. (Tohari, 2005:63).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa latar tempatnya adalah di terminal cirebon

Latar tempat yang lain dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Begitu bus berhenti, puluhan pedagang asongan menyerbu masuk. Bahkan beberapa diantara mereka sudah membajingloncat ketika bus masih berada di mulut terminal. Bus menjadi pasar yang sangat hiruk-pikuk. (Tohari, 2005:63).

 

Dari kutipan tersebut diketahui latar tempatnya adalah di dalam bus.

Latar tempat di dalam bus juga dapat dilihat pada kutipan berikut

 

Perhatianku terhadap si pengemis terputus oleh bunyi pintu bus yang dibanting. (Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut diketahui latar tempatnya adalah di dalam bus.

Latar tempat yang lain dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

… Bus yang kutumpangi sudah terkapar di tengah sawah dan bentuknya sudah tak keruan. Di dekatnya terguling sebuah truk tangki yang tak kalah ringseknya. Dalam keadaan panik aku mencoba bangkit bergerak ke jalan raya. Namun rasa sakit memaksaku duduk kembali. Kulihat banyak kendaraan berhenti. Kudengar orang-orang merintih. Lalu samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari bangkai bus. Badannya tak tergores sedikitpun. Lelaki itu dengan tenang berjalan kembali kearah kota Cirebon. (Tohari, 2005:66).

 

Dari kutipan tersebut diketahui latar tempatnya adalah di tengah sawah.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa latar tempat pada cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah di terminal Cirebon, di dalam bus, dan di tengah sawah.

 

c)        Latar Sosial

Latar sosial dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Bus yang aku tumpangi masuk terminal Cirebon ketika matahari hampir mencapai pucuk langit. Terik matahari ditambah dengan panasnya mesin disel tua memanggang bus itu bersama isinya. Untung tak begitu penuh sehingga sesama penumpang tak perlu bersinggungan badan. Namun dari sebelah kiriku bertiup bau keringat melalui udara yang dialirkan dengan kipas Koran. Dari belakang terus-menerus mengepul asap rokok dari mulut seorang lelaki setengah mengantuk. (Tohari, 2005:63).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa latar sosialnya adalah keaadaan yang tidak enak di dalam bus.

Latar sosial yang lain juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Shalawat itu terus mengalun dan terdengar makin jelas karena tak ada lagi suara kondektur. Para penumpang membisu dan terlena dalam pikiran masing-masing. Aku pun mulai mengantuk sehingga lama-lama aku tak bisa membedakan mana suara shalawat dan mana derum mesin diesel. Boleh jadi aku sudah berada di alam mimpi dan di sana kulihat ribuan orang membaca shalawat. Anehnya, mereka yang berjumlah banyak sekali itu memiliki rupa yang sama. Mereka semuanya mirip sekali dengan pengemis yang naik dalam bus yang kutumpangi di terminal Cirebon. Dan dalam mimpi pun aku berpendapat bahwa mereka bisa menghafal teks shalawat itu dengan sempurna karena mereka sering mendatangi ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup di dunia maupun di akhirat. Dan dari ceramah-ceramh seperti itu mereka hanya memperoleh hafalan yang untungnya boleh dipakai modal menadahkan tangan. (Tohari, 2005:65-66).

 

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa latar sosialnya adalah rasa ngantuk yang melanda setiap penumpang bus.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa latar sosial pada cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah keaadaan yang tidak enak di dalam bus dan rasa ngantuk yang melanda setiap penumpang bus.

 

5.         Amanat

Amanat atau pesan moral dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Masih banyak hal yang belum sempat aku baca ketika seorang lelaki naik ke dalam bus. Celana, baju, dan kopiahnya berwarna hitam. Dia naik dari pintu depan. Begitu naik lelaki itu mengucapkan salam dengan fasih. Kemudian dari mulutnya mengalir Shalawat Badar dalam suara yang bening. Dan tanganya menengadah. Lelaki itu mengemis. Aku membaca tentang pengemis ini dengan perasaan yang sangat dalam. Aku dengarkan baik-baik Shalawatnya. Ya, persis. Aku pun sering membaca shalawat seperti itu terutama dalam pengajian-pengajian umum atau rapat-rapat. Sekarang kulihat dan kudengar sendiri ada lelaki membaca shalawat badar untuk mengemis. (Tohari, 2005:64).

 

Dari kutipan tersebut tergambar amanat pesan moral 1) religius dengan mengucapkan salam dan melantunkan shalawat.

Pesan moral 1) religius juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

Di sana aku lihat kebodohan, kepasrahan yang memperkuat penampilan kemiskinan. Wajah-wajah seperti itu sangat kuhafal karena selalu hadir mewarnai pengajian yang sering diawali dengan Shalawat Badar. Ya. Jejak-jejak pengajian dan ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup ada bebrbekas pada wajah pengemis itu. Lalu mengapa dari pengajian yang sering didatanginya ia hanya bisa menghafal Shalawat Badar dan kini menggunakannya untuk mengemis? Ah, kukira ada yang tak beres. Ada yang salah. Sayangnya, aku tak begitu tega menyalahkan pengemis yang terus membaca shalawat itu. (Tohari, 2005:64-65).

 

Dari kutipan tersebut tergambar pesan moral 1) religius dengan menceritakan pengajian dan ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup.

Pesan moral yang lain, digambarkan pada kutipan berikut.

 

Semula ada perasaan tidak setuju mengapa hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Tetapi perasaan demikian lenyap ketika pengemis itu sudah berdiri di depanku. Mungkin karena shalawat itu maka tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ratusan. Atau karena ada banyak hal dapat dibaca pada wajah si pengemis itu. (Tohari, 2005:64).

 

Dari kutipan tersebut tergambar pesan moral 2) sikap baik karena tokoh aku mau memberikan sebagian uangnya untuk pengemis.

Pesan moral yang lain juga dapat dilihat pada kutipan berikut.

 

”Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya Cuma mau ngemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh.” (Tohari, 2005:65).

 

                 Dari kutipan tersebut terlihat pesan moral 3) kerendahan hati, seorang pengemis yang menerima saat sedang dimarahi orang lain.

       Pesan moral 3) kerendahan hati juga digambarkan pada kutipan berikut.

 

Kondektur kehabisan kata-kata. Dipandangnya pengemis itu seperti ia hendak menelannya bulat-bulat. Yang dipandang pasrah. Dia tampaknya rela diperlakukan sebagai apa saja asal tidak didorong keluar dari bus yang melaju makin cepat. Kondektur berlalu sambil bersungut. Si pengemis yang merasa sedikit lega, bergerak memperbaiki posisinya di dekat pintu belakang. Mulutnya kembali bergumam. “…shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…”(Tohari, 2005:65).

 

Dari kutipan tersebut tergambar sikap 3) kerendahan hati tokoh Pengemis yang pasrah dengan keadaan apa yang sedang diterimanya.

Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa amanat pesan moral yang terdapat pada cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah pesan moral 1) religius, 2) sikap baik, dan 3) kerendahan hati.

 

6.         Gaya Bahasa

Mengenai gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar”, dapat dilihat di sebagian besar teks cerpen tersebut. Misalnya pada kutipan :

 

Suasana sungguh gerah, sangat bising dan para penumpang tak berdaya melawan keadaan yang sangat menyiksa itu. Dalam keadaan seperti itu, harapan para penumpang hanya satu; hendaknya sopir cepat datang dan bus segera bergerak kembali untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta. Namun laki-laki yang menjadi tumpuan harapan itu kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Sopir itu enak-enak bergurau dengan seorang perempuan penjual buah. (Tohari, 2005:63).

 

                 Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa yang digunakan adalah model bahasa seperti lazimnya orang bercerita.

                 Gaya bahasa yang lain dapat dilihat pada kutipan:

 

Shalawat itu terus mengalun dan terdengar makin jelas karena tak ada lagi suara kondektur. Para penumpang membisu dan terlena dalam pikiran masing-masing. Aku pun mulai mengantuk sehingga lama-lama aku tak bisa membedakan mana suara shalawat dan mana derum mesin diesel. Boleh jadi aku sudah berada di alam mimpi dan di sana kulihat ribuan orang membaca shalawat. Anehnya, mereka yang berjumlah banyak sekali itu memiliki rupa yang sama. Mereka semuanya mirip sekali dengan pengemis yang naik dalam bus yang kutumpangi di terminal Cirebon. Dan dalam mimpi pun aku berpendapat bahwa mereka bisa menghafal teks shalawat itu dengan sempurna karena mereka sering mendatangi ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup di dunia maupun di akhirat. Dan dari ceramah-ceramh seperti itu mereka hanya memperoleh hafalan yang untungnya boleh dipakai modal menadahkan tangan. (Tohari, 2005:65-66).

                

                 Dari kutipan tersebut pun, pengarang masih eksis dengan model gaya bahasa yang wajar digunakan untuk menceritakan sebuah kisah. Ditambah lagi dengan penggunaan preposisi “aku” “ku” memperkuat kesan bahwa gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa yang santai, langsung bercerita pada poin yang ingin disampaikan.

                 Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa gaya bahasa yang digunakan pengarang adalah model gaya bahasa santai dan bercerita langsung pada poin yang ingin disampaikan.

 

E.        SIMPULAN

Simpulan dalam penelitian pendekatan objektif dalam cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah.

1.      Tema dari cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah pentingya membaca shalawat.

2.      Tokoh-tokohnya meliputi, tokoh utama: pengemis, tokoh bawahan: aku, sopir, kondektur.

Penokohannya: 1) pengemis : seorang yang memakai celana, baju dan kopiahnya berwarna hitam, menurut pandangan orang yang melihatnya adalah seorang yang bodoh, pasrah, dan miskin, rendah hati walaupun kepada orang yang telah memarahinya, dan suka bershalawat. 2) aku : seorang yang sabar, dapat berdamai dengan keadaan, dan dermawan. 3) kondektur : adalah seorang yang pemarah dan kurang berkeprimanusiaan. 4) sopir : adalah orang yang egois dan pemarah.

3.      Alurnya adalah: Bus memasuki terminal dilanjutkan dengan pertikaian antara sopir dan kondektur dan diakhiri dengan malapetaka kecelakaan bus dengan truk tangki.

4.      Latar waktu : siang hari. Latar tempat : di terminal Cirebon, di dalam bus, dan di tengah sawah. Latar sosial : keaadaan yang tidak enak di dalam bus dan rasa ngantuk yang melanda setiap penumpang bus.

5.      Amanat atau pesan moral yang terdapat pada cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” adalah pesan moral 1) religius, 2) sikap baik, dan 3) kerendahan hati.

6.      Gaya bahasanya santai dan bercerita langsung pada poin yang ingin disampaikan.

 

F.        DAFTAR PUSTAKA

 

Harjito. 2007. Melek Sastra. Semarang: IKIP PGRI Semarang Press.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada Press.

Nuryatin, Agus. 2010. Mengabdikan Pengalaman dalam Cerpen. Semarang: Yayasan  Adhigama

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tohari, Ahmad. 2005. Senyum Karyamin.Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utam

 

Related Posts

0 Comments: