Apakah Sastra itu? Pertanyaan ini
tidak mudah dijawab. Setiap jawaban yang diberikan tidak akan
menimbulkan kepuasan penanya.
Namun demikian, jika
seseorang ditanya tentang apakah
ia pernah membaca
karya sastra. Jawabannya,
“ya, pernah atau belum”.
Atau, jika seseorang
ditanya apakah ia
menyukai sastra, dengan
segera pula timbul jawabannya,
“ya” atau “tidak”, sesuai dengan
pengalaman keseharian hidupnya bergaul dengan
sastra. Ini berarti,
secara konseptual yang
ditanya tidak dapat menjelaskan tentang
“apa itu sastra”,
tetapi dalam keseharian
ia mengenal “sastra sebagai suatu objek yang dihadapinya.
Dalam kehidupan
keseharian pula, pada
umumnya orang menyukai
sastra. Kata-kata mutiara, ungkapan-ungkapan yang
bersifat persuasif yang
merupakan salah satu
ciri khas keindahan bahasa
sastra sering kali
digunakan orang dalam
situasi berkomunikasi.
Kenyataan ini menunjukkan
bahwa terdapat kecenderungan
orang ke arah bersastra.
Untuk memahami
dan menikmati karya
sastra diperlukan pemahaman
tentang teori sastra. Teori
sastra menjelaskan kepada kita tentang konsep sastra sebagai salah satu
disiplin ilmu humaniora
yang akan mengantarkan
kita ke arah
pemahaman dan penikmatan fenomena
yang terkandung di dalamnya. Dengan mempelajari teori sastra, kita akan
memahami fenomena kehidupan manusia yang tertuang di dalam teori sastra.
Sebaliknya juga, dengan
memahami fenomena kehidupan
manusia dalam teori sastra kita
akan memahami pula
teori sastra.
Melalui modul
ini, secara umum
diharapkan Anda dapat
memahami hakikat sastra dengan ruang lingkupnya sebagai bekal
Anda dalam mempelajari apresiasi dan kajian sastra. Untuk mencapai tujuan
tersebut, di dalamnya disajikan urutan materi berupa:
1. Ruang Lingkup Ilmu Sastra,
2. Pengertian Sastra,
3. Jenis Karya Sastra,
4. Struktur Karya Sastra,
5. Puisi,
6. Prosa,
7. Drama,
8. Pendekatan Pengkajian Sastra,
serta
9. Aliran dalam Karya Sastra.
Ruang Lingkup Ilmu Sastra
Ilmu sastra
sudah merupakan ilmu
yang cukup tua
usianya. Ilmu ini
sudah berawal pada abad
ke-3 SM, yaitu
pada saat Aristoteles
(384-322 SM) menulis
bukunya yang berjudul Poetica
yang memuat tentang teori drama tragedi. Istilah poetica sebagai teori
ilmu sastra, lambat
laun digunakan dengan
beberapa istilah lain
oleh para teoretikus sastra seperti
The Study of
Literatur, oleh W.H.
Hudson, Theory of
Literature Rene Wellek dan
Austin Warren, Literary
Scholarship Andre Lafavere,
serta Literary Knowledge (ilmu
sastra) oleh A.
Teeuw.
Ilmu sastra
meliputi ilmu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah
sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam
pengkajian karya sastra.
Dalam
perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga
disiplin ilmu tersebut.
Khususnya bagi sejarah
sastra dikatakan bahwa
pengkajian sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik sastra
bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian
sejarah sastra menggunakan
pendekatan kesewaktuan, sejarah
sastra hanya dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang ada pada
zaman itu. Bahkan dikatakan tidak terdapat
kesinambungan karya sastra
suatu periode dengan
periode berikutnya karena dia
mewakili masa tertentu.
Walaupun teori ini
mendapat kritikan yang cukup
kuat dari teoretikus
sejarah sastra, namun
pendekatan ini sempat berkembang dari Jerman ke Inggris dan Amerika.
Namun demikian, dalam praktiknya,
pada waktu seseorang
melakukan pengkajian karya
sastra, antara ketiga
disiplin ilmu tersebut saling
terkait.
Pengertian Teori Sastra, Kritik Sastra, dan Sejarah Sastra
Teori sastra
ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum,
kategori, kriteria karya
sastra yang membedakannya
dengan yang bukan
sastra. Secara umum yang
dimaksud dengan teori
adalah suatu sistem
ilmiah atau pengetahuan sistematik
yang menerapkan pola
pengaturan hubungan antara
gejala-gejala yang diamati.
Teori berisi konsep/
uraian tentang hukum-hukum
umum suatu objek ilmu
pengetahuan dari suatu
titik pandang tertentu.
Suatu teori
dapat dideduksi secara
logis dan dicek
kebenarannya (diverifikasi) atau dibantah
kesahihannya pada objek
atau gejala-gejala yang
diamati tersebut.
Kritik sastra
juga bagian dari
ilmu sastra. Istilah
lain yang digunakan
para pengkaji sastra ialah
telaah sastra, kajian
sastra, analisis sastra,
dan penelitian sastra.
Untuk membuat suatu
kritik yang baik,
diperlukan kemampuan mengapresiasi
sastra, pengalaman yang banyak
dalam menelaah, menganalisis,
mengulas karya sastra, penguasaan, dan
pengalaman yang cukup
dalam kehidupan yang
bersifat nonliterer, serta tentunya
penguasaan tentang teori
sastra. Sejarah
sastra bagian dari
ilmu sastra yang
mempelajari perkembangan sastra
dari waktu ke waktu.
Di dalamnya dipelajari
ciri-ciri karya sastra
pada masa tertentu,
para sastrawan yang mengisi
arena sastra, puncak-puncak
karya sastra yang
menghiasi dunia sastra, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di
seputar masalah sastra. Sebagai suatu
kegiatan keilmuan sastra,
seorang sejarawan sastra
harus mendokumentasikan karya
sastra berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang ada, pengaruh
yang melatarbelakanginya,
karakteristik isi dan
tematik.
Hubungan Teori Sastra dengan Kritik Sastra dan Sejarah Sastra
Pada hakikatnya, teori
sastra membahas secara
rinci aspek-aspek yang
terdapat di dalam karya sastra,
baik konvensi bahasa yang meliputi makna, gaya, struktur, pilihan kata, maupun
konvensi sastra yang
meliputi tema, tokoh,
penokohan, alur, latar,
dan lainnya yang membangun
keutuhan sebuah karya
sastra. Di sisi
lain, kritik sastra merupakan ilmu
sastra yang mengkaji,
menelaah, mengulas, memberi
pertimbangan, serta memberikan penilaian tentang keunggulan dan
kelemahan atau kekurangan karya sastra.
Sasaran kerja kritikus
sastra adalah penulis
karya sastra dan
sekaligus pembaca karya sastra.
Untuk memberikan pertimbangan
atas karya sastra
kritikus sastra bekerja sesuai
dengan konvensi bahasa
dan konvensi sastra
yang melingkupi karya sastra.
Demikian juga terjadi
hubungan antara teori
sastra dengan sejarah
sastra. Sejarah sastra adalah
bagian dari ilmu
sastra yang mempelajari
perkembangan sastra dari waktu ke waktu, periode ke periode
sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa. Perkembangan
sejarah sastra suatu
bangsa, suatu daerah,
suatu kebudayaan, diperoleh dari
penelitian karya sastra
yang dihasilkan para
peneliti sastra yang menunjukkan terjadinya
perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan karya sastra
pada periode-periode tertentu. Secara keseluruhan dalam pengkajian
karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik
sastra terjalin keterkaitan.
TEORI, KRITIK, dan SEJARAH SASTRA
Dalam studi sastra, perlu
dipahami antara teori, kritik dan sejarah sastra. Setiap teori, kritik, dan
sejarah sastra sudah banyak ilmuwan yang menggeluti ilmu tersebut. Seperti
Aristoteles selaku teoretikus sastra, Sainte-Beuve yang menonjol sebagai
kritikus, dan Frederick A. Pottle, yang mempelajari sejarah sastra. Teori,
kritik, dan sejarah sastra tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya
saling berhubungan. Untuk mempelajarinya, kita harus memilah perbedaan sudut
pandang yang mendasar.
Kesusastraan dapat dilihat
sebagai deretan karya yang sejajar, atau yang tersusun secara kronologis dan
merupakan bagian dari proses sejarah. Teori sastra adalah studi prinsip,
kategori, dan kriteria, sedangkan kritik sastra dan sejarah sastra merupakan
studi karya-karya kongkret. Ada yang berusaha memisahkan pemahaman dari teori,
kritik, dan sejarah sastra. Bagaimana dapat disimpulkan bahwa ketiga hal itu
dapat dikaji satu persatu sementara di dalam buku teori sastra saja sudah
termasuk di dalamnya kritik dan sejarah sastra. Sehingga, tak mungkin dapat
disusun teori sastra tanpa kritik sastra atau sejarah sastra, sejarah sastra
tanpa kritik sastra dan teori sastra, dan kritik sastra tanpa teori sastra dan
sejarah sastra.
Teori sastra dapat disusun
berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra dan itu secara otomatis perlu
mengakaji sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu pendapat tentang sastra.
Sebaliknya, kritik sastra dan sejarah sastra tidak mungkin dikaji tanpa satu
set pertanyaan, suatu sistem pemikiran, acuan dan generalisasi.
Mengenai kritik dan sejarah
sastra, ada yang berusaha untuk memisahkannya.
Berawal dari pendapat bahwa sejarah sastra mempunya kriteria dan
standarnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai zaman yang sudah lalu. Sehingga
perlu menelusuri alam pikiran dan sikap orang-orang dari zaman yang dipelajari.
Pandangan sejarah semacam ini menuntut kemampuan imajinasi, empati dengan masa
silam dan selera masa silam mengenai rekonstruksi sikap hidup, kebudayaan dan
sebagainya. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pengarang bermaksud untuk
menggambarkan keadaan zaman lampau. Sehingga maksud pengarang tersebut
menjadikan tugas zaman dan karyanya tidak perlu diulas lagi dan kritik sastra
pun sudah selesai. Jika hanya menjabarkan makna dan kehidupan zaman lampau yang
digambarkan oleh pengarang berarti pembaca hanya bisa menoleh ke zaman
pengarang tersebut. Tidak melihat ke masa kini. Sementara zaman lampau sangat
berbeda dengan zaman sekarang. Pembaca tentu memiliki imajinasi dan
interpretasi sendiri yang jauh berbeda dengan yang mengalami masa lampau itu.
Contohnya drama Hamlet. Jika direkonstruksi oleh kritikus sekarang justru dapat
menghilangkan makna drama tersebut. Sebaiknya sejarawan sastra bisa menyoroti
karya sastra dengan sudut pandang zaman yang berbeda antara zaman pengaran dan
kritikusnya atau melihat keseluruhan sejarah interpretasi dan kritik pada karya
untuk memperoleh makna yang lebih menyeluruh. Jadi, sejarah sastra sangat penting
untuk kritik sastra. Kalau seorang kritikus yang tidak peduli pada hubungan
sejarah tentu penilaiannya akan meleset. Ia tidak akan tahu status karya itu
asli atau palsu dan ia cenderung memberikan penilaian yang sembrono. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pemisahan kritik sastra dan sejarah sastra sangat
merugikan keduanya.
HAKIKAT SASTRA SERTA TEKS DAN KONTEKS
Hakikat
Sastra Pengertian tentang
sastra sangat beragam.
Berbagai kalangan mendefinisikan pengertian tersebut
menurut versi pemahaman
mereka masing-masing. Menurut
A. Teeuw, sastra dideskripsikan sebagai segala sesuatu yang tertulis;
pemakaian bahasa dalam bentuk tulis.
Sementara itu, Jacob
Sumardjo dan Saini
K.M. mendefnisikan sastra dengan
5 buah pengertian,
dan dari ke-5
pengertian tersebut dibatasi
menjadi sebuah definisi. Sastra
adalah ungkapan pribadi
manusia yang berupa
pengalaman, pemikiran,
semangat, dan keyakinan
dalam suatu bentuk
gambaran konkret yang membangkitkan pesona
dengan alat bahasa.
Secara lebih rinci
lagi, Faruk mengemukakan bahwa
pada mulanya pengertian
sastra amat luas,
yakni mencakup segala macam
hasil aktivitas bahasa
atau tulis-menulis. Seiring
dengan meluasnya kebiasaan membaca
dan menulis, pengertian
tersebut menyempit dan
didefinisikan sebagai segala hasil
aktivitas bahasa yang
bersifat imajinatif, baik
dalam kehidupan yang tergambar
di dalamnya, maupun
dalam hal bahasa
yang digunakan untuk menggambarkan kehidupan itu.
Untuk mempelajari
sastra lebih dalam
lagi, setidaknya terdapat
5 karakteristik sastra yang
mesti dipahami. Pertama,
pemahaman bahwa sastra
memiliki tafsiran mimesis. Artinya, sastra
yang diciptakan harus
mencerminkan kenyataan. Kalau
pun belum, karya sastra
yang diciptakan dituntut
untuk mendekati kenyataan.
Kedua, manfaat sastra. Mempelajari
sastra mau tidak
mau harus mengetahui
apa manfaat sastra
bagi para penikmatnya. Dengan
mengetahui manfaat yang
ada, paling tidak
kita mampu memberikan kesan
bahwa sastra yang
diciptakan berguna untuk
kemaslahatan manusia.
Ketiga, dalam sastra
harus disepakati adanya
unsur fiksionalitas. Unsur fiksionalitas sendiri
merupakan cerminan kenyataan,
merupakan unsur realitas
yang tidak 'terkesan' dibuat-buat.
Keempat, pemahaman bahwa
karya sastra merupakan sebuah karya seni. Dengan adanya
karakteristik sebagai karya seni ini, pada akhirnya kita dapat
membedakan mana karya
yang termasuk sastra
dan bukan sastra.
Kelima, setelah empat karakteristik
ini kita pahami,
pada akhirnya harus
bermuara pada kenyataan bahwa
sastra merupakan bagian
dari masyarakat. Hal
ini mengindikasikan bahwa sastra
yang ditulis pada kurun waktu tertentu memiliki tanda-tanda, yang kurang
lebih sama, dengan
norma, adat, atau
kebiasaan yang muncul
berbarengan dengan hadirnya sebuah
karya sastra.
Teks dan Konteks
Teks adalah
ungkapan bahasa yang
menurut isi, sintaksis,
dan pragmatik merupakan sebuah kesatuan,
sedangkan konteks adalah
fungsi yang diacu
oleh teks. Baik
teks maupun konteks, keduanya
senantiasa hadir secara
bersama dan tidak
dapat dipisahkan. Terdapat enam faktor
yang menentukan sebuah
teks. Faktor tersebut
selanjutnya disebut sebagai faktor-faktor
yang berperan dalam
tindak komunikasi. Keenam
faktor tersebut adalah: (1) pemancar, (2) penerima, (3) pesan (teks itu
sendiri), (4) kenyataan atau konteks yang diacu, (5) kode, dan (6) saluran.
Sementara itu,
terdapat empat jenis teks, yakni: (1)
teks acuan, (2)
teks ekspresif, (3)
teks persuasif, dan
(4) teks-teks mengenai teks.
Teks acuan dibedakan
lagi menjadi tiga,
yakni: (1) teks
informatif, (2) teks diakursif,
dan (3) teks
instruktif.
Pada
akhirnya, semua pembahasan
mengenai teks harus
bermuara pada bagaimana cara menilai
teks-teks sastra. Memang,
ilmu sastra tidak
memberikan penilaian pada teks,
tidak menghakimi baik-buruknya
teks, tetapi ia
bersama para ahli
estetika dan juga kritikus
sastra, mempelajari fakta dan relasi-relasi atau instrumen-instrumen yang
diungkapkan dalam sebuah
penilaian.
JENIS-JENIS (GENRE) SASTRA
Sastra Imajinatif
Sastra imajinatif
adalah sastra yang
berupaya untuk menerangkan,
menjelaskan, memahami,
membuka pandangan baru,
dan memberikan makna
realitas kehidupan agar manusia
lebih mengerti dan
bersikap yang semestinya
terhadap realitas kehidupan. Dengan
kata lain, sastra
imajinatif berupaya menyempurnakan realitas kehidupan walaupun sebenarnya fakta atau
realitas kehidupan sehari-hari tidak
begitu penting dalam sastra
imajinatif. Jenis-jenis tersebut
antara lain puisi,
fiksi atau prosa
naratif, dan drama.
Puisi dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yakni puisi
epik, puisi lirik,
dan puisi dramatik.
Fiksi atau prosa naratif
terbagi atas tiga
genre, yakni novel
atau roman, cerita
pendek (cerpen), dan novelet
(novel “pendek”). Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita
melalui dialog-dialog para
tokohnya Pada akhirnya, semua
pembahasan mengenai sastra
imajinatif ini harus
bermuara pada bagaimana cara
memahami ketiga jenis
sastra imajinatif tersebut
secara komprehensif. Tanpa adanya
pemahaman ini, apa
yang dipelajari dalam
hakikat dan jenis sastra
imajinatif ini hanya
sekadar hiasan ilmu
yang akan cepat
pudar.
Sastra
Non-imajinatif
Sastra non-imajinatif
memiliki beberapa ciri
yang mudah membedakannya
dengan sastra imajinatif. Setidaknya terdapat dua ciri yang berkenaan
dengan sastra tersebut. Pertama,
dalam karya sastra
tersebut unsur faktualnya
lebih menonjol daripada khayalinya. Kedua, bahasa yang
digunakan cenderung denotatif dan kalaupun muncul konotatif, kekonotatifan
tersebut amat bergantung
pada gaya penulisan
yang dimiliki pengarang. Persamaannya,
baik sastra imajinatif
maupun non-imajinatif, keduanya sama-sama memenuhi
estetika seni (unity
= keutuhan, balance
= keseimbangan, harmony =
keselarasan, dan right
emphasis = pusat
penekanan suatu unsur).
Sastra non-imajinatif itu sendiri
merupakan sastra yang
lebih menonjolkan unsur
kefaktualan daripada daya khayalnya
dan ditopang dengan
penggunaan bahasa yang
cenderung denotatif. Dalam praktiknya
jenis sastra non-imajinatif ini
terdiri atas karya-karya
yang berbentuk esai, kritik, biografi, autobiografi, memoar, catatan
harian, dan surat-surat.
STRUKTUR PEMBANGUNAN KARYA SASTRA
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Puisi
Sebuah karya sastra mengandung
unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik. Keterikatan yang erat antar unsur
tersebut dinamakan struktur pembangun karya sastra. Unsur intrinsik ialah unsur
yang secara langsung membangun cerita dari dalam karya itu sendiri, sedangkan
unsur ekstrinsik ialah unsur yang turut membangun cerita dari luar karya
sastra. Unsur intrinsik yang terdapat dalam puisi, prosa, dan drama memiliki
perbedaan, sesuai dengan ciri dan hakikat dari ketiga genre tersebut. Namun
unsur ekstrinsik pada semua jenis karya sastra memiliki kesamaan. Unsur
intrinsik sebuah puisi terdiri dari tema, amanat, sikap atau nada, perasaan,
tipografi, enjambemen, akulirik, rima, citraan, dan gaya bahasa. Unsur
ekstrinsik yang banyak mempengaruhi puisi antara lain: unsur biografi, unsur
kesejarahan, serta unsur kemasyarakatan.
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik
Prosa
Unsur pembangun prosa terdiri
dari struktur dalam atau unsur intrinsik serta struktur luar atau unsur
ekstrinsik. Unsur intrinsik prosa terdiri dari tema dan amanat, alur, tokoh,
latar, sudut pandang, serta bahasa yang dipergunakan pengarang untuk
mengekspresikan gagasannya. Tema prosa fiksi terutama novel dapat terdiri dari
tema utama serta beberapa tema bawahan. Pada cerpen yang memiliki pengisahan
lebih singkat, biasanya hanya terdapat tema utama.
Alur merupakan struktur
penceritaan yang dapat bergerak maju (alur maju), mundur (alur mundur), atau
gabungan dari kedua alur tersebut (alur campuran). Pergerakan alur dijalankan
oleh tokoh cerita. Tokoh yang menjadi pusat cerita dinamakan tokoh sentral.
Tokoh adalah pelaku di dalam cerita. Berdasarkan peran tokoh dapat dibagi
menjadi tokoh utama, tokoh bawahan, dan tokoh tambahan. Tokoh tercipta berkat
adanya penokohan, yaitu cara kerja pengarang untuk menampilkan tokoh cerita. Penokohan
dapat dilakukan menggunakan 3 metode: (a) analitik, (b) dramatik, dan (c) kontekstual. Tokoh cerita akan menjadi hidup jika ia memiliki watak seperti
layaknya manusia. Watak tokoh terdiri dari sifat, sikap, serta kepribadian
tokoh. Cara kerja pengarang memberi watak pada tokoh cerita dinamakan
penokohan, yang dapat dilakukan melalui dimensi (a) fisik, (b) psikis,
dan (c) sosial.
Latar berkaitan erat dengan
tokoh dan alur. Latar adalah seluruh keterangan mengenai tempat, waktu, serta
suasana yang ada dalam cerita. Latar
tempat terdiri dari tempat yang dikenal, tempat tidak dikenal, serta tempat
yang hanya ada dalam khayalan. Latar
waktu ada yang menunjukkan waktu dengan jelas, namun ada pula yang tidak
dapat diketahui secara pasti.
Cara kerja pengarang untuk
membangun cerita bukan hanya melalui penokohan dan perwatakan, dapat pula
melalui sudut pandang. Sudut pandang
adalah cara pengarang untuk menetapkan siapa yang akan mengisahkan ceritanya,
yang dapat dipilih dari tokoh atau dari narator. Sudut pandang melalui tokoh
cerita terdiri dari (a) sudut pandang
akuan, (b) sudut pandang diaan, (c)
sudut pandang campuran. Dalam menuangkan cerita menggunakan medium bahasa,
pengarang bebas menentukan akan menggunakan bahasa nasional, bahasa daerah,
dialek, ataupun bahasa asing.
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik
Drama
Karya sastra drama memiliki
unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik yang diperlukan untuk membangun
ceritanya. Unsur intrinsik drama terdiri
dari tema, plot, tokoh, dialog, karakter, serta latar.
Drama yang merupakan ciptaan
kreatif pengarang harus memiliki tema yang kuat, agar tercipta
sebuah cerita yang tak lekang oleh waktu. Tanpa adanya konflik, cerita drama
akan terasa datar. Konflik terdapat di dalam plot, yang terjadi karena adanya ketegangan antartokoh. Tokoh drama
terbagi menurut peran dan fungsinya dalam lakon. Menurut perannya tokoh terdiri
dari tokoh utama, tokoh bawahan, serta tokoh tambahan. Di
dalam drama fungsi tokoh sangat penting, yaitu sebagai tokoh protagonis,
tokoh antagonis, dan tokoh tritagonis.
Cakapan merupakan ciri utama
drama yang mungkin berupa dialog namun dapat pula berbentuk monolog. Selain itu,
ada pula karakter (sebagai apa dan kejiwaannya seperti apa) dan latar yang
saling berhubungan erat. Latar dalam drama sangat mempengaruhi karakter tokoh.
PUISI
Pengertian dan Ciri-ciri Puisi
Puisi ialah perasaan penyair
yang diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat, serta mengandung rima dan
irama. Ciri-ciri puisi dapat dilihat dari bahasa yang dipergunakan serta dari
wujud puisi tersebut. Bahasa puisi mengandung rima, irama, dan kiasan,
sedangkan wujud puisi terdiri dari bentuknya yang berbait, letak yang tertata
ke bawah, dan tidak mementingkan ejaan. Untuk memahami puisi dapat juga
dilakukan dengan membedakannya dari bentuk prosa.
Jenis-jenis Puisi
Berdasarkan waktu
kemunculannya puisi dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu puisi lama, puisi baru,
dan puisi modern. Puisi lama
adalah puisi yang lahir sebelum masa penjajahan Belanda, sehingga belum tampak
adanya pengaruh dari kebudayaan barat. Sifat masyarakat lama yang statis dan
objektif, melahirkan bentuk puisi yang statis pula, yaitu sangat terikat pada
aturan tertentu. Puisi lama terdiri dari mantra, bidal, pantun dan karmina,
talibun, seloka, gurindam, dan syair. Puisi baru adalah puisi yang
muncul pada masa penjajahan Belanda, sehingga pada puisi baru tampak adanya
pengaruh dari kebudayaan Eropa. Penetapan jenis puisi baru berdasarkan pada
jumlah larik yang terdapat dalam setiap bait. Jenis puisi baru dibagi menjadi
distichon, terzina, quatrain, quint, sextet, septima, stanza atau oktaf, serta
soneta. Puisi modern adalah puisi yang berkembang di Indonesia setelah
masa penjajahan Belanda. Berdasarkan cara pengungkapannya, puisi modern dapat
dibagi menjadi puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik.
Analisis Unsur-unsur Intrinsik
Puisi
Untuk memahami makna sebuah
puisi dapat dilakukan dengan menganalisis unsur-unsur intrinsiknya, misalnya
dengan mengkaji gaya bahasa dan bentuk puisi. Gaya bahasa yang dipergunakan
penyair mencakup:
(1) Gaya bunyi yang meliputi:
asonansi, aliterasi, persajakan, efoni, dan kakofoni.
(2) Gaya kata yang membahas tentang
pengulangan kata dan diksi.
(3) Gaya kalimat yang berisi gaya
implisit dan gaya retorika.
(4) Larik, dan
(5) bahasa kiasan.
Memahami puisi melalui
bentuknya dapat dilakukan dengan menelaah tipografi, tanda baca, serta
enjambemen. Untuk mempermudah dan memperjelas penganalisisan puisi, di depan
setiap larik berilah bernomor urut. Apabila puisi yang hendak dianalisis
tersebut memiliki beberapa bait, dapat pula diberi bernomor pada setiap
baitnya.
Penafsiran Puisi
Agar dapat memahami isi puisi
diawali dengan menelaah atau melakukan kajian terhadap gaya maupun bentuk puisi
yang bersama-sama membentuk suatu keutuhan isi puisi. Perhatikan jika terdapat
hal-hal yang menarik perhatian, misalnya judul serta kekerapan kata. Banyaknya
kata yang berulang dapat menggiring pembaca dalam memahami tema. Jika terdapat bait yang mengandung sedikit lirik,
biasanya di sanalah tertuang tema puisi. Seperti halnya pada judul yang juga
dapat membayangkan tema. Tetapi ingat, judul belum tentu sama dengan tema.
Mengetahui tema serta akulirik merupakan langkah pertama yang harus dilakukan
dalam upaya memahami puisi.
Prosa
Pengertian dan Ciri Prosa
Fiksi
Prosa fiksi sebagai cerita rekaan bukan berarti prosa fiksi adalah lamunan
kosong seorang pengarang. Prosa fiksi adalah perpaduan atau kerja sama antara
pikiran dan perasaan. Fiksi dapat dibedakan atas fiksi yang realitas dan fiksi
yang aktualitas. Fiksi realitas mengatakan: “seandainya semua fakta, maka
beginilah yang akan terjadi. Jadi, fiksi realitas adalah hal-hal yang dapat terjadi,
tetapi belum tentu terjadi. Penulis fiksi membuat para tokoh imaginatif dalam
karyanya itu menjadi hidup. Fiksi aktualitas mengatakan “karena semua fakta
maka beginilah yang akan terjadi”. Jadi, aktualitas artinya hal-hal yang
benar-benar terjadi. Contoh: roman sejarah, kisah perjalanan, biografi,
otobiografi. Prosa selalu bersumber dari lingkungan kehidupan yang dialami,
disaksikan, didengar, dan dibaca oleh pengarang.
Adapun ciri-ciri prosa
fiksi adalah bahasanya terurai, dapat memperluas pengetahuan dan menambah
pengetahuan, terutama pengalaman imajinatif. Prosa fiksi dapat menyampaikan
informasi mengenai suatu kejadian dalam kehidupan. Maknanya dapat berarti
ambigu. Prosa fiksi melukiskan realita imajinatif karena imajinasi selalu
terikat pada realitas, sedangkan realitas tak mungkin lepas dari imajinasi.
Bahasanya lebih condong ke bahasa figuratif dengan menitikberatkan pada
penggunaan kata-kata konotatif. Selanjutnya prosa fiksi mengajak kita untuk
berkontemplasi karena sastra menyodorkan interpretasi pribadi yang berhubungan
dengan imajinasi.
Jenis-jenis Prosa
Berdasarkan pembagian sejarah
sastra Indonesia, dikenal 2 macam sastra, yaitu sastra klasik dan sastra
modern. Sastra modern termasuk di dalamnya prosa baru yang mencakup roman,
novel, novel populer, cerpen. Selanjutnya sastra klasik termasuk di dalamnya
yaitu prosa lama yang mencakup cerita rakyat, dongeng, fabel, epos, legenda,
mite, cerita jenaka, cerita pelipur lara, sage, hikayat, dan silsilah.
Roman adalah salah satu jenis
karya sastra ragam prosa. Pengertian roman pada mulanya ialah cerita yang
ditulis dalam bahasa Romana. Dalam perkembangannya kemudian, roman berupa
cerita yang mengisahkan peristiwa/pengalaman lahir/batin sejumlah tokoh pada
satu masa tertentu. Hal ini terjadi pada akhir abad ke-17. Perkembangan roman
mencapai puncaknya pada abad ke-18. Pada abad ke-19 muncullah penulis-penulis
roman yang termasyhur, seperti Honore de Balzac, Gustave Flaubert, Emile Zola,
Charles Dickens, Leo Tolstoy, F. Dostojevski. Penulis-penulis roman ini
kemudian disusul oleh rekan-rekannya yang mewakili abad ke-20, seperti Proust,
Joyce, Kafka, dan Faulkner.
Bentuk yang hampir sama dengan
roman adalah novel. Bagi pembaca awam, kedua bentuk ini sulit dibedakan. Pada
dasarnya novel maupun roman menceritakan hal luar biasa yang terjadi dalam
kehidupan manusia sehingga jalan hidup tokoh cerita yang ditampilkan dapat
berubah. Novel dapat dibedakan menjadi novel kedaerahan, novel psikologi, novel
sosial, novel gotik, dan novel sejarah, serta novel populer. Cerita jenis lain
yang memiliki ciri utama sepertri novel adalah cerpen. Bedanya dengan novel,
cerpen penceritaannya lebih ringkas, masalahnya lebih padu dan plotnya tunggal
dan terfokus ke akhir cerita. Sebuah cerita yang panjang yang berjumlah ratusan
halaman, jelas tidak dapat disebut dengan cerpen.
Unsur Intrinsik Prosa
Unsur intrinsik prosa terdiri
atas alur, tema, tokoh dan penokohan, latar/setting, sudut pandang, gaya,
pembayangan, dan amanat. Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian
dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus
menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi, bahwa pada umumnya alur
cerita rekaan terdiri atas:
1. Alur buka, yaitu situasi terbentang sebagai suatu kondisi
permulaan yang akan dilanjutkan dengan kondisi berikutnya;
2. Alur tengah, yaitu kondisi mulai bergerak ke arah kondisi yang
memulai memuncak;
3. Alur puncak, yaitu kondisi
mencapai titik puncak sebagai klimaks peristiwa ; dan
4. Alur tutup Dengan kata lain, alur cerita meliputi paparan,
konflik, klimaks dan penyelesaian.
Kedelapan unsur tersebut
saling mengisi dalam sebuah prosa. Tema, misalnya menjadi sentral yang
mengilhami cerita. Begitu juga dengan penokohan yang meramu watak tokohnya
menjadi penyampai pesan yang diinginkan pengarang, baik yang jahat maupun yang
baik. Agar penokohan ini tampak lebih hidup, ditopang dengan latar/setting
cerita, gaya, pembayangan dan amanat.
Unsur Ekstrinsik Prosa
Unsur ekstrinsik prosa
fiksi adalah segala faktor luar yang melatarbelakangi penciptaan karya
sastra seperti nilai sosiologi, nilai kesejarahan, nilai moral, nilai
psikologi. Ia merupakan nilai subjektif pengarang yang bisa berupa kondisi
sosial,motivasi, tendensi yang mendorong dan mempengaruhi kepengarangan seseorang.
Pada gilirannya unsur ekstrinsik yang sebenarnya ada di luar karya sastra itu,
cukup membantu para penelaah sastra dalam memahami dan menikmati karya yang
dihadapi. Pengalaman mendalam dan pengenalan unsur ekstrinsik tersebut
memungkinkan seseorang penelaah mampu ,menginterpretasikan karya sastra dengan
lebih tepat.
Unsur tingkat nilai
penghayatan dalam prosa fiksi adalah neveau anorganik, neveau vegetatif, neveau
animal, neveau humanis, dan neveau metafisika/ transendental.
SELUK-BELUK DRAMA
Pengertian Drama Laku
dalam Simulasi Realitas
Drama adalah laku yang meniru laku dalam
kehidupan nyata untuk memberikan pengukuhan dan alternatif bagi kehidupan itu
sendiri. Karena yang ditekankan adalah laku, maka kata-kata/dialog dalam drama
harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan situasi
interaksi atau komunikasi manusia yang melibatkan tidak hanya kata-kata/dialog
itu sendiri, tetapi juga situasi yang melingkungi dialog,
seperti siapa yang berdialog, kapan dan di mana dialog itu berlangsung, dan
mengapa dialog itu diutarakan. Dengan demikian, dalam laku drama kita melihat
kesatuan antara kata-kata, perbuatan, dan situasi. Sifat kemenyatuan ini sangat
sesuai atau mirip dengan keadaan yang berlangsung dalam kehidupan komunikasi
manusia yang nyata. Oleh karena itu, drama dapat berfungsi sebagai media
simulasi realitas, yaitu media untuk menghaluskan dan mengembangkan diri
manusia dan kebudayaannya melalui penanaman nilai kultural/keagamaan,
penyampaian pemikiran baru, dan penyampaian kritik sosial.
Struktur Drama
Sebagai naskah yang utuh,
drama dibangun oleh beberapa unsur yang saling berkaitan, yaitu dialog,
petunjuk pemanggungan, plot, dan karakter. Dialog merupakan ucapan tokoh
tertentu yang kemudian disusul oleh ucapan tokoh yang lain. Melalui pergiliran
ucapan tokoh-tokoh itulah segala informasi diutarakan perlahan-lahan dari awal
sampai akhir drama. Karena itulah kedudukan dialog sangat penting dan utama di
dalam drama. Selain itu, informasi juga diberikan melalui petunjuk pemanggungan.
Petunjuk pemanggungan adalah
teks sampingan yang berfungsi untuk memberikan petunjuk tentang berbagai aspek
pemang-gungan, yakni aspek karakter, penuturan, dan desain. Teks ini mungkin
terdapat di dalam dialog (intradialog) dan mungkin pula terdapat di luar dialog
(ekstradialog). Unsur drama berikutnya adalah plot, yaitu pola pengaturan
kejadian dalam drama yang membuat kejadian-kejadian tersebut saling berhubungan
secara logis, utuh, dan bermakna. Kejadian-kejadian dalam drama tentu saja
muncul karena adanya tindakan tokoh/karakter dramatik dengan segala aspek
psikis, moral, sosial, dan ciri fisiknya.
Jenis Drama
Pada umumnya, drama
dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu tragedi dan komedi.
Pengelompokan ini didasarkan pada cara pandang filosofis drama tersebut
terhadap hakikat hidup manusia. Pandangan hidup yang khas dalam drama tragedi
terletak pada penegasan bahwa manusia harus menerima suratan nasib yang tidak
dapat dihindarkan. Namun, tragedi juga menggambarkan kenyataan bahwa meskipun
kita harus menghadapi dan menerima suratan nasib, kita juga punya kebutuhan
yang kuat untuk memberi makna pada nasib kita. Oleh karena itu, semangat drama
tragedi tidaklah pasif, melainkan penuh dengan semangat perjuangan, yakni
perjuangan untuk memberi makna pada nasib hidup manusia. Adapun komedi
menggambarkan kenyataan bahwa seberapa kali pun kita jatuh atau gagal, kita
akan dapat bangkit kembali dan meneruskan kehidupan. Komedi memperlihatkan
kehendak hidup yang tak terpadamkan. Inilah semangat yang menggerakkan tokoh-tokohnya,
yakni semangat untuk merayakan kegembiraan hidup. Kegembiraan hidup itu
ditunjukkan dengan cara menyimpangkan keseriusan dan kesakitan (penderitaan)
sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan kelucuan.
Pementasan Drama
Naskah drama dibuat bukan
semata-mata untuk dibaca, tetapi lebih dimaksudkan untuk dipentaskan.
Untuk mewujudkan naskah drama menjadi sebuah pementasan, diperlukan banyak
pihak yang harus bekerja sama secara kompak. Pihak-pihak tersebut adalah
produser, sutradara, aktor/aktris, dan desainer. Berbagai pihak ini
kemudian mengubah atau mengonkretkan naskah menjadi konsep produksi, yakni
suatu rumusan konseptual atau ide dasar yang menyatukan berbagai aspek
pementasan yang berbeda sehingga dapat terbentuk suatu sudut pandang pemaknaan
bersama terhadap produksi pementasan. Rumusan ini bersifat general, konkret,
dan inspiratif. Dengan panduan konsep produksi itulah berbagai pihak tersebut
saling memberikan kontribusi demi terciptanya pementasan yang berhasil.
TEORI-TEORI SASTRA
Teori sastra Psikoanalisis
Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari
pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk gangguan-gangguan fisik, sedangkan dalam diri
sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu, dengan
anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya akan
diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si pengarang.
Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat dipandang sebagai
pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan pengarangnya sendiri. Akan
tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari
oleh si pengarang novel itu sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah
terdistorsi, seperti halnya yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain,
ketaksadaran pengarang bekerja melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi,
karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat
pengarangnya yang terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.
Teori Sastra Struktural
Studi (kajian) sastra
struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objek
kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat
konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks
sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan
yang utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial
dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra structural
beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari
analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari
pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh
terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra dianggap akan
menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.
Teori Sastra Feminis
Teori sastra feminisme melihat
karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu,
tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang
tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan
demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa
dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga
dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan
dan memihak pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan
pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapananggapan
patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks
sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni
karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah
ginokritik.
Di sini yang diupayakan adalah
penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan, baik gaya,
tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan
perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya,
dan perkembangan profesi sastrawan perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini
kemudian diarahkan untuk membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan
sistem sastra kaum perempuan.
Teori Resepsi pembaca
Teori resepsi pembaca berusaha
mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam
pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui
teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian
makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya
dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca.
Karya sastra sebagai dampak
yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi,
yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan
cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak
dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya
konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya,
yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi
pembaca tertentu.
Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu
1.
Kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
2.
Pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3. Kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan
nyata. Butir ketiga ini ditentukan
pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks
sastra terhadap kehidupan real.
Teori resepsi sastra
beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika kita
meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan
dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan
begitu, dalam pemahaman kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog
antara horizon harapan masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu
teks sastra, kita tidak hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu,
tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang apa yang kita pikirkan
tentang diri kita sendiri, harapanharapan kita, dan bagaimana pikiran kita
berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam
horizon harapan kita.
ALIRAN SASTRA
Supernaturalisme dan Naturalisme
Idealisme dan Materialisme
Istilah-istilah naturalis,
materialis, dan idealis, adalah istilah-istilah yang digunakan di kalangan ilmu
filsafat sebagai suatu paham, pandangan, atau falsafah hidup yang akhirnya di
kalangan ilmu sastra merupakan aliran yang dianut seseorang dalam menghasilkan
karyanya. Aliran dalam karya sastra biasanya terlihat pada periode tertentu.
Setiap periode sastra biasanya ditandai oleh aliran yang dianut para pengarang
pada masa itu. Bahkan unsur aliran yang menjadi mode pada periode tertentu
merupakan ciri khas karya sastra yang berada pada masa tersebut.
Masalah aliran sebagai pokok
pandangan hidup, berangkat dari paham yang dikemukakan para filosof dalam
menghadapi kehidupan alam semesta ini. Tafsiran yang mula-mula diberikan oleh
manusia terhadap alam ini ada dua macam, yaitu supernatural dan natural.
Penganut paham-paham tersebut dinamakan supernaturalisme dan naturalisme. Paham
supernatural mengemukakan bahwa di dalam alam ini terdapat wujud-wujud yang
bersifat gaib yang bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa daripada alam nyata
yang mengatur kehidupan alam sehingga menjadi alam yang ditempati sekarang ini.
Kepercayaan animisme dan dinamisme merupakan kepercayaan yang paling tua
usianya dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia yang berpangkal pada
paham supernaturalisme dan masih dianut oleh beberapa masyarakat di muka bumi
ini. Sebagai lawan dari paham supernatural adalah naturalisme yang menolak
paham supernatural. Paham ini mengemukakan bahwa gejala-gejala alam yang terlihat
ini terjadi karena kekuatan yang terdapat di dalam alam itu sendiri yang dapat
dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui. Paham ini juga mengemukakan
bahwa dunia sama sekali bergantung pada materi, kebendaan, dan gerak. Kenyataan
pokok dalam kehidupan dan akhir kehidupan adalah materi, atau kebendaan.
Pada bidang seni terdapat pula
kedua aliran besar tersebut dengan karakteristik yang berbeda, yaitu aliran
idealisme dan materialisme. Idealisme adalah aliran yang menilai tinggi
angan-angan (idea) dan cita-cita (ideal) sebagai hasil perasaan daripada dunia
nyata. Aliran ini pada awalnya dikemukakan oleh Socrates (469-399 sM.) yang
dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Plato (427-347 sM.). Dalam bidang seni
rupa pelukis yang beraliran idealisme cenderung lebih suka mewujudkan
benda-benda sebaik mungkin daripada apa adanya. Dalam ilmu kesusilaan idealisme
mengandung pandangan hidup di mana rohani mewujudkan kekuatan yang berkuasa dan
menjelaskan bahwa semua benda di dalam alam dan pengalaman adalah perwujudan
pikiran, pandangan yang nyata.
Lawan aliran idealisme adalah
aliran materialisme. Aliran ini mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung
pada materi dan gerak. Ajaran ini sudah dikemukakan oleh Democrates pada abad
ke-4 sM, yang mengatakan bahwa semua kejadian yang gaib, dan ajaib di alam ini
digerakkan oleh atom dan keluasan geraknya. Tidak ada kekuatan gaib yang
bersifat supernatural yang mengatur kehidupan ini. Di dalam bidang seni, seni
rupa dan seni pahat, aliran materialisme atau naturalisme ini disebut juga
dengan aliran realisme, yaitu bentuk lukisan yang diciptakan menurut keadaan
alam yang sebenarnya yang berdasarkan atas faktor-faktor perspektif, proporsi,
warna, sinar, dan bayangan. Sedangkan di dalam seni sastra aliran materialisme
atau naturalisme ini merupakan kelanjutan dari aliran realisme.
Idealisme dan Aliran Lainnya dalam Karya
Sastra
Aliran-aliran yang terdapat di
dalam karya sastra tidak dapat di- “cap”-kan sepenuhnya kepada seorang
pengarang. Sutan Takdir Alisyahbana, misalnya dalam karyanya ia idealis tetapi
juga romantis, sehingga ia juga dikenal sebagai seorang yang beraliran
romantis-idealis. Dalam aliran idealisme terdapat aliran romantisme,
simbolisme, ekspresionisme, mistisisme,
dan surealisme. Sedangkan yang termasuk ke dalam aliran materialisme
ialah aliran realisme, naturalisme, impresionisme, serta determinisme. Aliran
lain yang berpandangan ke arah manusia sebagai pribadi yang unik dikenal
sebagai aliran eksistensialisme.
Aliran idealisme adalah aliran
di dalam filsafat yang mengemukakan bahwa dunia ide,dunia cita-cita, dunia
harapan adalah dunia utama yang dituju dalam pemikiran manusia. Dalam dunia
sastra, idealisme berarti aliran yang menggambarkan dunia yang dicita-citakan,
dunia yang diangan-angankan, dan dunia harapan yang masih abstrak yang jauh
jangka waktu pencapaiannya. Di dalamnya digambarkan keindahan hidup yang ideal,
yang menyenangkan, penuh kedamaian, kebahagiaan, ketenteraman, adil makmur dan
segala sesuatu yang menggambarkan dunia harapan yang sesuai dengan tuntutan
batin yang menyenangkan yang tidak lagi adanya keganasan, kecemasan,
kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, keterbelakangan, yang menyusahkan dan
menyengsarakan batin. Sastrawan Indonesia yang dikenal sebagai seorang yang
idealis baik di dalam novel maupun puisinya ialah Sutan Takdir Alisyahbana.
Aliran romantisme ini
menekankan kepada ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudan pemikiran
pengarang sehingga pembaca tersentuh emosinya setelah membaca ungkapan
perasaannya. Untuk mewujudkan pemikirannya, pengarang menggunakan bentuk
pengungkapan yang seindah-indahnya dan sesempurnasempurnanya. Aliran romantisme
biasanya dikaitkan dengan masalah cinta karena masalah cinta memang
membangkitkan emosi. Tetapi anggapan demikian tidaklah selamanya benar.
Simbolisme adalah aliran
kesusastraan yang penyajian tokoh-tokohnya bukan manusia melainkan binatang,
atau benda-benda lainnya seperti tumbuh-tumbuhan yang disimbolkan sebagai
perilaku manusia. Binatang-binatang atau tumbuh-tumbuhan diperlakukan sebagai
manusia yang dapat bertindak, berbicara, berkomunikasi, berpikir, berpendapat
sebagaimana halnya manusia. Kehadiran karya sastra yang beraliran simbolisme
ini biasanya ditentukan oleh situasi yang tidak mendukung pencerita atau
pengarang berbicara. Pada masyarakat lama, misalnya di mana kebebasan berbicara
dibatasi oleh aturan etika moral yang mengikat kebersamaan dalam kelompok
masyarakat, pandangan dan pendapat mereka disalurkan melalui bentuk-bentuk
peribahasa atau fabel.
Aliran ekspresionisme adalah
aliran dalam karya seni, yang mementingkan curahan batin atau curahan jiwa dan
tidak mementingkan peristiwa-peristiwa atau kejadiankejadian yang nyata.
Ekspresi batin yang keras dan meledak-ledak. biasa dianggap sebagai pernyataan
atau sikap pengarang. Aliran ini mula-mula berkembang di Jerman sebelum Perang
Dunia I, Pengarang Indonesia yang dianggap ekspresionis ialah Chairil Anwar.
Mistisisme adalah aliran dalam
kesusastraan yang mengacu pada pemikiran mistik, yaitu pemikiran yang
berdasarkan kepercayaan kepada Zat Tuhan Yang Maha Esa, yang meliputi segala
hal di alam ini. Karya sastra yang beraliran mistisisme ini memperlihatkan
karya yang mencari penyatuan diri dengan Zat Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Tuhan
Semesta Alam. Pada masa kesusastraan Klasik dikenal Raja Ali Haji dengan
Gurindam Dua Belas-nya yang sarat dengan ajaran mistik. Pada karya-karya sastra
sekarang ini yang memperlihatkan aliran mistik, misalnya Abdul Hadi W.M.,
Danarto, dan Rifai Ali.
Surealisme adalah aliran di
dalam kesusastraan yang banyak melukiskan kehidupan dan pembicaraan alam bawah
sadar, alam mimpi. Segala peristiwa yang dilukiskan terjadi dalam waktu yang
bersamaan dan serentak. Aliran ini dipengaruhi oleh Sigmund Freud (1856-1939)
ahli psikiatri Austria yang dikenal dengan psikoanalisisnya terhadap gejala
histeria yang dialami manusia. Dia berpendapat bahwa gejala histeria traumatik
yang dialami seseorang dapat disembuhkan melalui analisis kejiwaan yang
dilakukan dengan kondisi kesadaran pasien, bukan dengan cara menghipnotis
sebagaimana yang dilakukan oleh rekannya Breuer. Menurut Freud emosi yang
terpendam itu bersifat seksual. Perbuatan manusia digerakkan oleh libido, nafsu
seksual yang asli. Dengan menggali bawah sadar manusia, ia akan dapat
dikembalikan kepada kondisinya semula.
Realisme dan Aliran Lainnya dalam Karya
Sastra
Realisme adalah aliran dalam
karya sastra yang berusaha melukiskan suatu objek seperti apa adanya Pengarang
berperan secara objektif. Dalam keobjektifanlah ia melihat keindahan objek yang
dibidiknya dan dihasilkan di dalam karya sastra. Pengarang tidak memasukkan
ide, pikiran, tanggapan dalam menghadapi objeknya. Gustaf Flaubert seorang
pengarang realisme Perancis mengemukakan bahwa objektivitas pengarang sangat
diperlukan dalam menghasilkan karyanya. Objek yang dibidik pengarang sebagai
objek ceritanya tidak hanya manusia dengan beragam karakternya, ia juga dapat
berupa binatang, alam, tumbuh-tumbuhan, dan objek lainnya yang berkesan bagi
pengarang sebagai sumber inspirasinya. Impresionisme berarti aliran dalam
bidang seni sastra, seni lukis, seni musik yang lebih mengutamakan kesan
tentang suatu objek yang diamati dari pada wujud objek itu sendiri. Di bidang
seni lukis, aliran ini bermula di Perancis pada akhir abad ke-l9. Di dalam seni
sastra aliran impresionisme tidak berbeda dengan aliran realisme, hanya pada
impresionisme yang dipentingkan adalah kesan yang diperoleh tentang objek yang
diamati penulis. Selanjutnya, kesan awal yang diperoleh pengarang diolah dan
dideskripsikan menjadi visi pengarang yang sesuai dengan situasi dan kondisi
tertentu.
Karya sastra yang beraliran
impresionisme pada umumnya terdapat pada masa angkatan Pujangga Baru, masa
Jepang, yang pada masa itu kebebasan berekspresi tentang cita-cita, harapan,
ide belum dapat disalurkan secara terbuka. Semua idealisme disalurkan melalui
bentuk yang halus yang maknanya terselubung.
Pengarang Indonesia yang
karyanya bersifat impresif antara lain ialah Sanusi Pane, dengan puisi-puisinya
Candi, Teratai, Sungai, Abdul Hadi W.M., dan W.S Rendra. Aliran naturalisme
adalah aliran yang mengemukakan bahwa fenomena alam yang nyata ini terjadi
karena kekuatan alam itu sendiri yang berinteraksi sesamanya. Kebenaran
penciptaan alam ini bersumber pada kekuatan alam (natura). Di dalam seni lukis
aliran naturalisme ini dimaksudkan sebagai karya seni yang menampilkan keadaan
alam apa adanya, berdasarkan faktor perspektif, proporsi sinar, dan bayangan.
Di dalam karya sastra aliran naturalisme adalah aliran yang juga menampilkan
peristiwa sebagaimana adanya. Karena itu ia tidak jauh berbeda dengan realisme.
Hanya saja, kalau realisme menampilkan objek apa adanya yang mengarah kepada
kesan positif, kesan yang menyenangkan, sedangkan naturalisme sebaliknya.
Dalam kesusastraan Barat, yang
dikenal sebagai tokoh naturalis ialah Emil Zola (1840- 1902) pengarang
Perancis. Dalam karyanya gambaran kemesuman, pornografi digambarkan apa adanya.
Aliran seni untuk seni (l’art pour art’) melatarbelakangi pandangannya dalam
berkarya. Di Indonesia pengarang yang karyanya cenderung beraliran naturalisme
adalah Armijn Pane dengan novel Belenggu-nya, Motinggo Busye pada awal-awal
novelnya tahun 60-an dan 70-an bahkan memperlihatkan novel yang dikategorikan
pornografis. Novel Saman (l998) karya Ayu Utami juga memperlihatkan kecenderungan
ke arah naturalis.
Determinisme ialah aliran
dalam kesusastraan yang merupakan cabang dari naturalisme yang menekankan
kepada takdir sebagai bagian dari kehidupan manusia yang ditentukan oleh unsur
biologis dan lingkungan. Takdir yang dialami manusia bukanlah takdir yang
ditentukan oleh yang Mahakuasa melainkan takdir yang datang menimpa nasib
seseorang karena faktor keturunan dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya.
Eksistensialisme dalam Karya Sastra
Di samping aliran-aliran yang
telah dibicarakan sebelumnya, terdapat pula aliran kesusastraan yang berkembang
akhir-akhir ini, yaitu aliran eksistensialisme. Aliran ini adalah aliran di
dalam filsafat yang muncul dari rasa ketidakpuasan terhadap dikotomi aliran
idealisme dan aliran materialisme dalam memaknai kehidupan ini. Aliran
idealisme yang hanya mementingkan ide sebagai sumber kebenaran kehidupan dan
materialisme yang menganggap materi sebagai sumber kebenaran kehidupan,
mengabaikan manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai keberadaan sendiri
yang tidak sama dengan makhluk lainnya. Idealisme melihat manusia hanya sebagai
subjek, hanya sebagai kesadaran, sedangkan materialisme melihat manusia hanya
sebagai objek. Materialisme lupa bahwa sesuatu di dunia ini disebut objek
karena adanya subjek. Eksistensialisme ingin mencari jalan ke luar dari kedua
pemikiran yang dianggap ekstrem itu yang berpikiran bahwa manusia di samping ia
sebagai subjek ia pun juga sekaligus sebagai objek dalam kehidupan ini (Ahmad
Tafsir,1994 hal 193).
Kata eksistensi berasal dari
kata exist, bahasa Latin yang diturunkan dari kata ex yang berarti ke luar dan
sistere berarti berdiri. Jadi eksistensi berarti berdiri dengan ke luar dari
diri sendiri. Pikiran seperti ini dalam bahasa Jerman dikenal dengan dasei.
Dengan ia ke luar dari dirinya, manusia menyadari keberadaan dirinya, ia berada
sebagai aku atau sebagai pribadi yang menghadapi dunia dan mengerti apa yang
dihadapinya dan bagaimana menghadapinya. Dalam menyadari keberadaannya, manusia
selalu memperbaiki, atau membangun dirinya, ia tidak pernah selesai dalam
membangun dirinya. Filsuf yang pertama mengemukakan eksistensi manusia ialah
Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) dari Denmark, kemudian Jean Paul Satre
(1905-1980) filsuf Perancis yang menyebabkan eksistensialisme menjadi terkenal.
Menurut Satre karena manusia menyadari bahwa dia ada, yang berarti manusia
menyadari pula bahwa ia menghadapi masa depan. Karenanya manusia sebagai
individu mempunyai tanggung jawab terhadap masa depan dirinya sendiri dan
tanggung jawab terhadap manusia secara keseluruhan. Akibatnya, orang
eksistensialisme berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan manusia adalah
rasa takut yang datang dari kesadaran tentang wujudnya di dunia ini. Sebagai
manusia yang mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap
manusia lainnya di dunia ini, mereka bebas menentukan, bebas memutuskan dan
sendiri pula memikul akibat keputusannya tanpa ada orang lain atau sesuatu yang
bersamanya. Dari konsepnya ini timbul pemikiran bahwa nasib manusia ditentukan
oleh dirinya sendiri dengan tidak bantuan sedikit pun dari yang lain.
Akibatnya, manusia selalu hidup dalam rasa sunyi, cemas, putus asa, dan takut
serta selalu dipenuhi bayangan harapan yang tak pernah terwujud dan berakhir.
Karena dasar eksistensialisme
ini adalah ide tentang keberadaan manusia, maka aliran ini tidak mementingkan
gaya bahasa yang khas yang mencerminkan aliran tertentu, melainkan menekankan
kepada pandangan pengarang terhadap kehidupan dan keberadaan manusia. Dalam
perkembangannya, aliran eksistensialisme berkembang menjadi dua jalur, yaitu
eksistensialisme yang ateistis dan eksistensialisme yang theistis.
Eksistensialisme yang ateistis dikembangkan oleh Jean Paul Sartre dan
eksistensialisme yang theistis dikembangkan oleh Gabriel Marcel. Dia menyatakan
dengan tegas bahwa semua eksistensi adalah kenyataan karena adanya Tuhan.
Manusia tidak mungkin ada kalau tidak ada Tuhan yang menciptakannya, dan
konkretisasi alam dunia ini merupakan bukti nyata dari keberadaan Tuhan Yang
Maha Kuasa. Oleh karena itu, keberadaan manusia di alam ini harus kembali ke
jalan Tuhan dan mewujudkan pujian kepada Tuhan.
Di dalam kesusastraan
Indonesia, eksistensialisme ini terlihat pada novel-novel karya Iwan
Simatupang, seperti Ziarah, Merahnya Merah, dan Kering, Dalam karyanya, Iwan
Simatupang memperlihatkan manusia sebagai tamu di dunia ini. Sebagai tamu, ia
datang, dan pergi lagi. Manusia gelisah, tidak punya rumah, selalu berada dalam
perjalanan dan berlangitkan relativisme-relativisme.
TEORI, KRITIK, dan SEJARAH SASTRA
Dalam studi sastra, perlu
dipahami antara teori, kritik dan sejarah sastra. Setiap teori, kritik, dan
sejarah sastra sudah banyak ilmuwan yang menggeluti ilmu tersebut. Seperti
Aristoteles selaku teoretikus sastra, Sainte-Beuve yang menonjol sebagai
kritikus, dan Frederick A. Pottle, yang mempelajari sejarah sastra. Teori,
kritik, dan sejarah sastra tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya
saling berhubungan. Untuk mempelajarinya, kita harus memilah perbedaan sudut
pandang yang mendasar.
Kesusastraan dapat dilihat
sebagai deretan karya yang sejajar, atau yang tersusun secara kronologis dan
merupakan bagian dari proses sejarah. Teori sastra adalah studi prinsip,
kategori, dan kriteria, sedangkan kritik sastra dan sejarah sastra merupakan
studi karya-karya kongkret. Ada yang berusaha memisahkan pemahaman dari teori,
kritik, dan sejarah sastra. Bagaimana dapat disimpulkan bahwa ketiga hal itu
dapat dikaji satu persatu sementara di dalam buku teori sastra saja sudah
termasuk di dalamnya kritik dan sejarah sastra. Sehingga, tak mungkin dapat
disusun teori sastra tanpa kritik sastra atau sejarah sastra, sejarah sastra
tanpa kritik sastra dan teori sastra, dan kritik sastra tanpa teori sastra dan
sejarah sastra.
Teori sastra dapat disusun
berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra dan itu secara otomatis perlu
mengakaji sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu pendapat tentang sastra.
Sebaliknya, kritik sastra dan sejarah sastra tidak mungkin dikaji tanpa satu
set pertanyaan, suatu sistem pemikiran, acuan dan generalisasi.
Mengenai kritik dan sejarah
sastra, ada yang berusaha untuk memisahkannya.
Berawal dari pendapat bahwa sejarah sastra mempunya kriteria dan
standarnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai zaman yang sudah lalu. Sehingga
perlu menelusuri alam pikiran dan sikap orang-orang dari zaman yang dipelajari.
Pandangan sejarah semacam ini menuntut kemampuan imajinasi, empati dengan masa
silam dan selera masa silam mengenai rekonstruksi sikap hidup, kebudayaan dan
sebagainya. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pengarang bermaksud untuk
menggambarkan keadaan zaman lampau. Sehingga maksud pengarang tersebut
menjadikan tugas zaman dan karyanya tidak perlu diulas lagi dan kritik sastra
pun sudah selesai. Jika hanya menjabarkan makna dan kehidupan zaman lampau yang
digambarkan oleh pengarang berarti pembaca hanya bisa menoleh ke zaman
pengarang tersebut. Tidak melihat ke masa kini. Sementara zaman lampau sangat
berbeda dengan zaman sekarang. Pembaca tentu memiliki imajinasi dan interpretasi
sendiri yang jauh berbeda dengan yang mengalami masa lampau itu. Contohnya
drama Hamlet. Jika direkonstruksi oleh kritikus sekarang justru dapat
menghilangkan makna drama tersebut. Sebaiknya sejarawan sastra bisa menyoroti
karya sastra dengan sudut pandang zaman yang berbeda antara zaman pengaran dan
kritikusnya atau melihat keseluruhan sejarah interpretasi dan kritik pada karya
untuk memperoleh makna yang lebih menyeluruh. Jadi, sejarah sastra sangat
penting untuk kritik sastra. Kalau seorang kritikus yang tidak peduli pada
hubungan sejarah tentu penilaiannya akan meleset. Ia tidak akan tahu status
karya itu asli atau palsu dan ia cenderung memberikan penilaian yang sembrono.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemisahan kritik sastra dan sejarah sastra
sangat merugikan keduanya.