2020-10-09

Seksualitas Perempuan dalam Novel Saman Karya Ayu Utami: Tinjauan Kritik Sastra Feminis Islam


Didi Suhendi[1]

Hp 081542888989

E-mail: didisuhendioke@yahoo.com

 

Abstrak. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan persoalan seksualitas perempuan dalam novel Saman karya Ayu Utami. Dengan menggunakan metode deskriptif-analitis teknik analisis isi, seksualitas novel Saman menunjukkan hal-hal berikut ini. Pertama, novel ini telah membuka persoalan seks dari ruang privat menuju ruang publik. Kedua, keaktifan seks perempuan dimanifestasikan, baik dengan tema-tema seksualitas yang ekstrem, yang diekspresikan dengan bahasa yang vulgar maupun tindakan para tokoh perempuannya yang melakukan seks bebas dengan pasangannya masing-masing. Hal tersebut merupakan pendekonstruksian definisi seks yang selama ini dianggap berada pada wilayah unspoken ’tak terkatakan’, wilayah intimitas suami istri. Ketiga, Islam tidak melihat seks sebagai persoalan yang tabu, tetapi juga tidak menolerir seks bebas. Relasi seks kedua jenis kelamin dibenarkan hanya dalam kerangka perkawinan yang sah.

 

Kata Kunci: seksualitas,  keaktifan seks, seks bebas, wilayah intimitas

 

 

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengelaborasi isu-isu seksualitas perempuan dan menganalisisnya dengan perspektif kritik sastra feminis Islam terhadap novel Saman karya Utami. Tidak seperti novel-novel Indonesia pada periode-periode sebelumnya yang masih mengunci rapat persoalan seksual dan intimitas laki-laki dan perempuan, Saman telah membuka pintu itu secara transparan. Novel-novel periode 70-an, seperti Pada Sebuah Kapal, misalnya, menggambarkan intimitas Sri dengan Michel dengan bahasa yang bias dan samar-samar. Bahkan, novel-novel periode Balai Pustaka ”menutup rapat-rapat” seks bebas, dan kalaupun intimitas itu terjadi, teks tidak mendeskripsikannya secara vulgar dan panjang lebar. Intimitas seks bebas Kasibun, tokoh antagonis dalam novel pertama periode ini, dilukiskan teks  hanya dengan kalimat ”tidak mengindahkan aturan syarak”.

Dalam konteks di atas, seks dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai suatu hal yang tabu untuk dibicarakan. Seks hanya merupakan persoalan privat, persoalan domestik yang tidak ditujukan untuk konsumsi publik. Seks adalah wilayah intimitas antara suami dan istri, dan praktik seks antara keduanya sekadar untuk memenuhi fungsi utamanya, yaitu prokreasi. Di sini, seperti pada abad pertengahan, seks dipandang sebagai sesuatu yang suci. Sebagai bagian dari satu kosmos yang utuh dan suci, seks dideterminasi oleh kekuatan atau kekuasaan di luar individu, yakni agama dan kekuasaan politik. Agama berperan menentukan politik sehingga politik itu sendiri, seperti juga agama, adalah suci. Pada saat itu, seks hanya dipandang sebagai aktivitas reproduksi belaka (Sindhunata, 2003:12).

Dalam filsafat agama Katolik, ide yang sama juga diberikan. Seksualitas merupakan sesuatu yang dikaitkan dengan keduniawian dan secara potensial bisa menjadi sumber kesesatan. Seksualitas hanya boleh dikembangkan dalam lembaga perkawinan, terutama untuk tujuan reproduksi biologis. Dalam konteks reproduksi ini, seksualitas dalam perkawinan menjadi sesuatu yang suci yang diberkahi oleh Tuhan (Weeks, 1981: 22). Pandangan ini telah mereduksi fungsi seksual perempuan. Bagi perempuan, seks hanya dianggap sebagai sarana reproduksi; vagina dianggap sebagai organ tindakan seksual dan rahim identik dengan "alat reproduksi yang menyempurnakan". Robinson dan Richardson (1992:155) menganggap pengertian di atas sebagai "takdir" dan fenomena alam yang universal, yang merupakan bagian dari peristiwa biologis.

Pereduksian fungsi seksual perempuan memunculkan anggapan dan pandangan masyarakat bahwa kaum perempuan kurang atau tidak memiliki hasrat seksual dibandingkan laki-laki, atau kebutuhan seksual kaum perempuan ditentukan oleh kaum laki-laki. Konsekuensi tersebut menciptakan stereotip kepasifan seksual perempuan dan mewajibkan perempuan bersifat, bersikap, sekaligus bertingkah laku pasif terhadap lawan jenisnya sehingga perempuan yang berperilaku sebaliknya dipandang sebagai perempuan yang nakal. Apalagi, sifat-sifat kepasifan perempuan itu dilegitimasi dan dijustifikasi oleh teks-teks keagamaan melalui interpretasi-interpretasi yang bias gender yang dilakukan para ulama sehingga hasil interpretasi itu seakan-akan merupakan kebenaran yang tidak bisa ditolerir. Penggambaran perempuan yang pendiam, penurut, dan pasif, yang merupakan sebagian dari karakteristik perempuan ideal (salehah), serta ketaatan mutlak seorang perempuan (istri) untuk melayani kehendak seks laki-laki (suami) dalam kondisi apa pun (yang disokong oleh teks keagamaan), merupakan manifestasi hal di atas. Sebaliknya, seorang laki-laki tidak memiliki kewajiban sedikit pun untuk melayani keinginan seksual perempuan. Objektivikasi ini telah mereduksi bahkan menihilkan hasrat seksual perempuan terhadap laki-laki.

Berbeda dengan gagasan tersebut (yang diemban oleh novel-novel periode sebelumnya), Saman dipilih sebagai objek kajian tulisan ini dengan dua alasan mendasar. Pertama, novel ini memiliki karakteristik internal dan eksternal yang berbeda dengan novel-novel periode sebelumnya. Persoalan yang diangkat dalam novel ini sangat beragam mulai dari persoalan HAM, pluralitas, gender, kemiskinan, keadilan, humanisme, agama, perkawinan, feodalisme, lesbian, sampai pada isu-isu seksualitas perempuan.  Oleh karena itu, novel ini dianggap sebagai tonggak kelahiran periode angkatan reformasi atau angkatan 2000-an. Kedua, Saman dipandang sebagai representasi dan teladan liberalisasi seks publik. Seks yang suci, sakral, dan merupakan area intimitas suami-istri dijungkirbalikkan. Persoalan seks adalah persoalan profan yang harus dibuka dalam wacana publik. Bahkan, ideologi kepasifan seksualitas perempuan didekonstruksi secara radikal oleh tokoh-tokoh perempuan novel ini. Pandangan ini kemudian diikuti oleh novel-novel karya wanita pengarang lain, seperti Djenar Mahesa Ayu.

 

SEKSUALITAS PEREMPUAN DALAM PANDANGAN SIGMUND FREUD

Bagi perempuan, seksualitas telah menjadikan dirinya sebagai objek seks yang tidak memiliki hak untuk menikmati seks seperti laki-laki. Dengan menelusuri akar persoalan itu, Freud membongkar sekaligus menjustifikasi kepasifan seks perempuan. Menurut Freud (Fromm, 2002:146), seks merupakan pusat kehidupan manusia dan anatomi identik dengan takdir. Pembentukan maskulinitas dan feminitas manusia terbentuk pada masa perkembangan seksualitas anak yang mencerminkan berbagai ketegangan dalam kehidupan keluarga dan pengasuhan anak. Walaupun teorinya cukup rumit dan luas, pada hakikatnya ia melihat bahwa perbedaan anatomi seksual yang bertumpu pada keberadaan dan ketiadaan penis (alat kelamin laki-laki) merupakan dasar perbedaan psikis seseorang. Karena memiliki penis, laki-laki merasa lebih superior daripada perempuan dan mereka dapat menunjukkan kekuasaannya ketika berhadapan dengan perempuan. Hal demikian, menurut Freud, disebabkan oleh pandangannya bahwa alat kelamin laki-laki memainkan peranan kunci dalam regenerasi manusia. Sebaliknya, perempuan telah ditakdirkan tidak akan pernah meraih harapan, keinginan, dan hasrat apa pun dalam hidupnya. Freud mempercayai hanya laki-laki (maskulin) yang memiliki hasrat seksual terhadap perempuan (feminin). Oleh karena itu, atas persoalan itu, ia menyebut sifat pasif pada seksualitas perempuan dan sifat aktif pada seksualitas laki-laki. Hal ini disebabkan oleh anggapannya yang menyebut klitoral kelamin perempuan sebagai little penis (Michel, 1975:46).

Teori Freud tentang seksualitas tidak semata-mata mengganggu teori-teori pada zamannya karena secara publik ia membicarakan topik tabu, seperti homoseksualitas, sadisme, masokisme, hubungan seksual oral dan anal, tetapi juga karena secara transparan ia menyatakan bahwa "penyimpangan seksual" dan "keabnormalan" pada dasarnya hanyalah merupakan tahapan dalam perkembangan seksualitas manusia normal. Menurut Freud, anak-anak mengalami tahapan perkembangan psikoseksual yang jelas, dan gender dari setiap orang dewasa adalah hasil dari bagaimana ia mengatasi tahapan itu. Jika anak laki-laki berkembang secara normal, secara tipikal, mereka akan menjadi laki-laki yang akan menunjukkan sifat-sifat maskulin yang diharapkan. Begitu pun, jika perempuan berkembang secara normal, mereka akan menjadi perempuan dewasa yang menunjukkan sifat-sifat feminin. Dengan kata lain, maskulinitas dan feminitas, dalam pandangan Freud, adalah produk dari pendewasaan seksual.

            Dalam Three Contributions to the Theory of Sexuality, Freud (Tong, 2004:193—194) mendiskusikan tahapan-tahapan seksual pada masa bayi atau anak, yang terdiri atas tahapan oral, tahapan anal, tahapan falik, dan tahapan genital. Ia menekankan bahwa lanjutan kritis dari proses psikoseksual itu adalah penyelesaian sang anak atas apa yang disebut sebagai oedipus complex dan kastrasi pada tahap falik. Bagi Freud, pengalaman perempuan atas oedipus complex dan kastrasi berbeda dengan pengalaman laki-laki. Seperti anak laki-laki, objek cinta pertama anak perempuan adalah ibunya. Akan tetapi, tidak seperti anak laki-laki normal (tipikal) yang objek cintanya tetap perempuan, anak perempuan normal harus mengalihkan hasratnya dari perempuan kepada laki-laki, yaitu pertama-tama ayahnya kemudian laki-laki lain yang akan menggantikannya. Menurut Freud, transisi dari objek cinta perempuan ke objek cinta laki-laki tersebut dimulai pada saat anak perempuan menyadari bahwa ia tidak memiliki penis dan sejak saat itu pula anak perempuan menjadi korban penis envy, korban dari kecemburuan terhadap penis.

            Konsekuensi jangka panjang dari gagasan Freud tentang penis envy membuat perempuan menerima dua "takdir yang merugikan". (1) Perempuan menjadi narsistik ketika ia mengalihkan tujuan seksual dari aktif (yang terjadi pada perempuan sebelum tahapan falik) menjadi pasif (ketika sensitivitas genital muncul lagi pada masa pubertas). Menurut Freud (Tong, 2004:195), anak perempuan ingin lebih dicintai daripada mencintai. Semakin cantik seorang anak perempuan, semakin tinggi harapan dan tuntutannya untuk dicintai. (2) Perempuan menjadi vain 'kosong'. Sebagai kompensasi dari penis envy, anak perempuan memfokuskan diri pada penampilan fisik secara total seolah-olah penampilannya yang "sempurna" dapat menutupi kekurangannya atas penis. Akhirnya, anak perempuan menjadi korban dari rasa malu yang dibesar-besarkan. Menurut Freud, betapa pun buruknya narsistik, kekosongan, dan rasa malu itu, kelemahan karakter perempuan tersebut sangat kecil dibandingkan dengan apa yang sesungguhnya membentuk inferioritas perempuan sebagai satu jenis kelamin. Dengan kata lain, inferioritas perempuan terjadi disebabkan oleh kekurangan anak perempuan atas penis (Tong, 2004:196).

Penjelasan Freud tentang kepasifan seksual perempuan telah menjadi fenomena yang menginternalisasi kaum perempuan. Mereka tidak memiliki agresivitas untuk menyatakan perasaan cinta atau hasrat seksualnya kepada laki-laki (kekasihnya atau suaminya). Mereka digiring untuk menerima pandangan sosial bahwa perempuan yang ideal, perempuan baik-baik adalah perempuan yang pasif, pendiam, yang tidak menunjukkan sikap agresif kepada laki-laki sebab bagi perempuan, sikap agresif menunjukkan kejalangan, kebinalan, atau keliaran.

 

SEKSUALITAS PEREMPUAN DALAM PANDANGAN KAUM FEMINIS

Gagasan Freud tentang seksualitas perempuan (yang timpang gender itu) mendapat kritik yang tajam dari teori feminisme. Kaum feminis meredefinisikan seks dengan memberikan konsep inti bahwa seksualitas merupakan hasil konstruksi sosial, hasil kekuatan sejarah dan sosial masyarakat. Oleh kaum feminis, seksualitas didefinisikan sebagai proses sosial yang menciptakan, mengorganisasikan, mengekspresikan, dan mengarahkan hasrat. Mulai tahun 1960, ketika Freud memberikan karakter seksualitas perempuan sebagai pasif, masokistis, dan narsistik, teori feminisme melakukan kritik yang menyeluruh terhadap gagasan-gagasan seksualitas yang ada, yang mengabaikan realitas pengalaman perempuan. Teori feminis menyatakan bahwa kontrol laki-laki terhadap reproduksi dan seksualitas tubuh perempuan merupakan aktivitas utama patriarki. Bagi feminis, bentuk-bentuk seksualitas tidak merupakan sesuatu yang inheren dalam diri perempuan, tetapi merefleksikan institusi politik dan budaya yang mempengaruhi kondisi kehidupan dan kesadaran individu. Mereka menolak pandangan Freud yang melihat perbedaan identitas feminin dan maskulin yang semata-mata bersumber pada perbedaan biologis manusia yang bersifat mutlak. Bahkan, bagi feminisme radikal, penindasan perempuan muncul dari kontrol laki-laki atas fertilitas dan seksualitas perempuan. Aliran feminisme ini menyatakan bahwa dominasi laki-laki dalam semua manifestasinya didasarkan kontrol laki-laki terhadap kapasitas prokretif perempuan.

            Seorang ahli sosiologi Inggris yang banyak melakukan penelitian tentang konstruksi sosial masyarakat Inggris pada abad ke-19, Jeffrey Weeks (Saptari dan Holzner, 1997: 93—94), menyatakan bahwa pendekatan yang melihat seksualitas sebagai gejala biologis (yang merupakan suatu kekuatan yang berada di luar kendali individu dan mempengaruhi kehidupan pribadi dan hubungan sosial) telah banyak dikritik dan ditentang. Seks bukan merupakan gejala yang mandiri, yang tidak dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Karena berkaitan erat dengan struktur sosial, bagaimana, kapan, dan dengan siapa hubungan seks itu diperbolehkan serta bagaimana seksualitas laki-laki dan perempuan itu didefinisikan, konsep seks bisa berubah-ubah sesuai dengan perubahan dalam ideologi dan dinamika yang terdapat dalam masyarakat. 

 

SEKSUALITAS PEREMPUAN DALAM NOVEL SAMAN

            Dalam kurun waktu yang panjang, wacana tentang hasrat seksual perempuan kurang diangkat dalam tema seksualitas manusia pada umumnya. Selama ini, wacana seksualitas perempuan sering diposisikan sebagai "instrumen musik" yang dimainkan oleh laki-laki (McCormick dalam Amiruddin, 2003:91). Tema besar seksualitas manusia lebih diciptakan, diorganisasi, dan diekspresikan oleh kepentingan hasrat seksual laki-laki yang kemudian dijadikan sebagai kanon, dan hal ini dipercaya sebagai seksualitas perempuan. Seksualitas laki-laki ini menjadi standar untuk memahami atau mengekspresikan seksualitas perempuan. Oleh karena itu, seksualitas perempuan disebut sebagai  unspoken "tak terkatakan" (tersembunyi). Hal ini, misalnya, tampak jelas pada novel-novel periode Balai Pustaka.

Sebagai novel yang dibuat untuk melawan hegemoni ideologi maskulin, Saman merupakan personifikasi wilayah publik, merupakan representasi tulisan yang bersudut pandang perempuan, dan representasi menguaknya persoalan seksual dari wilayah privat menuju ruang publik. Seks tidak lagi merupakan urusan privat, tetapi sudah menjadi milik publik. Seks bukan lagi persoalan intimitas di antara dua manusia yang berada di balik "dinding tebal dan kuat". Melalui novel ini, seks membuka dirinya, mengundang orang ikut dalam intimitas tersebut. Tentang "seks publik" itu, etnolog Jerman, Peter Duer (Sindhunata, 2003:17) berkata,

"Tak pernah ada masyarakat di mana tendensi untuk buka-bukaan tentang hal atau wilayah privat dan intim menjadi demikian kuat dan terang-terangan seperti yang dilakukan masyarakat sekarang. Seksualitas manusia bangkit untuk membebaskan dirinya dari represi."

 

Para pemikir mulai mengkritik dan menganggap bahwa represi seksualitas bukan merupakan jalan yang baik. Sigmund Freud, misalnya, berpendapat bahwa walaupun rasio harus menundukkan naluri, walaupun logos harus tetap mengatasi eros, naluri seksual manusia tidak harus ditekan, tetapi diarahkan dan disublimasikan. Sublimisasi dilakukan bukan dengan represi libido, melainkan dengan manajemen libido sebab represi yang berlebihan terhadap seksual akan memicu meletusnya apa yang disebut dengan revolusi seksual. Dalam revolusi seksual itu terjadi pemberontakan eros terhadap logos secara terang-terangan (Fourez, 1984:3—9).

            Dalam Saman, personifikasi seks publik yang dibangun oleh teks pertama-tama terlihat pada presentasi tema-tema seksualitas yang mandiri dan otonom. Novel ini telah mengangkat persoalan seks yang semula dianggap privat, tabu, dan sekaligus sakral ke dalam wilayah yang transparan, "tanpa sekat dan tanpa dinding tebal". Hal demikian, misalnya, terlihat dari kutipan berikut ini.

Ia bersimpuh tanpa membantah, sampai kedua ujung dadanya menyentuh kedua ibu jari kaki sang lelaki. Disekanya telapak itu dengan rambutnya. Kemudian ia tengadah, dengan setitik air di mata kirinya, setitik darah di mata kanannya. Lalu perlahan ia merambat ke atas, sepanjang tungkai lelaki tadi. Wajahnya berhenti di pangkalnya yang rimbun seperti pepohonan. Ia merintih: "Kasihanilah, aku cuma haus. Buah yang ini bukan terlarang, kan?" (Utami, 2000:193).

 

Lelaki itu telah mencambuk dada dan punggung perempuan itu, tetapi ia menemukan di selangkangnya sebuah liang yang harum birahi. "Engkau dinamai perempuan karena diambil dari rusuk lelaki." Begitu kata bisikan Tuhan yang tiba-tiba datang kembali. "Dan aku menamai keduanya puting karena merupakan ujung busung dadamu. Dan aku menamainya klentit karena serupa kontol yang kecil." Namun liang itu tidak diberinya sebuah nama. Melainkan, dengan ujung jarinya ia merogoh. Dan dengan penisnya ia menembus (Utami, 2000:194).

 

            Berbeda dengan novel-novel periode sebelumnya, novel ini mempresentasikan aktivitas seks laki-laki dan perempuan dalam kisah mitos penciptaan manusia pertama (Adam dan Hawa) secara transparan dan vulgar. Dalam kutipan itu, aktivitas seksual kedua makhluk lawan jenis itu dinyatakan secara denotatif dengan klausa “dengan ujung jarinya ia merogoh dan dengan penisnya ia menembus.” Begitu pun, alat genital perempuan secara vulgar disebutkan, seperti frasa “sebuah liang yang harum berahi, klentit karena serupa kontol yang kecil.”

Di samping itu, kepasifan seksual perempuan didekonstruksi novel ini dengan menampilkan sikap keaktifan dan agresivitas tokoh-tokoh perempuannya. Kegigihan Laila untuk mendapatkan dan merebut cinta Sihar dari tangan istri dan anaknya, pemberontakan Shakuntala terhadap mitos keperawanan dengan merenggut "virginitasnya sendiri" hanya dengan sendok teh, kisah keintiman Cok dan Yasmin dengan laki-lakinya masing-masing, pengalaman seksual keempat perempuan itu dengan pacar-pacarnya, serta persoalan-persoalan seksualitas lainnya dideskripsikan oleh teks secara bebas dan otonom.

Sikap Laila yang aktif mendapatkan cinta Sihar, yang sesungguhnya telah terikat oleh institusi perkawinan, pemberontakan Shakuntala dan Cok terhadap tradisi dan norma-norma Timur yang mengikat dan terhadap orang tua yang mengekang kebebasan hasrat seksualnya, dengan melakukan intimitas bersama kekasihnya masing-masing, menunjukkan kritik dan penentangan novel ini terhadap identitas feminin yang dilekatkan pada kaum perempuan. Proses kultural yang mengasingkan seks perempuan, yang beranggapan bahwa seks itu tabu, dan perempuan tidak memiliki kehendak seks didekonstruksi dengan ekspresi kebebasan seks, serta hasrat seks Laila, Shakuntala, Yasmin, dan Cok yang merupakan keempat tokoh perempuan sebagai agent of sosial change. Hal tersebut tampak dalam ekspresi seksual Shakuntala dan hasrat seksual Laila di bawah ini.

Kuinginkan mulut yang haus/dari laki-laki yang kehilangan masa remajanya/di antara pasir-pasir tempat ia menyisir arus (Utami, 2000: 3 dan118).

 

Tetapi hangat nafasnya jadi terasa di bibir saya. Bau tembakau hisapnya membangkitkan sesuatu, entah apa. Dari dekat ia tampan, seperti kayu resak tembaga yang terpelitur, coklat keras berkilat (Utami, 2000: 22).

 

            Lalu kami berbaring di ranjang, yang tudungnya pun belum disibakkan, sebab kami memang tak hendak tidur siang. Dia katakan dada saya besar. Saya jawab tidak sepatah kata. Dia katakan, apakah saya siap. Saya jawab, tolong, saya masih perawan. (Adakah cara lain). Dia katakan bibir saya indah. Ciumlah. Cium di sini. Saya menjawab tanpa kata-kata. Tapi saya telah berdosa. Meskipun masih perawan (Utami, 2000: 4).

 

Kebebasan ekspresi seksual sekaligus kebebasan seksual tokoh-tokoh perempuan novel ini menandai pemberontakan yang ekstrem atas pemarginalan tema-tema seksual perempuan yang dikontrol untuk menerima predikat pasif, menjadi objek. “Revolusi seksual ini” sebagian merupakan akibat efek pandangan Freud yang menekankan signifikansi kebebasan psikologis dari berbagai represi, termasuk represi seksual yang disokong oleh agama (Katolik). Revolusi seksual dianggap sebagai reaksi, akibat, dan solusi yang tak terelakkan dari masa represi yang panjang berupa perubahan dan penegasian terhadap apa yang dipandang sebagai moral lama, sebagai sopan santun. Di sini, apa pun yang diperjuangkan oleh kaum perempuan untuk mengetahui identitas seksualnya tetap saja penuh dilema. Pada satu sisi, mereka distereotipekan sebagai makhluk yang pasif secara seksual sehingga karakter agresivitas seksual bagi perempuan dianggap penyimpangan. Namun, pada sisi lain, perempuan dipandang sebagai makhluk, yang secara psikologis, memiliki naluri seksual yang tinggi sehingga perlu diasingkan (dalam anggapan sebagian agama). Pandangan kedua ini turut menciptakan stigma bahwa perempuan yang aktif dan agresif dianggap sebagai perempuan nakal atau perempuan penggoda.

            Akan tetapi, melalui tokoh Saman, novel ini telah menunjukkan paradigma baru, sekaligus mengakui bahwa persoalan perempuan dan seks perempuan bukanlah persoalan yang tunggal, sederhana, dan universal, melainkan persoalan yang plural, kompleks, sekaligus unik, yang tidak dapat ditentukan dan dikontrol oleh laki-laki. Menentukan dan mengevaluasi seksualitas perempuan (perspektif feminin) dengan cara pandang laki-laki (perspektif maskulin) tidak akan dapat menemukan hakikat yang sesungguhnya karena pengalaman (seksualitas) perempuan bersifat unik yang hanya bisa dirasakan oleh kaum perempuan. Bagi perempuan, orgasme, misalnya, tidak hanya dicapai melalui alat reproduksi laki-laki, tetapi juga lewat imaji dan totalitas tubuh. Hal demikian diakui Yasmin dalam suratnya yang ditujukan kepada Saman berikut ini.

            Saman,

            Orgasme dengan penis bukan sesuatu yang mutlak. Aku selalu orgasme jika membayangkan kamu. Aku orgasme karena keseluruhanmu.

 

            Saman,

            Tahukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu (Utami, 2000: 196).

 

Demikian pula, melalui tokoh Saman, novel ini menjungkirbalikkan pandangan tradisional relasi timpang seksual laki-laki dan perempuan bahwa hubungan seksual suami istri merupakan persoalan nafkah batin (seperti juga nafkah lahir) suami yang menjadi kewajibannya yang harus diterima istri. Sang suami memberikan "nafkah batin" dan sang istri menerima nafkah itu dengan sukarela. Dalam hubungan itu, memberikan kenikmatan seksual (yang identik dengan memberikan nafkah batin) adalah tugas suami. Sang istri menerima dan bersikap pasif. Dalam pandangan itu, hasrat seksual perempuan direduksi, bahkan dieliminasi. Akan tetapi, seperti bentuk pelayanan lainnya, memenuhi kebutuhan seksual suami juga merupakan tugas istri. Dalam konteks ini, perempuan harus memenuhi kebutuhan laki-laki dengan memberikan kenikmatan (pelayanan) seksual kepada para suami. Kedua anggapan tersebut berada pada dua pandangan ekstrem yang tumpang tindih, sekaligus membingungkan. Perempuan distereotipkan sebagai "manusia berwajah dua": sebagai makhluk pasif secara seksual dan makhluk penuh berahi. Hal inilah yang dipikirkan Saman. Kendatipun laki-laki itu berada dalam ketidakpahaman (kebingungan) atas citra perempuan yang saling beroposisi tersebut, secara jujur, ia menemukan dan merasakan kenikmatan seksual yang mengesankan bersama Yasmin.

Selama ini aku membaca literatur tentang seks, pendapat, dan peraturan, yang berabad-abad diciptakan oleh kaum lelaki. Para rabid dan bapa-bapa Gereja yang berpendapat bahwa wanita penuh dengan berahi sehingga berbahaya dan patut dikucilkan. Atau ulama yang justru mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang pasif dan enggan secara seksual sehingga secara alamiah lelaki berpasangan dengan banyak istri. Tapi, dengan kamu aku merasa bahwa seks dan perempuan bukanlah hal yang mudah untuk ditafsirkan. Dan barangkali tidak bisa. Kadang, aku merasa seperti perawan yang diperkosa dan menemukan betapa indah persetubuhan itu. Aku tidak ingin menyalahkan kamu atas kenikmatan yang aku alami. Meskipun itu membingungkan aku (Utami, 2000:191).

 

 

SEKSUALITAS  PEREMPUAN DALAM  PANDANGAN FEMINISME ISLAM

Tidak seperti tradisi agama lain, misalnya Katolik, Islam tidak melihat seksualitas sebagai oposisi spiritualitas, tetapi merupakan tanda belas kasih dan rahmat Tuhan bagi kemanusiaan, seperti yang disebutkan dalam al-Quran surat ar-Rum ayat 21. Seksualitas tidak diasosiasikan sebagai semata-mata pemenuhan kebutuhan biologis, tetapi dipandang sebagai alat Ilahi untuk menciptakan relasi laki-laki dan perempuan atas dasar kebersamaan, ketenangan, dan cinta. Dalam ayat itu, hubungan kedua jenis kelamin itu diarahkan untuk mencapai keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.

            Islam tidak memandang seks sebagai sesuatu yang buruk atau kotor bila disalurkan pada “tempatnya yang benar” sebab seks merupakan salah satu fitrah manusia yang suci. Bahkan, apa yang keluar dari hubungan biologis itu (mani atau sperma) dinilai oleh para ulama sebagai sesuatu yang suci. Oleh karena itu, Rasulullah menegaskan dengan sabdanya “fi bud'i ahadikum sadaqah (Allah menganugerahkan ganjaran kepada suami istri yang melakukan hubungan intim) sebab bukankah jika ia meletakkannya pada yang haram dia berdosa?” (HR Muslim melalui Abu Dzar, al-Munziri, 2003: 451).

Dalam perspektif Islam, kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan biologisnya dipandang sebagai sesuatu yang natural, normal, dan suci. Dalam pandangan al-Quran, hidup membiara yang dipaksakan tidak ditetapkan Allah (Q.S. al-Hadid: 27). Dengan kata lain, hidup selibat tidak diperlukan bagi orang Islam yang ingin mempersembahkan hidupnya untuk mencapai derajat muttaqin. Perkawinan bukan merupakan hambatan bagi orang Islam untuk meraih tingkat spiritualitas yang tinggi, tetapi merupakan sarana dalam menciptakan masyarakat yang bermoral. Perkawinan melindungi manusia (laki-laki) dari tindakan amoral dengan memberikan kerangka religius yang di dalamnya energi seksual disalurkan secara konstruktif. Itulah sebabnya, al-Quran berbicara tentang seks, bahkan memerintahkan untuk melakukannya (QS. Al-Baqarah: 187).

Meskipun demikian, dalam mengungkapkan sesuatu yang tidak pantas (tabu), kitab suci ini memilih kata-kata yang amat sopan. Untuk mengungkapkan bersetubuh (hubungan seksual) dalam surat al-Maidah ayat 6, misalnya, al-Quran menggunakan kata lamastum an-nisa ‘menyentuh perempuan’ (menurut pendapat Abu Hanifah. Dalam pandangan Imam Syafi’i, menyentuh dalam kata itu bermakna bersentuhan kulit dengan laki-laki yang bukan muhrim). Kata ini digunakan untuk mengekspresikan hal-hal yang seharusnya dirahasiakan (Shihab, 2005:37). Begitu pun, perintah berhubungan seksual, seperti yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 223, diungkapkan oleh al-Quran dengan “istri-istri kamu adalah tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok tanam kamu itu kapan dan bagaimana pun kamu kehendaki”. Menurut Quraish Sihab (2005:39),  kata furuj, dalam ayat itu, adalah bentuk plural dari kata farj yang pada awalnya berarti celah di antara dua sisi. Al-Quran menggunakan kata yang amat halus itu untuk sesuatu yang amat rahasia bagi manusia, yaitu alat kelamin. Memang, kitab suci ini dan as-Sunah selalu menggunakan kata-kata halus atau kiasan untuk menunjuk hal-hal yang oleh manusia terhormat dipandang aib untuk dibicarakan. Dengan landasan ini, dalam perspektif Islam, seks bukan hal yang tabu, tetapi juga tidak dibuka secara vulgar.

Dalam pandangan Islam, relasi seksual laki-laki dan perempuan tidak dibebaskan secara absolut. Islam membuka relasi seksual antara kedua jenis kelamin itu hanya melalui pintu perkawinan (QS al-Mu’minun: 5—6, QS al-Ma’arij: 29—30). Selain menciptakan hubungan seks yang sehat, hubungan itu juga menciptakan tatanan sosial yang bersih dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, tindakan Laila mendapatkan dan merebut cinta Sihar dari tangan istri dan anaknya, pemberontakan Shakuntala terhadap mitos keperawanan dengan merenggut "kehormatannya sendiri" hanya dengan sendok  teh, hubungan seksual bebas Cok dan Yasmin dengan laki-lakinya masing-masing, pengalaman seksual keempat perempuan itu dengan pacar-pacarnya, tentulah tidak sejalan dengan pandangan Islam.

Meskipun tindakan keempat perempuan di atas bertujuan untuk mengeliminasi dan mendekonstruksi kepasifan seksual perempuan, membebaskan ikatan-ikatan, nilai-nilai, dengan bertindak atas dasar cinta atau seks bukan merupakan solusi yang baik. Apa yang dinyatakan Freud (bahwa kasih sayang ibu, cinta ayah dan saudara, persahabatan, hubungan guru-murid, bayi yang menyusui, anak kecil yang menghisap jarinya, dan sebagainya merupakan manifestasi dorongan seksual) telah menafikan unsur lain yang ada pada diri manusia. Harus diakui, memang, bahwa dorongan seksual begitu besar, yang lahir dari kebutuhan kedua jenis kelamin untuk hidup bersama. Telah menjadi fakta pula bahwa dorongan seksual melahirkan aneka ragam seni. Akan tetapi, menafsirkan semua aktivitas manusia yang hanya lahir dari dorongan seksual merupakan interpretasi yang menjatuhkan makhluk yang dihembuskan kepadanya ruh Ilahi itu ke lembah kehinaan.

Dalam relasi seksual, hubungan laki-laki (suami) dan perempuan (istri) harus dijalankan dengan mengindahkan prinsip saling memberi dan menerima, saling mengasihi dan menyayangi, tidak saling menyakiti, tidak saling memperlihatkan kebencian, serta tidak saling mengabaikan hak dan kewajibannya masing-masing. Dalam konteks ini, persoalan seksualitas merupakan kebutuhan bersama antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri). Baik laki-laki (suami) maupun istri memiliki hak untuk mendapatkan kenikmatan dan kepuasan dalam melakukan hubungan seks. Dalam ayat yang dikutip di atas (QS al-Baqarah: 223), secara eksplisit, al-Quran tidak melarang hubungan seksual dengan cara apa pun asalkan pada “tempatnya”. Kebolehan ini dipertimbangkan untuk tujuan kenikmatan kedua belah pihak. Dengan dasar ini, keaktifan perempuan (dalam hubungan seks, dan sebagainya) bukan sesuatu yang tabu, tidak pantas (seperti anggapan mayoritas orang Islam), atau terlarang dalam pandangan Islam.

Dengan demikian, anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang pasif dan enggan secara seksual—seperti tampak pada kutipan di atas—adalah pandangan yang bias gender. Pandangan demikian telah menciptakan hubungan yang asimetris: perempuan (istri) menjadi objek laki-laki (suami). Sebaliknya, opini bahwa perempuan penuh dengan berahi sehingga berbahaya dan patut dikucilkan juga tidak sejalan dengan perspektif Islam. Agama ini berpandangan bahwa kaum perempuan, seperti juga laki-laki, membutuhkan seks sehingga dalam persoalan itu, keduanya harus saling memberi, menghargai, dan melengkapi. Inilah prinsip dasar feminisme Islam yang melihat seksualitas sebagai kebutuhan bersama perempuan dan laki-laki yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi.

 

PENUTUP

Ada beberapa hal penting yang perlu dinyatakan berkaitan dengan isu-isu seksualitas dalam novel Saman. Pertama, novel ini merupakan personifikasi wilayah publik, merupakan representasi tulisan yang bersudut pandang perempuan, dan representasi menguaknya persoalan seksual dari wilayah privat menuju ruang publik. Kedua, personifikasi seks publik yang dibangun oleh teks terlihat pada presentasi tema-tema seksualitas yang mandiri dan otonom serta sikap keaktifan dan agresivitas tokoh-tokoh perempuannya. Perempuan yang dipandang tidak memiliki kehendak seks didekonstruksi dengan ekspresi kebebasan seks Laila, Shakuntala, Cok, dan Yasmin. Ketiga, Islam memandang bahwa seks bukan persoalan yang kotor, tetapi juga membebaskan seks arbitrasi bukan tindakan yang selaras dengan agama ini. Seks hanya dibenarkan dalam ikatan perkawinan yang sah.  

 

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Mariana. 2003. "Sex and Text (Sexts): Konsep Pembebasan Seksualitas Perempuan Lewat Sastra." Jurnal Perempuan No. 30 Edisi Juli, 2003.

Fourez, Gerard. 1984. "The Seksual Revolution in Perspective." Concilium, Nomor 173, 1984.

Fromm, Erich. 2002. Cinta, Seksualitas, dan Matriarki Gender. Yogyakarta: Jalasutra.

Michel, Juliet. 1975. Psychoanalysis and Feminism. New York: Vantage Books  Division of Randous House.

al-Munziri, Imam. 2003. Ringkasan Hadits Shahih Muslim. Jakarta: Pustaka Amani.

Robinson, Victoria dan Diane Richardson ed. 1992. Introducing Women's Studies, Feminist Theory and Practice. Macmilland Press Limited.

Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. 1997.  Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Anem Kosong Anem.

Shihab, Quraish. 2005. Tafsir al-Mishbah. Tangerang: Lentera Hati.

Sindhunata. 2003. "Seks Undercover: Ikon Bokong Inul." Basis, Nomor 03—04, Tahun ke-52, Maret—April 2003.

Tong, Rosemarie Putnam. 2004. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra.

Utami, Ayu. (2000). Saman. Bogor: SMK Grafika Mardi Yuana.

Weeks, J. 1981. Sex, Politics, and Society: The Regulation of Sexuality since 1800. London: Longman.

 

 


Previous Post
Next Post

0 Comments: