1. Multikutural
Multikultural adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan pandangan seseorang tentang berbagai kehidupan di
bumi, atau kebijakan yang menekankan penerimaan keragaman budaya, dan berbagai
budaya nilai-nilai (multikultural) masyarakat, sistem, budaya, adat istiadat,
dan politik yang mereka pegang.
Masyarakat Indonesia adalah
masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat
dengan berbagai keanekaragaman dikenal sebagai masyarakat multikultural.
Ketika kita mengenal masyarakat
sebagai sekelompok orang yang telah hidup cukup lama dan bekerja sama sehingga
mereka mampu mengorganisir diri dan menganggap dirinya sebagai entitas sosial
dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat dikombinasikan
dengan multikurtural telah pemahaman yang sangat luas dan mendalam diperlukan
untuk memahami apa yang masyarakat multikultural.
Dapat didefinisikan sebagai
keragaman multikultural atau perbedaan budaya dengan budaya lain. Sehingga
masyarakat multikultural dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang yang
tinggal dan hidup menetap di tempat yang memiliki karakteristik sendiri dan
budaya yang mampu membedakan antara satu komunitas yang lain. Setiap komunitas
akan menghasilkan budaya masing-masing yang akan khas untuk masyarakat.
Multikulturalisme yang pada dasarnya
merupakan pandangan dunia yang kemudian diterjemahkan ke dalam kebijakan
kenyataan kebudayaan, menekankan penerimaan keragaman, pluralitas dan
multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme juga
bisa menjadi pandangan dunia dipahamni kemudian diwujudkan dalam “politik
pengakuan”
2. Hegemoni
Istilah hegemoni berasal dari
istilah yunani, hegeisthai. Konsep hegemoni banyak digunakan oleh sosiolog
untuk menjelaskan fenomena terjadinya usaha untuk mempertahankan kekuasaan oleh
pihak penguasa. Penguasa disini memiliki arti luas, tidak hanya terbatas pada
penguasa negara (pemerintah).
Hegemoni bisa didefinisikan sebagai:
dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa
ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan
terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar (common
sense).
Dalam hegemoni, kelompok yang
mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima
nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok dominan (the ruling
party, kelompok yang berkuasa).
Hegemoni diterima sebagai sesuatu
yang wajar, sehingga ideologi kelompok dominan dapat menyebar dan dipraktekkan.
Nilai-nilai dan ideologi hegemoni ini diperjuangkan dan dipertahankan oleh
pihak dominan sedemikian sehingga pihak yang didominasi tetap diam dan taat
terhadap kepemimpinan kelompok penguasa. Hegemoni bisa dilihat sebagai strategi
untuk mempertahankan kekuasaan. Jika dilihat sebagai strategi, maka konsep
hegemoni bukanlah strategi eksklusif milik penguasa. Maksudnya, kelompok
manapun bisa menerapkan konsep hegemoni dan menjadi penguasa. Sebagai contoh
hegemoni, adalah kekuasaan dolar amerika terhadap ekonomi global. Kebanyakan
transaksi internasional dilakukan dengan dolar amerika.
4. Revitalisasi
Revitalisasi berarti proses, cara,
dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya.
Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi
vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali
(untuk kehidupan dan sebagainya). Pengertian melalui bahasa lainnya
revitalisasi bisa berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan
atau menggiatkan kembali berbagai program kegiatan apapun. Atau lebih jelas
revitalisasi itu adalah membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian
revitalisasi ini secara umum adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu
menjadi penting dan perlu sekali.
Revitalisasi termasuk di dalamnya
adalah konservasi-preservasi merupakan bagian dari upaya perancangan kota untuk
mempertahankan warisan fisik budaya masa lampau yang memiliki nilai sejarah dan
estetika-arsitektural. Atau tepatnya merupakan upaya pelestarian lingkungan
binaan agar tetap pada kondisi aslinya yang ada dan mencegah terjadinya proses
kerusakan.Tergantung dari kondisi lingkungan binaan yang akan dilestarikan,
maka upaya ini biasanya disertai pula dengan upaya restorasi, rehabilitasi
dan/atau rekonstruksi.Jadi, revitalisasi
adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang
dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami
kemunduran/degradasi. Selain itu, revitalisasi adalah kegiatan memodifikasi
suatu lingkungan atau benda cagar-budaya untuk pemakaian baru. Revitalisasi
fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang
publik) kota, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan
perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang
merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental
objectives). Hal ini mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang
produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol
yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota.
5. Postkolonialisme
Teori postkolonial merupakan teori
kritis sebagai salah satu bentuk dari kelompok teori-teori postmodern.
Postkolonial menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai “dunia ketiga” tidaklah
seragam. Ada heterogenitas baik karena wilayah, manusianya, dan kulturnya. Ia
juga menunjukkan bahwa ada resistensi tertentu dari Timur kepada Barat. Salah
satu bentuk yang sangat terkenal adalah apa yang disebut “subaltern” oleh
Spivak. Intinya, post kolonial menyediakan kerangka untuk mendestabilisasi
bahwa ada asumsi tersembunyi (inherent assumptions) yang melekat dalam
pemikiran Barat yang selama ini selalu mengklaim diri sebagai kebenaran
tertinggi dan juga universal. Teori postkolonial dikembangkan secara grounded
dengan mengangkat berbagai bukti riel hasil kolonialisme, baik secara fisik,
politis maupun kultur.
Tujuan pengembangan teori
postkolonial adalah melawan sisa-sisa dampak dari terjadinya kolonialisme dalam
pengetahuan termasuk pada sisi kultur. Postkolonial berorientasi pada
terwujudnya tata hubungan dunia yang baru di masa depan. Postkolonial merupakan
teori yang berasumsikan dan sekaligus mengeksplor perbedaan fundamental antara
negara penjajah dan negara terjajah dalam menyikapi arah perkembangan
kebudayaannya. Teori ini diterapkan untuk mengkaji karakter budaya yang lahir
terutama pada negara-negara dunia ketiga atau negara bekas jajahan pada dekade
setelah penjajahan berakhir.
Postkolonial dapat pula dipandang
sebagai ancangan teoritis untuk mendekonstruksi pandangan kaum kolonialis Barat
(disebut dengan kaum orientalis) yang merendahkan Timur atau masyarakat
jajahannya. Secara tegas Edward Said menyebut bahwa teori-teori yang dihasilkan
Barat tidaklah netral dan obyektif. Teori tersebut sengaja didesain sebagai
sebuah rekayasa sosial-budaya demi kepentingan dan kekuasaan mereka. Edward
Said membongkar kekerasan epistemologi Barat terhadap Timur ini dengan
menunjukkan adanya bias kepentingan, dan power yang terkandung dalam berbagai
teori yang disusun kaum kolonialis dan orientalis. Kalangan ilmuwan zaman
penjajahan bersikap kurang kritis, dan banyak yang mengandalkan pada
catatan-catatan tentara dan staf yang tidak memiliki metodologi yang netral.
Satu contohnya adalah pandangan ”negatif” Weber terhadap agama Timur termasuk
Islam, meskipun ia mengakui bahwa teorinya tersebut belum memadai secara
ilmiah.
Menurut Edward Said, orientalisme dapat didefinisikan dengan tiga cara yang
berbeda yaitu memandang orientalisme sebagai mode atau paradigma berfikir yang
berdasarkan epistemologi dan ontologi tertentu dalam upaya membedakan timur
dengan barat, sebagai gelar akademis; dan sebagai lembaga resmi yang pada
hakekatnya peduli pada timur. Saat ini kita bisa melihat betapa pemikiran
kolonial, khususnya orientalisme, telah menciptakan sejarah pahit menyangkut
hubungan Eropa dan Asia-Afrika.
Orientalis cenderung merendahlan
cara berpikir Timur yang dianggap tidak selaras dan sederajat dengan mereka.
Epsitemologi orientalis memposisikan dirinya sebagai subyek (self), sementara
yang lain adalah obyek (the other). Sampai dengan akhir abad ke-20 pun, saat
penjajahan telah lama berakhir, alih-alih menyesal dengan perbuatannya, pemikir
kolonial masih tetap merendahkan timur. Untunglah lahir pemikir postkolonial
untuk menunjukkan borok-borok itu semua.
Sesungguhnya, sebagai wacana
postcolonial telah muncul pada era penjajahan. Namun teori poskolonial mewujud
untuk memberikan kritik lama setelah itu. Perspektif postkolonial memberikan
kesadaran akan pentingnya identitas kebangsaan, pentingnya nilai-nilai
kemerdekaan dan juga humanisme. Jadi, teori ini lahir untuk membongkar relasi
kuasa yang membungkus struktur yang didominasi dan dihegemoni oleh kolonial. Sumbangan
besar datang dari karya Edward W. Said bertajuk Orientalism yang mengawali
pembongkaran ”kebusukan” pandangan Barat dalam melihat Timur selama ini.
Inti
kritik dari postkolonial (terhadap kolonialisme) sesungguhnya bukan dalam
bentuk penjajahan secara fisik yang telah melahirkan berbagai kesengsaraan dan
penghinaan hakekat kemanusiaan, melainkan pada bangunan wacana dan pengetahuan
termasuk bahkan bahasa. Postkolonial juga mengritik pendekatan dikotomi yang
merupakan simplifikasi yang menyesatkan.
6. Dekonstruksi
Dekonstruksi
berasal dari kata de + construktio (latin). Pada umumnya de
berarti ke bawah, pengurangan, atau terlepas dari. Sedangkan kata Construktio
berarti bentuk, susunan, hal menyusun, hal mengatur. Dekonstruksi dapat diartikan
sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun,
sebagai bentuk yang sudah baku. Kristeva (1980:36-37), misalnya, menjelaskan
bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan
konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi.
Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua
pernyataan kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang
dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran,
dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya
melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga
kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana. Menurut
Al-fayyadl (2011: 232) dekonstruksi adalah testimoni terbuka kepada mereka yang
kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka,
sebuah dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri.
Dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi
metafisika Barat seperti fenomenologi Husserlin, strukturalisme saussurean,
strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis
Lacanian. Tugas dekonstruksi, disattu pihak mengungkap problematika wacana-wacana
yang dipusatkan, di pihak lain membongkar metafisika dengan mengubah
batas-batasnya secara konseptual. Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah
menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin
menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan
ketimpamgan di balik teks-teks.
7. Feminisme
Feminisme
lahir awal abad ke 20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya yang
berjudul A Room of One’s Own (1929). Secara etimologis feminis berasal dari
kata femme (woman), berarti perempuan yang bertujuan untuk memperjuangkan
hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Tujuan feminis adalah
keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang lebih luas, feminis
adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang
dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan,
baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.
Teori
feminis sebagai alat kaum wanita untuk memperjuangkan hak-haknya, erat
berkaitan dengan konflik kelas ras, khususnya konflik gender. Dalam teori
sastra kontemporer, feminis merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di
seluruh dunia. Gerakan ini dipicu oleh adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum
perempuan sama dengan kaum laki-laki. Keberagaman dan perbedaan objek dengan
teori dan metodenya merupakan ciri khas studi feminis. Dalam kaitannya dengan
sastra, bidang studi yang relevan, diantaranya: tradisi literer perempuan,
pengarang perempuan, pembaca perempuan, ciri-ciri khas bahasa perempuan,
tokoh-tokoh perempuan, dan sebagainya.
Dalam
kaitannya dengan kajian budaya, permasalahan perempuan lebih banyak berkaitan
dengan kesetaraan gender. Feminis, khususnya masalah-masalah mengenai wanita
pada umumnya dikaitkan dengan emansipasi, gerakan kaum perempuan untuk menuntut
persamaan hak dengan kaum laki-laki, baik dalam bidang politik dan ekonomi,
maupun gerakan sosial budaya pada umumnya. Dalam sastra emansipasi sudah
dipermasalahkan sejak tahun 1920-an, ditandai dengan hadirnya novel-novel Balai
Pustaka, dengan mengemukakan masalah-masalah kawin paksa, yang kemudian
dilanjutkan pada periode 1930-an yang diawali dengan Layar Terkembang
karangan Sutan Takdir Aliajahbana.
Contoh-contoh
dominasi laki-laki, baik dalam bentuk tokoh-tokoh utama karya fiksi yang
terkandung dalam karya sastra maupun tokoh faktual sebagai pengarang dapat
dilihat baik dalam sastra lama maupun sastra modern. Kesadaran berubah sejak
tahun 1970-an, sejak lahirnya novel-novel populer, yang diikuti dengan hadirnya
sejumlah pengarang dan tokoh perempuan. Sebagai pengarang wanita memang agak
jarang. Sepanjang perjalanan sejarah sastra Indonesia terdapat beberapa
pengarang perempuan, antara lain: Sariamin, Hamidah, Suwarsih Djojopuspito, Nh.
Dini, Oka Rusmini, Ayu Utami, Dee, dan lain-lain.
Ada
lima masalah yang biasa muncul dalam kaitannya dengan teori feminis, yaitu a)
masalah biologis, b) pengalaman, c) wacana, d) ketaksadaran, dan e) masalah
sosioekonomi. Perdebatan terpentinag dalam teori feminis timbul sebagai akibat
masalah wacana sebab perempuan sesungguhnya termarginalisasikan melalui wacana
yang dikuasaioleh laki-laki. Pada dasarnya teori feminis dibawa ke Indonesia
oleh A. Teeuw. Kenyataan ini pun sekaligus membuktikan bahwa teori-teori Barat
dapat dimanfaatkan untuk menganalisis sastra Indonesia, dengan catatan bahwa
teori adalah alat, bukan tujuan.
Pemikiran
feminis tentang kesetaraan gender sudah banyak diterima dan didukung baik oleh
kalangan perempuan sendiri maupun oleh kalangan laki-laki. Dukungan ini
terlihat melalui penerimaan masyarakat terhadap kaum perempuan di bidang-bidang
yang tadinya hanya didominasi oleh kaum laki-laki, melalui tulisan dan media. sebuah
proses ataupun keadaan yang ditempatkan sebagai suatu perwakilan terhadap
sebuah sikap / perbuatan dari sekelom Representasi merupakan sebuah proses
sosial yang berhubungan dengan pola hidup dan budaya masyarakat tertentu yang
memungkinkan terjadinya sebuah perubahan konsep-konsep ideologi dalam bentuk
yang konkret. Hal ini dapat dilihat melalui pandangan-pandangan hidup kita
terhadap beberapa hal seperti : pandangan hidup tentang seorang wanita,
anak-anak dan yang lainnya. pok orang / golongan tertentu di dalam sebuah
lingkungan.
Kita
dapat mengambil contoh yang terjadi dalam hal ini ketika seseorang yang baru
saja pindah dan menempati sebuah lingkungan masyarakat yang baru sudah tentu
akan membawa serta budaya yang selama ini dijalankannya di lingkungan tempat
tinggalnya yang lama.
8. Representasi
Representasi berasal dari kata
“Represent” yang bermakna stand for
artinya “berarti” atau juga “act as delegate for” yang bertindak
sebagai perlambang atas
sesuatu.”Representasi juga dapat berarti sebagai suatu tindakan yang
menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang di luar dirinya,
biasanya berupa tanda atau simbol”
Representasi adalah sesuatu yang
merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via
kata-kata, bunyi, citra, atau kombinasinya. Secara ringkas, representasi adalah
produksi makna melalui bahasa. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis,
lisan, atau gambar) tersebut itulah seseorang yang dapat mengungkapkan pikiran,
konsep, dan ide-ide tentang sesuatu.
Konsep representasi bisa
berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep
representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah
tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi
yang baru, intinya adalah makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia
selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil
dari praktek penandaan, praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.
“Representasi adalah produksi makna
melalui bahasa”. Representasi adalah proses bagaimana kita member makna pada
sesuatu melalui bahasa. Untuk mempresentasikan sesuatu adalah untuk
menggambarkan atau melukisnya, untuk “memanggilnya” ke dalam pikiran kita
dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan atau membayangkan; untuk
terlebih dahulu menempatkan persamaan ke dalam pikiran kita atau perasaan kita.
Untuk mempresentasikan juga berarti menyimbolkan, untuk mewakili, menjadi
contoh, atau menjadi pengganti dari sesuatu.
9. Diaspora
Istilah “diaspora” digunakan untuk
merujuk pada penyebaran kelompok agama atau kelompok etnis dari tanah air
mereka, baik dipaksa maupun dengan sukarela. Kata ini juga digunakan untuk
merujuk pada penyebaran orang-orang sebagai kelompok kolektif dan masyarakat.
Sejarah manusia menunjukkan sejumlah
diaspora. Tercerabut dari tanah kelahiran dan budaya, bisa menjadi suatu
peristiwa besar bagi seseorang atau sekelompok orang. Diaspora berasal dari
istilah Yunani Kuno yang berarti “menyebarkan atau menabur benih.”
Diaspora berbeda dengan imigrasi.
Diaspora mengharuskan anggota suatu masyarakat pergi bersama dalam periode
waktu yang singkat, bukan pergi perlahan-lahan dalam waktu lama meninggalkan
kampung halaman.
Masyarakat yang melakukan diaspora
juga dicirikan dengan usaha mereka untuk mempertahankan budaya, agama, dan
kebiasaan lainnya di tempat baru. Mereka biasanya hidup berkelompok dengan
sesamanya, dan kadang tidak mau berinteraksi dengan warga lokal. Salah satu
contoh diaspora yang terkenal adalah diaspora Yahudi yang dimulai pada tahun
600 SM. Orang-orang Yahudi sering digunakan sebagai contoh klasik diaspora
karena telah berpindah beberapa kali, dengan banyak diantaranya melalui
paksaan.
Meskipun beberapa kali berpindah
tempat, orang Yahudi yang mengalami diaspora tetap berusaha mempertahankan
ikatan komunitas yang kuat beserta dengan tradisi, budaya, dan agama mereka. Konsep
diaspora juga bisa digunakan dalam konteks diaspora Afrika. Orang Afrika banyak
mengalami pemindahan paksa oleh orang Eropa untuk kemudian dijadikan budak.
Banyak diaspora terjadi sepanjang
sejarah, dengan penyebab mulai dari bencana alam, usaha mencari tempat yang
lebih baik, hingga akibat paksaan. Selin berusaha untuk mempertahankan
identitas mereka, banyak anggota dari diaspora berharap suatu saat nanti kembali
ke tanah air mereka untuk sekedar berkunjung atau untuk hidup permanen
10. Ideologi
Kata ideologi pertama kali
dikenalkan oleh Destutt
de Tracy pada 1796 untuk mendefinisikan
“science of idea“. yaitu suatu program yang diharapkan dapat membawa suatu
perubahan institusional dalam masyarakat Perancis Menurut Tracy ideologi adalah
studi terhadap ide-ide / pemikiran tertentu.SedangkanmenurutReneDescartes,
ideologi adalah inti dari semua pemikiran manusia, dan menurut Francis Bacon,
ideologi adalah sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup. Ketiga
pengertian ini berbicara definisi ideologi tidak berbicara secara spesifik
tentang kehidupan bernegara. Di bawah ini adalah beberapa pendapat para ahli
tentang ideology dalam kehidupan bernegara:
Antonio Gramsci
menyatakan ideologi yang dominan tidak hanya dapat dimenangkan melalui jalan
revolusi atau kekerasan oleh institusi-institusi negara tetapi juga dapat
melalui jalan hegemoni melalui institusi-institusi negara dan
institusi-institusi lain, seperti institusi agama, pendidikan, media massa, dan
keluarga. Sedangkan menurut Machiavelli ideologi adalah sistem
perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa. Kedua pendapat ini saling
mendukung dengan sistem yang dimiliki penguasa, yaitu institusi-institusi
Negara dan insitusi lainnya, dengan tujuan melindungi kekuasaannya.
Berbeda dengan Gramsci dan
Machiavelli, Karl Marx menyatakan bahwa ideologi merupakan
alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat.
Pendapat ini mengandung esensi dari ideologi komunis, paham ini biasa disebut
Marxisme. Ideologi Marxisme lahir dari cita-cita Karl Marx untuk menghapus kelas
dunia, yakni strata sosial, kelas atas (borjuis) dan kelas bawah (proletar).
11. Geneologi
Genealogi berasal dari kata dasar
gene, yaitu plasma pembawa sifat-sifat keturunan. Geneologi berarti ilmu yang
mempelajari masalah keturunan. Ia berarti juga saling bergantung dua hal, yaitu
muda berasal dari yang tua. Misalnya tulisan Jawa berasal dari perkembangan
(baca : keturunan) abjad Pallawa. Tulisan Pallawa berasal dari konteks
ini yang dimaksud genealogi ialah yang menyangkut hubungan keturunan individu.
Peletak dasar genealogi sebagai ilmu
ialah J. Ch. Gatterr (1727-1799), kemudian Q. Lorerirensa menerapkan dalam
penulisan ilmiah (1898). Dalam kenyataan sejarah genealogi sangat penting
semenjak manusia memasuki zaman sejarah, khususnya menyangkut masalah tahta.
Perhatikan misalnya prasasti Yupa dari Muarakaman di Kutai. Prasasti itu dengan
jelas memberitakan Genealogi Mulawarman dengan leluhurnya: Kudungga. Prasasti
Canggal (732M) melukiskan genealogi Sanjaya dan leluhurnya.
12. Identitas
Teori Indentitas dikemukakan oleh
Sheldon Stryker (1980). Teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan saling
mempengaruhi di antara individu dengan struktur sosial yang lebih besar lagi
(masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai dua sisi dari satu mata
uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial membentuk
interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju dengan perspektif struktural,
khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit kritik terhadap teori
peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap kreativitas individu.
Teori Stryker mengkombinasikan
konsep peran (dari teori peran) dan konsep diri/self (dari teori interaksi
simbolis). Bagi setiap peran yang kita tampilkan dalam berinteraksi dengan
orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda
dengan diri orang lain, yang oleh Stryker dinamakan “identitas”. Jika kita
memiliki banyak peran, maka kita memiliki banyak identitas. Perilaku kita dalam
suatu bentuk interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita,
begitu juga perilaku pihak yang berinteraksi dengan kita.
Intinya, teori interaksi simbolis
dan identitas mendudukan individu sebagai pihak yang aktif dalam menetapkan
perilakunya dan membangun harapan-harapan sosial. Perspektif iteraksionis tidak
menyangkal adanya pengaruh struktur sosial, namun jika hanya struktur sosial
saja yang dilihat untuk menjelaskan perilaku sosial, maka hal tersebut kurang
memadai.
13. Komodifikasi
Komodifikasi
berasal dari kata komoditi yang berarti barang atau jasa yang bernilai ekonomi
dan modifikasi yang berarti perubahan fungsi atau bentuk sesuatu. Jadi
komodifikasi berarti memperlakukan produk-produk sebagai komoditas yang tujuan
akhirnya adalah untuk diperdagangkan atau pengubahan sesuatu menjadi komoditas
(barang dagangan) yang dapat diperjual-belikan.
Komodifikasi tidak dapat dipisahkan dari paham kapitalisme yang selalu
mengaitkan segala sesuatunya berdasarkan untung dan rugi. Komoditas dipahami
sebagai suatu hasil produksi yang dibuat untuk ditukar di pasar. Dengan kata
lain, komoditas adalah segala sesuatu yang diproduksi untuk dijual.
Komodifikasi ini dipercaya dapat meningkatkan jumlah peminat dan diharapkan
dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. Sebenarnya tidak ada salahnya melakukan
komodifikasi, tetapi hal tersebut menjadi salah ketika nilai-nilai
kemasyarakatan, keakraban, dan kekeluargaan berkurang atau bahkan hilang sama
sekali akibat terjadinya komodifikasi tersebut.
Dampak dari
komodifikasi tersebut dapat berakibat positif dan negatif. Dampak positifnya
sebagi peningkatan peluang usaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat, sehingga
pendapatan mereka juga dapat meningkat. Masyarakat dapat memperbaiki keadaan
ekonominya dengan bekerja pada sektor industri pertelevisian. Pada akhirnya,
hal tersebut dapat menguatkan struktur ekonomi masyarakat. Akan tetapi hal
tersebut tidak lagi didasari oleh nilai-nilai kemasyarakatan, keakraban, dan
kekeluargaan, tetapi lebih dikarenakan oleh nilai-nilai keuntungan (komersial)
sehingga nilai-nilai kekeluargaan dan keakraban menjadi hilang dan
terkorbankan.
14. Budaya
Populer
Mendefinisikan "budaya"
dan "populer", yang pada dasarnya adalah konsep yang masih
diperdebatkan, sangat rumit. Definisi itu bersaing dengan berbagai definisi
budaya populer itu sendiri. John Storey, dalam Cultural Theory and Popular Culture, membahas enam definisi.
Definisi kuantitatif, suatu budaya yang dibandingkan dengan budaya
"luhur" (Misalnya: festival-festival kesenian daerah) jauh lebih
disukai. "Budaya pop" juga didefinisikan sebagai sesuatu yang
"diabaikan" saat kita telah memutuskan yang disebut "budaya
luhur". Namun, banyak karya yang melompati atau melanggar batas-batas ini
misalnya Shakespeare, Dickens, Puccini-Verdi-Pavarotti-Nessun Dorma. Storey
menekankan pada kekuatan dan relasi yang menopang perbedaan-perbedaan tersebut
seperti misalnya sistem pendidikan.
Definisi ketiga menyamakan budaya
pop dengan Budaya Massa. Hal ini terlihat sebagai budaya komersial, diproduksi
massal untuk konsumsi massa. Dari perspektif Eropa Barat, budaya pop dapat
dianggap sebagai budaya Amerika. Atau, "budaya pop" dapat
didefinisikan sebagai budaya "autentik" masyarakat. Namun, definisi
ini bermasalah karena banyak cara untuk mendefinisikan "masyarakat".
Storey berpendapat bahwa ada dimensi politik pada budaya populer; teori
neo-Gramscian "… melihat budaya pop sebagai tempat perjuangan antara
'resistansi' dari kelompok subordinat dalam masyarakat dan kekuatan 'persatuan'
yang beroperasi dalam kepentingan kelompok-kelompok dominan dalam
masyarakat." Suatu pendekatan postmodernism pada budaya populer "tidak
lagi mengenali perbedaan antara budaya luhur dan budaya populer."
Storey menekankan bahwa budaya
populer muncul dari urbanisasi akibat revolusi industri, yang mengindentifikasi
istilah umum dengan definisi "budaya massa". Penelitian terhadap
Shakespeare (oleh Weimann atau Barber Bristol, misalnya) menemukan banyak
vitalitas karakteristik pada drama-drama Shakespeare dalam partisipasinya
terhadap budaya populer Renaissance. Sedangkan, praktisi kontemporer, misalnya
Dario Fo dan John McGrath, menggunakan budaya populer dalam rasa Gramscian yang
meliputi tradisi masyarakat kebanyakan (Ludruk misalnya).
Budaya Pop selalu berubah dan muncul
secara unik di berbagai tempat dan waktu. Budaya pop membentuk arus dan
pusaran, dan mewakili suatu perspektif interdependent-mutual yang kompleks dan
nilai-nilai yang memengaruhi masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan berbagai
cara. Misalnya, beberapa arus budaya pop mungkin muncul dari (atau menyeleweng
menjadi) suatu subkultur, yang melambangkan perspektif yang kemiripannya dengan
budaya pop mainstream begitu sedikit. Berbagai hal yang berhubungan dengan
budaya pop sangat khas menarik spektrum yang lebih luas dalam masyarakat.