Dalam kehidupan masyarakat, mitos-mitos terdahulu yang melekat di tempat tinggalnya masih tidak dapat dilepaskan. Perkembangan semacam ini tidak terlepas dari kebudayaan animisme yang beberapa ratusan tahun menginap di nusantara tidak terkecuali Minangkabau. Sebelum masuknya agama, orang-orang sangat percaya bahwa suatu kejadian yang di luar akal sehat itu adalah hal gaib termasuk kepercayaan terkait suatu letak geografis, senjata pusaka, ataupun makhluk halus. Dalam hal ini juga, mitos sebagai penjelas mengapa kehidupan saat ini dapat berjalan. Beberapa filsuf, menganggap kepercayaan itu akan hilang ketika sains hadir di dunia. Orang-orang berpikir secara realistis. Namun apakah benar-benar menghilang kepercayaan manusia terhadap mitos?
Azwar Sutan Malaka melalui novel Cindaku (2015) memberikan ketegasan pada dirinya bahwa ia juga mengetahui mitos yang berkembang di daerahnya. Refleksi lokalitas di Minangkabau tentang mitos manusia harimau diambilnya sebagai bahan karya sastra. Sebetulnya bukan hanya Azwar saja mengambil tema ini melainkan banyak sekali penulis. Berbagai karya sastra mengambil lokalitas seperti puyang, cindaku, atau orang bunian, dll. Untuk cindaku biasanya hidup di daerah Bukit Tinggi, Lubuk Basung dan daerah Kelok Ampek Puluah Ampek serta daerah Kerinci. Masih banyak orang percaya bahwa cindaku benar-benar ada dan terjadi pada masa lampau.
Novel Cindaku dapat ditelaah dalam kajian sosio-budaya apalagi ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat sekitar. Dalam konteks ini, Junus (melalui Damono, 1979) mengemukakan bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya. Selain itu juga berkaitan dengan pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas. Tak boleh diabaikan juga dalam kaitan ini pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman dan pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra. Sastra bisa dilihat sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Bagaiamanapun karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya (Damono dalam buku Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, 1979).
Pemikiran serba realistis yang hadir di sosok Salim menjadi penguat identitas manusia abad XXI. Manusia yang tidak percaya atas mitos. Salim merasa bukanlah anak cindaku seperti diisukan masyarakat. Namun, masyarakat yang secara turun-temurun diceritakan mengenai mitos ini merasa siluman itu ada. “...Tetapi kau tidak bisa menghentikan cerita yang telah bersarang di kepala orang kampung ini sejak bertahun-tahun yang lalu Salim, kata Zaid....”. Hal ini menjadi bukti betapa belum hilangnya kepercayaan ini.
Mitos bukan hanya aspek sosialitas yang ditampilkan melainkan budaya rantau para pemuda digambarkan terkait kehidupan pelik di tanah rantau. Budaya merantau dalam tokoh Salim yang terus-menerus diolok sebagai anak cindaku menjadi pelecut dirinya untuk meninggalkan kampung halamannya. Dia berkeinginan untuk pergi ke Jakarta memulai hidup laik. Mengingat pepatah Minang, karatau tumbuah di hulu/babuah babungo alun//marantau bujang dahulu/di rumah baguno alun//. Salim sudah bertekad untuk mengenyam kehidupan di negeri orang dengan alasan untuk dapat memperbaiki kehidupannya. Kebiasaan pemuda sebelum merantau mereka akan diberi bekal baik ilmu diri atau agama. Orang Minangkabau memang sudah terkenal dengan etnis yang suka merantau. Bahkan jika dilihat di setiap daerah akan menemukan rumah makan Padang yang menjadi simbolitas dari orang-orang perantauan.
Di Tanjung Karang, tempat tokoh Salim terdampar. Sedikit banyak kehidupan pemuda Minang digambarkan. Tidak asing lagi jika di sebuah pasar terdapat pemalakan terhadap penjualan dan sulitnya mencari pekerjaan di kantor-kantor. Dalam posisi tersebut pemuda Minang yang terkenal dengan jago silat menjadi pahlawan dan berpotensi mendapatkan uang dari sana. Namun setahu ini, perantau dari Minangkabau lebih memilih membuka usaha ketimbang seperti itu. Tokoh Salim mengalami tekanan psikologis dalam beberapa hal. Istilah-istilah khas Minangkabau juga terdapat misalnya daun kelapa gila, mangindo, pacah talua, lima tujuah raga serta cino buto. Untuk istilah terakhir menjadi cerita yang dibangun Azwar. Dalam masyarakat Minangkabau, cino buto diartikan laki-laki yang terlanjur menceraikan istrinya namun beberapa selang waktu kemudian, mereka merasakan jatuh cinta lagi. Sehingga berniat balikan namun adat tidak bisa kecuali ada lelaki lain yang menikah perempuan itu. Posisi Salim dilukiskan menjadi orang yang polos di tanah rantau. Dia seperti orang yang mengiyakan saja apa akan terjadi. Dalam teks jelas sekali ekspresi kekecewaannya, Salim mengutuk kebodohannnya dan mengutuk orang-orang pintar yang membodohinya.
Hal menarik lainnya mengenai transportasi yang sering dipakai perantau dari Minangkabau. Dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Zainuddin pergi merantau menggunakan kapal pada masa itu sedangkan tokoh Salim menggunakan bus atau travel. Dalam tulisan Suryadi yang dimuat di Singgalang, transportasi publik di Minangkabau termasuk paling maju di bagian barat Indonesia. Hal itu sudah tampak sejak akhir zaman kolonial. Apa yang kita kenal sekarang sebagai ‘oto travel’ sudah sejak dulu ada. Dan “tahoekah pembatja, auto apa jang banjak dipakai djadi auto sewa’an [di Sumatra Barat?]“, kata Parada Harahap dalam bukunya Dari Pantai ke Pantai: Perdjalanan ke-Soematra, October-Dec. 1925 dan Maart-April 1926. Weltevreden: Uitgevers Maatschappij ‘Bintang Hindia’, 1926, hlm.106. “Chevrolet, itoelah merk auto jang dikenal orang betoel disana, disamping auto Ford jang memang dimana-mana dan boeat siapa poen lakoe poela.” Menurut Parada, ongkos oto-oto sewaan alias mobil-mobil travel itu cukup murah. Mereka biasanya menunggu para penumpang di depan-depan stasiun kereta api seperti di Padang, Fort de Kock, dan Payakumbuh. “[A]ntara Padang dengan Padang Pandjang jang jaoehnja 55 K. M. lebih, auto Chevrolet jang baroe dan bagoes……. soedah dapat dinaiki dengan bajar f 10 satoe auto“, kata Parada lagi (h.107). Dia berkata, orang juga bisa naik bersama-sama dengan saling berkongsi ongkos.
Dalam beberapa novel misalnya Cindaku dan Tenggelamnya Kapal van Der Wijck menunjukan jalur rantau berfokus pada Pulau Jawa. Tidak mengherankan memang. Daya tarik terhadap pendapatan yang tinggi menjadi alasan utama budaya rantau ke Pulau Jawa semakin tahun meningkat. Proses inilah yang menciptakan dampak sosiologi perantau di mana-mana. Untuk itulah, beberapa aksi kriminalitas tidak terelakan karena jumlah lapangan pekerjaan pada masa itu berbanding terbalik dengan jumlah pencari kerja.
0 Comments: