BAB I. APAKAH SASTRA?
BAHASA LISAN – BAHASA TULIS – BAHASA SASTRA
A. Apakah Sastra? Beberapa Masalah Peristilahan
Sudah banyak usaha untuk membatasi definisi sastra secara tegas dari berbagai pihak dan dengan pendekatan yang berbeda-beda. Tetapi, setiap batasan yang diberikan ternyata diserang, ditentang, disangsikan, atau terbukti tidak samapai pada batasan yang tegas karena batasan itu hanya menekankan pada satu atau beberapa aspek saja, atau ternyata hanya berlaku untuk sastra tertentu. Adapula yang memberikan batasan terlalu luas atau longgar sehingga mencakupi hal yang sebenarnya bukan sastra. Dalam bab ini akan dijelaskan batasan sastra melalui pendekatan yang menyamakan sastra dengan bahan tulisan.
Dalam bahasa-bahasa Barat istilah yang akan kita batasi adalah literature (Inggris), literatur (Jerman), littérature (Perancis),. Semuanya berasal dari bahasa Latin litteratura. Kata litteratura sebenarnya diciptakan sebagai terjemahan dari kata Yunani grammatika; litteratura dan grammatika masing-masing berdasarkan kata litera dan gramma yang berarti ‘huruf’ (tulisan, letter). Menurut asalnya litteratura dipakai untuk tatabahasa dan puisi.
Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah sastra yang bersala dari bahasa Sansekerta; akar kata sas berarti ‘mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi’. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra dapat diartikan ‘alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Awalan su- berarti ‘baik, indah’. Kata susastra nampaknya tidak terdapat dalam bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno (Gonda 1952; Zoetmulder 1982), jadi susastra adalah ciptaan Jawa dan atau Melayu yang kemudian timbul.
Dalam bahasa Cina, kata yang paling dekat dengan sastra, literature, adalah kata wen yang menurut asalnya berarti ‘ikatan, tenunan’, kemudian ‘pola, susunan, struktur’ dan dari situ berkemabang arti yang agak dekat dengan sastra (bandingkan juga kata text yang etimologinya juga berkaitan dengan kata textile, dalam bahasa Latin: ‘tenunan, pola’ dan lain-lain) (Liu 1975:Indroduction;Plaks 1977).
Dalam bahasa Arab tidak ada kata yang artinya mendekati sastra; kata yang paling dekat barangkali adab. Dalam arti sempit adab berarti susastra, tetapi sekaligus pula berarti kebudayaan, siviliasi, atau dengan kata Arab lain tamaddun. Disamping itu ada berbagai kata yang menunjukkan bentuk sastra tertentu, seperti kasidah, dan kata syi’r yang berarti puisi, Melayu syair (Teeuw 1966; Naguib al-Attas 1968). Tetapi sastra sebagai kjonsep yang khas tidak diberi istilah yang umum dalam kebudayaan Arab; hal itu pasti berkaitan dengan pendirian orang Arab mengenai sastra.
B. Bahasa Tulis: Tujuh Ciri
Bahasa tulis mempunyai ciri khas yang mendekati batasan sastra. Secara ringkas ciri-ciri khas itu dapat diuraikan sebagai berikut (Uhlenbeck 1979, Ricoeur 1978):
1. Dalam pemakaian bahasa secara tertulis baik pembicara (penulis) maupun pendengar (pembaca) kehilangan sarana komunikasi yang dalam pemakain bahasa lisan memeberi sumbangan yang paling hakiki untuk terjadi dan berhasilnya komunikasi. Sarana itu disebut dengan suprasegmental (Uhlenbeck memakai istilah musis) dan paralingual atau ekstralingual. Suprasegmental adalah gejala intonasi (aksen, tekanan kata, tinggi rendahnya nada, keras lemahnya suara dan banyak lagi).
2. Dalam bahasa tulis biasanya tidak ada kemungkinan hubungan fisik antara penulis dan pembaca. Dalam komunikasi lewat bahasa tulis, penulis harus mengucapkan sesuatu dengan lebih eksplisit, harus sejelas mungkin, harus hati-hati dan lain-lain, sedangkan pembaca pun harus mengambil sikap yang lain; tugas interpretasi, karena tidak adanya interaksi yang spontan, jauh lebih sulit.
3. Dalam teks tertulis seringkali penulis malahan tidak hadir sebagiannya atau pun seluruhnya dalam situasi komunikasi. Contoh yang paling jelas adalah karangan atau surat yang anonim; pembaca harus mencari informasi yang relevan hanya dari data tertulis saja.
4. Teks tertulis juga mungkin sekali makin lepas dari kerangka referensi aslinya. Penulis mungkin mengarang tulisannya berdasarkan situasi tertentu, situasi pribadi, situasi sosial, dan lain-lain tetapi pembaca tidak tahu situasi itu membina situasi dan kerangka acuan tersendiri, berdasarkan situasi dia sendiri sebagai pembaca dan berdasarkan informasi yang terkandung dalam tulisan yang dibacanya.
5. Tetapi pembaca mempunyai keuntungan lain, kalau dibandingkan dengan pendengar dalam situasi komunikasi. Tulisannya dapat diulang baca seberapa kali dianggap perlu. Dia dapat memikirkan isi tulisannya matang-matang. Tanggapannya juga dapat ditunda dan dipikir-pikirkan kembali sebelum dituliskan.
6. Teks tertulis pada prinsipnya dapat direproduksi dalam berbagai bentuk: fotokopi, stensilan, buku dan lain-lain, yang berarti bahwa lingkungan orang yang terlibat dalam tindak komunikasi dengan bahasa tulisan pada prinsipnya jauh lebih besar dan luas daripada yang biasanya terdapat dalam situasi bahasa lisan.
7. Komunikasi antara penulis dan pembaca lewat tulisan membuka kemungkinan adanya jarak jauh antara kedua belah pihak, dalam hal ruang, waktu dan juga dari segi kebudayaan. Kita dapat membaca tulisan dari masa yang lampau, dari negeri lain, dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Jadi kemungkinan, tulisan menciptakan hubungan sejarah.
C. Sastra dan Tujuh Ciri Bahasa Tulis
1. Oleh karena kemungkinan untuk mengungkapkan sarana suprasegmental dan paralingual dalam situasi tulisan sangat terbatas, maka seorang penulis terpaksa mengusahakan perumusan yang seteliti dan setepat mungkin dan dalam karya sastra seringkali diusahakan pemakaian bahasa yang rapi dan teratur. Hal itulah yang dalam karya sastra disebut keindahan bahasa yakni pemakaian bahasa yang tepat dan sempurna. Namun, justru pemakaian bahasa secara tertulis memberi banyak kemungkinan untuk menciptakan keambiguan, makna ganda yang seringkali dianggap ciri khas karya sastra.
2. Oleh karena dalam situasi bahasa tulis si pambicara (penulis) bukanlah faktor yang tersedia dalam tindak komunikasi, faktor ini pun dapat dipermainkan oleh pengarang karya sastra; misalnya pemakaian kata ganti aku: dalam tindak ujaran yang normal acuan kata aku jelas: tak dapat tindak si pembicara yang menunjuk pada dirinya sendiri dengan kata aku, kecuali kalau ada petunjuk yang tegas bahwa yang dimaksudkan bukanlah dia sendiri.
3. Oleh karena hubungan antara karya sastra dengan penulis tidak jelas, malahan seringkali putus, dengsn sendirinya tulisan itu sendiri makin penting, menjadi pusat perhatian pembaca. Lepasnya karya sastra dari tujuan komunikasi biasa dan dari diri penulis menimbulkan macam-macam konvensi yang harus dikuasai seorang pembaca, agar dia dapat memahami karya sastra. Jadi di sini pun kita lihat bahwa kelemahan situasi komunikasi tulisan justru dimanfaatkan dan dipermainkan potensinya dalam situasi kesastraan.
4. Dalam situasi komunikasi tulisan referen atau acuan, yaitu hal dalam kenyataan yang ditunjukkan dalam tindak komunikasi ujran yang biasa, mungkin tidak jelas dan samar-samar. Dalam situasi komunikasi lisan praktis tak dapat tidak ada sesuatu dalam kenyataan yang dimaksudkan oleh pembicara dan harus dipahami oleh pendengar. Untuk mempelajari ragam tulisan kesastraan kita harus memusatkan perhatian pada konvensi-konvensi yang mengarahkan permainan perbedaan-perbedaan dan proses makna yang dibangun....(Culler 1975: 133, 134). Demikianlah pembedaan antara ujaran dan tulisan menjadi sumber paradoks sastra yang fundamental.
5. Kemungkinan permainan konvensi yang makin ruwet, makin menyesatkan pembaca karena kompleksitas makna berhubungan juga dengan monumentalis karya sastra.
6. Kemungkinan reproduksi dalam berbagai bentuk sudah sangat penting untuk sastra sebagai faktor kebudayaan. Dari segi satra sendiri kemungkinan reproduksi tulisan itu ada akibatnya. Pada satu pihak terjamin bentuk yang mantap, bertentangan dengan ucapan lisan yang kalaupun diulang jarang diulang dalam bentuk yang sama.
7. Berkat kemungkinan menyimpan dan menyelamatkan sastra dalam brntuk tulisan dan menyebarluaskannya melampaui batas waktu dan ruang, juga melampaui batas bahasa dan kebudayaan, sastra menjadi gejala sejarah, dengan segala akibatnya. Kesinambungan kebudayaan manusia sebagian besar bergantung pada penemuan tulisan dan abjad, dalam berbagai kebudayaan. Tetapi hal itu justru menimbulkan masalah, dalam arti bahwa penafsiran karya sastra dari masa atau kebudayaan yang lain ternyata sulit, dan tak dapat tidak akan mengakibatkan kemungkinan perbedaan pemahaman yang cukup menonjol.
D. Sastra dan Bahasa Tulis Identik
Tidak ada kriteria yang jelas yang dapat kita ambil dari perbedaan pemakain bahasa lisan dan bahasa tulis untuk membatasi sastra sebagai gejala yang khas. Ada pemakain bahasa lisan dan tulis yang sastra, ada pula yang bukan sastra; dan sebaliknya ada sastra tulis dan ada pula sastra lisan. Tolok ukur untuk membadakan sastra dengan yang bukan sastra harus dicari di bidang lain.
BAB II. KARYA SASTRA DALAM MODEL
SEMIOTIK
A. Sastra Sebagai Tanda Termasuk Bidang Semiotik: De Saussure
Usaha untuk memberikan batasan sastra belum berhasil untuk memberi perincian sastra yang universal yaitubatasan yang berlaku untuk segala karya sastra dalam kebudayaan manapun juga.
Masalah lain yang mungkin dapat menjelaskan mengapa gejala sastra sulit didefinisikan dan mengapa begitu banyak jalan untuk mendekatinya. Masalah ini adalah sastra dalam fungsinya sebagai gejala kemasyarakatan dan kebudayaan. Barangkali sastra bukanlah komunikasi yang biasa dan mempunyai banyak segi yang aneh dan luar biasa kalau dibandingkan dengan tindak komunikasi lain, yaitu memperhatikan aspek komunikatifnya dengan mendekati sastra sebagai tanda, sign, atau sebagai gejala semiotik.
Dalam Cours de Linguistique Generale yang diterbitkan oleh murid-muridnya (1916) setelah De Saussure meninggal, diterangkan panjang lebar bahwa bahasa adalah sistem tanda. De Saussure membicarakan beberapa aspek tanda yang khas, tanda adalah arbitrer, konvensional dan sistematik. De Saussure menjelaskan pula bahwa bahasa bukanlah satu-satunya sistem tanda yang dipakai dalam masyarakat, ada berbagai sistem tanda lain, misalnya tanda lalu-lintas, ang prinsipnya sama dengan bahasa.
Semiotik atau semiologi sebagai ilmu tanda menjadi makin populer dan makin luas bidangnya, karena tidak hanya melingkupi ilmu bahasa dan sastra tetapi juga aspek atau pendekatan tertentu dalam ilmu seni (estetik), antropologi budaya, filsafat, dan lain-lain.
B. Model Bahasa Karl Buhler
Bukan hanya bahasa tetapi juga sastra sebagai sistem tanda yang bertugas sebagai alat komunikasi antar manusia yang makin meluas. Buhler untuk pertama kalinya menguraikan ciri khas tanda bahasa sebagai gejala sosial.
Berdasarkan yang disebut Organon modell der Sprache, model bahasa, dengan mamakai istilah Yunani organon yang diambilnya dari uraian Plato mengenai bahasa (organon berarti alat, sarana, instrumen). Dalam model organon terdapat tiga fungsi didalamnya yaitu fungsi Ausdruck, ekspresi: gejala dalam hubungannya dengan orang yang memakai tanda itu, pengirim pesan. Selanjutnya, ada fungsi Appell, himbauan, apel: sinyal dalam hubungannya dengan penerima tanda atau pesan; terhadap penerima itu. Fungsi Darstellung, reference, acuan: simbol dalam hubungannya dengan hal yang ditandai atau diungkapkan. Dalam model organon dengan bahasa sebagai alat komunikasi terungkap apa yang oleh Buhler disebut Leistung, efek atau hasil rangkap tiga yang diakibatkan oleh bahasa.
C. Model Sastra Abrams
Dalam buku yang berjudul The Mirror and the Lamp, M.H. Abrams meneliti teori-teori mengenai sastra yang berlaku dan diutamakan di masa Romantik, khususnya dalam puisi dan ilmu sastra Inggris dalam abad ke-19. Abrams memeperlihatkan bahwa kekacauan dan keragaman teori sastra tersebut lebih mudah dipahami dan teliti jika kita berpangkal pada situasi karya sastra secara menyeluruh.
(Semesta)
Universe
Work (Karya)
(Pencipta) Artist Audience (Pembaca)
1. Pendekatan yang menitikberatkan karya itu sendiri, yaitu pendekatan obyektif.
2. Pendekatan yang menitikberatkan penulis, yaitu pendekatan ekspresif.
3. Pendekatan yang menitikberatkan semesta, yaitu pendekatan mimetik.
4. Pendekatan yang menitikberatkan pembaca, yaitu pendekatan pragmantik.
Istilah mimetik berasal dari Bahasa Yunani: mimesis yang sejak dahulu dipakai sebagai istilah untuk menjelaskan hubungan antara karya seni dan kenyataan. Istilah pragmantik menunjuk pada efek komunikasi yang seringkali dirumuskan dalam istilah Horatius, seni harus menggabungkan sifat bermanfaat dan manis. Pembaca kena, dipengaruhi, digerakkan untuk bertindak oleh karya seni yang baik. Pada zaman romantik, pendekatan yang terkenal adalah pendekatan ekspresif, penulis menjadi sorotan utama sebagai pencipta yang kreatif dan jiwa pencipta itu mendapat minat yang utama dalam penilaian dan pembahasan karya sastra. Dalam aliran strukturalisme, karya sastra dianggap sebagai sesuatu yang otonom. Sebaliknya dalam kritik sastra aliran Marxis aspek mimetik, yaitu hubungan karya seni dengan kenyataan menjadi ciri utama dalam penilaiannya. Sastra sebagai ungkapan bahasa tidak mungkin kita paham tanpa pengetahuan mengenai keadaan dan fungsi bahasa. Ilmu sastra sebagai dasarnya memerlukan ilmu bahasa.
D. Model Roman Jakobson dengan Fungsi Puitik
Roman Jakobson dalam karangan-karangannya memperlihatkan integrasi antara ilmu bahasa dan sastra. Dalam makalahnya Jakobson menyajikannya pada konferensi mengenai
poetic function of language, fungsi puitik dalam bahasa. Dalam model ini Jakobson menyejajarkan 6 faktor bahasa dan 6 fungsi bahasa.
6 faktor bahasa:
|
Context |
|
Addresser |
Message |
addressee |
|
Contact |
|
|
Code |
|
Sejajar dengan 6 faktor ini dapat dibedakan 6 fungsi bahasa:
|
Referential |
|
Emotive |
Poetic |
conantive |
|
Phatic |
|
|
Metalingual |
|
Dengan phatic function dimaksudkan potensi bahasa sebagai alat untuk mengadakan komunikasi atau pun kontak dengan sesama manusia. Metalingual adalah fungsi khas yang memungkinkan kita untuk berbiacara mengenai bahasa dalam bahasa itu sendiri, misalnya ‘Apakah terang dalam bahasa Indonesia kata benda atau kata sifat?’. Jadi dalam metalingual code, sistem bahasa sendiri menjadi obyek komunikasi.
E. Model Charles Morris, Disesuaikan Oleh Klaus
Model Morris-Klaus membedakan tiga dimensi dalam proses semiosis. Dimensi pertama adalah dimensi sintaktik, yaitu hubungan antara satu tanda dengan tanda-tanda yang lain dalam proses komunikasi. Dari segi tertentu dimensi ini dapat disamakan dengan poetic function Jakobson, atau aspek objektif Abrams, dalam arti bahwa dimensi sintaksis menekankan unsur intrinsik karya sastra sebagai sistem tanda. Dimensi pragmatik melingkupi baik pengirim maupun penerima pesan. Tetapi untuk ilmu satra identifikasi peranan penulis dan pembaca kurang menguntungkan sehingga aspek ekspresif dan aspek pragmantik perlu dibeda-bedakan dalam ilmu sastra, juga dari segi istilah. Dimensi semantik dalam model ini bertepatan dengan fungsi mimetik atau referensial dalam model lain. Tapi disini Klaus membedakan lagi antara semantik dan sigmantik, semantik mengenai aspek arti secara konseptual ala de Saussure: tanda sebagai dwitunggal signifiant dan signifie. Sigmantik dalam peristilahan Klaus mengacu pada aspek referensial, acuan; tanda dalam penerapannya pada sesuatu dalam kenyataan; perbedaan ini juga diungkapkan dalam istilah designatum dan denotatum, dan berhubungan dengan perbedaan langue sebagai sistem bahasa dan parole sebagai pemakaian sistem itu dalam komunikasi.
F. Model Semionik Morris Disesuaikan Oleh Foulkes
Dalam model ini dianggap penting untuk membedakan antara model sintaksis dan semantik, yang digabungkannya; tetapi yang dibedakannya ialah pragmantik penulis dan pragmantik pembaca. Foulkes memperlihatkan bahwa dalam masyarakat modern sikap dan peranan pembaca terus-menerus dipengaruhi oleh berbagai faktor artistik, sosial, politik, ekonomi dan lain-lain. Sehingga tidak diterima gagasan bahwa seseorang pembaca secara netral, obyektif dan bebas dapat menghadapi karya sastra mana pun juga.
Buhler |
Jakobson |
Abrams |
Morris |
Klaus |
Foulkes |
Ausdruck |
Emotive |
Expressive |
Pragmatic |
Pragmatic |
Prag.Author |
Appell |
Conative |
Pragmatic |
Prag.Reader |
||
Darstellung |
Referential |
Mimetic |
Semantic |
Sigmatic Semantic |
Semantic/syntactic Controlling factors |
- |
Poetic f. |
Objective |
Syntactic |
Syntactic |
|
- |
- |
- |
- |
- |
|
G. Model yang Diberikan belum Lengkap
Sesungguhnya semua model yang diterangkan di atas semuanya menunjukkan kekurangan dalam arti bahwa beberapa faktor yang penting dalam penelitian karya sastra sama sekali belum terlingkupi.
H. Dua Faktor Lain yang Perlu Ada Dalam Model Semiotik Sastra: Sistem Bahasa dan Konvensi Sastra
Faktor pertama yang dalam model semiotik sastra harus diberi tempat yang selayaknya yaitu bahasa itu sendiri. Penulis terikat pada instrumen, sarana yaitu bahasa yang merupakan kerangka formal dan konseptual yang tidak dapat dihindarinya. Penelitian sastra yang tidak memperhatikan bahasa sebagai acuan akan menghilangkan sesuatu yang hakiki dalam karya sastra.
Konvensi kesusastraan merupakan latar belakang karya sastra tersebut. Tanpa pengetahuan mengenai konvensi sastra pembaca tidak akan masuk ke hakikat sebuah karya sastra.
I. Pembaca Sebagai Variabel Sosial dan Diakronis
Setiap karya sastra dibaca dan dinikmati, dinilai, dikecam oleh berbagai anggota masyarakat, yang seringkali bertentangan sikap dan tanggapannya. Dalam sosiologi sastra sangat memperhatikan peranan pembaca.
Yang lebih penting lagi dalam penelitian fungsi karya sastra ialah faktor waktu. Komunikasi lewat karya sastra tidak terbatas pada penulis dan pembaca yang sejaman dan setempat. Setiap penulis dan pembaca berada dalam deretan sejarah, walaupun titik di mana mereka masing-masing berada mungkin berjauhan. Hal itu menunjukkan bahwa faktor diakronis merupakan sesuatu yang hakiki.
J. Bentuk Karya Sastra Sebagai Variabel
Dalam sejarah sastra, karya sastra itu terus berubah karena berbagai faktor. Penelitian variasi bentuk yang dikenal dengan filologi yang tugasnya meneliti naskah, manuskrip lama, lalu nantinya berkembang menjadi tekstologi.
K. Masalah Nilai Dalam Model Semiotik Sastra
Model masalah nilai dalam semiotik sastra digambarkan dengan poros utamanya yaitu karya dan pembaca faktor lainnya adalah penulis dan empat konteks yaitu konvensi bahasa, konvensi sastra, semesta, dan sistem nilai sosial. Pembaca pun dibagi menurut kelompok sosialnya. Karya sendiri digambarkan dengan jaringan garis. Dimensi waktu dan perspektif skematik digambar dalam bentuk penampang kedua yang sejajar. Variasi teks sebagai potensi karya digambar dengan garis keliling karya yang berbiku-biku.
L. Beberapa Puitika Alternatif: Abad Pertengahan Eropa, Cina, India, Arab
Di Indonesia peneliti sastra harus sadar bahwa berat sebelahnya teori dan ilmu sastra bukanlah hal yang wajar dan yang harus diterima sebagai sesuatu yang tak terhindari. Dalam sejarah sastra dan teori sastra terdapat bentuk-bentuk sastra dan pendekatan terhadap sastra yang berlainan sifatnya.
Hadirnya keistimewaan pada sastra dan puitika dari lingkungan India, Cina dan Arab yang ada persamaan dan perbedaan dengan situasi sastra di Indonesia dapat merangsang peneliti sastra Indonesia dalam mencari ide-ide dan kerangka pikiran yang lebih sesuai dengan ciri khas sastra Indonesia.
BAB III. KARYA SASTRA DAN BAHASANYA
A. Bahasa Sastra Sebagai Bahasa Khas: Retorik, Stilistik
Retorika adalah ars bene dicendi, kepandaian mengatakan sesuatu secara baik, yang pada awalnya mengacu kepada pengertian kepandaian orator, tukang pidato (ahli) tetapi yang kemudian meliputi juga pemakaian bahasa dalam sastra. Ars bene dicendi tidak terbatas pada penyair atau pencipta sastra, atau dikatakan secara lain, pengertian sastra pada waktu itu jauh lebih luas daripada yang kita anggap di jaman modern. Keistimewaan bahasa puisi dan sastra tetap diteliti dan secara sistematik disusun dalam sistem retorika yang amat luas dan halus. Retorika seringkali menjadi sistem normatif, yaitu yang menentukan norma-norma yang harus diterapkan dalam pemakaian bahasa yang baik dan indah.
Stilistik pada prinsipnya selalu meneliti pemakaian bahasa yang khas atau istimewa. Stilistik berusaha dan berhasil menetapkan keistimewaan pemakaian bahasa secara insidental tetapi tidak berhasil menerangkan apakah ciri khas bahasa puisi secara umum dan hakiki.
B. Fungsi Bahasa Yang Disebut Puitik Dalam Teori Jakobson
Roman Jakobson yang merupakan salah satu tokoh dari Formalisme Rusia merumuskan prinsip fungsi puitik, yaitu pemusatan perhatian pada pesan demi pesan itu sendiri atau keterarahan ke pesan sendiri. Dalam fungsi puitik bukanlah referensi, acuan diluar ungkapan bahasa itu sendiri yang menjadi pusat perhatian walaupun fungsi-fungsi lain bukan tak ada dalam puisi. Terutama acuan yang pada prinsipnya menunjuk pada sesuatu diluar ungkapan bahasa itu, dalam puisi harus kita ambil dan bina atas dasar kata message itu saja.
C. Penerapan dan Penggarapan Teori Jakobson
Prinsip ekuivalensi diangkat menjadi sarana konstitutif urutan kata. Disini setiap ulangan konsep tatabahasa yang sama yang dapat diamati menjadi sarana yang tepat guna. Setiap deskripsi yang tak berprasangka, hati-hati dan menyeluruh tentang seleksi, pembagian dan keterjalinan berbagai kategori morfologis dan konstruksi sintaktik dalam sajak tertentu mengjutkan si peneliti dengan simetri dan antisimetri yang menarik, struktur yang seimbang, akumulasi yang tepat dari bentuk yang sejajar dan pertentangan yang menonjol, akhirnya dengan pembatasan yang cukup ketat dalam repertoar konstituen morfologis dan sintaktik yang terpakai dalam sajak itu, penyingkiran yang dari segi lain memungkinkan kita untuk mengikuti keterjalinan yang mempesonan antara konstituen yang terlaksana (Jakobson 1968: 602-3)
D. Kritik Riffaterre Atas Pandangan Jakobson
Michael Riffaterre yang merupakan Guru Besar Sastra Prancis mengecam analisis sajak Les Chats. Menurutnya, bukan linguislah yang menentukan apa yang relevan dalam sebuah sajak, betapa pun halusnya analisis linguis yang diberikannya. Yang menentukan makna sebuah sajak adalah pembacanya; berdasarkan pengalamannya sebagai pembaca puisi, dengan segala kemampuan dan pengetahuannya dialah yang dapat menentukan apa yang relevan, dan mempunyai fungsi puitik dalam sajak. Analisis linguistik pada satu pihak tidak cukup dan pada pihak lain melampaui batas kemampuan seorng pembaca. Sajak adalah lebih dari struktur tatabahasa saja.
Riffaterre mengajukan pendekatan yang bersifat semiotik, kata-kata itu dalam konteks sajak mendapat makna, justru dalam kontras dengan arti biasa. Aspek puisi yang terpenting justru adalah ketegangan antara arti mimetik unsur bahasa dan makna semiotiknya-ketegangan yang tak kunjung habis.
E. Kritik Sosiologis Terhadap Teori Jakobson: Mary Louise Pratt
Dalam bukunya, Mary Louise Pratt mengemukakan bahwa wacana sastra harus dipandang sebagai pemakaian bahasa tertentu, bukan sebagai ragam bahasa tertentu. Pratt mengembangkan teori speech act theory dan discourse analysis, ingin mengembalikan ilmu sastra ke masyarakat, tempatnya yang wajar.
Dalam pendekatan speech act theory ditentukan bahwa konvensi pemakaian bahasa melingkupi jauh lebih banyak daripada hanya sistem tatabahasa dan makna leksikal saja. Makna sebuah karya sastra dapat kita pahami sebab kita tahu sebelumnya bahwa karya itu karya sastra, yang berdasarkan konvensi dan aturan tertentu.
F. Teori Sastra Pratt
Dalam bukunya Pratt bermaksud meletakkan dasar untuk “context dependent theory of literature”, sebuah teori sastra yang bergantung pada konteks. Yang dimaksudkan dalam buku semacam ini adalah keadaan sosial dalam artian yang luas, yang mengitari dan memberi tumpuan pada tindak ujaran. Beberapa konvensi yang penting yang berlaku dalam komunikasi kesusastraan:
1. Pembaca menerima peranan sebagai audience dalam situasi menanggapi pesan sastra.
2. Pembaca yang mulai membaca karya sastra telah tahu sebelumnya bahwa bacaan yang dihadapinya bukan sembarang tulisan.
3. Tellability menjadi ciri khas karya sastra yang berlawanan dengan assertability, jadi cukup menarik untuk diceritakan karena isinya baru, luar biasa, mempunyai display value, cukup penting untuk dipamerkan, cukup problematik untuk pembicara sendiri.
G. Beberapa Kesimpulan
Fungsi puitik Jakobson tidak memberi kemungkinan untuk membatasi karya sastra terhadap tulisan atau kemungkinan lain, tidak merupakan ciri distinktif sastra terhadap bukan sastra. Tetapi pendekatan Jakobson memberi kemungkinan untuk meneliti kekhasan pemakaian bahasa dalam karya-karya yang telah terbukti sifat kesastraannya dan untuk memerincikan syarat-syarat dan kondisi-kondisi kebahasaan yang dalam masyarakat itu berlaku untuk sastra.
Dari segi itu kesimpulan ini penting juga untuk penelitian sastra tradisional di Indonesia. Tidak ada hanya satu definisi universal saja untuk sastra; dalam setiap masyarakat harus diteliti konvensi-konvensi (yang berbeda-beda macamnya) yang membatasi karya sastra secara khas dari tulisan dan/atau tuturan lisan lain.
Akhirnya masih dapat diajukan pertanyaan yang sama sekali lain tentang hubungan karya sastra dengan bahasanya. Sebab kalaupun benarlah bahwa karya sastra tidak ditandai oleh ciri bahasa yang khas, bahwa bukan fungsi puitiklah yang merupakan ciri distinktif sastra terhadap bukan sastra masih tinggal masalah sampai di mana struktur bahasa sebagai sistem tanda mempengaruhi ataupun mengikat karya sastra sebagai ciptaan bahasa.
IV. KARYA SASTRA DAN SISTEM SASTRA
A. Bahasa Sebagai Sistem Semiotik Primer
Bahasa sebelum dipakai oleh para penulis merupakan sistem tanda, sistem semiotik; setiap tanda, unsur bahasa itu mempunyai arti tertentu yang secara konvensi disetujui, harus diterima oleh anggota masyarakat, dan yang mengikat mereka, tidak hanya dalam artian bahwa tanda itu merupakan berian.
Jadi kita semua mempunyai sistem bahasa, yang antara lain merupakan sistem kemaknaan yang berbeda-beda menurut bahasa yang kita pakai sebagai sebuah masyarakat tertentu.
Menurut Lotman (1972); bahasa disebutnya ein primares modellbildendes System, sistem tanda yang secara primer membentuk model dunia bagi pemakainya; model itulah pada prinsipnya mewujudkan perlengkapan konseptual manusia untuk penafsiran segala sesuatunya di dalam dan di luar dirinya; sistem inilah yang tersedia untuk dan sekaligus mengikat juga seorang sastrawan dan penikmat sastra.
B. Karya Sastra dan Konvensi Budaya
Pemahaman sebuah karya sastra tidak mungkin tanpa pengetahuan, sedikit banyaknya, mengenai kebudayaan yang melatarbelakangi karya sastra tersebut dan tidak langsung terungkap dalam sistem tanda bahasanya. Pemisahan konvensi budaya dari konvensi bahasa dan sastra ataupun sosiolinguistik seringkali tidak mungkin atau tidak mudah dilaksanakan, oleh karena banyak konvensi budaya telah terkandung dalam sistem bahasa dan konvensi sosiolinguistik serta dalam sistem sastra.
C. Konvensi Sastra
Pengakuan konvensi dalam sejarah bertepatan dengan penolakannya (Levin 1950: 65-69). Tetapi betapa kuat kita menentang adanya dan perlunya konvensi, sastra dan seni selalu berada dalam ketegangan antara aturan dan kebebasan, mimesis dan kreasi, antara tiruan dan ciptaan, antara Horatius (dengan ars poetica-nya yang normatif) dan Longius (denga pengagungan daya kreatif), antara technique dan talent, limit dan license, antara convention dan invenstion (Levin 1950).
Kalau kita melihat masalahnya dari segi pembaca: apa yang dapat dibuatnya tanpa kerangka konvensi yang justru memberi kemungkinanpenafsiran dan pemahaman. Konvensi harus dipenuhi seratus persen oleh buku yang kita baca.
D. Masalah Kompetensi Kesastraan, Dengan Contoh Konvensi Puisi Lirik (Culler)
Dalam buku Culler (1975) bab VI diuraikan bahwa karya sastra mempunyai struktur dan makna dalam kaitannya dengan suatu perangkat konvensi sastra, kompetensi kesastraan yang harus dikuasai oleh pembaca. Kita hanya dapat memahami sebuah sajak oleh karena kita tahu apakah puisi itu dalam bahasa tertentu. Tiga konvensi dasar dikemukakan oleh Culler sebagai konvensi dasar lirik modern:
1. Distance and Deixis (Jarak dan deiksis): kata deiktik adalah kata yang referennya berganti-ganti, bergantung pada siapa yang menjadi pembicara dan bergantung pada saat tempat dituturkannya kata itu (Bambang:1984).
2. Organic Wholes, keseluruhan yang organik: harapan koherensi dan kebulatan makna menentukan kegiatan penafsiran pembaca; juga sajak yang kelihatannya tidak koheren, tidak mempunyai kebulatan makna dicobanya memberi makna.
3. Theme and Epiphany (Tema dan Perwujudan): yaitu konvensi signifience makna yang relevan (yang sudah tentu hubungannya dengan konvensi kedua). Sajak diandaikan memiliki kekayaan implisit yang menjadikan usaha kita untuk memahaminya cukup menarik. Justru puisi lirik yang kita berikan makna universal dan manusiawi.
E. Masalah Jenis Sastra: Teori Aristoteles
Menurut Aristoteles, karya sastra dapat digolongkan menurut berbagai kriteria. Ada tiga kriteria yang dapat dijadikan patokan dalam membedakan jenis sastra.
1. Media of Representation (Sarana Perwujudannya);
a. Prosa;
b. Puisi:
a) karya hanya memanfaatkan hanya satu matra (metrum) saja (misalnya epik, contoh Indonesia: syair).
b) Karya memanfaatkan lebih dari satu matra (misalnya tragedi, kakawin); (dalam pembagian ini pada prinsipnya tidak dibedakan antara sastra dan bukan sastra)
2. Objects of Representation (obyek perwujudan): yang menjadi obyek pada prinsipnya selalu manusia, tetapi ada tiga kemungkinan:
a. Manusia rekaan lebih agung daripada manusia nyata: tragedi, epik Homeros; cerita Panji;
b. Manusia rekaan lebih hina dari manusia nyata: komedi; lenong;
c. Manusia rekaan sama dengan manusia nyata; Cleophon (seandainya roman pada waktu itu sudah ada pastilah roman digolongkan Aristoteles dalam kategori ini).
3. Manner of Poetic Representation (ragam perwujudan):
a. Teks sebagian terdiri dari cerita, sebagian disajikan melalui ujaran tokoh (dialog): epik;
b. Yang berbicara si aku lirik penyair: lirik;
c. Yang berbicara para tokoh saja: drama.
F. Strukturalisme dan Masalah Jenis Sastra
Sastra sebagai sistem yang dinamik, di mana karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan invensi, sekaligus mewujudkan konvensi yang berlaku dan menyimpang dari konvensi tersebut.
Konvensi jenis sastra tidak pernah dipenuhi seratus persen; selalu ada kelonggaran, kebebasan tertentu.Todorov malahan mengatakan bahwa setiap karya agung per definisi menciptakan jenis sastranya sendiri. Hans Robert Jausz mengatakan bahwa jenis sastra per definisi tidak bisa hidup untuk selama-lamanya; karya sastra yang agung justru dengan melampaui batas konvensi yang berlaku membuka kemungkinan baru untuk perkembangan jenis sastra. Jenis sastra bukanlah sistem yang beku, kaku tetapi berubah terus, luwes dan lincah, dan peneliti sastra harus mengikuti perkembangan itu di dalam penelitiannya.
G. Masalah Sistem Sastra
Sistem sastra dapat dikatakan sebagai brikut:
1. Sistem itu tak bisa bersifat longgar, lincah; oleh karena karya sastra individual justru ditandai oleh penyimpangan, pelanggaran terhadap norma-norma, maka dengan sendiri sistem itu, seandainya ada, tidak dapat ketat. Aturan sitem, misalnya konvensi jenis sastra tidak perlu, malahan tidak boleh dipatuhi secara mutlak.
2. Sebagai akibatnya, perbedaan antara diakronik dan sinkronik yang cukup mendasar untuk konsep sistem bahasa,untuk sistem sastra tidak berlaku dengan kejelasan yang sama. Sistem sastra secara prinsip menggabungkan unsur diakronik dan sinkronik.
Sebuah sastra, dalam manifestasi konkrit dalam sebuah bahasa pasti sedikit banyak menunjukkan unsur-unsur sistematiknya. Tetapi mendeskripsi secara konkrit sistem sastra seluruhnya dengan segala ketegangannya, dalam hirarkinya yang ruwet dan bergantung dari sekian banyak faktor, merupakan tugas yang sulit sekali dan yang pasti tidak pernah berhasil sepenuhnya, oleh karena per definisi karya sastra luput dari keketatan dan kebekuan sistematik yang menyeluruh.
H. Masalah Sistem Sastra Universal
Andre Jolles membedakan sembilan bentuk sastra yang sederhana, yang menurut anggapannya merupakan dasar semua bentuk sastra yang lebih kompleks: legend, saga, myth, riddle, proverb, case, memoir, tale, joke. Dan bentuk elementer ini tidak hanya penting dari segi pembagian jenis sastra dan perkembangannya, tetapi juga penting karena memberi struktur pada emikiran manusia. Northrop Frye berpangkal pada sastra bukanlah mustahil hanya sejumlah karya sastra yang kebetulan atau sembarangan, yang tidak berkaitan satu sama lain. Levi Strauss seorang antropolog Prancis yang mengembangkan teori tentang mitos yang sangat rumut dan berliku-liku; teori Lave Strauss memang mengagumkan dan berpengaruh khususnya pada bidang antropologi.
I. Kesimpulan
Ciri khas dari ilmu sastra adalah ketegangan antara invention dan convention, antara sistem konvensi yang mengingatnya dan yang sekaligus diatasinya. Peneliti sastra yang tidak memperhatikan ketegangan itu tidak mungkin memahami karya sastra itu secara tepat; penelitiannya secara terisolasi selalu menghilangkan sesuatu yang esensial dari karya sastra; dan hal itu berkonsekuensi langsung untuk penelitian sastra, baik karya individual maupun keseluruhan sastra. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan bahwa hubungan antara konvensi dan karya individual bukan suatu berian yang tetap; dalam hal ini terdapat perbedaan yang cukup besar antara masyarakat-masyarakat tertentu; khususnya dalam masyarakat tradisional barangkali umumnya umumnya konvensi lebih mengikat, pencipta karya sastra lebih patuh pada konvensi, sedangkan dalam kebudayaan modern justru penyimpangan, pembaharuan yang dianggap penting sehingga malahan dikatakan bahwa hanya karya sastra yang jelas-jelas merombak konvesi dapat bernilai.
BAB V. KARYA SASTRA SEBAGAI STRUKTUR:
STRUKTURALISME
A. Teori Aristoteles Mengenai Struktur Karya Sastra
Menurut Aristoteles, syarat utama yang harus ada dalam karya sastra adalah order, amplitude atau complexity, unity dan connection atau coherence. Order adalah urutan dan aturan, harus ada awal, pertengahan, dan akhir yang tidak sembarangan. Amplitude adalah luasnya ruang lingkup dan kekomplekan karya harus cukup untuk memungkinkan perkembangan peristiwa yang masuk akal ataupun yang harus ada untuk menghasilkan peredaran dari nasib baik ke nasib buruk atau sebaliknya. Unity berarti bahwa semua unsur dalam plot harus ada dan tidak bisa bertukar tempat tanpa mengacaukan atau membinasakan keseluruhannya. Connection berarti sastrawan tidak bertugas untuk menyebut hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi, tetapi hal-hal yang mungkin dan harus terjadi dalam rangka keseluruhan plot tersebut.
B. Struktur Karya Sastra dan Lingkaran Hermeneutik
Hermeneutik adalah ilmu atau keahlian menginterpretasi karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya. Interpretasi keseluruhan karya sastra tidak dapat dimulai tanpa pemahaman bagian-bagiannya, tetapi interpretasi bagian mengandaikan lebih dahulu pemahaman keseluruhan karya sastra itu. Dalam praktek interpretasi sastra lingkaran itu dipecahkan secara dialektik, bertangga, dan lingkaran sebenarnya bersifat spiral; mulai dari interpretasi menyeluruh yang bersifast sementara kita berusaha untuk menafsirkan ansir-ansir sebaik mungkin; penafsiran bagian-bagian pada gilirannya menyanggupkan kita untuk memperbaiki pemahaman keseluruhan karya, kemudian interpretasi itulah yang memungkinkan kita untuk memahami secara lebih tepat dan sempurna bagian-bagiannya; sampai pada akhirnya kita mencapai taraf penafsiran di mana diperoleh integrasi makna total dan makna bagian yang optimal.
C. Kekurangan Minat Untuk Struktur Karya Sastra Pada Abad Kesembilan Belas
Walaupun pendekatan obyektif tidak pernah hilang dari tradisi hermeneutik Barat, harus dikatan bahwa misalnya pada abad ke-19 dalam teori dan kritik sastra minat untuk karya demi karya tidak dominan. Pada abad ke-19 pendekatan ekspresif sangat ditonjolkan. Pendekatan lain yang sering ditonjolkan adalah sejarah sastra yang sering mengabaikan keseluruhan makna sastra.
Yang juga populer di abad ke-19 adalah pendekatan yang melihat sastra pertama-tama sebagai sarana untk memahami aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas, terutama agama, sejarah atau aspek kemasyarakatan. Itupun dapat diperlihatkan dibidang studi sastra Indonesia. Hal ini diakibatkan karena peneliti sastra seringkali bekerja selaku penyebar agama, penerjemah Al-Kitab, arkeolog atau sejarawan ataupun pegawai pamong praja. Dalam penggunaan karya sastra untuk penelitian kebudayaan unsur-unsur atau bagian-bagian tertentu teks tersebut dibahas, seringkali lepas dari konteks keseluruhannya. Sastra sebagai gejala kebudayaan yang mandiri masih kurang mendapat perhatian, baik di Barat, maupun dalam penelitian sastra Indonesia.
D. Munculnya Minat Untuk Struktur Karya Sastra
Di Barat dapat dilihat perubahan haluan yang berangsur-angsur dalam ilmu sastra di abad ke-20. Pergeseran yang umum dapat dilihat di bidang ilmu-ilmu kemanusiaan ialah pergeseran dari pendekatan historik atau diakronik ke pendekatan sinkronik, dan sekaligus dapat disaksikan secara khas pergeseran dari pendekatan sastra sebagai sarana untuk pengetahuan lain ke arah sastra sebagai bidang kebudayaan yang otonom. Ferdinand seorang linguis muda membawa perputaran perpsektif yang cukup radikal dari pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Konsepsi inilah yang menginspirasi aliran yang disebut strukturalis.
E. Aliran Formalis Rusia
Penelitian struktural dirintis oleh kelompok peneliti Rusia antara tahun 1915-1930, mereka disebut sebagai kaum formalis Rusia yang tokohnya antara lain Jakobson, Shklovsky, Eichenbaum, Tynjanov, dll. Mereka cukup lama tidak dikenal di Eropa karena karya-karyanya yang diterbitkan dalam bahasa Rusia, kemudian sesudah tahun 1930 dilarang oleh Joseph Stalin, ditraktor Rusia yang menganggap bahwa pendekatan mereka bertentangan dengan ajaran-ajaran Marxis.
Pada awalnya kaum formalis ingin membebaskan ilmu sastra dari kungkungan ilmu-ilmu lain. Mereka ciri khas yang membedakan sastra dari ungkapan bahasa lain. Karya sastra seluruhnya dipandang sebagai tanda, lepas dari fungsi referensial atau mimetiknya. Karya sastra dalam anggapan ini menjadi tanda yang otonom. Konsep utama dalam pandangan kaum formalis Rusia adalah konsep dominant, ciri menonjol atau utama. Menurut pendapat dan pengalaman mereka dalam sebuah karya sastra aspek bahasa tertentu secara dominan menentukan ciri-ciri khas hasil sastra itu, sehingga dalam analisis dan interpretasi karya sastra aspek dominan itulah yang harus ditekankan, sedangkan aspek-aspek lain seringkali menyangga hal yang dominan itu. Diterapkanlah sarana defamiliarisasi (menjadikan asing) pada prosa dan juga puisi. Deotomatisasi, penyimpangan dari yang wajar dianggap proses sastra yang mendasar. Secara sinkronik karya sastra menyimpang dari bahasa sehari-hari. Secara diakronik karya sastra tidak hanya menimpang dari bahsa sehari-hari tetapi juga dari karya sastra sebelumnya.
F. Pendekatan Struktural dan Gerakan Otonomi
Teori-teori para Formalis dianut oleh berbagai aliran ilmu sastra yang disimpulkan disebut strukturalis, formalis ataupun gerakan otonomi, jadi yang meneliti karya sastra dalam otonominya lepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografik, dll. Aliran strukturalik terus berkembang dan berganti nama semiotik.
Di Amerika berkembang aliran strukturalis yang bernama new criticism, para tokoh aliran ini meskipun sering berseteruh karena perbedaan pendapat, namun mereka setuju bahwa kritik sastra harus berpusat pada karya sastra itu sendiri, tanpa memikirkan penyair sebagai pencipta ataupun pembaca sebagai penikmat. Pendirian new criticism sesudah perang dunia kedua di Amerika sangat dominan, hal itu dibuktikan dengan terbitnya buku Theory of Literature karya Rene Wellek dan Austin Warren yang berulang-ulang dicetak dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Dalam buku ini berpadu aliran strukturalis Praha yang diwakili oleh Rene Wellek dan new criticism yang diwakili oleh Austin Warren.
G. Tentang Analisis Struktur Karya Sastra
Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua ansir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Setiap karya sastra memerlukan metode analisis yang sesuai dengan sifat dan strukturnya.
New Criticism di Amerika sebagai salah satu bentuk strukturalis, memainkan peranan yang luar biasa, tidak hanya di bidang teori dan kritik sastra, tetapi juga di bidang pengajaran sastra, khususnya di dunia pendidikan tinggi dan menengah.
H. Empat Kelemahan Strukturalisme Khususnya New Critism. Konsep Struktur.
Kelemahan pendekatan struktural terutama berpangkal pada empat hal:
1. New Criticism secara khusus, dan analisis struktur karya sastra, malahan tidak berdasarkan teori sastra yang tepat dan lengkap, bahkan ternyata merupakan bahaya untuk mengembangkan teori sastra yang sangat perlu.
2. Karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka sitem sastra dengan latar belakang sejarah.
3. Adanya struktur yang obyektif pada karya sastra makin disangsikan; peranan pembaca selaku pemberi makna dalam interpretasi karya sastra makin ditonjolkan dengan segala konsekuensi untuk analisis struktural.
4. Analisis yang menekankan otonomi karya sastra juga menghilangkan konteks dan fungsinya, sehingga karya itu dimenara-adingkan dan kehilangan relevansi sosialnya.
I. Pasca Strukturalisme
Dalam buku The Pursuit of Signs telah dibahas beberapa usaha dan pendekatan untuk mengatasi jalan buntu strukturalisme, dan untuk menyususn teori sastra yang sesuai dengan tuntutan metodologi yang perlu diajukan. Teori-teori semacam itu terkadang disebut post-structuralism, sangat sulit dipahami dan memerlukan pengetahuan yang luas, tidak hanya dibidang sastra, tetapi juga di bidang filsafat, sejarah, psikologi, dll. Tokoh terkemuka dan pelopor dikalangan pascastrukturalis Amerika adalah “kelompok Yale” yang merupakan para peneliti di Yale University seperti Paul de Man, Geoffrey Haltman, dll.
Dasar pendekatan kelompok pacastruktural adalah ketakpercayaan terhadap bahasa: bahasa tidak mungkin mencerminkan kenyataan, atau tidak mungkin dicek berdasarkan kenyataan. Pemakaian bahasa dalam teks menciptakan sebuah kenyataan yang hanya terdiri dari dan dalam bentuk bahasa, sebagai dunia tanda. Maka dari itu kritik teks menghasilkan apori, jalan buntu, karena tidak pernah ada kepastian.
J. Prinsip Intertekstualitas Atau Hubungan Antar Teks
Intertekstualitas adalah satu prinsip yang tidak hanya dalam pndekatan pascastrukturalis atau dekonstruksi tetapi pula dalam pandangan mutakhir lain sering dikemukakan sebagai pembatasan atau pemungkiran prinsip otonomi. Prinsip ini berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh berdiri sendiri. Konsep intertekstualitas memainkan peranan yang sangat penting dalam semiotik sastra, tidak hanya dalam usaha untuk sekedar memberi interpretasi tertentu terhadap karya yang konkrit saja. Tetapi konsekuensi prinsip intertekstualitas untuk teori sastra masih luas dan rumit dan masih harus dipikirkan lebih matang.
K. Kenisbian Konsep Struktur, dan Peranan Pembaca Selaku Pemberi Makna
Struktur karya sastra bukanlah sesuatu yang otonom dan obyektif, yang dapat diteliti dan dianalisis lepas dari faktor ansir-anasir lain. Termasuk juga hubungan antara struktur karya sastra denga peranan pembaca, hal ini tidak hanya menyangkut perihal konsep konseptual saja melainkan konsep intertekstualitas yang menekankan peranan pembaca dalam proses interpretasi, pemberian makna pada karya sastra. Pergeseran minat tidak hanya kita lihat dalam kalangan di luar aliran strukturalis; dalam aliran ini sendiri muncul peneliti yang menyadari batas pendekatan struktural, dan kelirunya konsepsi bahwa struktur sastra dapat dimutlakkan. Strukturalis seperti Roland Barthes dalam karya-karyanya makin bergeser ke arah kesubyektifan, yaitu menitikberatkan kebebasan pembaca sebagai penikmat karya sastra, sehingga struktur bagi dia bukanlah sesuatu yang dapat ditentukan secara obyektif. Dalam perkembangan strukturalis Praha, pergeseran minat dari struktur karya ke peranan pembaca cukup jelas: bagi mereka karya sastra sebagai artefak yang mati, sebagai tugu, baru dihidupkan lewat konkretisasi oleh pembaca yang sudah tentu berbeda-beda menurut hubungan tempat, waktu dan sosial si pembaca itu dengan karya yang bersangkutan.
L. Analisis Struktur dan Fungsi Kemasyarakatan Karya Sastra
Bagi Foulkes pendekatan new criticism tidak hanya harus ditolak dari segi teori saja, oleh karena tanggapan pembaca terhadap sebuah teks tidak ditentukan oleh struktur dan analisis teks itu, tetapi situasi pembaca ikut juga menentukan analisis struktur dan proses pemberian makna pada karya itu.
Keberatan terhadap strukturalisme juga dikemukakan dari segi sosiologi sastra, yang biasanya menekankan aspek mimetik. Dalam visi sosiologi sastra analisis struktural memungkiri hakikat sastra sebagai pembayangan kenyataan.
M. Stukturalisme Genetik
Bagi Goldman tidak ada pertentangan antara sosiologi sastra dan aliran strukturalis; studi karya sastra harus dimulai dengan analisis struktur dan definisi struktur. Goldman mengemukakan bahwa setiap karya sastra yang penting mempunyai structur significative yang bersifat otonom dan imanen. Berdasarkan analisis vision du monde karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya dari latar belakang struktur sosial tertentu. Maka itu avrian strukturalis Goldmann disebut strukturalis genetik; yang menerangkan karya sastra dari homologi, persesuaiannya dalam struktur sosial.
N. Kesimpulan
Pendekatan strukturalis terhadap sastra dan karya sastra tidak dapat dimutlakkan. Pendekatan ini harus ditempatkan dalam keseluruhan model semiotik. Tetapi sekaligus harus dikatakan bahwa dalam rangka semiotik analisis struktur tetap penting dan perlu. Sebenarnya analisis struktur sastra adalah usaha sebaik mungkin untuk mengeksplesitkan dan mensistematiskan apa yang dilakukan dalam proses membaca dan memahami karya sastra.
BAB VI. PENULIS DALAM MODEL SEMIOTIK
A. Longinus dan Aspek Ekspresif Karya Sastra
Longinus dianggap merupakan penulis Peri Hypsous (Tentang Keluhuran). Tulisan Longinus tidak langsung merupakan ars poetica; pokoknya ialah yang luhur, atau yang mulia, yang unggul, yaitu kualitas yang memberi keagungan atau keunggulan kepada penyair. Keluhuran itu adalah ciri khas dan menentukan untuk seni sastra, yang tidak terikat pada gaya atau bentuk ataupun jenis tertentu. Menurut Longinus ada lima sumber keluhuran, dua diantaranya termasuk jenis yang jenius kreatif: a. Adanya wawasan yang agung; b. Emosi, nafsu; sedangkan yang lain lebih bersifat kemahiran atau teknik, retorik: majas, keagungan diksi (pengungkapan) dan penggubahan yang mulia. Yang paling penting untuk Longinus adalah unsur kreatif dalam jiwa penulis.
Jadi menurut Longinus, passion dan emotionlah yang merupakan syarat mutlak dan paling penting untuk penciptaan karya. Tapi, gagasan itu tenggelam dalam kebudayaan Barat, lalu muncul pada zaman Romantik, setelah para penyair dianggap dewa sebagai pencipta karyanya sendiri.
B. Abad Pertengahan: Manusia Selaku Pencipta Meneladan Ciptaan Tuhan
Adanya sebuah peredaran yang berangsur-angsur berlangsung dalam pemikiran Barat, dari model devolusioner di mana yang sempurna (ciptaan Tuhan) mendahului yang kurang sempurna, yang hanya tiruan saja, ke arah model evolusioner, model keajuan yang berangsur-angsur, di mana manusia menciptakan dunia yang makin sempurna, lewat seninya. Peredaran ini pertama-tama terwujud di bidang teknik: kemahiran teknik manusia makin berkembang, lepas dari teori atau filsafat mana pun juga.
C. Pengakuan Augustinus dan Pengakuan Rousseau
Baru dalam abad ke-18 seni sungguh-sungguh dilepaskan dari imitatio naturae, manusia menjadi kreator yang otonom, pencipta sebuah dunia yang sebelumnya belum pernah terlaksana. Namun, Jausz mempertentangkan dua buku yang semacam otobiografi, karya Agustinus Confessiones dan karya Rousseau Les Confessions, ada empat hal pokok perselisihan antara dua pandangan tersebut: a. Dalam confessiones Agustinus manusia digambar sebagai hamba yang takluk pada Tuhan, dalam Les Confessions Rousseau manusia adalah otonom, hanya takluk pada hukum sendiri; b. Agustinus mempertentangkan Tuhan yang tak berubah, abadi dan langgeng, tetapi yang mengubah segala sesuatu dalam alam semesta dengan riwayat manusi ayang terpecah atau terputus, antara dahulu dan masa kini ada jurang, Roussaeu mengajukan keutuhan dan kesatuan riwayat hidup manusia; c. Agustinus kemudian mempertentangkan Tuhan yang abadi, yang tidak terikat waktu dan tempat, bagi Roessaeu manusia sebagai individu mempunyai pengalaman dan penghayatan eksistensi total dan menyeluruh.
Kesimpulan Jausz, makin banyak dan jelas manusia mengarahkan diri ke tujuan otonominya dan mulai mendasarkan kediriannya yang sejati dalam keindividuannya, makin banyak pula pengalaman estetik merebut predikat-predikat identitas Ilahi, lantas menciptakannya kembali menjadi tolok ukur pengalaman dirinya sendiri, yang secara kesastraan terjelma dalam bentuk dan tuntutan otobiografi modern.
D. Seniman Selaku Pencipta di Zaman Romantik
Cita-cita kebaruan dan keorisinalan baru menjadi dominan sejak zaman Renaissance, ketika alam dan ciptaan Tuhan sebagai model dan modal yang harus diteladani oleh seniman digantikan oleh ciptaan seniman sendiri; ketika model dunia devolusi yang mengembalikan segala sesuatu ke ciptaan Tuhan yang asli digantikan oleh model evolusi, di mana setiap penciptaan baru pada prinsipnya menjadi kemajuan, dan di mana penilaian sebuah karya sastra sebagian besar bergantung pada kadar kebaruannya dan penyimpangannya terhadap karya-karya sebelumnya. Yang indah hanya yang baru dan yang baru lebih baikdaripada yang lama. Itulah semboyan seni sejak awal abad ke-19.
E. Puisi Lirik Jenis Sastra Utama Pada Zaman Romantik
Puisi lirik menjadi jenis sastra yang paling populer pada zaman Romantik. Dalam puisi lirik para pengkritik sastra Romantik mendapatkan sarana yang paling baik untuk langsung menyelami jiwa penyair yang menjadi tujuan utama mereka. Katanya, bahan yang terkandung dalam dan tergali dari jiwa manusia pencipta. Penyair yang lahir sebagai penyair, dinilai jauh lebih tinggi daripada penyair yang dibuat. Yang tipikal dalam puisi dan penyair romantik adalah kesunyiannya: penyair adalah manusia yang sunyi sepi, tak terpahami oleh manusia lain.
F. Menghilangkan Penulis Dalam Sastra Naratif
Sinar Romantik dan ekspresionis telah mulai memudar di Eropa; di Rusia aliran puisi Futuris menekankan bahasa sebagai alat, bukan penyair lagi; di Eropa Barat aliran sastra lain menggantikan ekspresionis: para realis dan naturalis yang menonjolkan kenyataan, hal yang memerlukan pendekatan kritik sastra dan ilmiah yang sifatnya mimetik. Para impresionis memindahkan perhatian ke kesan dari luar; dan kaum simbolis dan imagis menonjolkan kata, dan bahasa pada umumnya sebagai sumber utama ilham penyair. Penyair mulai menghilang, harus menghilangkan diri dibelakang kata.
G. Masalah Pemahaman Teks dan Niat Penulis: Gadamer Lawan Hirsch.
Dalam buku Wahrheit und Methode (Kebenaran dan Metode 1960) karya Gadamer mengatakan bahwa maskud sebuah teks harus dibedakan dari maksud pengarangnya. Dan interpretasi teks itu oleh seorang pembaca tak dapat tidak berarti pemberian makna sesuai dengan situasi pembaca. Teks itu sungguh bersifat otonom dan interpretasi selalu merupakan pambauran cakrawala, perpaduan antara masa lampau di mana teks itu tercipta dan masa kini si pembaca.
Hirsch Gadamer lalu membedakan meaning dan signifieance. Meaning adalah sesuatu yang determinate, genah, niat penulis seperti terkandung dan terjelma dalam tulisannya, dan itulah sesuatu yang dapat diteliti dan dipastikan secara obyektif. Significance, makna, adalah hubungan antara arti dan seorang atau sesuatu di luar teks, praktisnya antara arti dan pembaca dalam situasinya yang khas pada masa tertentu. Benarlah makna itu adalah sesuatu yang variabel, selalu berubah.
H. Kritik Mutakhir Terhadap Penghilangan Penulis: Juhl
Ada tiga hal pokok yang disampaikan oleh Juhl: a. Ada perkaitan logik antara pernyataan mengenai arti sebuah karya dan pernyataan mengenai niat penulisnya, memahami karya sastra berarti memahami apa-apa yang diniatkan penyampaiannya oleh penulis; b. Penulis yang nyata terlibat dalam dan bertanggung jawab atas proposisi yang diajukan dalam karyanya, jadi karya sastra tidak otonom, ada perkaitan yang erat antara sastra dan hidup; c. Karya sastra mempunyai satu, dan hanya satu saja arti. Intention, niat, menurut definisi Juhl bukanlah yang dinyatakan secara eksplisit oleh penulis mengenai rencana atau motif ataupun susunan karyanya.
I. Kesimpulan
Pembaca karya sastra berdasarkan model semiotik berada dalam berbagai tegangan: pertama-tama tegangan antara sistem bahasa dan penerapan sistem itu secara individual, yang tidak seluruhnya ditentukan oleh struktur bahasa; kedua tegangan antara sistem sastra dan karya individual yang pada satu pihak merupakan perwujudan sistem sastra, penerapan konvensi dan kompetensi yang dikuasainya. Analisis struktur berada dalam tegangan yang terus-menerus antara keobyektifan dan kesubyektifan.
Bagi pembaca, hubungan antara teks dan penulisnya pun mempunyai ambiguitas sebagai ciri khas. Makna dan arti sebuah karya tidak mutlak ditentukan oleh penulis dan gaktor diluar penulis. Pembaca pada satu pihak sadar, bahwa dia dalam menghadapi karya sastra berurusan dengan seseorang dibelakangnya, dan bahwa membaca sastra adalah berkomunikasi dengan sesama manusia tapi tidak terikat pada penulis serta niatnya.
VII. PEMBACA DALAM MODEL SEMIOTIK
A. Aspek Pragmatik Dalam Retorika Barat dan Puitika Melayu
Di dunia Barat penekanan fungsi sastra untuk mempengaruhi pembaca antara lain mengakibatkan perbauran antara teori sastra dan retorik, yang berusaha untuk meneliti setepat, selengkap dan secermat mungkin sarana-sarana bahasa yang dapat atau harus dimanfaatkan oleh pemakai bahasa untuk mencapai efek yang maksimal terhadap pendengar atau pembaca yang hedak diyakininya.
B. Resepsi Dalam Strukturalisme Dinamik Mukarovsky
Teori Mukarovsky terhadap karya sastra berpangkal pada aliran formalis sebagai usaha untuk memahami karya sastra sebagai realisasi fungsi puitik bahasa. Mukarovsky mulai menekankan fungsi karya seni sebagai tanda, fakta sosial supra-individual yang mengadakan komunikasi. Bagi Mukarovsky, karya sastra tidak dapat dipahami dan diteliti lepas dari konteks sosial lain. Dalam gejala sosial biasanya fungsi estetik terdapat dalam kaitan dengan fungsi-fungsi lain.
Dalam karya seni fungsi estetik yang dominan, seni tidak tunduk pada syarat-syarat praktis, tidak berfungsi diluar dirinya, melainkan mendapat tujuan berkat fungsi estetik itu. Mukarovsky memperlihatkan bahwa hubungan antara fungsi estetik dan fungsi lain bukanlah hubungan yang tetap dan langgeng, melainkan variabel, berubah-ubah.
Tetapi dalam perkembangan ide Mukarovsky terjadi pergeseran terhadap konsep tersebut. Mukarovsky selalu menempatkan seni sebagai faktor semiotik yang komunikatif dalam kerangka sosial, jadi fungsi masih sesuatu yang objektif. Dalam seni bukanlah hasil yang penting, tetapi proses pemberian makna. Sebab karya sastra sendiri tidak memiliki realitas semiotik. Pembaca sebagai subyek tak kurang pentingnya dalam fungsi semiotik karya sastra daripada strukturnya. Dalam pendekatan Mukarovsky, pengalaman estetik ditentukan oleh tegangan antara struktur karya sastra sebagai tanda dan subyektivitas pembaca, merupakan subyektifitas yang bergantung pada lingkungan sosial dan kedudukan sejarah penanggap. Ada hubungan dinamik dan tegangan yang terus-menerus antara pencipta,karya, pembaca serta kenyataan.
C. Vodicka Dengan Teori Konkretisasi Karya Seni
Konsep penting dalam teori Vodicka adalah konkretisasi. Konsep ini berasal dari Ingarden yang berpendapat bahwa karya sastra mempunyai struktur yang obyektif, yang tidak terikat pada tanggapan pembaca, dan yang nilai estetiknya pun tidak bergantung pada norma-norma estetik pembaca yang terikat pada masanya. Tetapi Ingarden tahu bahwa karya sastra bersifat skematik dan selektif, tidak pernah menciptakan gambar yang bulat lengkap dan setia membayangkan kenyataan. Dalam setiap karya sastra terdapat Unbestimmtheitsstellen, tempat-tempat tak tertentu, atau kosong, pengisisannya bergantung kepada pembaca.
Vodicka mengkrtik pendapat Ingarden, menurutnya kebebasan pembaca jauh lebih besar, tidak hanya secara konkret dan faktual, tetapi pula secara prinsip. Makna karya sastra adalah proses konkretisasi yang diadakan terus-menerus oleh pembaca yang susul-menyusul dalam waktu atau berbeda-beda menurut situasinya,
D. Teori Estetik Resepsi Jausz
Tokoh utama dalam ilmu sastra yang menekankan peranan pembaca adalah Hans Robert Jausz. Menurut Jausz penelitian sejarah sastra di Barat menemui jalan buntu, setelah mengalami beberapa tahap perkembangan sepanjang masa.
Menurut Jausz para peneliti Sastra, juga dalam aliran marxis dan formalis, melupakan atau menghilangkan faktor yang terpentin, baca. Justru oembacalah yang merupakan faktor yang hakiki dan menentukan dalam sastra.
E. Masalah Estetik Dalam Ilmu Sastra
Jausz menyebut pendekatannya terhadap sastra Rezeptionsasthetik. Hal ini menyangkut pula tempat peneliti sendiri dalam proses resepsi karya sastra dan penelitiannya, suatu masalah yang dipertikaikan dengan cukup sengit juga dalam rangka hubungan antara kritik sastra dan ilmu sastra.
Jausz bergeser ke arah pembaca yang peranannyaper definisi menisbikan penilaian sastra. Karya sastra mempunyai potensi makna yang dalam perjalanan sejarah dapat berkembang terus. Jausz tidak mengajukan historisme, dengan membataskan usaha peneliti pada tugas memahami karya sastra dalam konteks sejarahnya. Pergulatan Jausz dan kawan-kawan tidak hanya untuk memahami dan menilai secara lebih efektif sastra Abad Pertengahan, melainkan pula untuk meletakkan dasar teori untuk pemahaman dan penilaian itu, perlu diambil manfaatnya untuk penelitian sastra Indonesia.
F. Wirkung dan Resepsi
Wirkungsgeschichte adalah sejarah efek teks sastra dilihat dari segi karya sastra itu sendiri. Tokoh penting dalam mazhab ini adalah Wolfgang Iser. Adanya istilah Leerstellen, tempat kosong serta fungsinya dalam pemberian makna oleh pembaca. Innserperspektif, perspektif dalam bagi sebuah teks. Jausz membedakan tiga kemungkinan: sastra dapat berlaku afirmatif-normatif, yaitu menetapkan dan memperkuat struktur, norma dan nilai masyarakat yang ada; atau restoratif, yaitu mempertahankan norma-norma yang dalam kenyataan kemasyarakatan telah meluntur atau menghilang, tidak berlaku lagi; ataupun, kemungkinan ketiga, sastra bersifat inovatif dan revolusioner, merombak nilai-nilai yang mapan, memberontak terhadap norma establishment kemasyarakatan.
G. Resepsi Madam Bovary Sebagai Contoh Penelitian Sastra
Pada tahun 1857 terbit roman Gustave Flaubert yang berjudul Madame Bovary yang menghebohkan sastra di Prancis, karena kaum borjuis yang mapan pada saat itu menganggap roman tersebut berbahaya, melawan, dan mengantam tata susila: tokoh utamanya, seorang wanita Prancis bernama Emma, melakukan zinah tanpa dihukum oleh penulis.dalam roman tersebut, Flaubert memakai gaya sastra yang pada waktu itu baru, tetapi yang kemudian diperikan dan diidentifikasi sebagai reported discourse atau erlebte Rede, vrije indirecte rede dalam bahasa Belanda dimana penulis membayangkan khayalan dan renungan seorang tokoh roman tanpa mengeksplesitkan bahwa ini bukan pikiran si penulis elainkan pikiran seorang tokoh. Lewat gaya baru cerita ini, menimbulkan perubahan literer, memaksa pembaca untuk berpikir dan menilai sendiri.
H. Foulkes Mengenai Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Pembaca
Ilmu sastra harus mencurahkan minat yang luas terhadap pembaca, baik sebagai subyek maupun sebagai obyek. Subyek selaku pemberi makna, obyek selaku manusia yang terkena macam-macam pengaruh, paksaan, efek, baik sastra, maupun bukan sastra, baik yang kebetulan maupun yang dilontarkan dengan sengaja kepadanya.
I. Penerapan Metode Penelitian Resepsi Sastra
Salah satu pendekatan dalam resepsi sastra bersifat eksprerimental: teks tertentu disajikan kepada pembaca tertentu, baik secara individu atau kelompok agar mereka memberi tanggapan yang kemudian dianalisis dari segi tertentu. Penelitian semacam itu dapat dilakukan dengan daftar pertanyaan kemudian jawaban para responden dianalisis secara sistematik dan kuantitatif; dapat pula dipancing analisis yang tak terarah dan bebas, yang kemudian diberikan analisis kualitatif. Kelemahan penelitian resepsi sastra lewat eksperimen ini ada pada masalah metode dan teknik selain itu penelitian ini hanya bisa dilakukan untuk resepsi masa kini, tetapi tidka menyanggupkan orang untuk meneliti resepsi yang dahulu ada.
J. Penelitian Resepsi Lewat Kritik Sastra
Vodicka menekankan peranan pengkritik sastra selaku penanggap yang utama dan khas; dialah yang mewujudkan penempatan dan penilaian karya itu dalam masanya. Dia pula yang mengeksplisitkan konkretisasi; dan itu merupakan syarat mutlak untuk pemuatannya dalam keseluruhan sejarah sastra. Menurut Vodicka, peneliti harus sadar bahwa yang penting dalam kritik sastra bukanlah tanggapan seorang individu; pengkritik sastra yang baik mau mewakili norma sastra yang terikat pada masa tertentu dan/atau pada golongan masyaakat tertentu.
K. Pendekatan Lain Terhadap Penelitian Resepsi: Intertekstualitas, Penyalinan, Penyaduran, Penterjemahan
Prinsip intertekstualitas dapat dikaitkan dengan resepsi karya sastra. Contoh, Sajak Senja Di Pelabuhan kecil tulisan Chairil Anwar dalm hubungan antarteksnya dengan sajak Berdiri Aku tulisan Amir Hamzah memperlihatkan kemungkinan untuk meneliti resepsi karya sastra lewat konteks dan horizon harapan penulis lain yang secara kontrastif menciptakan karya baru yang konteks estetiknya bertentangan dengan harapan sebelumnya. Sedangkan penyalinan disini ialah penyalinan naskah tulisan tangan yang diteliti oleh filologi tepatnya tekstologi, penyalin memberi tanggapan dalam salinannya misalnya dengan menyesuaikan aslinya dengan norma bahasa atau sastra, budaya, dst, yang berlaku pada zaman dia menyalin naskah aslinya. Penyaduran adalahsebuah teks digarap oleh penulis yang kemudian dengan menyesuaikan dengan norma-norma baru, dll. Dalam hal ini sastra tidak hanya menyusul perkembangan norma sosio-budaya tetapi penyair sastra dapat membayangkan perubahan kemasyarakatan yang baru saja terlaksana. Dalam sejarah sastra, terjemahan memainkan peran yang sangat penting sebagai inovasi dan merupakan tahap esensial dalam penerimaan norma-norma baru.
L. Kesimpulan
Dalam perkembangan ilmu dan teori sastra pada masa mutakhir pembaca makin banyak diberi perhatian sebagai faktor dalam model semiotik. Hal itu memang pantas, sebab peranan pembaca selaku pemberi makna. Dalam model semiotik karya sastra, pembaca merupakan poros utama. Tanpa pembaca tidak ada pembacaan, pemahaman, penilaian sastra; dialah sasaran komunikasi sastra, dialah yang menentukan berhasi tidaknya komunikasi sastra.
BAB VIII. KARYA SASTRA DAN KENYATAAN
A. Teori Plato Mengenai Mimesis
Plato dengan panjang lebar memaparkan peranan puisi, khususnya dalam hubungannya dengan kenyataan di berbagai temapat dalam karya-karyanya. Pandangan Plato tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan pendirian filsafatnya mengenai kenyataan yang bersifat hirarkik. Menurut Plato ada beberapa tataran tentang Ada yang masing-masing mencoba melahirkan nilai-nilai yang mengatasi tatarannya. Yang nyata secara mutlak hanya yang baik.
Bagi Plato mimesis terikat pada ide pendekatan, tidak menghasilkan kopi yang sungguh-sungguh; lewat mimesis tataran yang lebih tinggi hanya dapat disarankan. Bagi Plato tidak ada pertentangan antara realisme dan idealisme dalam seni: seni yang terbaik lewat mimesis, peneladanan kenyataan mengungkapkan sesuatu makna hakiki kenyataan itu. Maka itu seni harus truthful, benar dan seniman harus modest, rendah hati, dia harus tahu bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal dari jauh dan serba salah.
B. Aristoteles Menyanggah Plato
Aristoteles mengatakan bahwa seni justru menyucikan jiwa manusia lewat proses yang disebut katharsis, penyucian. Dengan menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan dalam hati kita karya seni memungkinkan kita membebaskan diri dari nafsu yang rendah. Penyair tidak meniru kenyataan, tidak mementaskan manusia yang nyata atau peristiwa sebagaimana adanya. Seniman mencipta dunianya sendiri, dengan probability yang memaksa dengan ketakterelakannya. Jadi bagi Aristoteles seniman lebih tinggi nilai karyanya daripada seorang tukang. Karya seni menurut Aristoteles menjadi sarana pengetahuan yang khas.
C. Alam dan Seni Dalam Berbagai Kebudayaan
Visi Aristoteles dalam sejarah kebudayaan Barat umumnya diterima dan menjadi dasar estetik dan filsafat seni. Tetapi ini tidak berarti bahwa pandangan tentang seni sebagai mimetik hilang. Dalam sejarah kebudayaan Barat hubungan antara seni dengan kenyataan tetap menjadi masalah yang cukup sentral.
Bagi orang Arab penyair bukan pencipta dalam arti yang mutlak; penyair terikat pada ciptaan Tuhan yang merupakan model yang sempurna. Sedangkan dalam puitik Cina umumnya aspek mimetik ditekankan; seni, sastra harus meneladani tata semesta, kebenaran kesejarahan dan kebenaran kemanusiaan. Dalam puisi Jawa kino, khususnya dalam kakawin, aspek mimetik oleh penyair kuat sekali, dalam puisi Jawa Kuno puisi disamakan dengan unio mystica, persatuan antara manusia dengan Tuhan lewat keindahan, manunggaling kawula-gusti.
D. Kaitan Antara Mimesis dan Creatio Dari Segi Bahasa
Menurut penganut teori creatio, karya seni adalah sesuatu yang pada hakikatnya baru, asli, ciptaan dalam arti yang sungguh-sungguh. Sedangkan penganut teori mimesis pada prinsipnya menganggap karya seni sebagai pencerminan, peniruan ataupun pembayangan realitas. Lalu, cukup banyak peneliti sosiologi sastra dan peneliti lain yang menganggap karya seni sebagai dokumen sosial. Dari segi bahasa ada ambiguitas terhadap kenyataan: pada satu pihak tidak dapat disangkal bahwa bahasa sebagai alat komunikasi sebagian besar didasarkan atas pengetahua dan pengalaman manusia yang nyata, teteapi sekaligus alat ini cukup independen terhadap kenyataan itu, sehingga dapat dipakai untuk hal-hal yang tidak ada dalam kenyataan atau tanpa merujuk pada kenyataan manapun juga, misalnya dalam sastra.
E. Kenyataan Dari Segi Sosiologi
Peralatan yang terkuat dalam pengarahan manusia pada penafsiran kenyataan ialah bahasa, sebab bahasa adalah wadah obyektif dari timbunan makna dan pengalaman yang besar sekali, obyektif disini bukan obyektif mutlak, tetapi obyektif sebagai milik bersama anggota masyarakat terhadap subyektif dalam arti penafsiran individual. Dalam bahasa bertumpuklah persediaan pengetahuan sosial. Tetapi bahasa tidak hanya mengintegarasi berbagai bidang pengalaman sehari-hari dan memindahkan kenyataan yang tidak nyata ke dalam kenyataan sehari-hari.
F. Sastra: Peneladanan dan Sekaligus Model Kenyataan
Hubungan antara seni dan kenyataan bukanlah hubungan yang searah, sebelah ataupun sederhana. Hubungan itu selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung: ditentukan oleh tiga macam atau saringan kelir: kelir konvensi bahasa, kelir konvensi sosio-budaya dan kelir konvensi sastra yang menyaring dan menentukan kesan kita dan mengarahkan pengamatan dan penafsiran kita terhadap kenyataan. Hubungan ini saling mempengaruhi. Sebab sudah tentu konvensi tidak terjadi tanpa dipengaruhi oleh kenyataan. Kenyataan berpengaruh besar dan mengarahkan terjadinya konvensi bahasa, sastra dan sosial, tetapi sebaliknya pengamatan dan penafsiran kenyataan diarahkan pula oleh konvensi tersebut. Dan dalam seni umumnya, sastra khususnya, interaksi itu dijadikan prinsip semiotik utama.
G. Roman Antra Ketegangan dan Kenyataan
Dunia nyata dan dunia rekaan selalu saling berjalinan, yang satu tidak bermakna tanpa yang lain. Kenyataan yang dideskripsikan oleh penulis dalam karya sastra merupakan suatu teknik, satu sarana yang berfungsi untuk meyakinkan pembaca tentang kebenaran dan ketepatan isi cerita seluruhnya. Di sini pun pemberian makna memerlukan kita bolak-balik antara kenyataan dan makna dunia dibelakang kenyataan itu.
H. Masalah Realisme Dalam Sejarah Sastra
Di abad ke-19 dalam rangka teori sastra dan kritik sastra muncullah istilah realisme, dahulu di Jerman kemudian lebih tajam dan lebih digarap dalam teori dan praktek sastra Prancis. Dalam hal itu digunakan dua istilah yaitu sebagai istilah umum dan sebagai istilah khusus. Sebagai istilah untuk gaya seni realisme dipakai untuk seni yang nampaknya secara lugu memperlihatkan aspek kehidupan sehari-hari yang nyata dan sungguh-sungguh, tanpa tambahan fantasi atau ditel yang bukan-bukan.
Di zaman Yunani klasik, realisme ingin melukis alam, manusi dan dunia masa itu sendiri. Pada pihak lain realisme merupakan satu aliran atau aspek dalam gerak kebudayaan yang besar dan anekaragam yang disebut dengan istilah romantik.
Perkembangan realisme yangekstrim adalah aliran naturalisme yang tokoh utamanya bernama Emile Zola yang menuntut sastra harus bersifat ilmiah dengan menggambarkan alam dan kondisi manusia secara objektif dan nyata. Zola menganggap perlu mengadakan penelitian ilmiah untuk roman yang ingin ditulisnya dan dia juga berpendapat bahwa seorang penulis sastra harus jujur dan terus terang, sehingga hal yang paling jelek dan keji serta mengerikan yang terdapat dalam kenyataan tidak boleh ditiadakan atau disembunyikan dalam karangannya demi keindahan.
I. Roman Sebagai Dokumen Sosial?
Dalam arti lain karya rekaan merupakan dokumen sosial, yang lebih dahulu disebut jalan keempat ke Kebenaran: lewat sastra pembaca seringkali jauh lebih baik dari lewat tulisan sosiologi mana pun juga, dapat menghayati hakikat eksistensi manusia dengan segala permasalahannya. Visi terhadap kenyataan bergeser sepanjang waktu. Manusia dalam abad ke-19 masih beranggapan bahwa apa yang dapat diamatinya kepalanya nyata dan jelas ada. Tetapi dalam abad ini manusia makin ragu-rag tentang apakah kenyataan itu. Batas antara normal dan abnormal baik secara sosiologi maupun psikilogi semakin kabur. Realis adalah konsep yang nisbi, yang isinya sebagian besar ditentukan oleh norma-norma masyarakat setempat dan sezaman.
J. Kenyataan Dalam Puisi Lirik
Dalam lirik modern konvensi keterjalinan antara kenyataan dan rekaan lain lagi sifatnya. Culler dalam bukunya Structuralist Poetics, puisi lirik pada satu pihak mirip dengan kenyataan. Menurut Kloos, tokoh terkemuka dari kelompok Tachtiger, seni adalah ungkapan yang paling individual dari emosi yang paling individual, jadi emosi pribadi diungkapkan dalam bentuk aku, dalam rangka waktu kini dan tempat sini, dan sekaligus secara konvensional pembaca tahu, diandaikan tahu bahwa secara semiotik penafsiran harus melampaui batas keakuan, kekinian dan kesinian si penulis. Selanjutnya keakuan ini secara semiotik merujuk kepada keakuan pembaca sendiri. Puisi lirik baru dapat kita pahami dan nilai seluruhnya dalam kaitannya yang kompleks antara pengakuan paling individual si penyair lewat aku liriknya, dengan pesan yang relevan untuk setiap manusia.
K. Kenyataan Dalam Babad dan Sejarah
Pendekatan terhadap teks tradisional ini memang khas bersifat mimetik, mengharapkan sejarah dari teks-teks tertentu, yang ternyata mengecewakan harapan peneliti modern. Tetapi pendekatan mimetik ini tidak sesuai dengan sifat teks yang bersifat kesustraan, dan interpretasi ilmiah dan faktual yang modern yang disebut tadi berdasarkan salah paham tentang sifat teks ini yang sungguh-sungguh. W.H. Rassers mendekat teks sejarah ini dari segi antropologi, melihatnya sebagai pemberian makna oleh manusia Jawa dan Melayu terhadap sejarah dan kebutuhan sosialnya. Demikian Pigeaud dan Berg, masing-masing dengan cara sendiri mencoba memahami teks ini bukan sebagai dokumen sejarah, melainkan sebagai tulisan yang memberi makna pada hal-hal yang hakiki bagi anggita masyarakat yang bersangkutan.
L. Sastra dan Penulisan Sejarah
Aristoteles berpendirian bahwa si penyair sebenarnya lebih ulung pekerjaannya daripada si sejarawan. Sejarawan mau tak mau terikat pada fakta-fakta yang secara kebetulan pernah terjadi; dia tidak bebas dalam penggarapan bahan-bahannya sendiri itu, sedangkan seorang penyair dapat menulis ceritanya sendiri. Perbedaan antara history dan story tidak mutlak begitu pun di negara ini. Dalam karya sejarah yang paling ilmiah punmasih ada aspek-aspek yang subyektif, yang tak dapat dibuktikan kebenarannya. Keobyektifan mutlak tidak pernah tercapai karena beberapa hal: a) fakta-fakta tidak pernah lengkap, selalu pragmentarik, b) penulis sejarah mau tak mau harus berlaku selektif, c) penulis itu sendiri adalah manusia yang latar belakang, kecenderungan, pendirikannya subyektif ditentukan oleh pengalaman.
M. Hayden White Mengenai Sejarah dan Sastra
Hayden White berpendapat bahwa tulisan sejarah tidak hanya dari segi fakta. White lebih memilih mempertahankan pendirian bahwa penulisan sejarah dalam kebudayaan Barat menurut esensinya tidak berbeda dengan sastra. Katanya mau tak mau penulis sejarah dalam tulisannya dikuasai oleh narrative modes, gaya bercerita yang berlaku di zaman dan dalam kebudayaannya.
N. Kesimpulan: Sastra Sebagai Alternatif Sebagai Kenyataan
Kaitan antara mimesis dan creatio. Yang satu tidak bisa lepas dari yang lain, keduanya saling membutuhkan secara mutlak. Baik dalam sastra ataupun tulisan sejarah dua-duanya harus ada. Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam sastra adalah hubungan dialektik.
BAB IX. TEKS KARYA SASTRA SEBAGAI VARIABEL
DALAM MODEL SEMIOTIK
A. Kemantapan Sebuah Teks
Teks karya sastra adalah sesuatu yang konstan, yang mantap, tidak berubah sepanjang masa, sesuai dengan ciptaan penulisnya. Namun kenyataan sejarah teks sepanjang masa bertentangan dengan anggapan bahwa teks adalah sesuatu yang stabil mantap. Jadi pada satu pihak kita berpangkal pada karya sastra sebagai struktur yang utuh bulat dan mantap; pada pihak lain kita menghadapi kenyataan bahwa teks manapun juga cenderung berubah dan tidak stabil wujudnya sepanjang masa. Masalah ini, yaitu karya sastra sebagai variabel, dengan konsekuensinya untuk fungsi karya sastra sebagai tanda dalam model semiotik.
B. Filologi Atau Tekstologi Debagai Studi Sejarah Teks
Untuk studi sejarah teks sebuah karya sekarang mulai dipakai istilah tekstologi, antara lain oleh peneliti Rusia Lichacev (1971). Di sisni pun istilsh tekstologi akan dipergunakan untuk menunjukkan studi sejarah teks (sastra). Dalam hal peristilahan naskah akan dipakai dalam arti manuskrip, tulisan tangan; versi adalah wujud sebuah karya. Jadi sebuah karya mungkin tersimpan dalam beberapa versi, masing-masing diwakili oleh sejumlah naskah.
Variasi bentuk tidak terbatas pada karya yang diturunkan dalam bentuk naskah; maka itu dalam hal tekstologi dapat pula dibedakan tiga macam tekstologi, menurut ragam penurunan teks:
1. Tekstologi yang meneliti sejarah teks lisan
2. Tekstologi yang meneliti sejarah teks manuskrip
3. Tekstologi yang meneliti sejarah buku cetakan
Dari segi metode dan penelitian ada perbedaan dan persamaan diantara ketiganya. Contohnya adlah pembauran ragam tekstologi, dalam sejarah sastra tentang sebuah teks yang terkandung dalam naskah tulisan, kemudian mulai diceritakan secara lisan, tanpa atau dengan memanfaatkan naskah. Selain itu ada pula berbagai bentuk turunan teks modern yang tidak jelas masuk tiga ragam tersebut, misalnya bentuk stensilan, fotokopi, rekaman, dll yang statusnya tidak begitu jelas cetakan tidak, naskah pun tidak.
C. Tekstologi Buku Cetakan
Nama Gutenberg termasyhur sebagai penemu seni cetak di tahun sekitar 1450. Pada masa awal dari segi teknik dan tradisi masih banyak persamaan antara penurunan teks lewat naskah dan lewat buku, sehingga studi perkembangan teks pada saat itu juga masih merupakan pembauran antara tekstologi naskah dan buku. Tetapi kemudian, dengan perbaikan teknologi pencetakan jelaslah terjadi perubahan yang penting: buku cetakan dapat disebarluaskan dalam bentuk yang identik dengan jumlah yang cukup besar, serta dapat disimpan lama dalam perpustakaan dan koleksi buku swasta, akibatnya teks karya yang dicetak jauh lebih stabil daripada yang biasa dalam tradisi naskah.
D. Sebab-musabab Teks Cetakan Tidak Mantap
Perubahan yang diadakan dalam sebuah teks dengan sengaja, dapat dibedakan:
1. Perubahan mungkin terjadi dalam hal transliterasi dari satu sistem tulisan ke sistem tulisan yang lain.
2. Penggarapan kembali sebuah teks yang sudah dicetak oleh pengarang, yang biasanya tidak merasa puas lagi dengan ciptaannya, yang ingin menyesuaikannya dengan perkembangan idenya atau yang mau menanggapi reaksi pembaca atau yang meremajakan bahasa yang dipakai dan beberapa hal lain.
3. Sebuah teks cetakan diubah atas anjuran / petunjuk penerbit atau seorang penyunting.
4. Teks cetak yang diubah oleh karena campur tangan sensor atau pembesar dengan alasan politik, moralis atau lain-lain.
5. Perubahan teks yang diadakan dengan tujuan tertentu, misalnya sebuah karya sastra disesuaikan untuk pemakaian di sekolah (disederhanakan bahasanya, dipersingkat, ditiadakan bagian-bagian yang dianggap kurang pantas bagi anak sekolah, diberi catatan penjelasan, dst.)
E. Tekstologi Naskah: Sedikit Sejarahnya
Filologi di Barat mulai berkembang di zaman Humanisme; sebagai nama awal pada masa itu dikenal Petrarca (1304-1374), kemudian di akhir masa itu dikenal Erasmus (1466-1536). Humanisme antara lain sangat aktif berusaha untuk menemukan kembali tradisi sastra klasik yang asli, yang selama beberapa abad di Barat praktis hilang.
Sejak pertengahan abad ke-15 Erasmus sangat aktif selaku penyunting teks klasik yang diterbitkan. Maka sejak zaman itu studi kebudayaan klasik khususnya pendidikan klasik di sekolah yang disebut gymnasium, berdasarkan pengetahuan langsung mengenai tulisan asli, dapat dikembangkan terus menerus.
Dalam abad ke-19 para filolog mulai mengembangkan metode filologi yang sungguh bersifat ilmiah. Metode yang dikembangkan dalam filologi oleh Lachmann dan beberapa tokoh lain berpangkal pada hipotesis bahwa sebuah teks pernah tercipta dalam bentuk asli yang unik dan murni, yang kemudian dalam penurunan sepanjang masa menjadi kacau atau korup karena salah tulis oleh penyalin, baik salah tulis yang disengaja, maupun yang tidak disengaja. Tujuan utama filologi menurut mereka ialah memulihkan teks asli dan murni itu lewat perbandingan naskah yang cermat. Hubungan sejarah antara naskah itu dapat dipastikan berdasarkan metode stemma: sarana utama adalah kesalahan bersama yang terdapat dalam naskah tertentu. Sebab pada prinsipnya tidak mungkin dua naskah mempunyai sejumlah kesalahan yang cukup besar dan relevan secara independen.
F. Filologi Di Indonesia
Umumnya para filolog yang menrbitkan teks Indonesia tradisional tidak begitu sadar akan teori filologi, dan mereka biasanya masih menggunakan metode filologi prailmiah, dengan intuisi dan pengetahuan bahasa yang sebaik mungkin; biasanya sebuah naskah dipakai sebagai legger, dasar edisi yang kemudian seperlunya diperbaiki berdasarkan perbandingan dengan naskah lain. Ataupun, khususnya dalam hal adanya hanya satu naskah sebuah teks mereka memakai prinsip edisi diplomatik, yaitu dengan setia menerbitkan naskah sebagaimana adanya, dengan mengadakan erubahan dan perbaikan yang dianggap perlu dalam catatan kaki atau komentar.
G. Kritik Terhadap Filologi Tradisional, Khususnya Metode Stemma
Dalam abad ke-20, dengan pergeseran minat kepada pembaca selaku pemberi makna, sikap peneliti tekstologi terhadap naskah juga berubah; makin disadari bahwa metode stemma baik dari segi teori maupun dari penerapannya menunjukkan beberapa kelemahan dan kekurangan. Satu prinsip metode stemma ialah adanya satu teks purba yang asli dan utuh, yang ditulis oleh seorang penulis. Hipotesisi kedua yang mendasari metode stemma mengandaikan tidak ada kontaminasi, pembauran naskah; menurut hipotesis ini naskah hanya diturunkan vertikal dari naskah yang merupakan induknya, tanpa dicampuri dengan teks yang terdapat dalam naskah lain, jadi tanpa pembauran horizontal. Prinsip ketiga yang melandasi metode stemma pun ternyata tidak benar mutlak, malahn sering sangat meruwetkan. Yang dimaksud prinsip “kesalahan bersama”: pokoknya sering sukar sekali, kalau tidak mustahil untuk mengatakan antara dua varian mana yang salah, mana yang benar. Dalam seleksi antara yang salah dan yang benar peneliti sering kali terpaksa mengambil keputusan yang subyektif.
H. Variasi Naskah: Korupsi Atau Kreasi?
Dalam pendekatan lama segala sesuatu dalam sebuah naskah yang menyimpang dari teks yang dianggap asli dipandang sebagai korupsi yang oleh filolog harus disingkirkan. Tetapi dalam filologi modern variasi naskah justru seringkali dilihat sebagai kreasi, yaitu teks oleh penyalin disesuaikan dengan perubahan dalam lingkungan sosio-budaya di mana salinan itu harus berfungsi menurut harapan pembaca yang menjadi sasaran naskah baru itu. Dengan perkataan lain dalam naskah sering tercermin resepsi sebuah teks dalam lingkungan tertentu, dan penelitian naskah-naskah masing-masing banyak memberi informasi yang relevan untuk pengetahuan mengenai sejarah dan resepsinya.
I. Beberapa Kesimpulan
1. Untuk teks tertentu dan dengan tujuan tertentu metode stemma masih tetap bermanfaat dan dapat dipergunakan dengan hasil yang baik.
2. Menurut kesan sementara kesetiaan penyalinan pada naskah induknya tidak sama untuk berbagai jenis dan ragam teks.
3. Tidak setiap naskah yang masih ada, misalnya teks Indonesia tradisional sama pentingnya dan sama kreatifnya sama manfaatnya sebagai sumber pengetahuan resepsi karya sastra tertentu.
4. Khususnya di Indonesia masalah tekstologi untuk sastra tradisional tidak dapat dipandang lepas dari masalah sastra lisan; sebab dalam sastra Indonesia lama ada interaksi yang sangat kuat antara sastra lisan dan sastra tulis, dan wujud transmisi teks tulis pun dipengaruhi oleh tradisi sastra lisan dan fungsi sastra sebagai performing art.
J. Sepuluh Dalil Lichacev Untuk Tekstologi
1. Tekstologi ialah cabang ilmu pengetahuan yang menyelidiki sejarah sastra teks suatu karya. Salah satu penerapan praktis ilmu ini adalah suntingan ilmiah teks yang bersangkutan.
2. Pertama-tama penelitian teks, baru kemudian penerbitannya.
3. Edisi teks harus menggambarkan sejarahnya.
4. Tidak ada kenyataan tekstologi diluar penjelasannya.
5. Kesaksian perubahan teks yang sadar diadakan secara ideologis, estetik, psikologik dan sebagainya ahrus diberi prioritas atas kesaksian perubahan teks yang mekanis, kesalahan tak sengaja oleh penyalin.
6. Teks perlu diteliti sebagai keseluruhan, prinsip kekompleksan pada penelitian teks.
7. Juga bahan penyerta tekstologi (konvoi, kolovon, dll) suatu karya sastra dalam satu kumpulan (kodeks) perlu diteliti.
8. Perlu diteliti bayangan sejarah teks sebuah karya dalam monumen sastra lain.
9. Pekerjaan sang penyalin dan kegiatan skriptoria masing-masing perlu diteliti.
10. Rekonstruksi suatu teks tidak dapat menggantikan teks yang diturunkan secara faktual.
BAB X. STUDI SASTRA LISAN DALAM RANGKA
SEMIOTIK SASTRA
A. Gayutan Sastra Lisan Dalam Kerangka Teori Sastra Umum
Ada sejumlah alasan penting mengapa sastra lisan perlu diberi perhatian, yakni:
1. Dalam situasi komunikasi sastra ada perbedaan yang cukup menonjol antara sastra lisan dan sastra tulis; sastra tulis tidak memerlukan komunikasi langsung antara pencipta dan penikmat.
2. Penelitian sastra lisan biasanya berlangsung dalam rangka yang berbeda dengan ilmu sastra umumnya, yang sangat didominasi oleh situasi sastra tulis.
3. Masalah ini penting bagi peneliti sastra di Indonesia, sebab di seluruh Indonesia sastra lisan dari dahulu sangat penting, sampai sekarang di berbagai kebudayaan suku bangsa sastra lisan masih tetap diciptakan dan dihayati oleh masyarakat sebagai satu-satunya bentuk sastra, ataupun disamping bentuk sastra tulis.
4. Sastra yang diturunkan dalam bentuk tulis dalam praktek biasanya berfungsi sebagai sastra yang dibacakan dan dibawakan bersama-sama, jadi sebagai performing art; dan sebaliknya sastra lisan sering kemudian ditulis dan dijadikan sastra tulis.
B. Minat Untuk Sastra Lisan Di Eropa: Sedikit Sejarahnya
Minat untuk sastra lisan atau sastra rakyat di Eropa Barat mulai timbul dalam abad ke-18, dalam rangka perkembangan kebudayaan yang lebih luas yang disebut Romantik. Dalam abad ini muncul reaksi terhadap klasisme yang menyanjung-nyanjung zaman klasik sebagai puncak kebudayaan manusia, yang hanya tingga diteladani dan ditiru.
Bagi Johann Gottfried Herder, asal-usul bahasa dan asal-usul puisi identik: manusia primitif, purba, mulai belajar berbahasa lewat kesa-kesan yang diterima dari luar dirinya, dalam bentuk bunyi-bunyi yang secara spontan membayangkan impresi yang diterimanya itu. Dalam puisi yang disebut primitif kekuatan asli manusia yang mulai berbahasa masih diselamatkan, tetapi kemudian kemampuan itu makin pudar, dipengaruhi oleh perkembangan kebudayaan, khususnya tulisan yang meniadakan anasir hakiki dari puisi.
Di Jerman muncul tokoh Jakobson dan Wilhelm Grimm, kakak beradik yang pada awal abad ke-19 mulai menerbitkan dongeng-dongeng rakyat Jerman yang mereka kumpulkan di mana-mana dari mulut ke mulut rakyat. Mereka melopori cabang ilmu yang adakalanya disebut ilmu sastra oral atau rakyat, adakalanya pula ilmu folklor, sebab penelitian semacam ini biasanya tidak terbatas pada cerita saja, tetapi juga mengumpulkan data mengenai adat-istiadat, kebudayaan kebendaan, di pedesaan, dialek-dialek, singkatnya segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan rakyat pedesaan.
C. Minat Untuk Sastra Lisan Di Indonesia: Sedikit Sejarahnya
Pada tahun 1850 Herman Neubronner van der Tuuk ditugaskan untuk menerjemahkan Al-Kitab ke dalam bahasa Batak, dan sebagai tugas persiapan harus meneliti bahasa dan sastra Batak. Bagi Van der Tuuk, cerita rakyat sangat penting sebagai bahan untuk studi bahasa, dan dia menyuruh sejumlah informan untuk menulis sebanyak mungkin cerita rakyat dalam bahasa mereka yang asli.
Tokoh kedua adalah N Adriani (1865-1926) yang seumur hidup bekerja diantara orang Bare’e, atau subsuku Toraja di Sulawesi Tengah. Rekan Adriani yang lebih muda yang bekerja dalam lingkungan suku bangsa Toraja Selatan bernama H Van der Veen; beliau menerbitkan sejumlah teks yang sangat penting, khususnya teks puisi-puisi nyanyian orang kematian, dengan terjemahan Belanda dan Inggris yang membuktikan kepekaan bahasa yang cukup tinggi.
Di Kalimantan Selatan, diantara suku bangsa Ngaju Dayak diadakan penelitian dan pengumpulan bahan sastra rakyat yang sangat berarti oleh seorang misionaris Swiss, H. Scharer. Scharer sangat teresan oleh kekayaan sastra lisan orang Dayak.
Seorang misionaris Kristen lagi yang sangat aktif mengumpulkan bahan puisi dan cerita rakyat adalah W.L. Steinhart; dia bekerja di Pulau Nias; banyak bahan yang dimilikinya hilang dalam perang dunia kedua, tetapi baik sebelum perang maupun setelah perang masih cukup banyak bahan diselamatkan dalam bentuk terbitan yang sangat mengesankan, juga dari segi nilai sastra.
Tokoh terakhir bernama P. Middelkoop yang khususnya tertarik oleh sastra rakyat dari segi keagamaan; menurut Middelkoop ada cukup banyak persamaan dari segi nilai agama dan nilai sastra antara puisi rakyat Timor dan nyanyian dalam Kitab Perjanjian Lama yang disebut masmur.
Kebanyakan dari tokoh tersebut tidak banyak berminat untuk aspek-aspek teori sastra yang berkaitan dengan sastra rakyat; mereka lebih tertarik dari segi ilmu atau deskripsi bahasa, khususnya juga dalam rangka tugas mereka sebagai penerjemah Al-Kitab.
D. Perkembangan Penelitian Sastra Rakyat Kemudian: Mazhab Finlandia
Metode dan teori historik komparatif secara sistematik mulai dikembangkan di Helsinki, oleh orang Finlandia yang mulai berminat khusus sehubungan dengan studi epos nasional Finlandia yang berjudul Kalevala. Mazhab yang dikembangkan di Helsinki, sebagai pusat organisasi peneliti dari seluruh dunia biasa disebut Historico-Geographical School; prinsip pendekatan dan hasilnya yang utama dirumuskan dalam buku Thompson The Folktale (1946).
Masalah yang dihadapi peneliti ini adalah masalah klasifikasi dan organisasi bahan-bahannya. Metode ini juga punya kelemahan-kelemahan yang inheren. Dalam praktek ternyata bahwa pembagian dan penggolongan dalam tipe dan motif sangat sulit. Penggolongan itu sendiri sering tidak konsisten atau bersifat subyektif, dan seringkali pula cerita dipecah belah menjadi sejumlah motif yang kaitannya satu sama lain tidak jelas lagi.
E. Penelitian Propp Mengenai Dongeng Rusia
Buku Propp memang dapat disebut sebuah usaha untuk menemukan aturan yang menguasai dan menentukan susunan plot dalam sebuah jenis dongeng Rusia yang khas. Kritik Propp terhadap mazhab Finlandia terutama menyangkut sifat atomistik analisis tema dan motif; Propp sebagai dasar penelitian lebih lanjut memerlukan membuat analisis struktur folktale yang mencoba memastikan anasir hakiki setiap dongeng yang termasuk dongeng yang ingin dibicarakannya. Berdasarkan analisis seratus dongeng yang disebut fairy tales Propp menemukan hasil yang cukup mengejutkan: secara singkat dapat dikatakan:
1. Anasir yang mantap dan tidak berubah dalam sebuah dongeng bukanlah tokoh atau motifnya, melainkan fungsi, lepas dari siapa tokoh yang memenuhi fungsi tersebut.
2. Untuk fairy tale jumlah fungsi terbatas
3. Urutan fungsi dalam sebuah dongeng selalu sama
4. Dari segi struktur semua dongeng mewakili hanya satu tipe saja.
Fungsi adalah tindak seorang tokoh yang dibatasi dari segi maknanya untuk jalan lakonnya. Analisis dan tipologi struktural untuk penelitian historik bukanlah tujuan utama, melainkan dimanfaatkan hasilnya. Propp ingin menggabungkan metode struktural dengan penelitian genetik, penelusuran asal-usul dan penyebaran kemudian.
Berangsur-angsur banyak kritik yang ditujukan kepada Propp. Kritik utama menyangkut pilihan dan analisis fungsi: sebab Propp sering secara sembarangan menganggap unsur cerita tertentu sebagai fungsi atau tidak, tergantung cocok tidaknya dalam struktur dan urutan fungsi yang menurut Propp harus ada.
Kesimpulan Guepin terhadap pendekatan dan hasil penelitian Propp cukup negatif: Propp tidak sungguh-sungguh membuktikan tesisnya. Namun jasa Propp tetap besar, sebab dialah yang pertama kali menyatakan pentingnya analisis struktural dalam naratif cerita rakyat dan cerita lain.
Menurut Selden, meskipun teori Propp didasarkan pada dongeng Rusia dan dianggap tidak mewakili dongeng-dongeng di negara lain, tetapi fungsi-fungsi Propp dianggap hadir dalam jenis-jenis lain, seperti komedi, mitos, epik, roman, dan cerita pada umumnya. Oleh karena itu, di Indonesia model penelitian Propp diharapkan dapat memberikan inspirasi dalam upaya mengkaji tradisi yang sangat kaya.
F. Penelitian Puisi Lisan: Parry dan Lord
Sejak dahulu Homerus sebagai penyair dipermasalahkan; justru di zaman klasisme, abad ke-18, Homerus sering dipisahkan dari tradisi pengarang klasik yang agung, dengan alasan bahwa dia seorang yang buta huruf, seorang urakan, yang gaya bahasanya dan gambarnya tentang dewa-dewa dan manusia bersifat kerakyatan dan kasar; tetapi di pihak lain dia dikagumi sebagai teladan penyair “primitif” dalam arti yang positif: dalam karyanya diungkapkan hakikat emosi manusiawi, tanpa dicampuri berbagai konvensi yang muluk-muluk tetapi yang kehilangan keaslian dan dirusakkan oleh kebudayaan.
Seorang ahli bahasa Yunani Milman Parry, dalam beberapa tulisan dalam tahun dua dan tiga puluhan dan kemudian mencoba membuktikan bahwa karya Homerus pada sati pihak memang memanfaatkan dan menggali kekayaan tradisi oral sezaman, namun demikian berdasarkan konvensi sastra lisan itu dia menciptakan karya sastranya sebagai keseluruhan yang utuh dan sempurna. Menurut Parry tidak kebetulanlah penyanyi seperti Homerus memanfaatkan persediaan formula yang siap pakai sesuai dengan persyaratan matra yang dimanfaatkan untuk eposnya dalam penciptaan karyanya secara lisan.
Kemudian untuk memperkuat hipotesisnya, Parry dan Lord, muridnya meneliti penyanyi epos rakyat di Yugoslavia. Di sana mereka meneliti puluhan contoh epos rakyat seperti dinyanyikan tukang cerita; mereka meneliti teknik panciptaan epos rakyat dan cara tradisi ini diturunkan dari guru ke murid, dan mereka memberi perhatian pada resepsi karya sastra oleh masyarakat yang menontonnya. Kesimpulan yang berhasil dicapai Parry dan Lord dalam penelitian ini:
1. Epos rakyat Yugoslavia oleh penyanyinya (namanya guslar) tidak dihafalkan secara turun-temurun, tetapi setiap kali epos itu dibawakan teksnya diciptakan kembali secara spontan.
2. Sama seperti Homerus, guslar Yugo memakai sejumlah formula stereotip yang siap pakai dengan kemungkinan variasi menurut tuntutan tatabahasa. Seorang guslar juga memiliki sejumlah adegan yang siap pakai yang oleh Lord disebut tema yang berarti peristiwa-peristiwa yang diulang dan bagian-bagian deskriptif dalam nyanyian.
3. Variasi adalah ciri khas puisi lisan; tidak ada wujud yang betul mantap; sastra lisan adalah sastra yang hidup, lincah, selalu diciptakan dan dihayati kembali sesuai dengan daya cipta pembawa dan penikmatnya.
G. Penelitian Modern Tentang Sasra Rakyat di Indonesia: Fox, Sweeney
Amin Sweeney mendalami sastra oral orang Melayu di Malaysia Barat, khususnya di bagian Timur (Kelantan, Trengganu), dan dia memperoleh pengetahuan yang luas sekali; dia juga melatih diri menjadi seorang tukang cerita dan dalang gaya Melayu dan dia diterima sastrawan Melayu tradisional di daerah pedesaan sebagai rekan. Sweeney menegaskan bahwa tukang cerita Melayu sungguh seorang yang profesional, yang membawakan ceritanya biasanya dengan lagu milik dia sendiri.
Dalam hal puisi Roti yang diteliti oleh Fox lain lagi caranya dan strukturnya. Fox membicarakan jenis puisi yang disebut bini, puisi keagamaan tertentu; ciri khas puisi ini adalah pemakaian dyadic sets, pasangan kata yang wajib dipakai dan yang menunjukkan kesejajaran semantik tertentu. Misalnya kata untuk kambing jantan berpasangan dengan kata ayam jantan, demikian juga kata sifat dan kata kerja sering mempunyai pasangan tetap; dalam puisi bini harus ada kesejajaran antara dua baris dalam arti bahwa setiap kalimat yang mengandung kata yang ada pasangannya harus diveri kalimat atau larik sejajar dengan memakai kata pasangan itu. Lewat puisi kita dapat gambaran struktur sosial dan pandangan dunia orang roti yang sangat menarik. Puisi adalah sarana ataupun ideologi yang mempersatupadukan masyarakat Roti. Puisi Roti, contoh yang baik terhadap keterkaitan dan fungsi puisi dalam kehidupan kemasyarakatan yang lebih luas.
H. Beberapa Kesimpulan Umum
1. Masalah struktur kesastraan dapat kita telusuri dengan baik berdasarkan sastra lisan, dari bentuk yang paling sederhana sampai ke bentuk yang rumit, dengan persyaratan puitik yang kompleks.
2. Variasi sebagai aspek hakiki sastra rakyat, masalah-masalah dari segi korupsi dan kreasi, sering dalam penelitian sastra rakyat menjadi lebih jelas, juga dari segi fungsi variasi.
3. Proses penciptaan sastra dan efek daya cipta seorang penggubah sastra rakyat dapat kita telusuri dari dekat.
4. Dala sastra lisan resepsi masyarakat dan pengaruh timbal balik antara penciptaan dan sambutan dapat diperhatikan dengan cukup intensif dan langsung.
5. Fungsi sastra dalam masyarakat sering masih lebih wajar dan langsung terbuka untuk penelitian ilmiah.
I. Beberapa Kesimpulan Khusus Untuk Teori Sastra Indonesia
1. Harus ditekankan bahwa baik dari segi sejarah maupun dari segi tipologi sastra tidaklah baik diadakan pemisahan antara sastra lisan dan sastra tulis.
2. Prinsip variasi sebagai prinsip sastra lisan, yang bukan tak ada relevansinya untuk sastra tulis di Indonesia.
3. Katan antara sastra lisan dan tulis dalam fungsi sastra sebagai performng art: sastra tulis pun berfungsi dalam situasi sosial yang disebut ramai atau guyub; karya sastra pun normal dibacakan bersama, dengan segala konsekuensi untuk teknik, struktur dan fungsinya.
4. Penggabungan sastra tulis dan lisan dalam satu kerangka teori tidak hanya penting bagi sastra tradisional atau lama; sebab kita dapat menyaksikan bahwa dalam sastra Indonesia modern pun sastra sebagai performing art memainkan peranan yang sangat penting.
BAB XI. TEORI SASTRA DAN SEJARAH SASTRA
A. Pendekatan Sejarah Sastra yang Tradisional
Pendekatan historik terjelma dalam berbagai bentuk. Berikut empat pendekatan yang utama masing-masing dengan variannya:
1. Sering sejarah sastra ditaklukkan pada sejarah umum, sehingga karya sastra dan penulisnya ditempatkan dalam rangka yang disediakan oleh ilmu sejarah umum. Satu varian pendekatan ini yang cukup menonjol mempergunakan kerangka universal sejarah kebudayaan sehingga sastra dibagikan dalam periode menurut gambaran sejarah kebudayaan Barat, misalnya dengan memperbedakan sastra Renaisans, Barok, Klasisme, Rasionalisme, Romantik dst. Karya sastra ditempatkan dalam kerangka yang jelas dan mudah dipegang; peneliti sastra tidak perlu merepotkan diri dengan mencari kerangka sendiri, sedangkan sarana bahwa sastra memang berkembang sesuai dengan perkembangan sejarah umum, politik atau budaya, mempunyai aspek yang menarik, juga dari segi ideologi nasional, dll.
2. Pendekatan yang mengambil kerangka karya atau tokoh agung, ataupun gabungan dua kriteria ini. Pendekatan ini mudah dan praktis, juga untuk tujuan pengajaran, tetapi belum dapat disebut sejarah sastra yang sesuai dengan sifat khusus obyek penelitiannya. Kaitan antara riwayat hidup seorang penulis dan karyanya merupakan hal yang sangat kompleks, dan pasti tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk sejarah sastra.
3. Pendekatan yang populer di abad ke-19 adalah Stoffgeschichte, yang berdasarkan Quellenforschung: sejaraha bahan-bahan dengan penelusuran sumber-sumber. Penelitian sejarah sastra semacam ini biasanya memusatkan perhatian pada motif atau tema yang terdapat dalam karya sepanjang zaman. Dalam penelitian semacam ini ditelususri asal-usul dan perkembangan serta pemanfaatan anasir tertentu, misalnya tema Panji, Odipus, Malin Kundang, ibu mertua yang ganas, dll., dalam karya yang mengandung anasir tersebut seringkali melampaui batas bahasa ataupun batas kebudayaan.
4. Sejarah sastra yang mengambil sebagai kriteria utama untuk penahapan sejarah pengaruh asing yang berturut-turut dapat ditelusuri pada perkembangan sastra tertentu.
B. Prinsip Dasar Sejarah Sastra
Teori sastra pertama dan terutama harus meneliti kompetensi sastra, yaitu keseluruhan konvensi yang memungkinkan pembacaan dan pemahaman karya sastra. Masalah sistem sastra dari segi tertentu lebih ruwet daripada sistem bahasa, baik dari segi teori maupun praktek. Hal itu berarti bahwa analisis sejarah sistem sastra sepanjang masa adalah tugas yang tak terlaksana secara menyeluruh dalam waktu yang lumayan.
Jenis sastra sungguh-sungguh merupakan sistem bagian yang paling sesuai untuk ditelususri perkembangan kesejarahannya. Guillen (1971) mengembangkan konsep sastra sebagai unsur hakiki dalam sistem itu berdasarkan studi yang sangat mengesankan mengenai perkembangan roman pikaresk sebagai jenis sastra dengan penelitian konkrit mengenai sejarah sistem jenis sastra.
C. Beberapa Faktor yang Relevan Untuk Sejarah Sastra
1. Dinamika sistem sastra
Konsep jenis sastra yang modern bersifat dinamik tidak statik. Hal itu disebabkan oleh pandangan bahwa karya sastra selalu berada dalam tegangan antara konvensi dan kreasi: karya sastra tidak hanya melaksanakan konvensi jenis sastra, tetapi sering sekaligus melampaui bahkan merombaknya. Dalam sastra tradisional pun norma dan konvensi jenis sastra sering berubah.
2. Pengaruh timbal balik antarjenis sastra
Dalam dinamika sistem sastra seluruhnya kaitan dan oposisi antara jenis-jenis sastra merupakan faktor yang hakiki. Fungsi jenis sastra tertentu tidak hanya ditentukan oleh ciri-ciri intrinsiknya tetapi pula oleh kaitan atau pertentanganny dengan jenis lain.
3. Intertekstualitas karya individual dan sejarah sastra
Kaitan antara jenis sastra dan karya individual memperhadapkan peneliti dengan berbagai masalah yang merumit sejarah sastra. Hal itu diakibatkan oleh hubungan yang ambigu antara karya individual dan norma-norma jenis sastra. Jenis sastra bukanlah sistem klasifikasi yang universal atau apriori, dan yang statik saja. Penelitian kriteria jenis sastra selalu harus berkaitan dengan hubungan intertekstual antara karya individual; dinamik perubahan sistem sastra ditentukan oleh dan terjelma dalam karya-karya individual dalam hubungan antarteksnya.
4. Sejarah sastra dan sejarah umum
Penulisan sejarah sastra berada pula dalam tegangan antara perkembangan intrinsik dan perkembangan sosio-budaya-politik dalam masyarakat yang meghasilkan karya itu. Hubungan antara perkembangan sastra dan perkembangan masyarakat adalah hubungan tmbal balik, baik sastra itu bersifat afirmatif, restoratif maupun negatif terhadap perkembangan kemasyarakatan tertentu.
5. Penelitian resepsi sastra dan sejarah sastra
Resepsi karya sastra, tidak hanya oleh para pembaca yang sezamannya dengan penulis, tetapi oleh resepsi angkatan pembaca yang berturut-turut sesudah masa penciptaannya. Penelitian resepsi itu menyediakan berbagai kesulitan metodis dan teknis. Seringkali data-data yang langsug dapat dipakai untuk penelitian resepsi karya sastra tidak ada atau cukup terbatas.
6. Sastra lisan dan sejarah sastra
Sastra yang seluruhnya terdiri atas sastra oral sukar ditulis sejarahnya, kalau tidak kebetulan terselamatkan bentuk lama yang tercatat oleh peneliti-peneliti atau pencinta sastra di masa lampau, atau disuruh tulis oleh pembesar tertentu. Sastra lisan yang masih ada sekarang atau yang diselamatkan sejak abad yang lalu berkat usaha berbagai peneliti belum tentu membayangkan sastra lisan ‘asli’ atau purba di Indonesia. Sastra lisan sering mempunyai dinamika intrinsik yang kuat sekali ataupun berubah akibat pengaruh sastra asing (tulis atau lisan). Tetapi sejarah sastra lisan pasti tidak mungkin ditulis. Sebaliknya dalam sejarah sastra tulis peneliti selalu harus berminat untuk gejala-gejala tertentu yang mungkin dapat dipahami sebagai akibat interaksi antara sastra lisan dan sastra tulis. Sebab tidak dapat disangkal bahwa sastra lisan dalam berbagai bentuk dan dengan berbagai cara terus-menerus mempengaruhi perkembangan sastra tulis.
7. Sejarah sastra Indonesia dan sejarah sastra dalam bahasa Nusantara
Masalah terakhir yang merupakan komplikasi dalam sejarah sastra Indonesia terdiri atas hubungan antara sejarah sastra ekabahasa (Jawa, Melayu, Sunda, dll) dan sejarah sastra se-Indonesia. Sastra berkembang dalam suatu masyarakat bahasa, atas pemahaman karya sastra sebelumnya, atas dasar horison harapan dan nilai sastra yang terwujud, eksplisit atau implisit lewat karya yang sama bahasanya. Namun begitu tak dapat disangkal pula bahwa sistem sastra tertentu tidak tumbuh dan berkembang dalam isolasi mutlak.
Sejarah sastra di Indonesia tidak ditulis bahasa demi bahasa tanpa memperhitungkan sastra dalam bahasa lain. Baik dari segi ilmiah, maupun dari segi pendidikan nasional penting sekali penciptaan suatu sejarah sastra se-Indonesia.
D. Beberapa Sasran dan Contoh Tentang Penulisan Sejarah Sastra: Metode Penampang Sinkronik: Jausz dan Tahun 1857 Dalam Puisi Lirik Prancis
Dalam analisis permasalahan sejarah sastra tidak ada satu pendekatan saja yang dapat dipakai untuk menulis sejarah sastra. Kekompleksan masalah sejarah sastra hanya dapat diatasi dengan pendekatan yang anekaragam sesuai dengan kekompleksan tersebut. Satu pendekatan yang dari segi teknik penelitian memberi harapan akan hasil yang memuaskan dalam situasi sejarah sastra Indonesia adalah metode yang diajukan oleh Jausz dengan penulisan sejarah sastra lewat sejumlah penampang sinkronik yang kemudian disambung satu dengan yang lain.
Elrud Ibsch mengkritik penelitian Jausz dari segi metode dan teori sastranya. Kritik yang dilontarkan menyangkup dua hal. Pertama, Jausz mendasarkan kesimpulannya atas karya sastra dan potensi interpretasinya, bukan atas resepsi karya oleh pembaca. Kedua, sejarah puisi Prancis lebih kompleks daripada rangkaian lirrier: kanon–epigon–inovator.
E. Kemungkinan Penerapan Mewtode Penampang Sinkronik di Indonesia
Metode penampang sinkronik pasti dapat diterapkan dengan hasil baik. Hubungan intrinsik antara karya-karya dari segi nilai dan norma dapat ditelusuri, berdasarkan analisis intrinsik serta data ekstrinsik seandainya ada kritik sastra, uraian teori sastra, dll. Tetapi kaitan antara sastra dan keadaan kemasyarakatan oleh penampang sinkronik dapat diteliti atas dasar studi sosiologi, sejarah, ilmu politik, dll mengenai masa yang sama. Kemudian dapat diusahakan agar hasil penelitian penampang sinkronik yang berturut-turut dapat disambung dan ditempatkan dalam perspektif sejarah yang menyeluruh.
F. Pendekatan Berdasarkan Jenis Sastra
Pendekatan lain yang sebagiannya dapat digabungkan, sebagiannya pula dapat menggantikan pendekatan lewat penampang sinkronik adalah pendekatan lewat sejarah jenis sastra tertentu. Contoh yang baik adalah sejarah sastra Jawa Kuno kakawin. Barangkali tidak dapat diharapkan bahwa pernah akan dapat ditulis sejarah sastra Jawa Kuno secara menyeluruh. Data terlalu banyak menunjukkan kesenjangan, dan informasi yang terselamatkan terlalu bersifat fragmentaris dan kebetulan.
G. Sejarah Sastra se-Indonesia
Di Indonesia terdapat teks-teks dalam bahasa-bahasa Indonesia yang disebut historik atau genealogik: babad, sejarah, dll. Dalam tulisan itu diajukan penting dan perlunya teks tersebut diteliti sebagai teks kesastraan, dengan metode dan pendekatan yang sesuai dengan sifat utamanya. Teks semacam ini tidak pertama-tama boleh dipandang sebagai dokumen sejarah dalam arti ilmu sejarah modern; teks ini secara kreatif dan menurut konvensi kebudayaan masing-masing mentafsirkan dan membayangkan hal-hal, sejarah dan bukan sejarah dalam rangka pandangan dunia masyarakat Indonesia yang bersangkutan.
Karakterisasi teks ini tidak hanya tepat untuk sejumlah teks lain dalam lingkungan sastra Jawa-Bali. Teks yang dari segi struktur literernya sangat mirip terdapat dalam sastra Melayu.
XII. SASTRA SEBAGAI SENI: MASALAH ESTETIK
A. Ilmu Sastra dan Estetik
Karya sastra dapat didekati dari dua segi yang berbeda. Sastra sebagai seni bahasa, dengan tekanan pada aspek kebahasaannya dalam kaitan dan pertentangannya dengan bentuk dan pemakaian bahasa yang lain. Sastra sebagai bentuk seni, jadi dapat dedekati dari aspek keseniannya, dalam kaitannya dan pertentangannya dengan bentuk-bentuk seni lain. Dari segi inilah ilmu sastra merupakan cabang ilmu seni atau estetik. Tetapi dalam prakteknya, hubungan dengan ilmu bahasa lebih ditekankan daripada kaitan dengan ilmu seni, sedangkan estetik sendiri pun lebih mencurahkan perhatian pada seni-seni lain daripada seni bahasa.
B. Sedikit Sejarah Estetik Sastra Barat
Estetik di dunia Barat sama tuanya dengan filsafat. Keindahan yang mutlak menurut Plato hanya terdapat pada tingkat dunia ide-ide; dan dunia ide yang mengatasi kenyataan itulah dunia ilahi yang tidak langsung terjangkau oleh manusia, tetapi yang paling banter dapat didekati lewat pemikiran; para filsuflah yang pertama dapat mendekati dunia Ide dengan harmoni yang ideal.
Seni sebagai pembayangan Keindahan ideal berabad-abad lamanya menjadi dasar ajaran estetik. Jausz melacak perkembangan estetik sejak zaman klasik sampai ke zaman modern. Bagi Agustinus dunia Ide yang secara mutlak menentukan norma keindahan diganti oleh dunia ciptaan Tuhan.
Pemandangan mengenai seni dari segi estetik pada maa iti berdasarkan dua hal hakiki: persatuan yang mutlak dari yang baik, yang benar dan yang indah sangat lama menguasai estetik dunia Barat dengan konsekuensi pengabdian pada filsafat dan etik.
Ciri khasnya adalah seni sebagai imitatio (nature); peneladanan alam sebagai ciptaan Tuhan. Bagi abad pertengahan teladan bagi seniman adalah the Great Model (Lewis), semacam sistem menyeluruh dari alam semesta yang tak terhabiskan kayanya sebagai sumber ilham, sehingga akan mencukupi manusia-seniman manapun juga.
C. Estetik Terlepas Dari Norma Agama dan Etik
Norma-norma untuk estetik pada satu pihak terdapat dalam etik dan filsafat, pada pnmenerbitkan buku yang berjudul Les Fleurs du Mal: Bunga seni (keindahan) yang tumbuh dari yang jahat atau buruk. Alam dan dunia dalam visi Baudalaire jahat, tidak baik, malahan musuh manusian dan penyair bertugas untuk memerangi keadaan yang buruk itu dan untuk mengatasinya dengan kata, sebagai satu-satunya senjata. Tetapi Baudelaire juga bukan penganut aliran yang menganggap seniman sebagai penyuluh umat manusia ke masa depan yang lebih baik dan yang memberi tugas kemasyarakatan kepada seniman.
Sesudah Baudelaire, pandangan mengenai estetik di Barat berkembang ke berbagai arah. Pada satu pihak perkembangannya yang menyerahkan pengalaman estetik secara mutlak kepada penikmat. Pendekatan lain yang penting untuk estetik modern ialah pendekatan Marxis Barat, khususnya Adorno dengan Aesthetick der Negativitat yang muncul dari kekecewaan dan protes terhadap masyarakat liberal-burjuis, masyarakat konsumsi, di mana seni kehilangan nilainya, menjadi benda konsumsi pula. Seni bagi Adorno menjadi sungguh otonom dan dengan demikian sekaligus sosial, dengan menafikan segala ikatan sosial. Adorno tidak menerima ajaran Marxis klasik lagi bahwa seni harus mencerminkan kenyataan. Menurut Jausz, pokok teori seni Adornno sosialnya seni hanya dapat muncul dari penafian spesifik terhadap yang spesifik.
D. Beberapa Pendekatan Estetik Indonesia: Melayu dan Jawa Kuno
Teori estetik yang eksplisit tidak diketahui di bidang sastra Indonesia tradisional. Tetapi ada konsepsi estetik yang secara implisist terkandung dalam sastra Melayu klasik dan dalam puisi Jawa Kuno.
Braginsky membedakan tiga aspek pada konsep keindahan Melayu: aspek ontologisnya, yaitu keindahan puisi sebagai pembayangan kekayaan Tuhan Yang Maha Pencipta. Kemudian aspek imanen dari yang indah; aspek psikologis ataupun pragmantik; efek kepada pembaca jadi hilang heran, birahi, leka, lupa yang kehilangan kepribadiannya karena mabuk.
Menurut Prof. Zoetmulder, dalam konsepsi jawa, puisi bagi sang penyair adalah semacam yoga. Dalam agama Hindu Jawa, yoga adalah usaha manusia untuk mencapai kesatuan dengan Sang Dewa, dan lewat kesatuan kegamaan itu manusia akhirnya mencapai moksa, kelepasan, pembebasan akhir dari rantai eksistensi. Dalam puisi Jawa Kuno, estetik tidak bersifat otonom; fungsi seni diabdikan pada fungsi agama; lewat seni manusia diperhadapkan degan keagungan ciptaan Tuhan dan dia akan menghilangkan diri dalam keagungan pesona itu atau manusia seniman lewat seni mencoba menjangkau persatuan dengan Dewa yang akhirnya akan membawa kehampaan mutlak dan kehilangan dari rantai eksistensi manusia (Jawa Kuno).
E. Tegangan Sebagai Dasar Penilaian Estetik
Estetik unicersal mutlak tidak ada; setiap masyarakat dan kebudayaan mengembangkan estetik yang sesuai, entah itu dieksplesitkan atau tinggal implisit dalam sastra dan kebudayaan. Oleh karena itu, penelitian estetik harus mendapatkan tempat yang layak dalam rangka penelitian kebudayaan umum.
Fungsi estetik bukanlah semata-mata kualitas karya seni secara obyektif, melainkan tergantung pada aktivitas penikmat. Itulah perbedaan antara unsur bahasa sebagai tanda dan karya sastra sebagai tanda. Kenyataan yang bukan semiotik ditransformasikan oleh pembaca menjadi arti estetik.
Dalam visi estetik Jan Mukarovsky nilai estetik adalah sesuatu yang lahir dari tegangan antara pembaca dan karya. Oleh karena itu nilai estetik adalah proses yang terus-menerus. Estetik, menilai seni, ditentukan oleh tegangan antara karya seni sebagai suatu yang tersedia secara tetap dan sikap dan pengalaman seorang penikmat atau pengamat yang tetap berubah.
Kenikmatan estetik ditentukan secara umum oleh tegangan antara penemuan baru dengan pengenalan kembali yang sudah kita ketahui. Penikmatan sesuatu yang seratus persen baru tidak mungkin; kita memerlukan kerangka acuan, frame of reference yang memungkinkan kita memahami dan memberi makna pada yang baru itu. Penikmatan estetik tergantung pada tegangan antara yang baru dan yang lama.
Jadi, tegangan adalah starat mutlak, dasar hakiki untuk penikmatan estetik; dan tegangan itu pertama-tama terjelma antara karya seni sebagai berian, dan penikmat sebagai variabel. Tetapi tegnagan itu ternyata kompleks dan anekaragam
F. Tegangan Pertama: Fungsi Puitik Bahasa
Poetic function ala Jakobson tidak cukup untuk membatasi seni terhadap bentuk pemakaian bahasa yang lain; tetapi ini tidak berarti bahwa pemakaian bahasa sastra sesuai dengan konvensi yang berlaku pada masyarakat tertentu tidak menunjukkan ciri-ciri khas. Setiap sastrawan baik dalam masyarakat tradisional maupun modern, mempermainkan bahasa, memanfaatkan kemungkinan dan potensi bahasa, sesuai dengan norma-norma yang terdapat dalam masyarakat itu.
G. Tegangan Yang Inheren Pada Struktur Karya Sastra
Tegangan inheren merupakan struktur. Struktur dalam karya sastra bersifat multidimensional, atau berlapis-lapis yang sering disebut hirarkis. Ingarden membedakan lima lapis atau strata norma-norma: bunyi, dunia kata sebagai satuan arti, dunia karya yang direka dalam karya sastra (tokoh, latar, benda, dll); lapis keempat adalah segi pandangan karya yang mungkin terungkap, mungkin pula terkandung; lapis kelima adalah lapis kualitas metafisik; yang dahsyat, suci dan mulia. Setiap karya sastra mempunyai sejumlah aspek yang saling menopang dan seringkali menunjukkan interaksi yang kuat sekali.
H. Variasi Karya Sebagai Sumber Tegangan
Dalam sejarah sastra ada pula tegangan antara bentuk asli dan variasi. Bagi seni sastra oral variasi malahan menjadi prinsip. Karya semacam itu, setiap kali dibawa oleh tukang cerita, diciptakan kembali sesuai dengan minat dan situasi pendengar dan justru variasi dalam penciptaan menjadi sumber kenikmatan estetik pendengarnya. Kenikmatan estetik dipertinggi oleh pelaksanaan tegangan yang sangat fundamental. Justru variasi sebuah teks yang sama dapat menimbulkan kegairahan yang khas.
I. Tegangan Antara Konvensi Sastra dan Karya Individual
Dalam setiap masyarakat selalu ada tegangan antara sistem konvensi sesuai dengan kemampuan pembaca individual. Dalam pemahaman dan penilaian karya sastra pembaca tidak hanya diarahkan dan dibimbing oleh kemampuannya sebagai pemakai bahasa. Ada pembaca yang tidak mampu mengikuti secara kreatif revolusi yang dihadapinya. Ada pembaca lain yang justru terpesona oleh perpsektif baru yang disajikan kepada mereka. Mereka menikmati hasil seni baru itu secara positif. Tegangan itu, baik bagi seni tradisional maupun bagi seni modern merupakan aspek hakiki yang sekaligus memainkan peranan yang penting dalam penilaian estetik.
Hubungan intertekstual sebuah karya tidak disadari oleh pembaca dan kenikmatan membaca tidak harus berdasarkan pengetahuan atau penghayatan karya sastra yang merupakan hipogramnya, tetapi pengetahuan sejarah sastra tentang hubungan semacam itu menimbulkan efek estetik tambahan. Tegangan itu terwujud dalam berbagai ragam.
J. Tegangan Antara Mimesis dan Kreasi, Atau Kenyataan dan Alternatifnya
Ambivalensi karya sastra terhadap kenyataan merupakan prinsip dasar kesusastraan; dalam membaca karya sastra kita selalu menghadapi satu dunia yang sekaligus kita kenal dan yang asing dan baru bagi kita. Justru tegangan antara dua dunia itulah yang menimbulkan keingin tahu, dan demikianlah mendasari potensi kenimatan membaca. Tetapi hal itu tidak hanya benar pada tataran kaitan antara faktualitas dan fiksionalitas, antara yang sungguh terjadi dan yang menjadi rekaan atau fantasi. Karya sastra juga merupakan alternatif terhadap kenyataan dari segi norma sosio-budaya, etik, agama, dll.
K. Situasi Pembaca Sebagai Sumber Tegangan
Pembaca sebuah karya sastra dapat berbeda menganai latar belakang sosio-budaya. Penilaian karya sastra sebagian besar tergantung pada kaitan antara karya satsra dengan pembacanya. Jadi, penilaian pembaca sebagian besar tergantung dari keduadukannya dalam struktur sosial dan kebudayaannya.
L. Pemikiran Estetik dan Jarak Waktu
Kalau kita mau meneliti situasi penilaian karya sastra oleh angkatan yang berturut-turut, jadi dalam rangka masa, masalahnya jauh lebih rumit lagi. Jausz mencapai kesimpulan bahwa si peneliti harus dapat berusaha untuk memperoleh penikmatan baru, juga mengenai teks yang nampaknya demikian jauh dan asing baginya. Tegangan antara keasingan dan keakraban yang justru bagi teks ini sangat besar karena jauhnya jarak itu, juga memperbesar kemungkinan penikmatan estetik.
M. Tegangan Antara Penulis dan Karyanya Dalam Penghayatan Pembaca
Penulis selaku pencipta tidak boleh disingkirkan begitu saja. Dalam proses semiotik yang menyangkut karya sastra kita menghadapi sebuah komunikasi antar manusia di mana penulis betapa pun jua tetap hadir; tegangan antara diri penulis yang nyata dan si aku, antara makna karya sastra dan pesan yang dianggap berasal dari tokoh penulis menunjukkan ambivialensi yang dalam karya kokrit itut menentukan nilai karya sastra. Pembaca terpaksa mencari pendirian antara makna karya sastra dan sikap penulis yang tak mungkin dipisah-pisahkan secara mutlak.
N. Penutup Kata
Nilai karya sastra adalah sesuatu yang variabel, menurut peranan faktor-faktor dari model semiotik dalam situasi konkrit tertentu. Itulah alasan mengapa ahli sastra selalu harus sadar akan model semiotik karya sastra sebagai dasar penelitiannya. Peneliti sadar bahwa pendekatan ini bersifat nisbi karena hanya mempertanggungjawabkan satu dua diantara sekian banyak faktor yang menentukan karya sastra sebagai gejala semiotik. Karya sastra mengambil nilainya dari aktualisasi tegnagan multidimensional yang ditimbulkannya dalam situasi tertentu dan penelitian sastra yang sungguh-sungguh menyeluruh hanya mungkin jika semua dimensi semiotik karya sastra ikut dipertimbangkan dan diteliti.
0 Comments: