2020-11-06

Kajian Sosioligi Adat Pernikahan Minangkabau dalam Novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan

 


PENDAHULUAN

Novel merupakan karya sastra yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Novel yang dihasilkan sastrawan merupakan alat komunikasi sosial bagi masyarakat yang harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan. Seorang sastrawan dalam sebuah karyanya ingin menyampaikan “sesuatu” kepada pembaca, sesuatu itu dapat berupa pesan, ide, ataupun opini. Analisis terhadap karya sastra penting dilakukan untuk mengetahui relevansi karya sastra dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat pada dasarnya mencerminkan realita sosial dan memberikan pengaruh terhadap masyarakat.

Banyak dari keragaman budaya yang juga diceritakan dan mempengaruhi tokoh utama dalam novel. Pembaca merupakan unsur penting dalam menilai sebuah karya, khususnya novel. Dalam hal ini penulis tertarik untuk meneliti adat budaya pernikahan Minangkabau yang dihadirkan Muhammad Subhan dalam karyanya Rinai Kabut Singgalang.

Damono (1978:6) memberikan definisi sosiologi sastra sebagai telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat. Sosiologi sastra berhubungan dengan masyarakat dalam menciptakan karya sastra tentunya tak lepas dari pengaruh budaya tempat karya sastra dilahirkan. Damono (1978:8) perbedaan yang ada antara sosiologi dan sastra adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan karya sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Sosiologi bersifat kognitif, sedang sastra bersifat afektif.
Masalah pokok sosiologi sastra adalah karya sastra itu sendiri, sebagai aktifitas kreatif dengan ciri yang berbeda-beda ( Ratna 2003:8). Sebuah dunia miniatur, karya sastra berfungsi untuk menginventarisasikan sejumlah besar kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreatifitas dan imaji. Karya sastra memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu sebagai motivator ke arah aksi sosial yang lebih bermakna, sebagai pencari nilai-nilai kebenaran yang dapat mengangkat dan memperbaiki situasi dan kondisi alam semesta (Ratna 2003:35- 36).

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2012). Arikunto (2006) mengemukakan bahwa metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan dalam memperoleh dan mengumpulkan data dari beberapa informan. Dalam penelitian ini penulis memilih menggunakan metode deskriptif analisis. Deskripsi analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta kemudian disusul dengan menguraikan sampai pada tahap membrikan pemahaman dan penjelasan (Ratna, 2009: 53). Dalam hal ini penulis terlebih dahulu mendeskripsikan konteks adat pernikahan di Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalng, lalu menganalisis isi novel kemudian dilihat keterkaitan masalah yang ada dalam novel lalu disesuaikan dengan keadaan sosial budaya.

Muhammad Subhan adalah penulis asal Aceh yang memiliki darah minang. Lahir di Sumatra Utara tanggal 3 desember tahun 198. Dia menamatkan pendidikan di SMP Negri 6 Kruenggeukueh dan pendidikan SMA Negeri 1 Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Profesi yang dilakoninya adalah sebagai jurnalis. Dia bekerja sebagai wartawan di sejumlah surat kabar di Padang diantaranya; SKM gelora. gelar reformasi, media watch (2000-2003), harian haluan (2004-2010). Sejak april 2010 menjadi pimpinan di media online www.korandigital.com yang berbasis kota serambi mekah Padang Panjang.

 

 


PEMBAHASAN

 

A.    Pernikahan Secara Normatif

 

 

1.     Adat Pernikahan di Minangkabau

Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan bagaimanapun, pernikahan memerlukan penyesuaian dalam banyak hal. Pernikahan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak dara tetapi juga antara kedua keluarga. Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain sebagainya. Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam pernikahan, kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga kelak kemudian.

Pernikahan juga menuntut suatu tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan hidup dan tanggungjawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan. Berpilin duanya antara adat dan agama Islam di Minangkabau membawa konsekwensi sendiri. Baik ketentuan adat, maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak dapat diabaikan khususnya dalam pelaksanaan pernikahan. Kedua aturan itu harus dipelajari dan dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan sejalan. Pelanggaran apalagi pendobrakan terhadap salah satu ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam dalam masalah pernikahan, akan membawa konsekwensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan keturunan. Hukuman yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama, walau tak pernah diundangkan sangat berat dan kadangkala jauh lebih berat dari pada hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negara. Hukuman itu tidak kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang. Karena itu dalam pernikahan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat pernikahan yang lazim di Minangkabau. Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya Perkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut :

1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam.

2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain.

3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.

4. Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.

 Pernikahan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap pernikahan sumbang, atau pernikahan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Selain dari itu masih ada tatakrama dan upacara adat dan ketentuan agama Islam yang harus dipenuhi seperti tatakrama jopuik manjopuik, pinang meminang, batuka tando, akad nikah, baralek gadang, jalang manjalang dan sebagainya. Tatakrama dan upacara adat pernikahan inipun tak mungkin diremehkan karena semua orang Minang menganggap bahwa “Pernikahan itu sesuatu yang agung”, yang kini diyakini hanya “sekali” seumur hidup

 

2.     Pernikahan Eksogami

Menurut ajaran Islam sebagai agama satu-satunya yang dianut orang Minang dikatakan bahwa ada 3 hal yang mutlak hanya diketahui dan ditentukan Tuhan untuk masing-masing kita. Pertama adalah umur kita sebagai manusia. Tidak seorangpun tahu kapan dia akan mati. Kedua adalah rezeki. Sebagai manusia kita hanya dituntut berikhtiar dan berusaha namun berapa rezeki yang akan diberikan kepada kita secara mutlak ditentukan oleh Tuhan. Ketiga adalah jodoh.  Apapun upaya yang dilakukan oleh anak manusia, bagaimanapun cintanya dia kepada seseorang, kalau Tuhan tidak mengizinkan, perkawinan tidak akan terlaksana. Sebaliknya kalau memang jodohnya, kenal dua minggupun, perkawinan dapat terjadi. Karena itu sebagai orang Islam kita hanya senantiasa berdoa semoga dipanjangkan umurnya, diberi rezeki yang banyak dan dientengkan jodohnya, disamping tetap berusaha mencari pasangan hidupnya. Sekalipun demikian masyarakatpun mempunyai peranan yang besar dalam penetapan jodoh. Dalam masyarakat Jawa misalnya, pemilihan jodoh hampir tidak ada pembatasan. Namun perkawinan antara saudara sekandung tetap tidak diperbolehkan.

Pada tiap masyarakat, orang memang harus kawin diluar batas suatu lingkungan tertentu. Perkawinan diluar batas tertentu ini disebut dengan istilah “eksogami”. Istilah eksogami ini mempunyai pengertian yang sangat nisbi (relatif). Pengertian di luar batas lingkungan bisa diartikan luas namun bisa pula sangat sempit. Menurut Dr. Fajri Usman, M.Hum. kalau orang dilarang kawin dengan saudara-saudara kandungnya, maka kita sebut “eksogami keluarga batih”. Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang mempunyai marga “marga” yang sama, disebut “eksogami marga”. Kalau orang dilarang kawin dengan orang yang berasal dari “nagari” yang sama, kita sebut dengan “eksogami nagari”.

Adat Minang menentukan bahwa orang Minang dilarang kawin dengan orang dari suku yang serumpun. Oleh karena garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis ibu, maka suku serumpun disini dimaksudkan “serumpun menurut garis ibu”, maka disebut “eksogami matrilokal atau eksogami matrilinial”. Dalam hal ini para ninik-mamak, alim ulama, cendekiawan, para pakar adat dan pecinta adat Minang dituntut untuk memberikan kata sepakat mengenai rumusan (definisi) pengertian kata serumpun ini yang akan diperlakukan dalam perkawinan di Minang kabau. Apakah “serumpun” itu sama dengan “samande”, “saparuik”, “sajurai”, “sasuku”, ataukah “sasuduik”.

Pengamatan kami membuktikan bahwa pengertian “serumpun” ini tidak sama di Minangkabau. Bahkan dalam satu nagari saja, pengertian ini tidak sama, sehingga sangat membingungkan masyarakat awam, apalagi generasi muda Minangkabau. Di nagari kubang di Luhak 50-Kota misalnya, pengetian serumpun disamakan dengan “sasuduik”. Yang dimaksudkan dengan “sasuduik” adalah satu kelompok dari beberapa “suku”. Misalnya “Suduik nan 5″, terdiri dari 5 (lima) buah suku yaitu suku Jambak, suku Pitopang, suku Kutianyir, suku Salo dan suku Banuhampu. Kelima buah suku ini dianggap serumpun, sehingga antara kelima buah suku itu tidak boleh dilakukan perkawinan. Kalau sampai terjadi bisa “dibuang sepanjang adat” karena dianggap perkawinan “endogami” atau perkawinan didalam rumpun sendiri, yang berlawanan dengan prinsip “eksogami” yang dianut di Minangkabau.

Tapi pengertian “sarumpun” sama dengan “sasuduik” ini tidak konsisten pula, sebab ternyata perkawinan sesama anggota dari “suduik nan 6″ dan sama-sama berasal dari suku “Caniago” dan dalam nagari yang sama, malah diperbolehkan. Pengertian “serumpun” yang tidak konsisten semacam ini, jelas akan sangat membingungkan anak kemenakan di Minangkabau dalam memahami adat perkawinan di Minangkabau. Pengertian serumpun yang tidak sama ini juga merupakan penghalang dalam mencari jodoh. Semakin luas atau semakin banyak suku yang terhimpun dalam “serumpun” semakin “sempit” arena perburuan mencari jodoh. Hal ini berakibat makin lama, makin sulit bagi muda-mudi mencari pasangan dalam lingkungan masyarakatnya sendiri. Misalnya bagi muda-mudi dari sudut nan 5 diatas, sangat musykil mencari jodoh di nagari Kubang itu. Ini adalah suatu realita yang dapat dibuktikan. Akibatnya banyak yang kawin ke luar “nagari”, bahkan sudah ada yang sampai ke luar negeri. Kami tidak mengatakan bahwa hal ini menunjukkan gejala yang baik, atau tidak baik, tetapi sekedar menunjukkan bahwa prinsip “eksogami matrilinial” akan mandek sendiri, bila pengertian serumpun tidak segera direvisi dan diperkecil dari pengertian umum yang ada sekarang. Hal ini perlu segera dilakukan bila kita ingin melestarikan prinsip-prinsip pokok adat perkawinan Minangkabau khususnya.

 

 

B.      Pernikahan Secara Fiktif dalam Novel Rinai Kabut Singgalang

Permasalahan perkawinan eksogami juga ditemukan dalam permasalahan yang diangkat Muhammad Subhan dalam novelnya RKS. Pernikahan Maimunah (Ibu Fikri) dengan ayah Fikri, Munaf. Munaf merupakan pendatang yang berasal dari daerah Aceh untuk berdagang di nagari Minangkabau. Maimunah dan Munaf kemudian saling jatuh hati lalu menjalin cinta secara diam-diam. Penulis jelaskan pada halaman 61-65 yang mengisahkan hubungan ayah dan ibu fikri pada waktu pernikahannya dilarang oleh ninik mamak pihak Maimunah.

 Seperti pembahasan sebelumnya, pihak ninik mamak Maimunah tidak setuju dengan pinangan yang diajukan pihak Munaf. Alasannya karena Munaf merupakan orang datang yang tidak diketahui asal-usul adatnya. Namun, pihak ninik mamak Maimunah berkilah dengan mengatakan telah datang pinangan dari kampung seberang untuk Maimunah.

Maimunah tidak terima dengan keputusan dari pihak ninik mamaknya memilih untuk ikut serta dengan Munaf ke daerah asalnya lalu menikah di sana. Kisah ini diketahui Fikri dari tuturan Mak Tuo dan Mak Bujang, saudara sepupu ibunya yang mendiami rumah gadang pusaka milik ibunya.

Sikap yang dialakukan oleh Maimunah dianggap aib keluarga, sehingga orang tua Maimunah menanggungkan malu di kampung. Begitu pula dengan kakak laki-lakinya, safri, menderita gangguan jiwa akibat tak kuasa menanggung beban malu keluarganya.

Maimunah pada akhirnya menetap di daerah Aceh bersama Munaf dan anak-anaknya. Hingga Fikri memutuskan untuk merantau ke Padang. Maimunah menyuruh Fikri mendatangi kampung halamannya di daerah Kajai, Pasaman Barat. Guna menemui mamak Safri dan menceritakan perihal dirinya.

Dari penceritaan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa Maimunah akhirnya merasa terbuang dari kampung akibat perkawinan eksogami yang dilakukannya. Sedangkan di kampung halamannya terjadi konflik bathin keluarga Maimunah yang menanggungkan malu.

BAB III
PENUTUP

 

Karya sastra berperan sebagai cerminan kehidupan realita sosial masyarakat. Oleh karena itu sastra memiliki hubungan erat dengan kajian sosiologi. Kajian sosiologi selalu mangaitkan antara karya sastra dengan masyarakat pendukungnya, masyarakat tujuannya, masyarakat sumbernya dan masyarakat pengarangnya. Dengan demikian novel Rinai Kabut Singgalang merupakan salah satu bentuk cerminan kehidupan realita sosial masyarakat, khususnya masyarakat Minangkabau.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Arikunto, Suharsimi. 2006. Metodelogi Penelitian. Yogyakarta: Bina Aksara.

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika: Kajian Puistika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Subhan, Muhammad. 2013. Rinai Kabut Singgalang. Kediri: FAM Publishing.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sukmasari, Fiony. 1986. Perkawinan Adat Minangkabau. Jakarta: CV Karya Indah.

Usman, Fajri. Diktat Kuliah Etnografi Minangkabau.

Previous Post
Next Post

0 Comments: