Di tatanan film dunia dan textbook yang diajarkan pada sekolah film, dalam rantai penjualan film ada sebutan buyer, yaitu Sales Agent (SA) dan Distributor (D), serta Film Market. Sales Agent. Mereka adalah pembeli utama, yang kemudian menjualnya kepada Distributor film. Sales Agent akan memikirkan strategi penjualan film secara menyeluruh di berbagai wilayah. Oleh karena itu lingkup Sales Agent lebih luas dari distributor. Distributor secara umum menangani sejenis format penjualan. Artinya distributor memiliki kekhususan melakukan penjualan, misalnya kepada bioskop saja, atau media lainnya. Perbedaan kedua profesi ini disebabkan oleh variasi pasar dan konsumen yang berbeda, sehingga diperlukan kekhususan cara penjualan, termasuk di dalamnya metode berpromosi. Sedangkan film market adalah pasar penjualan film.
Indonesia tidak mengenal semua istilah tersebut diatas, kecuali distributor DVD/VCD atau sering disebut sebagai Home Video (HomVDO). Ini menunjukkan bahwa produser filmlah yang merangkap sebagai penjual film kepada berbagai pihak; bioskop, stasiun TV, distributor DVD/VCD, atau media lainnya. Tidak ada jenis usaha dengan keahlian khusus yang menjembatani di antaranya.
Kembali ke ilustrasi ‘toko’: tugas buyer secara umum adalah mempertemukan kecocokan pasar dari produsen ke toko sehingga produk terjual dengan harga yang ideal pada pasar yang tepat. Untuk itu buyer akan memikirkan jenis barang yang cocok untuk toko tertentu. Setiap toko memiliki karaketristik dan pasarnya sendiri, dan tugas buyer adalah memahami berbagai perbedaan karakter toko. Selain memahami berbagai karakter dan selera toko, maka buyer pun dituntut untuk memahami berbagai barang yang diproduksi oleh produsen, dari sisi kualitas, lama produksi hingga harga barang. Pengetahun pasar dari kedua sisi menjadi keahlian spesifik buyer. Dalam industri yang lebih kompleks, buyer pun memiliki spesialisasi. Produsen dan toko akan memahami spesialisasi buyer. Bila toko mencari produk tertentu maka sebaiknya menghubungi buyer tertentu. Begitu pula bila produsen ingin menjual produk tertentu, maka akan mendatangi buyer tertentu.
Dalam industri film, barang yang dijual adalah hak tayang film, bukan fisik film atau kepemilikan film. Penjualan film pada dasarnya penjualan pengalaman menonton lewat sebuah cerita. Oleh karena itu, produser film selaku pemilik film memiliki Intellectual Property (IP) film. IP inilah yang menentukan kepemilikan film.
Produser akan menjual atau menyewakan (license) hak tayang filmnya kepada buyer dengan berbagai perjanjian yang secara umum melingkupi lama penyewaan hak tayang (lisence period), hak tayang di semua media (all rights) atau di media tertentu sesuai perjanjian—bioskop (theatrical release), TV, HomVDO, VOD (video on demand), atau media IP based lainnya—dan di wilayah tertentu (specific territory atau worldwide).
Semua ini akan tertuang di dalam kontrak kerjasama, termasuk di dalamnya perjanjian bagi hasil. Pada skala besar dimungkinkan buyer membeli sebelum barang tersebut jadi (pre-sale), atau memberikan MG (minimum guarantee) saat membeli hak tayang tersebut. Oleh karena itu pekerjaan buyer memerlukan kedekatan dengan institusi finansial atau minimal memiliki dana untuk melakukan tawar-menawar dengan produser film. Dari sisi produser, keberadaan buyer akan membantu memberikan cashflow bagi produksi filmnya.
Memahami penjabaran di atas maka dapat dimengerti mengapa pasar film Indonesia tidak memiliki profesi buyer. Persoalannya adalah:
1.Tidak adanya variasi jaringan bioskop yang memungkinkan terjadinya proses tawar-menawar. 95% pemasukan produser dari bioskop (sumber: Riset CSIS)
2.Tidak adanya variasi media distribusi film. Ada distributor DVD/VCD, tetapi mengingat kecilnya pasar DVD/VCD atau media lainnya, yaitu sebesar 5% (sumber: Riset CSIS), maka persaingan pasar ini tidak cukup berarti.
3.Tidak adanya institusi finansial yang memahami perdagangan film. Dalam hal ini, persoalan bermuara kembali pada distorsi pasar; akses ke bioskop yang kecil (13%) diperkeruh dengan ketimpangan kepemilikan layar, yang menyebabkan tidak adanya kepastian penjualan.
KESIMPULAN
Kini menjadi jelas bahwa istilah ‘kecilnya industri film Indonesia’ mengacu pada sedikitnya jumlah layar dan hanya dapat diakses oleh 13% dari total populasi Indonesia. Tetapi tidak mengacu pada kekuatan pasar film Indonesia yang memiliki market share sebesar 65,2%. Artinya kemungkinan perluasan pasar masih sangat besar dan pasar film Indonesia siap untuk menyerap investasi baru di berbagai bidang baik produksi, distribusi, dan khususnya jaringan bioskop baru, demi perluasan pasarnya.
Satu hal yang sangat dibutuhkan adalah kebijakan yang sistematik, transparan dan holistik, khususnya saat industri film di Indonesia masih termasuk kategori simple, tidak kompleks. Dari sisi finansial khususnya, kerjasama dengan institusi finansial dalam negeri baik perbankan atau institusi lainnya perlu digarap secara serius.
Khusus untuk film Indonesia yang memiliki daya tarik pasar international perlu mendapat dorongan lebih lanjut, untuk menjaga kontinuitas film Indonesia di pasar Internasional. Dalam situasi ideal, diperlukan distributor film Indonesia khusus pasar internasional.
Kembali kepada topik DNI, tiga bidang film yang tertutup sama sekali terhadap investasi asing adalah produksi, distribusi (ekspor, impor dan distribusi), dan bioskop. Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa pilar utama industri film di Indonesia adalah ekshibisi dan produksi. Sementara pilar distribusi tidak memiliki kontribusi sama sekali selama minimal satu hingga dua dekade terakhir. Pilar distribusi mengacu pada profesi dengan bidang keahlian khusus. Bukan mengacu pada kegiatan distribusi dalam arti penyebaran materi film antar bioskop yang sifatnya antar-jemput internal atau kurir.
Peliknya silang sekarut persoalan industri film Indonesia tak memungkinkan adanya satu solusi untuk menyelesaikan semuanya. Yang bisa dilakukan adalah menyusun prioritas, mana yang perlu dilakukan terlebih dahulu dalam menguatkan posisi masing-masing bidang tersebut.
Bidang Produksi
Kegiatan produksi film selalu memiliki konsekuensi ekonomi dan budaya.
Dari sisi ekonomi, maka kerjasama investasi asing dalam bentuk ko-produksi film, membuka kemungkinan akan kegiatan penjualan film Indonesia di pasar internasional. Ko-produksi adalah siasat shared risk dan secara konkret perluasan pasar dunia. Shared risk juga berarti kesempatan untuk shared resources, baik sumber daya manusia (scriptwriter, actor/actress, cinematographer, atau posisi lainnya dalam jajaran kru film), sumber daya alam sebagai lokasi shooting, atau sumber daya lainnya.
Bentuk kepemilikan dapat dimiliki bersama, atau diatur berdasarkan besaran investasi terkait. Untuk itu, perlu disiapkan government treaty antara Indonesia dengan berbagai negara asing, khususnya Eropa, ASEAN dan Amerika, yang mengatur tata cara pelaksanaan kegiatan ko-produksi. Shared risks berarti pula shared benefits, artinya melalui kerjasama ini maka produser film Indonesia dapat menikmati fasilitas negara lain (misalnya tax incentives, akses ke institusi finansial, atau dana regional film setingkat kota atau propinsi), dan juga sebaliknya. Untuk itu pemerintah perlu menyiapkan daya tarik khusus bidang film di dalam negeri sebagai stimulus kepada kedua belah pihak. Pendapatan pajak tontonan atas sektor film dapat dimanfaatkan untuk menciptakan fasilitas tersebut diatas.
Dari sisi budaya, ikut berpartisipasi di ajang kompetisi internasional sama pentingnya seperti kompetisi badminton, fisika, atau paduan suara tingkat dunia. Pemanfaatan hibah asing dalam film Indonesia membuka pintu ekshibisi ke pasar internasional. Sama halnya dengan investasi asing yang akan mendorong penjualan secara lebih intensif, maka kegiatan ini adalah juga bentuk penyebaran ‘jati diri dan kepribadian bangsa’, frase yang kerap disebutkan dalam UU Perfilman Indonesia, dan bukan sebaliknya dianggap sebagai ancaman.
Film sebagai bagian dari agenda ekspansi kebudayaan, menjadi bagian dari strategi kebudayaan negara. Contoh: Korea Selatan. Festival film berfungsi sebagai gerbang eksibisi pasar internasional. Dengan eksposur yang tepat, maka dapat berlanjut kepada penjualan film Indonesia di pasar internasional.
Yang penting dicatat adalah investasi asing sama sekali tidak melemahkan posisi produksi film Indonesia, malah memperkuat dan menambah keragaman. Untuk itu, film tidak dapat melulu dilihat sebagai komoditi ekonomi, atau sebaliknya hanya artefak budaya saja. Tantangannya adalah bagaimana menciptakan koridor yang tepat untuk menumbuhkembangkan kedua konsekuensi yang memiliki karakter berbeda tersebut.
Bidang Distribusi
Tidak adanya persaingan bioskop, membuat profesi ini mati. Dan selama tidak ada ‘jaringan baru’ dalam jenis usaha bioskop, maka jenis usaha distribusi tidak akan berkembang. Oleh karena itu keputusan pembukaan jenis usaha distribusi sangat bergantung pada keputusan ekshibisi. Bila ekshibisi memiliki kepastian perluasan pasar, maka mempertimbangkan investasi asing untuk kegiatan distribusi menjadi relevan. Pada dasarnya kegiatan distribusi adalah kegiatan jual beli konten film, maka kehadiran jaringan bioskop baru untuk keberadaan jenis usaha ini tidak dapat ditawar.
Persiapan yang perlu dilakukan adalah pengaturan kegiatan distribusi itu sendiri, seperti pengaturan kerjasama (partnership atau co-ownership) antara distributor asing dengan distributor lokal, sehingga proses knowledge transfer dapat berjalan (setelah mati untuk dua dekade). Distributor harus memiliki komposisi film Indonesia dan film impor, sehingga tidak terjadi ketimpangan distribusi film Indonesia. Distributor asing tentunya memasukkan konten asing, sebaliknya distributor lokal menjual konten lokal.
Kegiatan distribusi erat hubungannya dengan modal. Untuk itu diharapkan adanya kerjasama dengan institusi finansial dalam negeri. Selain itu kerjasama dengan berbagai jenis usaha promosi dan periklanan akan sangat bermanfaat.
Bidang Ekshibisi
Bidang ini merupakan sumber persoalan distorsi pasar dan mandeknya perkembangan industri film Indonesia. Perluasan pasar dalam skala masif dalam rangka mengimbangi ketimpangan kepemilikan layar adalah prioritas utama dan tidak dapat ditawar lagi. Dibutuhkan investor yang memahami industri film dan memiliki kondisi finansial yang stabil, dengan pertimbangan demikian, maka investasi asing sangatlah relevan.
Persiapan yang penting dilakukan untuk menyambut perluasan pasar adalah pertimbangan pembuatan beberapa klasifikasi bioskop menurut skala kemampuan daya beli pasar. Walaupun belum ada penelitian khusus tentang preferensi penonton akan kegiatan menonton, proyeksi kesesuaian daya beli diperkirakan dapat membantu proses peningkatan jumlah penonton. Klasifikasi bioskop, seyogyanya berdampak pada perbedaan perlakuan pajak. Besaran perbedaan perlakuan pajak memerlukan bantuan perhitungan tenaga ahli, sehingga baik di tatanan mikro maupun makro berdampak positif, secara finansial atau sosial. Langkah ini patut ditempuh mengingat besarnya investasi bioskop dalam berbagai lini, baik sisi modal, investasi properti, hingga peralatan berbasis teknologi mutakhir. Pada akhirnya publik dapat mengakses bioskop tertentu, yang berada di wilayah tertentu, memiliki harga tiket tertentu yang sesuai dengan daya belinya.
Akhirnya, setelah 26 tahun lamanya tidak ada investor lokal yang tertarik dan berani mengambil risiko untuk mengembangkan jenis usaha ini, inilah kesempatan industri film untuk melihat investasi asing dengan jaringan bioskop baru, sebagai alternatif kesempatan tanpa harus menunggu lagi
0 Comments: