2020-11-06

STRUKTURALISME

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang

               Aliran Strukturalis atau Strukturalisme merupakan suatu pendekatan ilmu humanis yang mencoba untuk menganalisis bidang tertentu (misalnya, mitologi) sebagai sistem kompleks yang saling berhubungan. Ferdinand de Saussure (1857-1913) dianggap sebagai salah satu tokoh penggagas aliran ini, meskipun masih  banyak intelektual Perancis lainnya yang dianggap memberi pengaruh lebih luas. Aliran ini kemudian diterapkan pula pada bidang lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, psikoanalisis , teori sastra dan arsitektur. Ini menjadikan strukturalisme tidak hanya sebagai sebuah metode, tetapi juga sebuah gerakan intelektual yang datang untuk mengambil alas eksistensialisme di Perancis tahun 1960-an

 

 

 

B. TUJUAN

Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk memahami pengertian strukturalisme dan tujuannya beserta dengan tokoh-tokoh strukturalisme.

 

 

 

C. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1.      Apa yang dimaksud dengan strukturalisme?

2.      Apa tujuan strukturalisme?

3.      Siapa saja tokoh-tokoh strukturalisme?

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

A. Pengertian Strukturalisme

          Strukturalisme adalah faham atau pandangan yang menyatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan memiliki suatu struktur yang sama dan tetap. Strukturalis, khususnya dalam bidang antropologi, sosiologi, dan linguistik, menggunakan teknik metodologis dalam risetnya guna menyingkapkan struktur tersembunyi dari objek-objek yang dipelajarinya. Strukturalisme juga adalah sebuah pembedaan secara tajam mengenai masyarakat dan ilmu kemanusiaan dari tahun 1950 hingga 1970, khususnya terjadi di Perancis. Strukturalisme berasal dari bahasa Inggris, structuralism; latin struere (membangun), structura berarti bentuk bangunan. Strukturalisme berkembang pada abad ke-20, muncul sebagai reaksi terhadap evolusionisme positivis dengan menggunakan metode-metode riset struktural yang dihasilkan oleh matematika, fisika dan ilmu-ilmu lain.

 

 

B. Tujuan trukturalisme

               Tujuan trukturalisme adalah mencari struktur terdalam dari realitas yang tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan secara ilmiah (obyektif, ketat dan berjarak). Ciri-ciri itu dapat dilihat strukturnya:

·        Bahwa yang tidak beraturan hanya dipermukaan, namun sesungguhnya di balik itu terdapat sebuah mekanisme generatif yang kurang lebih konstan.

·        Mekanisme itu selain bersifat konstan, juga terpola dan terpola dan terorganisasi, terdapat blok-blok unsur yang dikombinasikan dan dipakai untuk menjelaskan yang dipermukaan.

·        Para peneliti menganggap obyektif, yaitu bisa menjaga jarak terhadap yang sebenarnya dalam penelitian mereka.

·        Pendekatan dengan memakai sifat bahasa, yaitu mengidentifikasi unsur-unsur yang bersesuaian untuk menyampaikan pesan. Seperti bahasa yang selalu terdapat unsur-unsur mikro untuk menandainya, salah satunya adalah bunyi atau cara pengucapan.

·        Strukturalisme dianggap melampaui humanisme, karena cenderung mengurangi, mengabaikan bahkan menegasi peran subjek.

 

C. Tokoh-tokoh dan sumbangan bidang strukturalisme

 

1.  Ferdinand De Saussure dalam linguistik

            Sebagai penemu stuktur bahasa, Saussure berargumen dengan melawan para sejarawan yang menang dalam pendekatan filologi. Dia mengajukan pendekatan ilmiah, yang didekati dari sistem terdiri dari elemen dan peraturannya dalam pembuatannya yang bertujuan menolong komnunikasi dalam masyarakat. Dipengaruhi oleh Emile Durkheim dalam sebuah social fact, yang berdasar pada objektivitas di mana psikologi dan tatanan sosial dipertimbangkan. Saussure memandang bahasa sebagai gudang (lumbung) dari tanda tanda diskusif yand dibagikan oleh sebuah komunitas. Bahasa bagi Saussure adalah modal interpretasi utama dunia, dan menuntut suatu ilmu yang disebut semiologi.

 

2. Levi-Strauss dalam masyarakat

            Metode Strauss adalah anthropologi dan linguistik secara serempak. Unsur-unsur yang digelutinya adalah mengenai mitos, adat-istiadat, dan masyarakatnya sendiri. Dalam proses analisisnya, manusia kemudian dipandang sebagai suatu porsi dari struktur, yang tidak dikonstitusikan oleh analisis itu, melainkan dilarutkan dengan analisis. Perubahan penekanan dari manusia ke struktur merupakan ciri umum pemikiran strukturalis.

 

3. Lev Vygotsky, Jacques Lacan dan Jean Piaget dalam psikologi

            Jacques Lacan (Freudian) dalam psikologi menggambarkan pekerjaan Saussure dan Levi-Strauss untuk menekankan pendapat Sigmund Freud dengan bahasa dan argumen yang, sebagai sebuah tatanan kode, bahasa dapat mengungkapkan ketidaksadaran orang itu. Hal ini masalah, bahwa bahasa selalu bergerak dan dinamis, termasuk metafora, metonomi, kondensasi serta pergeserannya. Jean Piaget sendiri menggambarkan strukturalismenya sebagai sebuah struktur yang terpadu, yaitu yang unsur-unsurnya adalah anggota dari sistem di luar struktur itu sendiri. Sistem itu ditangkap melalui kognisi anggota masyarakat sebagai kesadaran kolektif.

 

4. Michel Foucault dalam filsafat

            Strukturalisme modern atau poststrukturalisme dalam bidang filsafat adalah dengan mendekati subjektivitas dari generasi dalam berbagai wacana epistemik dari tiruan maupun pengungkapannya. Sebagaimana peran isntitusional dari pengetahuan dan kekausaan dalam produksi dan pelestarian disiplin tertentu dalam lingkungan dan ranah sosial juga berlaku pendekatan itu. Dalam disiplin ini, Focault menyarankan, di dalam perubahan teori dan praktek dari kegilaan, kriminalitas, hukuman, seksualitas, kumpulan catatan itu dapat menormalisasi setiap individu dalam pengertian mereka

 

7. Guenther Schiwy dalam kekristenan

            Strukturalisme terkait kekristenan dalam atemporal sturkturalisme sebenarnya cocok dengan penekanan eternalistik kekristenan.

 

BAB III

PENUTUP

 

KESIMPULAN

               Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam stukturalisme, masyarakat dan kebudayaan memiliki struktur yang sama dan tetap dalam bidang antropologi, sosiologi, dan linguistik.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Audi, Robert. 1995. The Cambridge Dictionary of Philosophy. USA: Cambridge University Press.

Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Magee. 2008. The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius.

Piaget, Jean. 1995. Strukturalisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Strukturalisme dan Semiotik Michael Riffaterre

 


Strukturalisme mulai dengan lahirnya ketidakpuasan dan berbagai kritik atas formalis. Sejarah strukturalisme, demikian juga sejarah teori pada umumnya adalah sejarah intelektualitas (Ratna, 2009: 91). Analisis formalis, lebih menekankan pada efek-efek keindahan yang dihasilkan oleh sarana-sarana sastra, dan bagaimana kesastraan dibedakan dengan serta dihubungkan dengan ekstra sastra. Dalam kaitan ini sarana estetis dipahami sebagai sarana ungkapan gagasan manusia kedalam bentuk khusus (Endraswara, 2011: 48).

Kehadiran strukturalisme dapat dipandang sebagai teori dan pendekatan. Strukturalisme merupakan analisis terhadap unsur-unsur karya sastra. Setiap karya sastra memiliki unsur-unsur yang berbeda. Di samping sebagai akibat ciri-ciri inheren, perbedaan unsur juga terjadi sebagai akibat perbedaan proses resepsi pembaca. Dalam hubungan inilah karya sastra dikatakan sebagai memiliki ciri-ciri yang khas, mandiri, dan tidak bisa dikembangkan. Setiap penilaian perlu dikemukakan unsur-unsur pokok yang terkandung dalam karya sastra, misalnya prosa. Unsur-unsur prosa, diantaranya: tema, peristiwa atau kejadian, latar, penokohan atau perwatakan, alur atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa (Ratna, 2009: 93).

Penekanan strukturalis adalah memandang karya sastra sebagai teks mandiri. Strukturalis menekankan aspek intrinsik karya sastra. Keindahan teks sastra bergantung pada bahasa yang khas dan relasi antar unsur yang mapan. Unsur-unsur itu tidak jauh berbeda dengan sebuah benda seni yang bermakna. Benda seni tersebut terdiri dari unsur-unsur dalam teks seperti ide, tema, plot, latar, watak, tokoh, gaya bahasa, dan sebagainnya (Endraswara, 2011: 51-52).

Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini novel, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik novel yang bersangkutan. Mula-mula, diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana alur, tokoh dan penikohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah diuraikan makna dari unsur-unsur itu, kemudian dihubungkan antarunsurnya sehingga membentuk sebuah kepaduan. Pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan (Nurgiyantoro, 2010: 37).

Akan tetapi, analisis berdasarkan teori strukrural murni, yaitu hanya menekankan otonomi karya sastra. Struktural murni mempunyai beberapa kelemahan pokok analisis. Seperti telah disebutkan oleh Teeuw (1983: 61) bahwa analisis struktural murni itu melepaskan karya sastra dari rangka sejarah sastra dan mengasingkan karya sastra dari rangka social-budayanya. Selain itu, menurut Endraswara (2011: 52) bahwa analisis berdasarkan struktural, karya sastra seakan-akan diasingkan dari konteks fungsinya sehingga dapat kehilangan relevansi sosial, tercabut dari sejarah, dan terpisah dari aspek kemanusiaan.

Berdasarkan beberapa kelemahan analisis strukturalisme, maka diperlukan juga analisis berdasarkan teori lain. Teori yang sesuai dengan teori struktural adalah teori semiotik. Analisis akan dilakukan dengan menggabungkan dua teori, yaitu teori struktural dan teori semiotik. Menurut Pradopo (2009: 118) bahwa strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik. Karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, tanda dan maknanya, dan konvensi tanda, struktur karya sastra tidak dapat dimengerti makna secara optimal.

Kecocokan antara struktural dan semiotik juga dikemukakan oleh Culler (1977: 6, dalam Ratna, 2009: 97) bahwa strukturalisme dan semiotik sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada tanda. Menurut Ratna (2009: 97) untuk menemukan makna karya sastra, analisis strukturalisme mesti dilanjutkan dengan analisis semiotika. Demikian juga sebaiknya, analisis semiotika mengandaikan sudah melakukan analisis struktural. Semata-mata dalam hubungan ini, yaitu sebagai proses dan cara kerja analisis keduanya seolah-olah tidak bisa dipisahkan.

Model struktural semiotik muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap kajian struktural. Struktural sekedar menitikberatkan aspek intrinsik, semiotik tidak demikian halnya, karena paham semiotik mempercayai bahwa karya sastra memiliki sistem tersendiri. Jadi, kajian struktural semiotik, artinya penelitian yang menghubungkan aspek-aspek struktur dengan tanda-tanda. Tanda sekecil apapun dalam smiotik tetap diperhatikan (Endraswara, 2011: 64).

Teori strukturalisme semiotik merupakan penggabungan antara teori strukturalisme dan teori semiotik. Strukturalisme mengkaji struktur dari dalam karya itu sendiri. Analisis struktural dianggap belum mampu mengungkap seutuhnya makna karya sastra, masih ada aspek-aspek yang belum bisa dijamah oleh analisis struktural, yang itu menjadi kelemahan analisis struktural. Akibat dari kelemahan analisi struktural, semiotik muncul sebagai teori yang identik dengan teori struktural, sehingga mampu mengisi kelemahan strktural. Penggabungan strukturalisme dan semiotik pun telah mampu menelaah karya sastra sehingga mempunyai makna secara lebih luas.

Peletak dasar teori semiotik ada dua orang, yaitu Ferdinan de Suassure dan Charles Sander Peirce. Saussure yang dikenal sebagi bapak ilmu bahasa modern mempergunakan istilah semiologi, sedang Peirce yang seorang ahli filsafat itu memakai istilah semiotik. Kedua tokoh yang berasal dari dua benua yang berjauhan itu, Eropa dan Amerika, dan tidak saling mengenal, sama-sama mengemukakan sebuah teori yang secara prinsipial tidak berbeda (Nurgiyantoro, 2010: 41).

Semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda. Tanda-tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representatif (Endraswara, 2011: 64). Dalam pengertian yang luas, sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana, cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia (Ratna, 2009: 97). Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotik menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Pradopo, 2009: 119).

Semiotik berarti tanda. Teori semiotik merupakan teori yang menganalisis tanda-tanda. Karya sastra akan dipandang sebagai tanda-tanda. Pencarian tanda-tanda dalam karya sastra yang dikhususkan tanda yang memungkinkan tanda tersebut mempunyai arti. Tanda-tanda itu kemudian diartikan menurut menurut sistem, aturan, dan konvensi masyarakat.

Semiotik adalah ilmu tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu pananda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu artinya (Pradopo, 2009: 120).

Tanda mempunyai beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol.

Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah atau bersifat persamaan antara penanda dan petanda, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda sebagai artinya. Indeks adalah tanda yang menujukkan hubungan kausal/sebab akibat antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api. Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah atau bersifat semau-maunya antara penanda dan petandanya. Ada bermacam-macam tanda untuk satu arti (Pradopo, 2009: 120).

Karya sastra merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Dalam karya sastra arti bahasa ditentukan oleh konvensi sastra atau disesuaikan dengan konvensi sastra. Konvensi itu tidak dapat lepas dari sistem bahasa dan arti. Sebagai salah satu jenis karya sastra, novel mempunyai konvensi-konvensi sendiri yang lain dari karya sastra yang lain, misalnya konvensi yang berhubungan dengan cerita naratif, misalnya plot, penokohan, latar, pusat pengisahan, dan gaya bahasa. Elemen-elemen novel itu merupakan satuan-satuan tanda yang harus dianalisis dan disendiri-sendirikan (Pradopo, 2009: 121-123).

Dalam perkembangan ilmu semiotik, Michael Riffaterre dalam bukunya Semiotcs of Poetry (1978) mengembangkan teori dan metode semiotik dalam pemaknaan sastra. Menurut Riffatere (1978: 1, 13, 14-15, dalam Pradopo, 2007: 226) ada empat hal penting yang harus diperhatikan dalam pemaknaan karya sastra. Keempat hal itu adalah (1) puisi itu ekspresi tidak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti yang lain, (2) pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik, (3) matrik, model, dan varian-varian dan (4) hipogram.

Semiotik Riffaterre merupakan semiotika puisi atau khususnya digunakan untuk pemaknaan puisi. Dalam pemaknaan semiotik Riffaterre, ada empat tahap yang harus dilakukan secara terus menerus untuk mendapatkan makna secara penuh. Dalam hal ini, penelitian ini akan menggunakan metode pemaknaan Riffaterre untuk memaknai novel. Metode matriks, model, varian-varian, dan hipogram akan digunakan untuk meneruskan pemaknaan struktural. Penggunaan pemikiran Riffaterre bahwa karya sastra itu mengandung suatu model yang diciptakan oleh pengarang, yang dapat dibuktikan melalui tanda-tanda yang tersebar dalam karya tersebut. Model dan tanda-tanda itu kemudian dihubungkan dan dimaknai dan dilanjutkan dengan penghubungan dengan karya sastra lain untuk mendapatkan makna secara lebih mendalam.

Menurut Riffatere ada metode (3) matriks, model, varian-varian dan (4) hipogram. Uraian metode itu sebagai berikut.

a)      Matriks, Model, dan Varian

Untuk mendapatkan makna karya sastra secara jelas, maka dicari tema dan masalahnya dengan mencari matriks, model, dan varian-variannya terlebih dahulu. Matriks itu harus diabstrasikan dari karya sastra yang di bahas. Matriks itu tidak dieksplesitkan dalam karya sastra (Riffaterre, 1978: 13-21, dalam Pradopo, 2007: 227). Matriks itu bukan kiasan. Matriks ini adalah kata kunci (key word), dapat berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat, atau kalimat sederhana. Matriks ini mengarah pada tema. Jadi, matriks bukan tema atau bukan merupakan tema. Dengan ditemukan matriks, otomatis akan ditemukan tema.

Matriks itu sebagai hipogram intern yang ditansformasikan kedalam model yang berupa kiasan. Matriks dan model ditransformasikan menjadi varian-varian. Varian ini merupakan transformasi model pada setiap satuan tanda: baris atau bait, bahkan juga bagian-bagian fiksi (alinea, bab, yang merupakan wacana). Varian-varian ini, dapat disimpulkan atau diabstrasikan tema karya sastra.

b)      Hipogram: Hubungan Intertekstual

Sering kali karya sastra itu merupakan transformasi teks lain (teks sebelumnya) yang merupakan hipogramnya, yaitu teks yang menjadi latar belakan penciptaannya. Menurut Kristeva (dalam Pradopo, 2007: 228), dunia ini adalah teks. Teks bukan hanya tulisan, bahasa, atau cerita lisan. Masyarakat, adat, aturan-aturan adalah teks. Begitu pula, benda-benda alam adalah teks, seperti, air, batu, pohon. Dengan adanya hipogram itu, pemaknaan membuat makna karya sastra yang dimaknai dengan karya sastra lain menjadi hipogramnya.

Konsep penting dalam teori interteks adalah hipogram. Istilah hipogram, dapat diindonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walau tidak tampak secara eksplisit, bagi penulisan karya yang lain (Nurgiyantoro, 2010: 51). Fungsi hipogram merupakan petunjuk hubungan antarteks yang dimanfaatkan oleh pembaca, bukan penulisan, sehingga memungkinkan terjadinya perkembangan makna.

Karya sastra baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan karya sastra lain, baik dalam hal persamaan atau pertentangan (Riffaterre, 1978, dalam Pradopo, 2009: 155). Dalam kesusastraan Indonesia, hubungan intertekstualitas antara suatu karya sastra dengan karya sastra lain, baik antara karya sezaman ataupun zaman sebelumnya banyak terjadi. Hubungan intertekstual itu berupa adanya hubungan persamaan dan pertentangan (Pradopo, 2009: 155-156).

Dalam studi interteks berusaha membandingkan antara karya induk dengan karya baru dan ingin melihat sebarapa jauh tingkat kreativitas pengarang (Endraswara, 2011: 132). Masalah interteks lebih sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana memperoleh makna karya sastra secara penuh dalam kontrasnya dengan karya lain yang menjadi hipogramnya (Nurgiyantoro, 2010: 54).

Unsur-unsur ambilan sebuah teks dari teks-teks hipogramnya yang mungkin berupa kata, sintagma, model bentuk, gagasan, atau berbagai unsur intrinsik yang lain, namun dapat pula berupa sifat kontradiksinya, dapat menghasilkan sebuah karya yang baru sehingga karenanya orang mungkin tidak mengenali atau bahkan melupakan hipogramnya (Riffaterre, 1980: 165, dalam Nurgiyantoro, 2010: 53).

Karya sastra akan bermakna penuh bila dihadirkan karya sastra lain sebagai pembanding yang mempunyai hubungan dalam hal persamaan atau pertentangan antara keduanya. Fungsi interteks adalah untuk memberikan makna karya sastra secara penuh, bukan untuk mencacat karya sastra yang lemah. Bila dihadirkan suatu karya yang mempunyai hubungan interteks baik persamaan maupun pertentang, maka pemahaman tentang karya sastra tersebut lebih mendalam.

 

DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

____________. 2007. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

____________. 2009. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kuta. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sintaksis dalam Tataran Linguistik

 


SINTAKSIS

  1. A.    Pengertian Sintaksis

Sintaksis adalah tatabahasa yang membahas hubungan antara kata dalam tuturan. Tata bahasa terdiri atas morfologi dan sintaksis. Morfologi itu menyangkut struktur gramatikal di dalam kata, dan sintaksis itu berurusan dengan tata bahasa diantara kata-kata di dalam tuturan.

Pada dasarnya sintaksis itu berurusan dengan hubungan antar kata di dalam kalimat. Sebenarnya, hal itu tidak seluruhnya benar, tetapi sebagai patokan umum dapat diterima. Hubungan antara kalimat termasuk “analisis wacana”, dan hubungan antara tatabahasa (termasuk sintaksis) kalimat dengan wadahnya di dalam wacana perlu diperhatikan. Jadi, sintaksis dianggap menyangkut hubungan gramatikal antar kata di dalam kalimat.

 

  1. B.     Struktur Sintaksis

Secara umum struktur sintaksis itu terdiri dari susunan subjek (S), predikat (P), objek (O), dan keterangan. Menurut Verhar (1978) fungsi-fungsi sintaksis itu yang terdiri dari unsur-unsur S, P, O, dan K itu merupakan “kotak-kotak kosong” atau “tempat0tempat kosong” yang tidak mempunyai arti apa-apa karenan kekosongannya. Tempat-tempat kosong itu akan diisi oleh sesuatu yang berupa kategori dan memiliki peranan tertentu.

Contoh kalimat:          Nenek melirik kakek tadi pagi.

Tempat kosong yang bernama subjek disi oleh kata nenek yang berkategori nomina, tempat kosong yang bernama predikat diisi oleh kata melirik  yang berkategori verba, tempat kosong yang bernama objek diisi oleh kata  kakek yang berkategori nomina, dan tempat kosong yang bernama keterangan diisi oleh frasa tadi pagi yang berkategori nomina.

 

  1. C.    Kata sebagai Satuan Sintaksis

Dalam tataran morfologi kata merupakan satuan terbesar (satuan terkecilnya adalah morfem), tetapi dalam tataran sintaksis kata merupakan satuan terkecil yang secara hierarkial menjadi komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar, yaitu frase. Kata sebagai satuan sintaksis, yaitu dalam hubungannya dengan unsure-unsur pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar, yaitu frasa, klausa, dan kalimat. Sebagai satuan terkecill dalam sintaksis, kata berperanan sebagai pengisi fungsi sintaksis, sebagai penanda kategori sintaksis, dan sebagai perangkai dalam penyatuan satuan-satuan atau bagian-bagian dari satuan sintaksis.

Dalam pembicaraan kata sebagai pengisi satuan sintaksis, pertama-pertama harus kita bedakan dulu  adanya dua macam kata, yaitu yang disebut kata penuh (fullword) dan kata tugas (functionword). Kata penuh adalah kata yang secara leksikal memiliki makna, mempunyai kemungkinan untuk mengalami proses morfologi, merupakan kelas terbuka, dan dapat bersendiri sebagai sebuah satuan tuturan.

Sedangkan yang disebut kata tugas adalah kata yang secara leksikal tidak mempunyai makna, tidak mengalami proses morfologi, merupakan kelas tertutup, dan di dalam pertuturan dia tidak dapat bersendiri.

 

  1. D.    Frasa

Frasa lazim didefinisikan seagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabunngan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat.

  1. Jenis-jenis Frasa

Dalam pembicaraan tentang frasa biasanya dibedakan adanya frasa eksosentrik, frasa endosentrik (disebut juga frasa subordiatif atau frasa modifikatif), dan frasa apositif.

  1. Frasa eksosentrik

Frasa eksosentrik adalah frasa yang komponen-komponennya tidak mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya. Misalnya, frasa di pasar, yang terdiri dari komponen di, dan komponen pasar. Secara keseluruhan atau secara utuh frasa ini dapat mengisi fungsi  keterangan.

Frasa eksosentris biasanya dibedakan atas frasa eksosentris yang direktif dan frasa eksosentris yang nondirektif. Frasa eksosentris yang direktif komponen pertamnya berupa preposisi, seperti di, ke, dan  dari, dan komponen keduanya berupa kata atau kelompok kata yang biasanya berkategori nomina. Frasa eksosentrik yang nondirektif komponen pertamanya berupa artikulus, seperti  si, dan sang atau kata lain seperti  yang, para¸dan kaum. Sedangkan komponen keduanya berupa kata atau kelompok kata berkategori nomina, ajektifa, atau verba.

 

 

  1. Frasa koordinatif

Frasa koordinatif adalah frasa yang komponen pembentuknya terdiri dari dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat, dan secara potensial dapat dihubungkan oleh konjungsi koordinatif, baik yang tunggal seperti dan, atau, tetapi, maupun konjungsi terbagi seperti baik…., baik….., mungkin…., mungkin,  dan baik…., maupun.

  1. c.       Frasa apositif

Frasa apositif adalah frasa koordinatif yang kedua komponennya saling merujuk sesamanya dan oleh karena itu, urutan komponennya dapat dipertukarkan. Umpamanya, frasa apositif Pak Ahmad, guru saya.

  1. d.      Perluasan frasa

Maksudnya, frasa itu dapat diberi tambahan komponen baru sesuai dengan konsep atau pengertian yang akan ditampilkan. Ummpanya, frasa di kamar tidur dapat diperluas dengan diberi komponen baru. Misalnya, berupa kata saya, ayah, atau belakang sehingga menjadi di kamar tidur saya, di kamar tidur ayah, di kamar tidur belakang.

  1. E.     Klausa

Klausa adalah sebuah konstruksi yang di dalamnya terdapat beberapa kata yang mengandung unsur predikatif (Keraf, 1984:138). Klausa berpotensi menjadi kalimat. (Manaf, 2009:13) menjelaskan bahwa yang membedakan klausa dan kalimat adalah intonasi final di akhir satuan bahasa itu. Kalimat diakhiri dengan intonasi final, sedangkan klausa tidak diakhiri intonasi final. Intonasi final itu dapat berupa intonasi berita, tanya, perintah, dan kagum. Widjono (2007:143) membedakan klausa sebagai berikut.

  1. Klausa kalimat majemuk setara

Dalam kalimat majemuk setara (koordinatif), setiap klausa memiliki kedudukan yang sama. Kalimat majemuk koordinatif dibangun dengan dua klausa atau lebih yang tidak saling menerangkan.

Contohnya sebagai berikut:

Rima membaca kompas, dan adiknya bermain catur.

Klausa pertama Rima membaca kompas. Klausa kedua adiknya bermain catur. Keduanya tidak saling menerangkan.

  1. Klausa kalimat majemuk bertingkat

Kalimat majemuk bertingkat dibangun dengan klausa yang berfungsi menerangkan klausa lainnya. Contohnya sebagai berikut. Orang itu pindah ke Jakarta setelah suaminya bekerja di Bank Indonesia. Klausa orang itu pindah ke Jakarta sebagai klausa utama (lazim disebut induk kalimat) dan klausa kedua suaminya bekerja di Bank Indonesiamerupakan klausa sematan (lazim disebut anak kalimat).

  1. Klausa gabungan kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat

Klausa gabungan kalimat majemuk setara dan bertingkat, terdiri dari tiga klausa atau lebih. Contohnya seperti berikut ini. Dia pindah ke Jakarta setelah ayahnya meninggal dan ibunya kawin lagi. Kalimat di atas terdiri dari tiga klausa yaitu. 1) Dia pindah ke Jakarta (klausa utama) 2) Setelah ayahnya meninggal (klausa sematan) 3) Ibunya kawin lagi (klausa sematan) Dia pindah ke Jakarta setelah ayahnya meninggal. (Kalimat majemuk bertingkat) Ayahnya meninggal dan ibunya kawin lagi. (Kalimat majemuk setara)

  1. F.     Kalimat

Kalimat adalah satuan bahasa terkecil yang merupakan kesatuan pikiran (Widjono:146). Manaf (2009:11) lebih menjelaskan dengan membedakan kalimat menjadi bahasa lisan dan bahasa tulis. Dalam bahasa lisan, kalimat adalah satuan bahasa yang mempunyai ciri sebagai berikut:

  1. Satuan bahasa yang terbentuk atas gabungan kata dengan kata, gabungan kata dengan frasa, atau gabungan frasa dengan frasa, yang minimal berupa sebuah klausa bebas yang minimal mengandung satu subjek dan prediket, baik unsur fungsi itu eksplisit maupun implisit;
  2. Satuan bahasa itu didahului oleh suatu kesenyapan awal, diselingi atau tidak diselingi oleh kesenyapan antara dan diakhiri dengan kesenyapan akhir yang berupa intonasi final, yaitu intonasi berita, tanya, intonasi perintah, dan intonasi kagum.
    Dalam bahasa tulis, kalimat adalah satuan bahasa yang diawali oleh huruf kapital, diselingi atau tidak diselingi tanda koma (,), titik dua (:), atau titik koma (;), dan diakhiri dengan lambang intonasi final yaitu tanda titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru (!).

Ciri-ciri kalimat Widjono (2007:147) menjelaskan ciri-ciri kalimat sebagai berikut. Dalam bahasa lisan diawali dengan kesenyapan dan diakhiri dengan kesenyapan. Dalam bahasa tulis diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru, Sekurang-kurangnya terdiri dari atas subjek dan prediket. Predikat transitif disertai objek, prediket intransitif dapat disertai pelengkap. Mengandung pikiran yang utuh. Mengandung urutan logis, setiap kata atau kelompok kata yang mendukung fungsi (subjek, prediket, objek, dan keterangan) disusun dalam satuan menurut fungsinya. Mengandung satuan makna, ide, atau pesan yang jelas.

Dalam paragraf yang terdiri dari dua kalimat atau lebih, kalimat-kalimat disusun dalam satuan makna pikiran yang saling berhubungan. 3.2. Fungsi sintaksis dalam kalimat Fungsi sintaksis pada hakikatnya adalah ”tempat” atau ”laci” yang dapat diisi oleh bentuk bahasa tertentu (Manaf, 2009:34). Wujud fungsi sintaksis adalah subjek (S), prediket (P), objek (O), pelengkap (Pel.), dan keterangan (ket). Tidak semua kalimat harus mengandung semua fungsi sintaksis itu. Unsur fungsi sintaksis yang harus ada dalam setiap kalimat adalah subjek dan prediket, sedangkan unsur lainnya, yaitu objek, pelengkap dan keterangan merupakan unsur penunjang dalam kalimat. Fungsi sintaksis akan dijelaskan berikut ini.

  1. Subjek

Fungsi subjek merupakan pokok dalam sebuah kalimat. Pokok kalimat itu dibicarakan atau dijelaskan oleh fungsi sintaksis lain, yaitu prediket. Ciri-ciri subjek adalah sebagai berikut: jawaban apa atau siapa, dapat didahului oleh kata bahwa, berupa kata atau frasa benda (nomina) dapat diserta kata ini atau itu, dapat disertai pewatas yang, tidak didahului preposisi di, dalam, pada, kepada, bagi, untuk, dan lain-lain, tidak dapat diingkarkan dengan kata tidak, tetapi dapat diingkarkan dengan kata bukan.
Hubungan subjek dan prediket dapat dilihat pada contoh-contoh di bawah ini.
Adik bermain (S) Ibu memasak. S

  1. Predikat

Predikat merupakan unsur yang membicarakan atau menjelaskan pokok kalimat atau subjek. Hubungan predikat dan pokok kalimat dapat dilihat pada contoh-contoh di bawah ini.
Adik bermain. (S) Adik adalah pokok kalimat bermain adalah yang menjelaskan pokok kalimat.
Ibu memasak. S P Ibu

  1. Objek

Fungsi objek adalah unsur kalimat yang kehadirannya dituntut oleh verba transitif pengisi predikat dalam kalimat aktif. Objek dapat dikenali dengan melihat verba transitif pengisi predikat yang mendahuluinya seperti yang terlihat pada contoh di bawah ini.
Dosen menerangkan materi. S P O
menerangkan adalah verba transitif.
Ibu menyuapi adik. S P O
Menyuapi adalah verba transitif. Objek mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: berupa nomina atau frasa nominal seperti contoh berikut,
Ayah membaca koran. S P O      Koran adalah nomina.
Adik memakai tas baru. S P O Tas baru adalah frasa nominal berada langsung di belakang predikat (yang diisi oleh verba transitif) seperti contoh berikut,
Ibu memarahi kakak. S P O
Guru membacakan pengumuman. S P O
dapat diganti enklitik –nya, ku atau –mu, seperti contoh berikut,
Kepala sekolah mengundang wali murid. S P O
Kepala sekolah mengundangnya. S P O
objek dapat menggantikan kedudukan subjek ketika kalimat aktif transitif dipasifkan, seperti contoh berikut,
Ani membaca buku. S P O Buku dibaca Ani. S P Pel.

  1. Pelengkap

Pelengkap adalah unsur kalimat yang berfungsi melengkapi informasi, mengkhususkan objek, dan melengkapi struktur kalimat. Pelengkap (pel.) bentuknya mirip dengan objek karena sama-sama diisi oleh nomina atau frasa nominal dan keduanya berpotensi untuk berada langsung di belakang predikat. Kemiripan antara objek dan pelengkap dapat dilihat pada contoh berikut.
Bu Minah berdagang sayur di pasar pagi. S P pel. ket.
Bu Minah menjual sayur di pasar pagi. S P O ket. Pelengkap
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: pelengkap kehadirannya dituntut oleh predikat aktif yang diisi oleh verba yang dilekati oleh prefiks ber dan predikat pasif yang diisi oleh verba yang dilekati oleh prefiks di- atau ter-, seperti contoh berikut.
Bu Minah berjualan sayur di pasar pagi. S P Pel. Ket. Buku dibaca Ani. S P Pel.
pelengkap merupakan fungsi kalimat yang kehadirannya dituntut oleh verba dwitransitif pengisi predikat seperti contoh berikut.
Ayah membelikan adik mainan. S P O Pel.
membelikan adalah verba dwitransitif. pelengkap merupakan unsur kalimat yang kehadirannya mengikuti predikat yang diisi oleh verba adalah, ialah, merupakan, dan menjadi, seperti contoh berikut.
Budi menjadi siswa teladan. S P Pel.
Kemerdekaan adalah hak semua bangsa. S P Pel.
dalam kalimat, jika tidak ada objek, pelengkap terletak langsung di belakang predikat, tetapi kalau predikat diikuti oleh objek, pelengkap berada di belakang objek, seperti pada contoh berikut.
Pak Ali berdagang buku bekas. S P Pel.
Ibu membelikan Rani jilbab. S P O Pel.
pelengkap tidak dapat diganti dengan pronomina –nya, seperti contoh berikut.
Ibu memanggil adik. S P O
Ibu memanggilnya. S P O
Pak Samad berdagang rempah. S P Pel.
Pak Samad berdagangnya (?)
satuan bahasa pengisi pelengkap dalam kalimat aktif tidak mampu menduduki fungsi subjek apabila kalimat aktif itu dijadikan kalimat pasif seperti contoh berikut. Pancasila merupakan dasar negara. S P Pel. Dasar negara dirupakan pancasila (?)

  1. Keterangan

Keterangan adalah unsur kalimat yang memberikan keterangan kepada seluruh kalimat. Sebagian besar unsur keterangan merupakan unsur tambahan dalam kalimat. Keterangan sebagai unsur tambahan dalam kalimat dapat dilihat pada contoh berikut.
Ibu membeli kue di pasar. S P O Ket. tempat
Ayah menonton TV tadi pagi. S P O Ket. waktu
Keterangan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: umumnya merupakan keterangan tambahan atau unsur yang tidak wajib dalam kalimat, seperti contoh berikut.
Saya membeli buku. S P O
Saya membeli buku di Gramedia. S P O Ket. tempat
keterangan dapat berpindah tempat tanpa merusak struktur dan makna kalimat, seperti contoh berikut.
Dia membuka bungkusan itu dengan hati-hati. S P O Ket. cara
Dengan hati-hati dia membuka bungkusan itu. Ket. cara S P O keterangan diisi oleh adverbia, adjektiva, frasa adverbial, frasa adjektival, dan klausa terikat, seperti contoh berikut.
Ali datang kemarin. S P Ket. waktu
Ibu berangkat kemarin sore. S P Ket. waktu

1)      Jenis-jenis kalimat

  1. Kalimat Inti dan kalimat Non-Inti

Kalimat inti biasa juga disebut kalimat dasar adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap bersifat deklaratif, aktif, atau netral, dan afirmatif. Kalimat inti dapat diubah menjadi kalimat non-inti dengan berbagai proses transformasi.

  1. Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk

Perbedaan Kalimat tunggal dan kalimat majemuk berdasarkan banyaknya klausa yang ada di dalam kalimat itu, kalau klausanya hanya satu maka disebut kalimat tunggal, kalau klausa dalam sebuah kalimat lebih dari satu maka disebut kalimat majemuk

  1. Kalimat Mayor dan Kalimat Minor

Pembedaan kalimat mayor dan kalimat minor dilakukan berdasarkan lengkap dan tidaknya klausa yang menjadi konstituen dasar kalimat itu kalau klausanya lengkap sekurang-kurangnya memiliki unsur subjek dan predikat maka kalimat itu disebut kalimat mayor. Kalau klausanya tidak lengkap entah terdiri dari subjek, predikat, objek, atau keterangan saja maka kalimat tersebut disebut kalimat minor

  1.  Kalimat Verbal dan Kalimat Non-Verbal

Kalimat verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal atau kalimat yang predikatnya berupa kata atau frase yang berkategori verbal sedangkan kalimat non verbal adalah kalimat y6ang predikatnya bukan kata atau frase verbal, bisa nominal, ajektifal, adverbial, atau juga numeralia.

  1. Kalimat Bebas dan Kalimat Terikat

Kalimat bebas adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengkap atau dapat memulai sebuah paragraph atau wacana tanpa bantuan kalimat atau konteks lain yang menjelaskannya. Sedangkan kalimat terikat adalah kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai ujaran lengkap atau menjadi pembuka paragraph atau wacana tanpa bantuan konteks.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Keraf, Gorys. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Flores: Nusa Indah.
Manaf, Ngusman Abdul, 2009. Sintaksis: Teori dan Terapannya dalam Bahasa Indonesia.

Padang: Sukabina Press.
Widjono HS. 2007. Bahasa Indonesia: Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan

Tinggi. Jakarta: Grasindo.

Proses Fonetik dan Terjadinya Bunyi Bahasa

 


Fonetik adalah penyelidikan bunyi-bunyi bahasa tanpa memerhatikan fungsinya untuk membedakan makna ( Verhaar, 1988:12). Para ahli bahasa membagi fonetik menjadi tiga jenis menurut urutan proses terjadinya bunyi bahasa, yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris. Dari ketiga fonetik ini yang paling berurusan dengan dunia linguistik adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan.

Sayangnya, selama ini kita mengajarkan bunyi-bunyi bahasa tersebut tanpa menghiraukan bahwa semua itu dapat terjadi karena peranan alat-alat bicara manusia. Tanpa alat-alat itu mustahil ujaran bisa dihasilkan seseorang.

Dengan mengenal alat-alat bicara manusia kita bisa memahami bagaimana bunyi-bunyi bahasa diproduksi. Nama-nama bunyi bahasa diambil dari nama-nama alat-alat bicara tersebut misalnya bunyi dental (gigi), nasal dan lain-lain yang berasal dari bahasa latin.

 

Terjadinya bunyi

Sumber energi utama dalam hal terjadinya bunyi bahasa adalah adanya udara dari paru-paru. Udara dihisap ke dalam paru-paru dan dihembuskan keluar bersama-sama waktu sedang bernafas. Udara yang dihembuskan (atau dihisap untuk sebagian bunyi bahasa) itu kemudian mendapat hambatan diberbagai tempat alat bicara dengan berbagai cara, sehingga terjadilah bunyi-bunyi bahasa.

Tempat atau alat bicara yang dilewati diantaranya : batang tenggorok, pangkal tenggorok, kerongkongan, rongga mulut, rongga hidung, atau baik rongga hidung bersama dengan alat yang lain. Pada waktu udara mengalir keluar pita suara dalam keadaan terbuka. Jika udara tidak mengalami hambatan pada alat bicara maka bunyi bahasa tidak akan terjadi, seperti dalam bernafas ( CF. Pike, 1947 : 3-4 ; Lapoliwa, 1981: 2-3).

Syarat proses terjadinya bunyi bahasa secara garis besar dapat dibagi menjadi empat, yaitu proses mengalirnya udara, proses fonasi, proses artikulasi, dan proses oro-nasal ( Ladefoged, 1973: 2-3).

Pada proses terjadinya bunyi, udara dari paru-paru dapat keluar melalui rongga mulut, rongga hidung, atau melalui keduanya sekaligus. Bunyi bahasa yang arus udaranya keluar melalui rongga mulut disebut bunyi oral. Contoh bunyi bahasa yang udaranya  melewati rongga mulut adalah [p], [k], dan [t].

Bunyi bahasa yang arus udaranya keluar melalui rongga hidung disebut bunyi nasal contohnya bunyi [m], dan [n]. Bunyi bahasa yang arus udaranya  keluarnya melalui kedua rongga mulut dan hidung disebut bunyi yang disengaukan atau dinasalkan.

Macam bunyi bahasa yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh ada tdaknya hambatan dalam proses pembuatannya. Pada bunyi [a], [i], [u], [e], dan [o], udara melalui rongga multu tanpa hambatan oleh alat bicara apapun. Sebaliknya, Pada bunyi seperti [m], [p], [b], udara dihambat oleh dua bibir yang terkatup. Pada tempat hambatan seperti itu arus udara dari paru-paru tertahan sejenak dan kemudian dilepaskan .

 

Organ tubuh yang terlibat pada proses produksi suara adalah : paru-paru, tenggorokan (trachea), laring (larynx), faring (pharynx), pita suara (vocal cord), rongga mulut (oral cavity), rongga hidung (nasal cavity), lidah (tongue), dan bibir (lips), seperti dapat d

Organ tubuh ini dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian utama, yaitu : vocal tract (berawal di awal bukaan pita suara atau glottis, dan berakhir di bibir), nasal tract (dari velum sampai nostril), dan source generator (terdiri dari paru-paru, tenggorokan, dan larynx). Ukuran vocal tract bervariasi untuk setiap individu, namun untuk laki-laki dewasa rata-rata panjangnya sekitar 17 cm. Luas dari vocal tract juga bervariasi antara 0 (ketika seluruhnya tertutup) hingga sekitar 20 cm2. Ketika velum, organ yang memiliki fungsi sebagai pintu penghubung antara vocal tract dengan nasal tract, terbuka, maka secara akustik nasal tract akan bergandengan dengan vocal tract untuk menghasilkan suara nasal.

Aliran udara yang dihasilkan dorongan otot paru-paru bersifat konstan. Ketika pita suara dalam keadaan berkontraksi, aliran udara yang lewat membuatnya bergetar. Aliran udara tersebut dipotong-potong oleh gerakan pita suara menjadi sinyal pulsa yang bersifat quasi-periodik. Sinyal pulsa tersebut kemudian mengalami modulasi frekuensi ketika melewati pharynx, rongga mulut ataupun pada rongga hidung. Sinyal suara yang dihasilkan pada proses ini dinamakan sinyal voiced. Namun, apabila pita suara dalam keadaan relaksasi, maka aliran udara akan berusaha melewati celah sempit pada permulaan vocal tract sehingga alirannya menjadi turbulen, proses ini akan menghasilkan sinyal unvoiced. Ketika sumber suara melalui vocal tract, kandungan frekuensinya mengalami modulasi sehingga terjadi resonansi pada vocal tract yang disebut formants. Apabila sinyal suara yang dihasilkan adalah sinyal voiced, terutama vokal, maka pada selang waktu yang singkat bentuk vocal tract relative konstan (berubah secara lambat) sehingga bentuk vocal tract dapat diperkirakan dari bentuk spektral sinyal voiced.

Aliran udara yang melewati pita suara dapat dibedakan menjadi phonation,  bisikan, frication, kompresi, vibrasi ataupun kombinasi diantaranya. Phonated excitation terjadi bila aliran udara dimodulasi oleh pita suara. Whispered excitation dihasilkan oleh aliran udara yang bergerak cepat masuk ke dalam lorong bukaan segitiga kecil antara arytenoids cartilage di belakang pita suara yang hampir tertutup. Frication excitation dihasilkan oleh desakan di vocal tract. Compression excitation dihasilkan akibat pelepasan udara melalui vocal tract yang tertutup dengan tekanan tinggi. Vibration excitation disebabkan oleh udara yang dipaksa memasuki rusang selain pita suara, khususnya lidah. Suara yang dihasilkan oleh Phonated excitation disebut voiced. Suara yang dihasilkan oleh Phonated excitation ditambah frication disebut mixed voiced, sedangkan yang dihasilkan oleh selain itu disebut unvoiced. Karakteristik suara tiap individu bersifat unik karena terdapat perbedaan dalam hal panjang maupun bentuk vocal tract.

 

 

Daftar Pustaka

 

Ladefoged, Peter. 1975.  A Course In Phonetics. Florida: Harcourt Brace & Company

Verhaar, J.W.M. 1988. Pengantar Linguistik Jilid I. Yogyakarta: Gajah Mada University

Pengertian Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik dalam Karya Sastra Pengertian Fungsi dan Ragam Sastra

 


A. Pengertian Sastra

Kesusastraan : susastra + ke – an
su + sastra
su berarti indah atau baik
sastra berarti lukisan atau karangan
Susastra berarti karangan atau lukisan yang baik dan indah.
Kesusastraan berarti segala tulisan atau karangan yang mengandung
nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah.
B. Fungsi Sastra
Dalam kehidupan masayarakat sastra mempunyai beberapa fungsi yaitu :

1. Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya.
2. Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung didalamnya.
3. Fungsi estetis, yaitu sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat/pembacanya karena sifat keindahannya.
4. Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca/peminatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi.
5. Fungsi religius, yaitu sastra pun menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para penikmat/pembaca sastra.
C. Ragam Sastra
1. Dilihat dari bentuknya, sastra terdiri atas 4 bentuk, yaitu :
a) Prosa, bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi.
b) Puisi, bentuk sastra yang diuraikan dengan menggunakan habasa yang singkat dan padat serta indah. Untuk puisi lama, selalu terikat oleh kaidah atau aturan tertentu, yaitu :
(1) Jumlah baris tiap-tiap baitnya,
(2) Jumlah suku kata atau kata dalam tiap-tiap kalimat atau barisnya,
(3) Irama, dan
(4) Persamaan bunyi kata.
c) Prosa liris, bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi namun menggunakan bahasa yang bebas terurai seperti pada prosa.
d) Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog.

Drama ada dua pengertian, yaitu drama dalam bentuk naskah dan drama yang dipentaskan.
2. Dilihat dari isinya, sastra terdiri atas 4 macam, yaitu :
a) Epik, karangan yang melukiskan sesuatu secara obyektif tanpa
mengikutkan pikiran dan perasaan pribadi pengarang.
b) Lirik, karangan yang berisi curahan perasaan pengarang secara subyektif.
c) Didaktif, karya sastra yang isinya mendidik penikmat/pembaca tentang
masalah moral, tatakrama, masalah agama, dll.
d) Dramatik, karya sastra yang isinya melukiskan sesuatu kejadian(baik atau buruk) denan pelukisan yang berlebih-lebihan.
3. Dilihat dari sejarahnya, sastra terdiri dari 3 bagian, yaitu :
a) Kesusastraan Lama, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat lama dalam sejarah bangsa Indonesia. Kesusastraan Lama Indonesia dibagi menjadi :
(1) Kesusastraan zaman purba,
(2) Kesusastraan zaman Hindu Budha,
(3) Kesusastraan zaman Islam, dan
(4) Kesusastraan zaman Arab – Melayu.
b) Kesusastraan Peralihan, kesusastraan yang hidup di zaman Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karya-karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ialah :

(1) Hikayat Abdullah
(2) Syair Singapura Dimakan Api
(3) Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jeddah
(4) Syair Abdul Muluk, dll.
c) Kesusastraan Baru, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat baru Indonesia.
Kesusastraan Baru mencangkup kesusastraan pada Zaman :
(1) Balai Pustaka / Angkatan ‘20
(2) Pujangga Baru / Angkatan ‘30
(3) Jepang
(4) Angkatan ‘45
(5) Angkatan ‘66
(6) Mutakhir / Kesusastraan setelah tahun 1966 sampai sekarang
D. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik
Karya sastra disusun oleh dua unsur yang menyusunnya. Dua unsur yang dimaksud ialah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik ialah unsur yang menyusun sebuah karya sastra dari dalam yang mewujudkan struktur suatu karya sastra, seperti : tema, tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran, latae dan pelataran, dan pusat pengisahan. Sedangkan unsur ekstrinsik ialah unsur yang menyusun sebuah karya sastra dari luarnya menyangkut aspek sosiologi, psikologi, dan lain-lain.
1. Unsur Intrinsik
a) Tema dan Amanat

Tema ialah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya sastra.
Tema mayor ialah tema yang sangat menonjol dan menjadi persoalan. Tema
minor ialah tema yang tidak menonjol.
Amanat ialah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di
dalam karya sastra. Amanat biasa disebut makna. Makna dibedakan menjadi
makna niatan dan makna muatan. Makna niatan ialah makna yang diniatkan
oleh pengarang bagi karya sastra yang ditulisnya. Makna muatan ialah
makana yang termuat dalam karya sastra tersebut.
b) Tokoh dan Penokohan
Tokoh ialah pelaku dalam karya sastra. Dalam karya sastra biasanya ada
beberapa tokoh, namun biasanya hanya ada satu tokoh utama. Tokoh utama
ialah tokoh yang sangat penting dalam mengambil peranan dalam karya
sastra. Dua jenis tokoh adalah tokoh datar (flash character) dan tokoh
bulat (round character).
Tokoh datar ialah tokoh yang hanya menunjukkan satu segi, misalny6a baik saja atau buruk saja. Sejak awal sampai akhir cerita tokoh yang jahat akan tetap jahat. Tokoh bulat adalah tokoh yang menunjukkan berbagai
segi baik buruknya, kelebihan dan kelemahannya. Jadi ada perkembangan yang terjadi pada tokoh ini. Dari segi kejiwaan dikenal ada tokoh introvert dan ekstrovert. Tokoh introvert ialah pribadi tokoh tersebut yang ditentukan oleh ketidaksadarannya. Tokoh ekstrovert ialah pribadi tokoh tersebut yang ditentukan oleh kesadarannya. Dalam karya sastra dikenal pula tokoh protagonis dan antagonis. Protagonis ialah tokoh yang
disukai pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya. Antagonis ialah tokoh yang tidak disukai pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya.

Penokohan atau perwatakan ialah teknik atau cara-cara menampilkan tokoh.
Ada beberapa cara menampilkan tokoh. Cara analitik, ialah cara
penampilan tokoh secara langsung melalui uraian pengarang. Jadi
pengarang menguraikan ciri-ciri tokoh tersebut secara langsung. Cara
dramatik, ialah cara menampilkan tokoh tidak secara langsung tetapi
melalui gambaran ucapan, perbuatan, dan komentar atau penilaian pelaku
atau tokoh dalam suatu cerita.
Dialog ialah cakapan antara seorang tokoh dengan banyak tokoh.
Dualog ialah cakapan antara dua tokoh saja.
Monolog ialah cakapan batin terhadap kejadian lampau dan yang sedang
terjadi.
Solilokui ialah bentuk cakapan batin terhadap peristiwa yang akan terjadi.
c) Alur dan Pengaluran
Alur disebut juga plot, yaitu rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat sehingga menjadi satu kesatuan yang padu bulat dan utuh.

Alur terdiri atas beberapa bagian :
(1) Awal, yaitu pengarang mulai memperkenalkan tokoh-tokohnya.
(2) Tikaian, yaitu terjadi konflik di antara tokoh-tokoh pelaku.
(3) Gawatan atau rumitan, yaitu konflik tokoh-tokoh semakin seru.
(4) Puncak, yaitu saat puncak konflik di antara tokoh-tokohnya.
(5) Leraian, yaitu saat peristiwa konflik semakin reda dan perkembangan alur mulai terungkap.
(6) Akhir, yaitu seluruh peristiwa atau konflik telah terselesaikan.
Pengaluran, yaitu teknik atau cara-cara menampilkan alur. Menurut kualitasnya, pengaluran dibedakan menjadi alur erat dan alur longggar. Alur erat ialah alur yang tidak memungkinkan adanya pencabangan cerita.
Alur longgar adalah alur yang memungkinkan adanya pencabangan cerita. Menurut kualitasnya, pengaluran dibedakan menjadi alur tunggal dan alur ganda. Alur tunggal ialah alur yang hanya satu dalam karya sastra. Alur

ganda ialah alur yang lebih dari satu dalam karya sastra. Dari segi urutan waktu, pengaluran dibedakan kedalam alur lurus dan tidak lurus. Alur lurus ialah alur yang melukiskan peristiwa-peristiwa berurutan dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus ialah alur yang melukiskan tidak urut dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus bisa menggunakan gerak balik (backtracking), sorot balik (flashback), atau campauran keduanya.
d) Latar dan Pelataran
Latar disebut juga setting, yaitu tempat atau waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra. Latar atau setting dibedakan menjadi latar material dan sosial. Latar material ialah lukisan latar belakang alam atau lingkungan di mana tokoh tersebut berada. Latar sosial, ialah lukisan tatakrama tingkah laku, adat dan pandangan hidup. Sedangkan pelataran ialah teknik atau cara-cara menampilkan latar.
e) Pusat Pengisahan
Pusat pengisahan ialah dari mana suatu cerita dikisahkan oleh pencerita. Pencerita di sini adalah privbadi yang diciptakan pengarang untuk menyampaikan cerita. Paling tidak ada dua pusat pengisahan yaitu pencerita sebagai orang pertama dan pencerita sebagai orang ketiga. Sebagai orang pertama, pencerita duduk dan terlibat dalam cerita tersebut, biasanya sebagai aku dalam tokoh cerita. Sebagai orang ketiga, pencerita tidak terlibat dalam cerita tersebut tetapi ia duduk sebagai seorang pengamat atau dalang yang serba tahu.
2. Unsur Ekstrinsik
Tidak ada sebuah karya sastra yang tumbuh otonom, tetapi selalu pasti berhubungan secara ekstrinsik dengan luar sastra, dengan sejumlah faktor kemasyarakatan seperti tradisi sastra, kebudayaan lingkungan, pembaca
sastra, serta kejiwaan mereka. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra itu sendiri. Untuk melakukan pendekatan terhadap unsur ekstrinsik, diperlukan bantuan ilmu-ilmu kerabat seperti sosiologi, psikologi, filsafat, dan lain-lain.



Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Karya Sastra
UNSUR INTINSIK

Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari dalam.

Unsur-unsur intrinsik karya sastra adalah :

TEMA
AMANAT
ALUR/PLOT
PERWATAKAN/PENOKOHAN
LATAR/SETTING
SUDUT PANDANG/POINT OF VIEW
UNSUR-UNSUR INTRINSIK

A. TEMA

adalah sesuatu yang menjadi pokok masalah/pokok pikiran dari pengarang yang ditampilkan dalam karangannya

B. AMANAT

adalah pesan/kesan yang dapat memberikan tambahan pengetahuan, pendidikan, dan sesuatu yang bermakna dalam hidup yang memberikan penghiburan, kepuasan dan kekayaan batin kita terhadap hidup

C. PLOT/ALUR

adalah jalan cerita/rangkaian peristiwa dari awal sampai akhir.

TAHAP-TAHAP ALUR

1. Tahap perkenalan/Eksposisi

adalah tahap permulaan suatu cerita yang dimulai dengan suatu kejadian, tetapi belum ada ketegangan (perkenalan para tokoh, reaksi antarpelaku, penggambaran fisik, penggambaran tempat)

2. Tahap pertentangan /Konflik

adalah tahap dimana mulai terjadi pertentangan antara pelaku-pelaku (titik pijak menuju pertentangan selanjutnya)

Konflik ada dua ;

1. konflik internal

adalah konflik yang terjadi dalam diri tokoh.

2. konflik eksternal

adalah konflik yang terjadi di luar tokoh(konflik tokoh dengan tokoh, konflik tokoh dengan lingkungan, konflik tokoh dengan alam, konlik tokoh denganTuhan dll)

3. Tahap penanjakan konflik/Komplikasi

adalah tahap dimana ketegangan mulai terasa semakin berkembang dan rumit (nasib pelaku semakin sulit diduga, serba samar-samar)

4. Tahap klimaks

adalah tahap dimana ketegangan mulai memuncak (perubahan nasip pelaku sudah mulai dapat diduga, kadang dugaan itu tidak terbukti pada akhir cerita)

5. Tahap penyelesaian

adalah tahap akhir cerita, pada bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak itu. Ada pula yang penyelesaiannya diserahkan kepada pembaca, jadi akhir ceritanya menggantung, tanpa ada penyelesaian.

MACAM-MACAM ALUR

Alur maju
adalah peristiwa –peristiwa diutarakan mulai awal sampai akhir/masa kini menuju masa datang.

2. Alur mundur/Sorot balik/Flash back

adalah peristiwa-peristiwa yang menjadi bagian penutup diutarakan terlebih dahulu/masa kini, baru menceritakan peristiwa-peristiwa pokok melalui kenangan/masa lalu salah satu tokoh.

3. Alur gabungan/Campuran

adalah peristiwa-peristiwa pokok diutarakan. Dalam pengutararaan peristiwa-peristiwa pokok, pembaca diajak mengenang peristiwa-peristiwa yang lampau,kemudian mengenang peristiwa pokok ( dialami oleh tokoh utama) lagi.

D. PERWATAKAN/PENOKOHAN

adalah bagaimana pengarang melukiskan watak tokoh

ADA TIGA CARA UNTUK MELUKISKAN WATAK TOKOH

Analitik
adalah pengarang langsung menceritakan watak tokoh.

Contoh :

Siapa yang tidak kenal Pak Edi yang lucu, periang, dan pintar. Meskipun agak pendek justru melengkapi sosoknya sebagai guru yang diidolakan siswa. Lucu dan penyanyang.

2. Dramatik

adalah pengarang melukiskan watak tokoh dengan tidak langsung.

Bisa melalui tempat tinggal,lingkungan,percakapan/dialog antartokoh, perbuatan, fisik dan tingkah laku, komentar tokoh lain terhadap tokoh tertentu, jalan pikiran tokoh.

Contoh :

Begitu memasuki kamarnya Yayuk, pelajar kelas 1 SMA itu langsung melempar tasnya ke tempat tidur dan membaringkan dirinya tanpa melepaskan sepatu terlebih dahulu. (tingkah laku tokoh)

3. Campuran

adalah gabungan analitik dan dramatik.

Pelaku dalam cerita dapat berupa manusia , binatang, atau benda-benda mati yang diinsankan

PELAKU/TOKOH DALAM CERITA

Pelaku utama
adalah pelaku yang memegang peranan utama dalam cerita dan selalu hadir/muncul pada setiap satuan kejadian.

2. Pelaku pembantu

adalah pelaku yang berfungsi membantu pelaku utama dalam cerita.Bisa bertindak sebagai pahlawan mungkin juga sebagai penentang pelaku utama.

3. Pelaku protagonis

adalah pelaku yang memegang watak tertentu yang membawa ide kebenaran.(jujur,setia,baik hati dll)

4. Pelaku antagonis

adalah pelaku yang berfungsi menentang pelaku protagonis (penipu, pembohong dll)

5. Pelaku tritagonis

adalah pelaku yang dalam cerita sering dimunculkan sebagai tokoh ketiga yang biasa disebut dengan tokoh penengah.

E. LATAR/SETTING

Latar/ setting adalah sesuatu atau keadaan yang melingkupi pelaku dalam sebuah cerita.

Macam-macam latar

Latar tempat
adalah latar dimana pelaku berada atau cerita terjadi (di sekolah, di kota, di ruangan dll)

2. Latar waktu

adalah kapan cerita itu terjadi ( pagi, siang,malam, kemarin, besuk dll)

3. Latar suasana

adalah dalam keadaan dimana cerita terjadi. (sedih, gembira, dingin, damai, sepi dll)

F. SUDUT PANDANG PENGARANG

Sudut pandang adalah posisi/kedudukan pengarang dalam membawakan cerita.

Sudut pandang dibedakan atas :

Sudut pandang orang kesatu
adalah pengarang berfungsi sebagai pelaku yang terlibat langsung dalam cerita, terutama sebagai pelaku utama. Pelaku utamanya(aku, saya, kata ganti orang pertama jamak : kami, kita)

2. Sudut pandang orang ketiga

adalah pengarang berada di luar cerita, ia menuturkan tokoh-tokoh di luar, tidak terlibat dalam cerita. Pelaku utamanya (ia, dia, mereka,kata ganti orang ketiga jamak, nama-nama lain)

UNSUR EKSTRINSIK

Unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari luar

UNSUR-UNSUR EKSTRINSIK

Latar Belakang Penciptaan
adalah kapan karya sastra tersebut diciptakan

2. Kondisi masyarakat pada saat karya sastra diciptakan

adalah keadaan masyarakat baik itu ekonomi, sosial, budaya,politik pada saat karya sastra diciptakan