Strukturalisme mulai dengan lahirnya ketidakpuasan dan berbagai kritik atas formalis. Sejarah strukturalisme, demikian juga sejarah teori pada umumnya adalah sejarah intelektualitas (Ratna, 2009: 91). Analisis formalis, lebih menekankan pada efek-efek keindahan yang dihasilkan oleh sarana-sarana sastra, dan bagaimana kesastraan dibedakan dengan serta dihubungkan dengan ekstra sastra. Dalam kaitan ini sarana estetis dipahami sebagai sarana ungkapan gagasan manusia kedalam bentuk khusus (Endraswara, 2011: 48).
Kehadiran strukturalisme dapat dipandang sebagai teori dan pendekatan. Strukturalisme merupakan analisis terhadap unsur-unsur karya sastra. Setiap karya sastra memiliki unsur-unsur yang berbeda. Di samping sebagai akibat ciri-ciri inheren, perbedaan unsur juga terjadi sebagai akibat perbedaan proses resepsi pembaca. Dalam hubungan inilah karya sastra dikatakan sebagai memiliki ciri-ciri yang khas, mandiri, dan tidak bisa dikembangkan. Setiap penilaian perlu dikemukakan unsur-unsur pokok yang terkandung dalam karya sastra, misalnya prosa. Unsur-unsur prosa, diantaranya: tema, peristiwa atau kejadian, latar, penokohan atau perwatakan, alur atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa (Ratna, 2009: 93).
Penekanan strukturalis adalah memandang karya sastra sebagai teks mandiri. Strukturalis menekankan aspek intrinsik karya sastra. Keindahan teks sastra bergantung pada bahasa yang khas dan relasi antar unsur yang mapan. Unsur-unsur itu tidak jauh berbeda dengan sebuah benda seni yang bermakna. Benda seni tersebut terdiri dari unsur-unsur dalam teks seperti ide, tema, plot, latar, watak, tokoh, gaya bahasa, dan sebagainnya (Endraswara, 2011: 51-52).
Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini novel, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik novel yang bersangkutan. Mula-mula, diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana alur, tokoh dan penikohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah diuraikan makna dari unsur-unsur itu, kemudian dihubungkan antarunsurnya sehingga membentuk sebuah kepaduan. Pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan (Nurgiyantoro, 2010: 37).
Akan tetapi, analisis berdasarkan teori strukrural murni, yaitu hanya menekankan otonomi karya sastra. Struktural murni mempunyai beberapa kelemahan pokok analisis. Seperti telah disebutkan oleh Teeuw (1983: 61) bahwa analisis struktural murni itu melepaskan karya sastra dari rangka sejarah sastra dan mengasingkan karya sastra dari rangka social-budayanya. Selain itu, menurut Endraswara (2011: 52) bahwa analisis berdasarkan struktural, karya sastra seakan-akan diasingkan dari konteks fungsinya sehingga dapat kehilangan relevansi sosial, tercabut dari sejarah, dan terpisah dari aspek kemanusiaan.
Berdasarkan beberapa kelemahan analisis strukturalisme, maka diperlukan juga analisis berdasarkan teori lain. Teori yang sesuai dengan teori struktural adalah teori semiotik. Analisis akan dilakukan dengan menggabungkan dua teori, yaitu teori struktural dan teori semiotik. Menurut Pradopo (2009: 118) bahwa strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik. Karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, tanda dan maknanya, dan konvensi tanda, struktur karya sastra tidak dapat dimengerti makna secara optimal.
Kecocokan antara struktural dan semiotik juga dikemukakan oleh Culler (1977: 6, dalam Ratna, 2009: 97) bahwa strukturalisme dan semiotik sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada tanda. Menurut Ratna (2009: 97) untuk menemukan makna karya sastra, analisis strukturalisme mesti dilanjutkan dengan analisis semiotika. Demikian juga sebaiknya, analisis semiotika mengandaikan sudah melakukan analisis struktural. Semata-mata dalam hubungan ini, yaitu sebagai proses dan cara kerja analisis keduanya seolah-olah tidak bisa dipisahkan.
Model struktural semiotik muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap kajian struktural. Struktural sekedar menitikberatkan aspek intrinsik, semiotik tidak demikian halnya, karena paham semiotik mempercayai bahwa karya sastra memiliki sistem tersendiri. Jadi, kajian struktural semiotik, artinya penelitian yang menghubungkan aspek-aspek struktur dengan tanda-tanda. Tanda sekecil apapun dalam smiotik tetap diperhatikan (Endraswara, 2011: 64).
Teori strukturalisme semiotik merupakan penggabungan antara teori strukturalisme dan teori semiotik. Strukturalisme mengkaji struktur dari dalam karya itu sendiri. Analisis struktural dianggap belum mampu mengungkap seutuhnya makna karya sastra, masih ada aspek-aspek yang belum bisa dijamah oleh analisis struktural, yang itu menjadi kelemahan analisis struktural. Akibat dari kelemahan analisi struktural, semiotik muncul sebagai teori yang identik dengan teori struktural, sehingga mampu mengisi kelemahan strktural. Penggabungan strukturalisme dan semiotik pun telah mampu menelaah karya sastra sehingga mempunyai makna secara lebih luas.
Peletak dasar teori semiotik ada dua orang, yaitu Ferdinan de Suassure dan Charles Sander Peirce. Saussure yang dikenal sebagi bapak ilmu bahasa modern mempergunakan istilah semiologi, sedang Peirce yang seorang ahli filsafat itu memakai istilah semiotik. Kedua tokoh yang berasal dari dua benua yang berjauhan itu, Eropa dan Amerika, dan tidak saling mengenal, sama-sama mengemukakan sebuah teori yang secara prinsipial tidak berbeda (Nurgiyantoro, 2010: 41).
Semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda. Tanda-tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representatif (Endraswara, 2011: 64). Dalam pengertian yang luas, sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana, cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia (Ratna, 2009: 97). Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotik menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Pradopo, 2009: 119).
Semiotik berarti tanda. Teori semiotik merupakan teori yang menganalisis tanda-tanda. Karya sastra akan dipandang sebagai tanda-tanda. Pencarian tanda-tanda dalam karya sastra yang dikhususkan tanda yang memungkinkan tanda tersebut mempunyai arti. Tanda-tanda itu kemudian diartikan menurut menurut sistem, aturan, dan konvensi masyarakat.
Semiotik adalah ilmu tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu pananda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu artinya (Pradopo, 2009: 120).
Tanda mempunyai beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah atau bersifat persamaan antara penanda dan petanda, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda sebagai artinya. Indeks adalah tanda yang menujukkan hubungan kausal/sebab akibat antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api. Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah atau bersifat semau-maunya antara penanda dan petandanya. Ada bermacam-macam tanda untuk satu arti (Pradopo, 2009: 120).
Karya sastra merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Dalam karya sastra arti bahasa ditentukan oleh konvensi sastra atau disesuaikan dengan konvensi sastra. Konvensi itu tidak dapat lepas dari sistem bahasa dan arti. Sebagai salah satu jenis karya sastra, novel mempunyai konvensi-konvensi sendiri yang lain dari karya sastra yang lain, misalnya konvensi yang berhubungan dengan cerita naratif, misalnya plot, penokohan, latar, pusat pengisahan, dan gaya bahasa. Elemen-elemen novel itu merupakan satuan-satuan tanda yang harus dianalisis dan disendiri-sendirikan (Pradopo, 2009: 121-123).
Dalam perkembangan ilmu semiotik, Michael Riffaterre dalam bukunya Semiotcs of Poetry (1978) mengembangkan teori dan metode semiotik dalam pemaknaan sastra. Menurut Riffatere (1978: 1, 13, 14-15, dalam Pradopo, 2007: 226) ada empat hal penting yang harus diperhatikan dalam pemaknaan karya sastra. Keempat hal itu adalah (1) puisi itu ekspresi tidak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti yang lain, (2) pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik, (3) matrik, model, dan varian-varian dan (4) hipogram.
Semiotik Riffaterre merupakan semiotika puisi atau khususnya digunakan untuk pemaknaan puisi. Dalam pemaknaan semiotik Riffaterre, ada empat tahap yang harus dilakukan secara terus menerus untuk mendapatkan makna secara penuh. Dalam hal ini, penelitian ini akan menggunakan metode pemaknaan Riffaterre untuk memaknai novel. Metode matriks, model, varian-varian, dan hipogram akan digunakan untuk meneruskan pemaknaan struktural. Penggunaan pemikiran Riffaterre bahwa karya sastra itu mengandung suatu model yang diciptakan oleh pengarang, yang dapat dibuktikan melalui tanda-tanda yang tersebar dalam karya tersebut. Model dan tanda-tanda itu kemudian dihubungkan dan dimaknai dan dilanjutkan dengan penghubungan dengan karya sastra lain untuk mendapatkan makna secara lebih mendalam.
Menurut Riffatere ada metode (3) matriks, model, varian-varian dan (4) hipogram. Uraian metode itu sebagai berikut.
a) Matriks, Model, dan Varian
Untuk mendapatkan makna karya sastra secara jelas, maka dicari tema dan masalahnya dengan mencari matriks, model, dan varian-variannya terlebih dahulu. Matriks itu harus diabstrasikan dari karya sastra yang di bahas. Matriks itu tidak dieksplesitkan dalam karya sastra (Riffaterre, 1978: 13-21, dalam Pradopo, 2007: 227). Matriks itu bukan kiasan. Matriks ini adalah kata kunci (key word), dapat berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat, atau kalimat sederhana. Matriks ini mengarah pada tema. Jadi, matriks bukan tema atau bukan merupakan tema. Dengan ditemukan matriks, otomatis akan ditemukan tema.
Matriks itu sebagai hipogram intern yang ditansformasikan kedalam model yang berupa kiasan. Matriks dan model ditransformasikan menjadi varian-varian. Varian ini merupakan transformasi model pada setiap satuan tanda: baris atau bait, bahkan juga bagian-bagian fiksi (alinea, bab, yang merupakan wacana). Varian-varian ini, dapat disimpulkan atau diabstrasikan tema karya sastra.
b) Hipogram: Hubungan Intertekstual
Sering kali karya sastra itu merupakan transformasi teks lain (teks sebelumnya) yang merupakan hipogramnya, yaitu teks yang menjadi latar belakan penciptaannya. Menurut Kristeva (dalam Pradopo, 2007: 228), dunia ini adalah teks. Teks bukan hanya tulisan, bahasa, atau cerita lisan. Masyarakat, adat, aturan-aturan adalah teks. Begitu pula, benda-benda alam adalah teks, seperti, air, batu, pohon. Dengan adanya hipogram itu, pemaknaan membuat makna karya sastra yang dimaknai dengan karya sastra lain menjadi hipogramnya.
Konsep penting dalam teori interteks adalah hipogram. Istilah hipogram, dapat diindonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walau tidak tampak secara eksplisit, bagi penulisan karya yang lain (Nurgiyantoro, 2010: 51). Fungsi hipogram merupakan petunjuk hubungan antarteks yang dimanfaatkan oleh pembaca, bukan penulisan, sehingga memungkinkan terjadinya perkembangan makna.
Karya sastra baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan karya sastra lain, baik dalam hal persamaan atau pertentangan (Riffaterre, 1978, dalam Pradopo, 2009: 155). Dalam kesusastraan Indonesia, hubungan intertekstualitas antara suatu karya sastra dengan karya sastra lain, baik antara karya sezaman ataupun zaman sebelumnya banyak terjadi. Hubungan intertekstual itu berupa adanya hubungan persamaan dan pertentangan (Pradopo, 2009: 155-156).
Dalam studi interteks berusaha membandingkan antara karya induk dengan karya baru dan ingin melihat sebarapa jauh tingkat kreativitas pengarang (Endraswara, 2011: 132). Masalah interteks lebih sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana memperoleh makna karya sastra secara penuh dalam kontrasnya dengan karya lain yang menjadi hipogramnya (Nurgiyantoro, 2010: 54).
Unsur-unsur ambilan sebuah teks dari teks-teks hipogramnya yang mungkin berupa kata, sintagma, model bentuk, gagasan, atau berbagai unsur intrinsik yang lain, namun dapat pula berupa sifat kontradiksinya, dapat menghasilkan sebuah karya yang baru sehingga karenanya orang mungkin tidak mengenali atau bahkan melupakan hipogramnya (Riffaterre, 1980: 165, dalam Nurgiyantoro, 2010: 53).
Karya sastra akan bermakna penuh bila dihadirkan karya sastra lain sebagai pembanding yang mempunyai hubungan dalam hal persamaan atau pertentangan antara keduanya. Fungsi interteks adalah untuk memberikan makna karya sastra secara penuh, bukan untuk mencacat karya sastra yang lemah. Bila dihadirkan suatu karya yang mempunyai hubungan interteks baik persamaan maupun pertentang, maka pemahaman tentang karya sastra tersebut lebih mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
____________. 2007. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
____________. 2009. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kuta. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
0 Comments: