2020-09-17

Aspek Budaya dalam Buku Kumpulan Cepren Bertanya Kerbau pada Pedati Karya A.A. Navis




A. Latar Belakang
Buku “Bertanya Kerbau Pada Pedati” adalah buku dengan sekumpulan cerita pendek yang banyak bercerita kehidupan. Kehidupan yang dimaksud dapat berupa pengalaman hidup maupun hidup akhirat. Kebanyakan suasana untuk menghidupkan cerita diambil dari daerah Sumatera Barat. Ini dapat disebabkan oleh latar belakang penulis yaitu berasal dari daerah tersebut.
Dalam buku ini dikumpulkan 10 cerita Navis yang pada terbitan pertamanya tahun 1963 oleh NV Nusantara Bukittinggi, buku ini terdapat 5 cerpen. Pada terbitan keduanya tahun 1990 oleh Pustakakarya Grafikatama Jakarta, terdapat 10 cerpen yang pada cetakan ketiga dilakukan penggantian 2 cerpen, yakni cerpen Tanpa Tembok dan Sebuah Wawancara dengan cerpen Pendekar Ayam Jago dan Kaus Kaki.
Pada cetakan pertama dan kedua, kumpulan cerpen ini berjudul Bianglala, namun diubah pada cetakan ketiga ini berjudul Bertanya Kerbau Pada Pedati. Jika dilihat dari judul dan latar belakang penulis membuat kumpulan cerpen ini, penulis yang menginginkan kebebasan berkarya dan menyatakan pendapat, serta penerbitan karya pada tahun-tahun kritis setelah kemerdekaan, yang keadaan politik dan sosial saat itu masih carut marut dan bobroknya intelektual masyarakat yang masih menggambarkan rendahnya kesejahteraan masyarakat akibat peperangan demi kemerdekaan yang terjadi sebelumnya hingga keadaan yang belum stabil karena masih ada penjajahan secara tak langsung.


B. Landasan Teori
Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni yang merupakan suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
BAB II
PEMBAHASAN

Dalam semua cerita Navis, terlihat ia menggambarkan kehidupan, keadaan sosial pada tahun-tahun 90-an setelah kemerdekaan. Semua cerita ini digambarkan dengan metafora dan perlambangan yang dikaitkan dengan realitas, yang masih berhubungan pula dengan kehidupan hingga saat ini.
Pada cerpen Dokter dan Maut, digambarkan seorang dokter yang merasa dirinya adalah orang yang perfeksionis dan terbaik dalam menjalankan tugasnya yang lebih menjunjung etika profesi dibanding dengan urusan pribadinya. Namun ini terlihat keegoisan diri si dokter yang ketika maut datang, ia berusaha mengulur kematiannya.
Pada cerpen Sebelum Pertemuan Dimulai, digambarkan Mahatma Gandhi yang menjadi seorang pemimpin pertemuan di alam barzah tak bisa terlepas dari sekretarisnya Chairil Anwar yang cenderung berpikir modern dan kontemporer.
Pada cerpen Pemburu dan Serigala digambarkan seorang pemburu yang sombong dan selalu membanggakan dirinya di hadapan orang lain, namun sebenarnya ia tak bisa apa-apa, tak memiliki kehebatan apa-apa.
 Pada cerpen Angkatan 00 digambarkan Angkatan 00 yang diprakarsai oleh pemuda merasa bisa memimpin lebih baik dibandingkan angkatan sebelumnya.
Pada cerpen Kucing Gubernuran, digambarkan banyaknya masalah yang akan menjadi sebuah kebobrokan, dan ketika ada yang menyelesaikan/ solusi tidak tahu terima kasih dan membuang begitu saja kebaikan yang sudah melindungi kebusukan di dalamnya, yang digambarkan dengan kucing yang membasmi tikus yang akan menjadi bangkai ketika mati dan berbau ke seluruh ruangan.
Pada cerpen Kuda Itu Bernama Ratna, diceritakan seorang pengagum fanatik kuda bernama Rajo Sutan yang sangat menjunjung tinggi martabat kuda, yang walaupun banyak istilah negatif yang menggambarkan kuda tetapi tak perlulah kenegatifan itu menutupi apa yang sudah di sumbangkan terhadap peradaban, atau dengan kata lain walau banyak kebaikan yang dilakukan tentu akan tertutupi oleh satu kesalahan, sekecil apapun kesalahan/keburukan itu.
Pada cerpen Bertanya Kerbau Pada Pedati, digambarkan penderitaan kerbau yang tiada hentinya oleh orang yang mengaturnya karena kelelahan menarik pedati yang sarat barang di jalan menanjak yang terjal, dengan kata lain penderitaan orang kecil tidak akan pernah berakhir di bawah kepemimpinan orang besar diatasnya.
Pada cerpen Malin Kundang Ibunya Durhaka, digambarkan Anis yang mengusulkan sebuah cerita, yang walau cerita itu adalah hasil plagiasi itu tak masalah karena plagiat/peniruan itu sudah biasa. Pada cerpen Pendekar dan Ayam Jago, digambarkan Pendekar Sungsang yang suka mengadu ayam tanpa mengerti perasaan ayam itu kesakitan atau tidak, yang pada kahirnya dia berubah posisi menjadi ayam dan ayamnya menjadi dirinya, kemudain si ayam berlaku sama kepada Pendekar Sungsang karena Pendekar Sungsang sangat sombong karena merasa dirinya adalah pendekar hebat.
Pada cerpen Kaus Kaki, digambarkan Karatang seorang  mahasiswa yang memiliki kaus kaki berbau busuk dan usang, sebuah hal yang kecil dapat membuat perubahan besar, karena sebuah peristiwa yang disebabkan oleh sebuah kaus kaki membuat Ketua Parlemen tiba-tiba stroke dan tak lagi bisa berbicara benar, dan apapun yang kita lakukan atau kita buang dan hindari semua itu akan kembali pada diri kita sendiri seperti kaus kaki busuk yang di buang Karatang kembali lagi kepada Karatang dan entah bagaimana itu bisa terjadi.








BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari semua cerpen di atas, yang bisa menjadi dasar, sesuai dengan judul kumpulan cerpennya, Bertanya Kerbau Pada Pedati, semua yang terjadi pada saat itu hingga kini belum bisa berubah karena kekuasaan orang-orang besar/ petinggi yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan rakyat kecil, seperti yang digambarkan tukang pedati yang memaksa kerbau menarik pedati walau sangat berat perjuangan itu. Apa yang terjadi di sosial masyarakat, tidak ada yang tahu hukum alamnya, saling melempar kesalahan dan tak ada yang mau bertanggung jawab, seperti yang digambarkan pada cerpen kerbau itu bertanya pada pedati, kemudian pedati menyambungkan pertanyaan kepada muatan, dan muatan menyambungkan pertanyaan kepada tukang pedati. Tukang pedati tak mau tahu apa yang terjadi di bawahnya. Ia lebih memilih marah dan menyalahkan kerbau. Hingga sampai jawaban kepada kerbau, dan kerbau bingung mengapa mereka yang jadi disalahkan karena mempertanyakan kapan perjalanan dan pendakian mereka selesai. Seperti kita, masyarakat, yang hingga kita tahu jawaban bisu yang sampai kepada kita, tidak ada yang mau bertanggung jawab dan harus kitalah yang memikul sebuah masalah yang mungkin bukan kitalah pelakunya.
Akhirnya, seorang anak yang memberontak karena semangat revolusinya di masa perang kemerdekaan, membangkitkan pemberontakan kerbau, seperti yang terjadi pula pada masyarakat kita, melakukan pemberontakan untuk kemerdekaan dan melepaskan diri dari kungkungan penjajahan dan penderitaan. Namun, setelah melepaskan diri, pastilah kita masih akan dikejar-kejar oleh penjajahan dan penderitaan itu seperti yang digambarkan tukang pedati mengejar kerbau. Dan gambaran tukang pedati yang lebih memilih mengejar kerbau yang dianggapnya bisa menjadi penopang untuk kelanjutan hidupnya dibandingkan memilih istri yang sudah terluka, menjelaskan kepada kita bahwa orang akan mengejar segalanya walaupun itu susah untuk didapat ia akan terus mengejar dengan cara apapun. Apa yang dimilikinya kini ia rasa belum cukup. Dan jika ia bisa mendapatkan apa yang diinginkan, ia akan terus mendapatkan yang ia inginkan selanjutnya, seperti pemikiran tukang pedati yang memilih mengejar kerbau dari pada menolong istrinya karena ia berpikir kerbau akan menjadi jalan nafkah mengambil kekayaan untuk dirinya dan selanjutnya akan mendapatkan istri lagi yang lebih muda suatu saat nanti.


DAFTAR PUSTAKA

Adilla, Ivan. 2016. Padang. Universitas Andalas. Mata Kuliah: Teori Sastra.

Navis, A.A. 2002. Bertanya Kerbau Pada Pedati. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

2020-09-15

Struktural Novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan


BAB I
PENDAHULUAN

Novel Rinai Kabut Singgalang merupakan novel pertama yang ditulis oleh Muhammad Subhan. Dengan gaya bahasa dan gaya pencintraan novel klasik, penulis berhasil mengenalkan sosok sang tokoh utama dengan berbagai pesan moral yang terdapat dalam cerita. Bermacam-macam kesulitan yang dilalui tokoh utama dalam cerita ini, segala kekurangan dan keterbatasan hidup tidak selalu menjadi trgedi melainkan dapat berbentuk suka cinta. Bermodalan tatabahasa yang sopan dan santun, tokoh utama berhasil mengatasi segala kesusahan dengan berbagai pertolongan tokoh lain yang ada didalam cerita yang membuat pembaca belajar bahwa semua jalan hidup ini adalah dari Tuhan. Apakah hidup hanya diserahkan kepada kepasrahan dan ketidakberdayaan diri atau hidup harus dipenuhi dengan perjuangan dan pengharapan atas hasil yang terbaik dalam sejarah manusia.
Muhammad Subhan adalah penulis asal Aceh yang memiliki darah Minang. Lahir di Sumatra utara tanggal 3 Desember tahun 1980. Profesi yang dilakoninya adalah sebagai jurnalis. Dia bekerja sebagai wartawan di sejumlah surat kabar di padang di antaranya; SKM Gelora. Gelar Reformasi, Media Watch, (2000-2003), Haluan (2004-2010).
Perkara ekspresi budaya merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Dalam Luxemburg (96:1989) mengatakan bahwa sebuah teks dikatakan ekspresif apabila fungsi utama teks itu adalah mengungkapkan perasaan, pertimbangan dan sebagainya dalam diri seorang pengarang. Dalam ekspresi budaya dapat kita temukan.
Novel merupakan karya sastra yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Novel yang dihasilkan sastrawan merupakan alat komunikasi sosial bagi masyarakat yang harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan. Seorang sastrawan dalam sebuah karyanya ingin menyampaikan “sesuatu” kepada pembaca, sesuatu itu dapat berupa pesan, ide, ataupun opini.
Unsur pembentuk karya sastra terbagi dua yaitu intrinsik dan eksterisik. Menurut Muhardi dan Masanuddin (1992:20), unsur intrinsik dibedakan menjadi dua macam, yakni unsur utama dan unsur penunjang atau unsur tambahan. Unsur utama seperti penokohan, alur dan seting, ketiga unsur ini membentuk tema dan amanat. Sedangkan unsur penunjang seperti sudut pandang dan gaya bahasa. Atas dasar tersebut, dari segi struktur, penelitian ini hanya hanya membahas, alur, penokohan, latar atau seting, tema dan amanat.
Muhardi dan Hasanuddin (1992:24-26) mengatakan bahwa penokohan termasuk dalam masalah penamaan, pemeranan, keadaan fisik, keadaan psikis, dan karakter. Bagian-bagian dari penokohan ini saling berhubungan dalam upaya membangun permasalahan fiksi. Senada dengan pendapat Muhardi dan Hasanuddin di atas, Atmazaki (2007:102) menyebutkan bahwa karakter atau tokoh adalah orang yang dilengkapi dengan kualitas moral dan watak yang diungkapkan oleh apa yang dikatakannya, dialog serta tindakan yang dilakukannya. Ada dua jenis tokoh dalam sastra naratif, yaitu tokoh utama dan tokoh sampingan.
Menurut Muhardi dan Hasanuddin, karakteristik alur dapat dibedakan menjadi konvensional dan inkonvensial. Alur konvensional adalah jika peristiwa yang disajikan lebih dahulu selalu menjadi penyebab munculnya peristiwa yang hadir sesudahnya. Peristiwa yang muncul kemudian, selalu menjadi akibat dari peristiwa yang diceritakan sebelumnya. Alur inkonvensional adalah peristiwa yang diceritakan kemudian menjadi penyebab dari peristiwa yang diceritakan sebelumnya atau peristiwa yang diceritakan lebih dahulu menjadi akibat dari peristiwa yang diceritakan sesudahnya.
Luxemburg dalam Atmazaki (2007:99) menyimpulkan bahwa plot/alur adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. Dengan demikian, plot merupakan struktur tindakan yang diarahkan untuk menuju keberhasilan efek artistik dan emosional tertentu. Fungsi utama plot adalah agar cerita terasa sebagai cerita yang berkesinambungan dan mempunyai kaitan yang erat antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain (Atmazaki, 2007:102).
Latar merupakan penanda identitas permasalahan fiksi yang mulai secara samar diperlihatkan alur atau penokohan. Latar memperjelas suasana, tempat dan waktu peristiwa itu berlaku. Latar memperjelas pembaca untuk mengidentifikasikan masalah fiksi, apakah fiksi mengungkapkan permasalahan tahun 20-an, atau 80-an, pagi, siang atau malam, di kota atau di desa, di perkampungan atau di hutan, berhubungan dengan kultur Minangkabau atau Sunda, permasalahan remaja atau dewasa, dan lain-lain (Muhardi dan Hasanuddin 1992:30).
Unsur-unsur latar menurut Nurgiantoro (2010:227), yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu berhubungan dengan masalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar atau seting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Latar atau seting memperjelas pembaca untuk mengidentifikasi permasalahan fiksi. Secara langsung latar atau setting berkaitan dengan alur atau penokohan.
Tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan oleh pengarang dalam karyanya. Tema merupakan hasil kongklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar. Amanat merupakan opini, kecenderungan dan visi pengarang terhadap tema yang dikemukakannya. Amanat dalam sebuah fiksi, bisa saja lebih dari satu, asalkan semua itu terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik atau sejalan dengan teknik pencarian tema. Oleh sebab itu, amanat juga merupakan kristalisasi dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, dan latar cerita (Muhardi dan Hasanuddin, 1992:38).


BAB II
METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Semi (1993:23), penelitian kualitatif dilakukan dengan tidak mengutamakan pada angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris. Empiris berarti berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, dan pengamatan yang telah dilakukan. Berdasarkan tujuan penelitian dan permasalahan, metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik analisis isi. Penelitian kualitatif dengan metode deskriptif, artinya data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi fenomena, bukan berupa angka atau koefisien tentang hubungan antar variabel. Penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung, membaca, memahami, mengidentifikasi, mencatat, dan merangkumkan data.
Sumber data penelitian ini adalah novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan yang diterbitkan oleh penerbit FAM Publishing, pada tahun  2013 dengan 410 halaman.


BAB III
PEMBAHASAN

A.   Sinopsis
Dikisahkan, Maimunah (ibu Fikri), perempuan asal Pasaman (Sumatra Barat) telah dicoret dari ranji silsilahnya lantaran nekat menikah dengan Munaf (ayah Fikri), laki-laki asal Aceh. Munaf dianggap sebagai “orang-datang”, “orang di pinggang”, “orang yang tak berurat-berakar”. Menerima laki-laki itu sama saja dengan mencoreng kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah melarikan diri ke Medan dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf—pemuda yang dicintainya—di kota itu. Setelah menikah, Maimunah tinggal di Aceh, dan tak pernah kembali pulang ke Pasaman. Sementara itu, orangtua Maimunah hidup berkalang malu, sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia. Safri, kakak kandung Maimunah bahkan sampai mengalami gangguan jiwa (gila), lantaran menanggung aib karena ulah adiknya melawan adat.
Luka serupa kelak juga dialami Fikri. Fikri merantau ke Padang, karena ia bercita-cita hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Sebelum ke Padang, Fikri mencari mamaknya (paman) di Kajai, Pasaman. Di kampung asal ibunya itu, Fikri sempat merawat Safri pamannya yang mengidap penyakit selepas kepergian Maimunah ke Aceh—dan karena itu ia dipasung di tengah hutan. Namun akhirnya Mak Safri tewas dibunuh akibat suatu perkelahian. Fikri pun meninggalkan Kajai, hijrah ke Padang. Semasa di Padang, Fikri bertemu dengan Rahima, yang kemudian menjadi kekasih pujaannya. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan. Keluarga Rahima—utamanya Ningsih (kakak Rahima)—bulat-bulat menolak pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan: Fikri “orang-datang”, “orang di pinggang”.
Remuk-redamnya perasaan Fikri bersamaan dengan luluhlantaknya Aceh, tanah asal Fikri, selepas mega bencana Gempa dan Tsunami (2004). Annisa, adik kandungnya digulung gelombang besar, rumah tempat ia dibesarkan tak bisa ditandai lagi titiknya. Ibu-bapaknya telah meninggal sebelum bencana. Fikri hidup sebatangkara. Dan, begitu kembali ke Padang, persoalan berat sudah menunggunya. Betapa tidak? Rahima telah dijodohkan dengan laki-laki lain. Akhirnya perempuan itu diboyong Ningsih ke Jakarta. Sementara di Padang, Fikri terpuruk dalam kesendirian, dalam keterpiuhan perasaan lantaran pengkhianatan cinta. Belakangan, Fikri mendengar kabar, Ningsih menjodohkan adiknya (Rahima) dengan laki-laki lain ternyata atas dasar hutang budi. Kabar ini membuat Fikri semakin karam di kerak kepedihan.
Atas luka yang ditanggungkannya, Fikri sempat berkeinginan menenggelamkan dirinya ke laut. Tapi seorang sahabatnya Yusuf selalu hadir di saat ia berada pada titik kulminasi kejenuhan hidup. Yusuf-lah yang selalu memberikan semangat hingga Fikri mampu bangkit dari keterpurukan hidupnya. Di akhir kisahnya, Fikri digambarkan sebagai laki-laki yang terlahir kembali. Ia menjadi pengarang tersohor, bahkan salah satu novelnya difilmkan. Ia dipuja banyak orang. Kabar tentang keberhasilan Fikri itu membuat Ningsih (orang yang telah memisahkannya dengan Rahima), tak segan-segan menjilat ludah sendiri. Pada saat yang sama, Rahima sedang tertimpa masalah; suaminya menjadi tersangka korupsi, dan bunuh diri di penjara.
Sejatinya, rasa cinta Fikri pada Rahima tiada bakal punah, meski pengkhianatan itu sukar ia lupakan. Atas dasar itu pula Fikri memenuhi undangan Ningsih untuk datang ke Jakarta ketika Rahima yang telah menjanda mengalami sakit keras. Ningsih, hendak mempertemukan kembali “kasih tak sampai” yang telah membuat perasaan  Fikri-Rahima tercabik-cabik. Namun, kisah novel ini disudahi dengan cara sangat tragis, kepulangan Ningsih, Rahima, dan Fikri ke Padang ternyata bukan kepulangan yang membahagiakan. Pesawat yang mereka tumpangi tergelincir. Rahima selamat, tapi Fikri mengalami geger-otak, dan karena itu ia merasa tak memenuhi syarat lagi untuk menjadi suami Rahima. Ia meminta sahabat karibnya, Yusuf, untuk menikahi Rahima. Saat ijab-kabul pernikahan itu berlangsung, Fikri menghembuskan napas penghabisan. Atas permintaan Fikri, jasadnya dikubur di kaki gunung Singgalang yang selalu dijatuhi rinai dan kabut. Meski telah sah menjadi suami istri, Yusuf tak pernah menyentuh Rahima, perempuan itu tetap suci. Tiga bulan kemudian, Rahima menghembuskan napas terakhirnya setelah menderita suatu penyakit. Ia bermohon kepada Yusuf agar menguburkannya di samping pusara fikri.

B.  Struktural

1.      Tokoh
Tokoh utama : Fikri
Memiliki sifat tauladan yang baik. Dengan tutur bahasa yang sopan dan santun dalam cerita, tokoh utama memperlihatkan kewibawaannya dan pantang menyerah untuk menggapai cita-citanya. Namun Fikri memiliki hati yang rapuh dan mudah merasa sedih.
Tokoh Sampingan :
-          Maimunah (Ibu Fikri)
Sayang terhadap anaknya. Rela bekorban banting tulang membantu suami untuk membiayai kehidupan keluarga.
-          Munaf (Ayah Fikri)
Menginginkan anaknya sekolah setinggi-tingginya dan melihat anaknya menjadi orang yang berguna bagi orang lain.
-          Anisa (Adik Fikri)
Anak yang berbakati terhadap orang tua. Merawat ibunya Maimunah yang sakit-sakitan setelah ditinggal mati suamainya.
-          Mak Tuo (Bibi Maimunah) dan Mak Bujang (Sepupu Maimunah)
Tokoh yang merawat dan memberi tempat tinggal Fikri di kampung halaman Ibunya. Menyanyangi Fikri seperi anak kandungnya sendiri.
-          Mak Safri (Mamak Fikri)
Kakak kandung Ibu Fikri, yang sewaktu kecil sangat menyanyangi Maimunah.
-          Yusuf (Sahabat Fikri)
Tokoh masyarakata kampung halaman ibu Fikri yang berani melawat tokoh masyarakat lain saat akan menyelakai Fikri. Berjiwa besar selalu mendampingi Fikri kemana saja. Salah satu tokoh yang sangat mempengarui kesuksesan Fikri.
-          Bu Rohana dan Pak Usman
Tokoh yang merawat dan memberi tempat tinggal Fikri di Padang dan menyanyangi Fikri seperti anak kandungnya.
-          Bu Aisyah
Sosok penyelaman Fikri saat tinggal di Padang. Menyanyai Fikri. Memiliki jiwa yang sangat peduli terhadap lingkungan sekitar.
-          Rahima
Kekasih Fikri. Anak Bu Aysaha. Wanita yang berhati mulia dan rapuh. Mudah merasa sedih, Penurut dan patuh.
-          Ningsi
Tokoh Antargonis. Mementingkan diri sendiri tanpa melihat akibatnya bagi orang lain. Namun juga mimiliki hati yang rapuh, merasa bersalah dan merasa menyesal.



2.      Latar
Secara umum novel Rinai Kabut Singgalang belatar di Padang, di rumah gadang Kajai Pasaman, di Bukittinggi, dan di Koto Baru Padangpanjang yang merupakan latar tempat. Latar waktu yang terdapat dalam novel ada siang, malam, seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, kemudian latar sosialnya mencerminkan latar sosial tokoh beragama Islam, latar sosial masyarakat yang baik seperti menjalin hubungan baik antar sesama umat yang beragama, bertakziah kerumah orang yang ditimpa musibah, tolong-menolong antar sesama. Latar tempat merupakan latar yang paling dominan digunakan dalam novel ini.

3.     Alur
Untuk alur cerita terdapat alur maju atau dengan kata lain alurnya progresif, dimana peristiwa-peristiwa dikisahkan secara kronologis, peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa selanjutnya, atau secara runtun, cerita dimulai dari tahap awal, tengah, dan akhir. pengarang mula-mula menceritakan peristiwa demi peristiwa. Urutan alur tersebut adalah pengarang mulai melukiskan keadaan, kemudian peristiwa bergerak, lalu peristiwa mulai memuncak, selanjutnya peristiwa mencapai puncak (klimaks) dan akhirnya pengarang menciptakan alternatif penyelesaian.  

4.     Tema
Novel Rinai Kabut Singgalang bertema tentang kasih tak sampai. Cinta Fikri yang tak sampai dengan Rahima, karena Fikri dianggap orang datang tidak beradat dan miskin harta. Kakak Rahima yang bernama Ningsih memisahkan mereka berdua, Rahima dipaksa untuk menikah dengan teman Ningsih lantaran hutang budi. Ningsih rela menjual harga diri adiknya demi mementingkan kehendaknya. Amanatnya adalah kita harus berserah diri kepada Allah dan sabar dalam menghadapi cobaan.

Daftar Pustaka

Atmazaki. 2007. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: UNP Press.
Luxemburg, jan van. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Muhardi, dan Hasanuddin. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: IKIP Padang Press.
Semi, M. Atar. 1984. Anatomi Sastra. Padang: UNP.
Semi, M. Atar. 1993. Metodologi Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa Bandung.
Subhan, Muhammad. 2013. Rinai Kabut Singgalang. Kediri: FAM Publishing.