BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Novel Rinai
Kabut Singgalang merupakan novel pertama yang ditulis oleh Muhammad Subhan.
Dengan gaya bahasa dan gaya pencintraan novel klasik, penulis berhasil
mengenalkan sosok sang tokoh utama dengan berbagai pesan moral yang terdapat
dalam cerita. Bermacam-macam kesulitan yang dilalui tokoh utama dalam cerita
ini, segala kekurangan dan keterbatasan hidup tidak selalu menjadi trgedi
melainkan dapat berbentuk suka cinta. Bermodalan tatabahasa yang sopan dan
santun, tokoh utama berhasil mengatasi segala kesusahan dengan berbagai
pertolongan tokoh lain yang ada didalam cerita yang membuat pembaca belajar
bahwa semua jalan hidup ini adalah dari Tuhan. Apakah hidup hanya diserahkan
kepada kepasrahan dan ketidakberdayaan diri atau hidup harus dipenuhi dengan
perjuangan dan pengharapan atas hasil yang terbaik dalam sejarah manusia.
Muhammad Subhan adalah penulis asal
Aceh yang memiliki darah Minang. Lahir di Sumatra utara tanggal 3 Desember
tahun 1980. Profesi yang dilakoninya adalah sebagai jurnalis. Dia bekerja sebagai
wartawan di sejumlah surat kabar di padang di antaranya; SKM Gelora. Gelar
Reformasi, Media Watch, (2000-2003), Haluan (2004-2010).
Perkara
ekspresi budaya merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Dalam Luxemburg
(96:1989) mengatakan bahwa sebuah teks dikatakan ekspresif apabila fungsi utama
teks itu adalah mengungkapkan perasaan, pertimbangan dan sebagainya dalam diri
seorang pengarang. Dalam ekspresi budaya dapat kita temukan.
Novel
merupakan karya sastra yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih
mendalam dan disajikan dengan halus. Novel yang dihasilkan sastrawan merupakan
alat komunikasi sosial bagi masyarakat yang harus mampu menjadi wadah
penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan. Seorang
sastrawan dalam sebuah karyanya ingin menyampaikan “sesuatu” kepada pembaca,
sesuatu itu dapat berupa pesan, ide, ataupun opini.
Unsur
pembentuk karya sastra terbagi dua yaitu intrinsik dan eksterisik. Menurut
Muhardi dan Masanuddin (1992:20), unsur intrinsik dibedakan menjadi dua macam,
yakni unsur utama dan unsur penunjang atau unsur tambahan. Unsur utama seperti
penokohan, alur dan seting, ketiga unsur ini membentuk tema dan amanat.
Sedangkan unsur penunjang seperti sudut pandang dan gaya bahasa. Atas dasar
tersebut, dari segi struktur, penelitian ini hanya hanya membahas, alur,
penokohan, latar atau seting, tema dan amanat.
Muhardi dan
Hasanuddin (1992:24-26) mengatakan bahwa penokohan termasuk dalam masalah
penamaan, pemeranan, keadaan fisik, keadaan psikis, dan karakter. Bagian-bagian
dari penokohan ini saling berhubungan dalam upaya membangun permasalahan fiksi.
Senada dengan pendapat Muhardi dan Hasanuddin di atas, Atmazaki (2007:102)
menyebutkan bahwa karakter atau tokoh adalah orang yang dilengkapi dengan
kualitas moral dan watak yang diungkapkan oleh apa yang dikatakannya, dialog
serta tindakan yang dilakukannya. Ada dua jenis tokoh dalam sastra naratif,
yaitu tokoh utama dan tokoh sampingan.
Menurut
Muhardi dan Hasanuddin, karakteristik alur dapat dibedakan menjadi konvensional
dan inkonvensial. Alur konvensional adalah jika peristiwa yang disajikan lebih
dahulu selalu menjadi penyebab munculnya peristiwa yang hadir sesudahnya.
Peristiwa yang muncul kemudian, selalu menjadi akibat dari peristiwa yang
diceritakan sebelumnya. Alur inkonvensional adalah peristiwa yang diceritakan
kemudian menjadi penyebab dari peristiwa yang diceritakan sebelumnya atau
peristiwa yang diceritakan lebih dahulu menjadi akibat dari peristiwa yang
diceritakan sesudahnya.
Luxemburg
dalam Atmazaki (2007:99) menyimpulkan bahwa plot/alur adalah konstruksi yang
dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan
kronologis saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku.
Dengan demikian, plot merupakan struktur tindakan yang diarahkan untuk menuju
keberhasilan efek artistik dan emosional tertentu. Fungsi utama plot adalah
agar cerita terasa sebagai cerita yang berkesinambungan dan mempunyai kaitan
yang erat antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain (Atmazaki,
2007:102).
Latar
merupakan penanda identitas permasalahan fiksi yang mulai secara samar
diperlihatkan alur atau penokohan. Latar memperjelas suasana, tempat dan waktu
peristiwa itu berlaku. Latar memperjelas pembaca untuk mengidentifikasikan
masalah fiksi, apakah fiksi mengungkapkan permasalahan tahun 20-an, atau 80-an,
pagi, siang atau malam, di kota atau di desa, di perkampungan atau di hutan,
berhubungan dengan kultur Minangkabau atau Sunda, permasalahan remaja atau
dewasa, dan lain-lain (Muhardi dan Hasanuddin 1992:30).
Unsur-unsur
latar menurut Nurgiantoro (2010:227), yaitu latar tempat, latar waktu, dan
latar sosial. Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu berhubungan dengan masalah
waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu
tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa latar atau seting adalah latar peristiwa dalam
karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa serta memiliki fungsi
fisikal dan fungsi psikologis. Latar atau seting memperjelas pembaca untuk
mengidentifikasi permasalahan fiksi. Secara langsung latar atau setting
berkaitan dengan alur atau penokohan.
Tema adalah
inti permasalahan yang hendak dikemukakan oleh pengarang dalam karyanya. Tema
merupakan hasil kongklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan
dan latar. Amanat merupakan opini, kecenderungan dan visi pengarang terhadap
tema yang dikemukakannya. Amanat dalam sebuah fiksi, bisa saja lebih dari satu,
asalkan semua itu terkait dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik
atau sejalan dengan teknik pencarian tema. Oleh sebab itu, amanat juga
merupakan kristalisasi dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, dan latar
cerita (Muhardi dan Hasanuddin, 1992:38).
BAB II
METODE PENELITIAN
METODE PENELITIAN
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Semi
(1993:23), penelitian kualitatif dilakukan dengan tidak mengutamakan pada
angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi
antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris. Empiris berarti berdasarkan
pengalaman, terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, dan pengamatan
yang telah dilakukan. Berdasarkan tujuan penelitian dan permasalahan, metode
penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik analisis isi.
Penelitian kualitatif dengan metode deskriptif, artinya data yang dianalisis
dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi fenomena, bukan berupa angka atau
koefisien tentang hubungan antar variabel. Penelitian ini dilakukan dengan cara
pengamatan langsung, membaca, memahami, mengidentifikasi, mencatat, dan merangkumkan
data.
Sumber data
penelitian ini adalah novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan yang
diterbitkan oleh penerbit FAM Publishing, pada tahun 2013 dengan 410 halaman.
BAB III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Sinopsis
Dikisahkan,
Maimunah (ibu Fikri), perempuan asal Pasaman (Sumatra Barat) telah dicoret dari
ranji silsilahnya lantaran nekat menikah dengan Munaf (ayah Fikri), laki-laki
asal Aceh. Munaf dianggap sebagai “orang-datang”, “orang di pinggang”, “orang
yang tak berurat-berakar”. Menerima laki-laki itu sama saja dengan mencoreng
kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah melarikan diri ke Medan
dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf—pemuda yang dicintainya—di kota itu.
Setelah menikah, Maimunah tinggal di Aceh, dan tak pernah kembali pulang ke
Pasaman. Sementara itu, orangtua Maimunah hidup berkalang malu, sakit-sakitan,
dan akhirnya meninggal dunia. Safri, kakak kandung Maimunah bahkan sampai
mengalami gangguan jiwa (gila), lantaran menanggung aib karena ulah adiknya
melawan adat.
Luka serupa
kelak juga dialami Fikri. Fikri merantau ke Padang, karena ia bercita-cita
hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Sebelum ke Padang, Fikri
mencari mamaknya (paman) di Kajai, Pasaman. Di kampung asal ibunya itu, Fikri
sempat merawat Safri pamannya yang mengidap penyakit selepas kepergian Maimunah
ke Aceh—dan karena itu ia dipasung di tengah hutan. Namun akhirnya Mak Safri
tewas dibunuh akibat suatu perkelahian. Fikri pun meninggalkan Kajai, hijrah ke
Padang. Semasa di Padang, Fikri bertemu dengan Rahima, yang kemudian menjadi
kekasih pujaannya. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan. Keluarga
Rahima—utamanya Ningsih (kakak Rahima)—bulat-bulat menolak pinangan Fikri,
lagi-lagi dengan alasan: Fikri “orang-datang”, “orang di pinggang”.
Remuk-redamnya
perasaan Fikri bersamaan dengan luluhlantaknya Aceh, tanah asal Fikri, selepas
mega bencana Gempa dan Tsunami (2004). Annisa, adik kandungnya digulung
gelombang besar, rumah tempat ia dibesarkan tak bisa ditandai lagi titiknya.
Ibu-bapaknya telah meninggal sebelum bencana. Fikri hidup sebatangkara. Dan,
begitu kembali ke Padang, persoalan berat sudah menunggunya. Betapa tidak?
Rahima telah dijodohkan dengan laki-laki lain. Akhirnya perempuan itu diboyong
Ningsih ke Jakarta. Sementara di Padang, Fikri terpuruk dalam kesendirian,
dalam keterpiuhan perasaan lantaran pengkhianatan cinta. Belakangan, Fikri
mendengar kabar, Ningsih menjodohkan adiknya (Rahima) dengan laki-laki lain
ternyata atas dasar hutang budi. Kabar ini membuat Fikri semakin karam di kerak
kepedihan.
Atas luka yang
ditanggungkannya, Fikri sempat berkeinginan menenggelamkan dirinya ke laut.
Tapi seorang sahabatnya Yusuf selalu hadir di saat ia berada pada titik
kulminasi kejenuhan hidup. Yusuf-lah yang selalu memberikan semangat hingga
Fikri mampu bangkit dari keterpurukan hidupnya. Di akhir kisahnya, Fikri
digambarkan sebagai laki-laki yang terlahir kembali. Ia menjadi pengarang
tersohor, bahkan salah satu novelnya difilmkan. Ia dipuja banyak orang. Kabar
tentang keberhasilan Fikri itu membuat Ningsih (orang yang telah memisahkannya
dengan Rahima), tak segan-segan menjilat ludah sendiri. Pada saat yang sama,
Rahima sedang tertimpa masalah; suaminya menjadi tersangka korupsi, dan bunuh
diri di penjara.
Sejatinya,
rasa cinta Fikri pada Rahima tiada bakal punah, meski pengkhianatan itu sukar
ia lupakan. Atas dasar itu pula Fikri memenuhi undangan Ningsih untuk datang ke
Jakarta ketika Rahima yang telah menjanda mengalami sakit keras. Ningsih,
hendak mempertemukan kembali “kasih tak sampai” yang telah membuat
perasaan Fikri-Rahima tercabik-cabik. Namun, kisah novel ini disudahi
dengan cara sangat tragis, kepulangan Ningsih, Rahima, dan Fikri ke Padang
ternyata bukan kepulangan yang membahagiakan. Pesawat yang mereka tumpangi
tergelincir. Rahima selamat, tapi Fikri mengalami geger-otak, dan karena itu ia
merasa tak memenuhi syarat lagi untuk menjadi suami Rahima. Ia meminta sahabat
karibnya, Yusuf, untuk menikahi Rahima. Saat ijab-kabul pernikahan itu
berlangsung, Fikri menghembuskan napas penghabisan. Atas permintaan Fikri,
jasadnya dikubur di kaki gunung Singgalang yang selalu dijatuhi rinai dan
kabut. Meski telah sah menjadi suami istri, Yusuf tak pernah menyentuh Rahima,
perempuan itu tetap suci. Tiga bulan kemudian, Rahima menghembuskan napas
terakhirnya setelah menderita suatu penyakit. Ia bermohon kepada Yusuf agar
menguburkannya di samping pusara fikri.
B. Struktural
1. Tokoh
Tokoh utama : Fikri
Memiliki sifat tauladan yang
baik. Dengan tutur bahasa yang sopan dan santun dalam cerita, tokoh utama
memperlihatkan kewibawaannya dan pantang menyerah untuk menggapai cita-citanya.
Namun Fikri memiliki hati yang rapuh dan mudah merasa sedih.
Tokoh Sampingan :
-
Maimunah (Ibu Fikri)
Sayang terhadap
anaknya. Rela bekorban banting tulang membantu suami untuk membiayai kehidupan
keluarga.
-
Munaf (Ayah Fikri)
Menginginkan
anaknya sekolah setinggi-tingginya dan melihat anaknya menjadi orang yang
berguna bagi orang lain.
-
Anisa (Adik Fikri)
Anak yang
berbakati terhadap orang tua. Merawat ibunya Maimunah yang sakit-sakitan
setelah ditinggal mati suamainya.
-
Mak Tuo (Bibi Maimunah) dan Mak Bujang (Sepupu
Maimunah)
Tokoh yang
merawat dan memberi tempat tinggal Fikri di kampung halaman Ibunya. Menyanyangi
Fikri seperi anak kandungnya sendiri.
-
Mak Safri (Mamak Fikri)
Kakak kandung
Ibu Fikri, yang sewaktu kecil sangat menyanyangi Maimunah.
-
Yusuf (Sahabat Fikri)
Tokoh
masyarakata kampung halaman ibu Fikri yang berani melawat tokoh masyarakat lain
saat akan menyelakai Fikri. Berjiwa besar selalu mendampingi Fikri kemana saja.
Salah satu tokoh yang sangat mempengarui kesuksesan Fikri.
-
Bu Rohana dan Pak Usman
Tokoh yang
merawat dan memberi tempat tinggal Fikri di Padang dan menyanyangi Fikri
seperti anak kandungnya.
-
Bu Aisyah
Sosok penyelaman
Fikri saat tinggal di Padang. Menyanyai Fikri. Memiliki jiwa yang sangat peduli
terhadap lingkungan sekitar.
-
Rahima
Kekasih Fikri.
Anak Bu Aysaha. Wanita yang berhati mulia dan rapuh. Mudah merasa sedih,
Penurut dan patuh.
-
Ningsi
Tokoh
Antargonis. Mementingkan diri sendiri tanpa melihat akibatnya bagi orang lain.
Namun juga mimiliki hati yang rapuh, merasa bersalah dan merasa menyesal.
2. Latar
Secara umum
novel Rinai Kabut Singgalang belatar di Padang, di rumah gadang Kajai Pasaman,
di Bukittinggi, dan di Koto Baru Padangpanjang yang merupakan latar tempat.
Latar waktu yang terdapat dalam novel ada siang, malam, seminggu, dua minggu,
sebulan, dua bulan, kemudian latar sosialnya mencerminkan latar sosial tokoh
beragama Islam, latar sosial masyarakat yang baik seperti menjalin hubungan
baik antar sesama umat yang beragama, bertakziah kerumah orang yang ditimpa
musibah, tolong-menolong antar sesama. Latar tempat merupakan latar yang paling
dominan digunakan dalam novel ini.
3. Alur
Untuk alur
cerita terdapat alur maju atau dengan kata lain alurnya progresif, dimana
peristiwa-peristiwa dikisahkan secara kronologis, peristiwa pertama diikuti
oleh peristiwa selanjutnya, atau secara runtun, cerita dimulai dari tahap awal,
tengah, dan akhir. pengarang mula-mula menceritakan peristiwa demi peristiwa.
Urutan alur tersebut adalah pengarang mulai melukiskan keadaan, kemudian
peristiwa bergerak, lalu peristiwa mulai memuncak, selanjutnya peristiwa
mencapai puncak (klimaks) dan akhirnya pengarang menciptakan alternatif
penyelesaian.
4. Tema
Novel Rinai
Kabut Singgalang bertema tentang kasih tak sampai. Cinta Fikri yang tak sampai
dengan Rahima, karena Fikri dianggap orang datang tidak beradat dan miskin
harta. Kakak Rahima yang bernama Ningsih memisahkan mereka berdua, Rahima
dipaksa untuk menikah dengan teman Ningsih lantaran hutang budi. Ningsih rela
menjual harga diri adiknya demi mementingkan kehendaknya. Amanatnya adalah kita
harus berserah diri kepada Allah dan sabar dalam menghadapi cobaan.
Daftar Pustaka
Atmazaki.
2007. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan.
Padang: UNP Press.
Luxemburg, jan
van. 1989. Pengantar Ilmu Sastra.
Jakarta: PT Gramedia.
Muhardi, dan
Hasanuddin. 1992. Prosedur Analisis Fiksi.
Padang: IKIP Padang Press.
Semi, M. Atar.
1984. Anatomi Sastra. Padang: UNP.
Semi, M. Atar.
1993. Metodologi Penelitian Sastra.
Bandung: Angkasa Bandung.
Subhan,
Muhammad. 2013. Rinai Kabut Singgalang.
Kediri: FAM Publishing.
0 Comments: