A. Latar Belakang
Puisi adalah salah satu genre atau jenis sastra. Seringkali istilah “puisi” disamakan dengan “sajak”. Akan tetapi, sebenarnya tidak sama, puisi itu merupakan jenis sastra yang melingkupi sajak, sedangkan sajak adalah individu puisi. Dalam istilah bahasa Inggrisnya puisi adalah poetry dan sajak adalah poem. Memang, sebelum ada istilah puisi, istilah sajak untuk menyebut juga jenis sastranya (puisi) ataupun individu sastranya (sajak) (Pradopo, 2010: 278).
Pada dasarnya puisi dibentuk atas dua bangunan pokok yaitu bangunan luar dan dalam puisi itu sendiri. Bangunan luar puisi ialah bangunan atau bentuk teks itu sendiri yang terdiri dari pemilihan kata atau diksi, klause, atau kalimat, dan irama atau bangunan ini dipahami sebagai bangunan yang nampak oleh pembaca. Sedangkan bangunan dalam puisi adalah bangunan puisi yang tersembunyi atau bangunan puisi yang perlu dicari oleh pembaca dengan mengerahkan pengetahuannya yang berkaitan dengan konvensi bahasa dan sastra serta latar belakang puisi itu muncul. Bangunan dalam puisi ini terdiri dari tema, amanat, dan makna yang dimaksud oleh puisi tersebut.
Sehingga pengkajian puisi tidak hanya mengkaji keindahan bentuk luar puisi saja melainkan mengkaji bentuk luar dan dalam puisi. Tentu untuk mengetahui bentuk dalam puisi pembaca atau peneliti hendaknya menguasai bentuk luar puisi terlebih dahulu. Dalam hal ini, teori untuk mengkaji puisi sangat banyak. Teori-teori yang mengkaji puisi ini ada yang bercorak strukturalis, semiotik, dan sebagainya. Namun penelitian ini akan mengkaji puisi menggunakan corak semiotik terlebih khusus semiotika Michael Riffaterre.
Teori semiotik Riffaterre ini mengkaji isi dalam puisi dengan terlebih dulu mengakaji bentuk luar puisi atau disebut dengan tahap pembacaan heuristik. Tahap pembacaan heuristik ini mengkaji teks puisi sesuai dengan mengkaji bentuk bahasa yang digunakan puisi secara harfiah atau membongkor sisi kebahasaan puisi tersebut. Setelah membongkar sisi kebahasaan puisi secara harfiah, maka pengkajian puisi dilanjutkan dengan tahap hermeunetik yang berusaha mencari jiwa puisi. Pada tahap ini, perlu dicari empat hal yakni hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matrik.
Penelitian kali ini, yang menggunakan teori semiotika Riffaterre sebagai objek formalnya akan mengkaji kumpulan puisi Nyanyian Anak Cucu karya Upita Agustine. Dengan latar belakang penulis seorang tokoh perempuan Minangkabau yang bergelut dalam tiga sisi, yaitu sebagai seorang Bundo Kanduang, seorang Penyair, dan seorang Ilmuwan ini bahwasanya akan menghasilkan suatu karya yang tidak akan lepas dari latar belakang seorang penulis.
Reno Raudhatuljannah Thaib atau lebih dikenal dengan nama penyair Upita Agustine adalah salah seorang penulis Minangkabau yang menulis karya sastra dengan bersandar pada kekayaan budaya lokal. Penyair yang dilahirkan pada tanggal 31 Agustus 1947 di Pagaruyung, Batu Sangkar, Sumatera Barat ini, termasuk salah seorang penyair perempuan yang sangat produktif. Beberapa karya puisinya pernah muncul dalam antologi yang diterbitkan oleh penerbit dari dalam maupun luar negeri, seperti Laut Biru Langit Biru (1977), Antologi Puisi Modern Indonesia: Tonggak 3 (1986), Jurnal Puisi Melayu Perisa I (1993), Antologi Puisi Indonesia (1997), Aceh Mendesah Dalam Nasfasku: Bunga Rampai Menyemai Bumi Tumpah Darah (1999), dan Sembilan Kerlip Cermin Perempuan Penyair Indonesia (2002). Ia juga pernah menerbitkan kumpulan puisi, seperti Terlupa dari Mimpi (1986), Selection of Poems by Raudha Thaib; with Translation and Commentaries, Indonesian and Malay Studies, SOAS (1990), dan Nyanyian Anak Cucu: Kumpulan Puisi 1967– 1999 (2000). Pada tulisan ini dibicarakan sajaksajak Upita yang terdapat dalam Nyanyian Anak Cucu: Kumpulan Puisi 1967–1999 terbitan Angkasa Bandung (2000).
Keberadaan karya sastra tidak terlepas dari adanya hubungan timbal balik antara pengarang, masyarakat, dan pembaca. Oleh karena itu, penelitian ini terkait dengan aspek budaya Minangkabau dalam kumpulan puisi Nyanyian Anak Cucu karya Upita Agustine.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana aspek budaya Minangkabau dalam kumpulan puisi Nyanyian Anak Cucu karya Upita Agustine
C. Tujuan Penelitian
Mendeskripsikan aspek budaya Minangkabau yang disampaikan pengarang dalam dalam kumpulan puisi Nyanyian Anak Cucu karya Upita Agustine
D. Manfaat
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan dalam pembelajaran bidang bahasa dan sastra. Khususnya tentang aspek budaya dalam kumpulan puisi.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami makna isi dalam kumpulan puisi Nyanyian Anak Cucu karya Upita Agustine terutama menguraikan cara pandang pengarang yang direpresentasikan dalam karyanya, terkait dengan aspek budaya Minangkabau yang ada dalam kumpulan puisi.
E. Tujuan Pustaka
Tinjauan pustaka sangat penting dilakukan oleh seorang peneliti sebelum melakukan penelitian. Sebagaimana terkait denga semiotik Riffaterre dalam kumpulan puisi Nyanyian Anak Cucu karya Upita Agustine, tinjauan pustaka dilakukan supaya peneliti mengetahui apakah objek penelitian yang akan dilakukan pernah diteliti atau belum. Sejauh ini sepengetahuan peneliti, penelitian terhadap kumpulan puisi Nyanyian Anak Cucu karya Upita Agustine belum ada yang meneliti. Akan tetapi penelitian dengan objek formal yang sama sudah banyak. Adapun penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan antara lain :
1. Skripsi yang mengkaji puisi berjudul Semiotika Riffaterre: Kasih Sayang Pada Puisi An Die Freude Karya Johann Christoph Friedrich Von Schiller
2. Jurnal yang mengkaji puisi berjudul "Aku" dalam Semiotika Riffaterre Semiotika Riffaterre dalam "Aku
3. Dan masih banyak yang lain.
F. Landasan Teori
Karya sastra hadir dalam dua bentuk, yakni sastra lisan dan sastra tulis. Teeuw mengemukakan bahwa sastra tulis tidak mengemukakan komunikasi secara langsung antara pencipta dan pembaca sedangkan sastra lisan biasanya berfungsi sebagai sastra yang dibacakan atau yang dibawakan bersama-sama.
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini berpandangan bahwa fenomena sosial dan budaya pada dasarnya merupakan himpunan tanda-tanda. Semiotik mengkaji sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti. Dua tokoh penting perintis ilmu semiotika modern, yaitu Charles Shanders Peirce (139-1914) dan Ferdinand De Saussure (1857-1913) mengemukakan beberapa pendapat mereka mengenai semiotik. Saussure menampilkan semiotik dengan membawa latar belakang ciri-ciri linguistik yang diistilahkan dengan semiologi, sedangkan Pierce menampilkan latar belakang logika yang diistilahkan dengan semiotik. Pierce mendudukkan semiotik pada berbagai kajian ilmiah. Dalam penelitian ini, konsep semiotik yang akan digunakan adalah konsep yang didasarkan pada pemikiran Riffaterre. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa konsep semiotik yang dikembangkan oleh Riffaterre, peneliti anggap lebih tepat diterapkan dalam penelitian ini.
Terkait Puisi, Riffaterre menganggap bahwa sebenarnya ia merupakan suatu aktivitas bahasa. Dalam puisi ada ‘sesuatu’ yang ingin disampaikan, ada pesan yang ingin diungkapkan. Dengan kata lain, puisi berbicara tentang ‘sesuatu’ tertentu. Akan tetapi, dalam menyampaikan atau membicarakan sesuatu tersebut, puisi menggunakan maksud yang lain, puisi berbicara secara tidak langsung. Sebenarnya bahasa yang digunakan dalam puisi pun adalah bahasa sehari-hari. Namun demikian, tatanan dan ‘bentuk’ penghadiran bahasa puisi berbeda dengan bahasa umum sehari-hari. Dalam kaitannya dengan konsep estetik bahasa puisi, Riffattere (1978:1) mengungkapkan ada satu ciri penting dalam puisi, yaitu bahwa “puisi mengekspresikan konsep-konsep dan benda-benda secara langsung. Sederhananya, puisi mengatakan satu hal dengan maksud hal lain.” Hal ini pula yang membedakan bahasa puisi dengan bahasa umum, bahasa sehari-hari.
Ada tiga hal yang memengaruhi terjadinya keberbedaan wujud atau penggunaan bahasa dalam puisi dengan penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, yang menimbulkan ketidaklangsungan semantik dalam puisi. Ketiga hal tersebut seperti diungkapkan Riffaterre (1978:2) adalah pertama penggantian arti (displacing of meaning), kedua pemencongan atau penyimpangan atau perusakan arti (distorting of meaning), dan ketiga adalah penciptaan arti (creating of meaning). Riffaterre selanjutnya menjelaskan bahwa displacing terjadi manakala suatu tanda bergeser dari makna yang satu ke makna yang lain, manakala suatu kata “mewakili” kata yang lain. Pada perilaku ini bisaanya terjadi oleh adanya perilaku metafora dan metonimi. Distorting terjadi disebabkan oleh adanya ambiguitas, kontadiksi, ataupun nonsense. Sedangkan creating terjadi disebabkan oleh adanya pengorganisasian ruang teks. Dengan kata lain, creating of meaning terjadi ketika ruang (kosong) tekstual berfungsi sebagai suatu prinsip organisasi untuk membuat tanda-tanda dari unsur-unsur linguistik yang mungkin tidak bermakna, seperti misalnya simetri, rima, atau ekuivalensi semantik antara homolog-homolog dalam suatu stanza. Pradopo menyebutkan bahwa penciptaan arti disebabkan oleh adanya pengorganisasian ruang teks, yang di antaranya melalui enjambemen, sajak, tipografi, dan homolog.
Sebagai ekspresi bahasa, puisi hanya dapat dipahami oleh pembaca yang memahami atau menguasai konvensi bahasa. Tanpa adanya penguasaan terhadap konvensi suatu bahasa, pembaca (puisi) tidak mungkin dapat (atau akan mengalami kesulitan) menangkap pesan yang ada di baliknya. Sebagai fenomena sastra, bagaimanapun puisi merupakan suatu dialektika antara teks dengan pembaca. Puisi pun hakikatnya adalah sebuah teks, yaitu suatu satuan yang tertutup. Kaitannya dengan bahasan di atas adalah bahwa seorang pembaca puisi, dalam arti untuk dapat menangkap makna atau pesan, harus dapat membongkar bentuk-bentuk ketidaklangsungan semantik yang ada dalam puisi.
Semiotik Riffaterre lebih mengkhususkan pada analisis puisi. Kumpulan puisi Nyanyian Anak Cucu karya Upita Agustine adalah salah satu jenis puisi lama, oleh karena itu pendekatan semiotik yang lebih tepat digunakan adalah pendekatan semiotik Riffaterre. Berkaitan dengan hal tersebut, seorang pembaca (reader) harus bergerak maju, lebih jauh, pada pembacaan yang didasarkan pada konvensi sastra. Riffattere menyebut untuk istilah ini dengan pembacaan hermeneutic, yaitu pembacaan menurut sistem semiotik tingkat kedua atau second order semiotik system. Pembacaan hermeneutik disebut juga sebagai pembacaan retroaktif. Pembacaan ini diperlukan sebagai langkah solusi untuk melewati rintangan yang muncul pada tahap pembacaan yang pertama, yaitu pembacaan heuristik. Rintangan tersebut sebenarnya adalah berupa penyimpangan kode bahasa, penyimpangan dari makna bisaa menjadi makna yang ‘tidak bisa’ pada bahasa puisi. Untuk istilah ini menyebutnya dengan sebutan ungramatikalitas (ungrammaticality) Ungramatikalitas adalah merupakan salah satu bentuk distorsi pada representasi literer atas realitas atau mimesis yang hadir pada ketidaklangsungan semantik puisi. Ada hal lain memang, sebagai bentuk ancaman representasi literer terhadap realitas ini, yaitu pengubahan secara visible dan persisten atas representasi dengan suatu cara yang tidak konsisten atau dengan apa yang diharapkan oleh pembaca. Maka, jika pada tahap pembacaan heuristik seorang pembaca akan (masih) mengalami sandungan serta memiliki pemahaman yang (cenderung) beraneka-ragam, melalui pembacaan hermeneutik ini seorang pembaca akan dapat memeroleh kesatuan makna puisi yang dibacanya.
Riffattere mengungkapkan ciri dasar mimesis adalah produksi rangkaian semantik yang selalu berubah. Hal ini dipengaruhi oleh representasi itu didirikan di atas referensial bahasa, yaitu di atas relasi langsung antara kata-kata (sebagai bentuk atau referensial bahasa) dengan benda tertentu. Hal ini tentu erat kaitannya dengan teks. Sementara itu, teks sendiri selalu melakukan pelipatgandaan detail-detail dan kemudian mengubah fokusnya demi mencapai kesamaan agar dapat diterima dengan realitas. Hal ini tentu mengingat sifat realitas itu sendiri yang sangatlah kompleks. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya mimesis itu merupakan variasi dan multiplisitas.
Selanjutnya, ciri khas puisi adalah kesatuan, baik kesatuan formal maupun kesatuan semantik. Maka dengan demikian, komponen-komponen puisi yang menunjuk pada ‘sesuatu yang lain’ tentu saja akan menjadi sesuatu yang konstan, yang tetap dan tidak akan berubah. Dengan melihat ciri ini maka jelaslah bahwa komponen-komponen di dalam puisi ini berbeda dengan mimesis. Kesatuan formal dan semantik itu kemudian disebut sebagai signifikansi.
Jika Riffattere mengibaratkan puisi dengan donat, dengan komponen strukturnya daging donat dan ruang kosong yang menopang donat sebagai dua komponen yang tak terpisahkan, saling mendukung dan saling memberi arti, yang mana justru ruang kosong yang ada di bawah atau di dalam daging donat itulah yang kemudian menopang arti dia disebut sebagai donat. Maka demikian pula dengan puisi, ruang kosong dalam puisi, sesuatu yang tidak hadir dalam teks puisi, tetapi (justru) sebenarnya dialah yang menopang lahir dan ada atau dapat disebutnya sebagai puisi itulah tujuan ‘sesuatu’ yang harus dicapai dalam ‘pembacaan’ puisi. Apa sebab? Di sanalah sebenarnya makna puisi yang dikaji berada. Dialah yang menentukan terbentuknya puisi, menentukan makna puisi.
Riffattere memandang karya sastra sebagai suatu bentuk respons atas karya sastra lain, maka kemudian yang penting dalam analisis atau pencapaian makna puisi adalah respon puisi tersebut. Tugas pembaca adalah menemukan dan menafsirkan response yang terkandung dalam puisi tersebut (Teuuw 1983). Satu prinsip yang penting dalam kaitan dengan ini, yang diungkapkan oleh Riffattere adalah prinsip intertekstualitas: bahwa karya sastra memiliki hubungan dengan karya yang lain. Seorang pembaca puisi akan dapat memperoleh makna puisi secara lengkap (penuh) atas puisi yang dibacanya jika dapat menemukan hubungan (pertentangan)-nya suatu karya sastra dengan karya sastra yang lain. Untuk hal ini Riffattere menyebutnya dengan istilah hipogram. Hipogram ini merupakan latar penciptaan karya sastra itu sendiri; merupakan tulisan dasar untuk penciptaan baru, dengan memutarbalikan esensi, amanat karya sebelumnya. Teeuw (1983: 65) menyebutkan bahwa latar penciptaan karya sastra bisa meliputi masyarakat, perstiwa dalam sejarah, ataupun alam dan kehidupan. Satu hal yang perlu dicermati oleh pambaca sastra adalah bahwa intertekstualitas sama sekali tidak perlu berdasarkan niat eksplisit atau kesengajaan seorang penyair; bahkan seringkali seorang penyair tidak menyadari hipogram yang menjadi latar karyanya.
Lebih lanjut Riffaterre membedakan hipogram menjadi dua macam, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial adalah hipogram-hipogram yang tampak, yang terkandung dalam bahasa yang digunakan dalam karya sastra, segala bentuk implikasi dari makna kebahasaan yang telah kita pahami. Hipogram ini bisa berbentuk presuposisi, sistem deskripsi, makna konotasi, dan lain-lain. Untuk mengetahui bentuk implikasi tersebut kita tidak perlu mencarinya dalam kamus. Kita tentu saja tidak dapat menemukannya di dalam kamus, melainkan sebenanya bentuk implikasi tersebut telah ada dalam pikiran kita masing-masing. Sementara hipogram aktual adalah hipogram yang berupa teks-teks yang telah dihadirkan sebelumnya.
Seperti halnya hipogram dari atau dalam puisi, yang berupa ruang kosong yang menopang terbentuknya puisi, maka hakikatnya ruang kosong dalam puisi itu, sesuatu yang tidak hadir secara tekstual tetapi merupakan penopang adanya puisi, itu sesungguhnya adalah pusat makna dari sebuah puisi. Dengan demikian kita bisa mengetahui justru betapa penting ruang kosong, sesuatu yang tidak dihadirkan secara tekstual dalam puisi itu, karena ia adalah pusat makna yang akan dan penting untuk ditemukan. Riffaterre menyebut pusat makna ini sebagai matriks. Oleh karena matriks ini tidak pernah hadir di dalam teks, maka tentu saja kita tidak dapat menemukannya, melihatnya dalam teks-teks puisi. Sesuatu yang dapat kita lihat dalam teks puisi hanyalah aktualisasi, yaitu model sebagai bentuk aktualisasi pertama dari matriks tersebut, yang ini pun masih akan diaktualisasi ke dalam bentuk aktualisasi kedua yaitu varian.
Oleh karena matriks, seperti halnya hipogram, adalah ruang kosong, pusat makna yang mesti kita temukan, sementara kita tidak dapat menemukannya dalam teks-teks puisi, melainkan hanya aktualisasinya, maka dengan demikian untuk dapat menemukan atau menangkap pusat makna ini mau tidak mau kita harus melakukan langkah pemaknaan dengan tahap-tahap pembacaan aktualisasi-aktualisasi tersebut. Dari langkah kerja tersebut akhirnya kita bisa menangkap makna serta hipogram dari puisi yang kita kaji.
G. Metode
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian menurut penggukuran dan analisis data penelitiannya yang akan penelitia lakukan adalah penelitian kualiatis. Penelitian ini pula termasuk jenis penelitian studi kepustakaan, yaitu mengadakan penelitian dengan cara mempelajari dan membaca literatur-literatur yag ada hubungannya dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu data perimer dan data sekunder. Data primer yang digunakan dalam peneltian ini yaitu: Kumpulan puisi Nyanyian Anak Cucu karya Upita Agustine. Sedangkan data sekundernya adalah berbagai macam buku, jurnal, skripsi, dan literatur lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian.
3. Metode nalisis
Peneliti menggunakan teori semiotik Riffaterre dalam menganalisis puisi akan menjalani dua langkah yakni pembacaan heuristik dan hermeunetik. Pembacaan heuristik adalah menggunakan media kamus bahasa sebgaia alat bantunya. Kemudian pembacaan hermeunetik adalah membaca puisi dengan menjelaskan dengan cara mnegungkapkan hipoggram potensial, aktual, model, dan matriks.
H. Sistematika Pembahasan
Untuk mendapatkan sebuah tulisan yang sistmatis dan mudah dipahami oleh pembaca, penulis membagi pembahasan ke dalam empat bab. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut :
BAB I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika pembahsan.
BAB II berisi biografi Upita Agustine dan karyanya.
BAB III berisi analisis kumpulan puisi Nyanyian Anak Cucu karya Upita Agustine. yang dianalisis dengan menggunakan teori semiotik riffaterre.
BAB IV penutup terdiri dari kesimpulan penelitian dan saran yang menjadi perhatian untuk pembaca dan peneliti selanjutnya agar lebih baik lagi dalam menghasilkan karya.
I. Kepustakaan
Agustine, Upita. 2000. Nyanyian Anak Cucu: Kumpulan Puisi 1967-1999. Bandung: Angkasa
Ratih, Rina. 2016. Teori dan Aplikasi Semiotik Michael Riffaterre. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra ;Pengantar Teori. Jakarta Pusat. Pustaka Jaya
0 Comments: