2020-10-26

Analisis Struktural Novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan

BAB I
PENDAHULUAN

Novel merupakan karya sastra yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Novel yang dihasilkan sastrawan merupakan alat komunikasi sosial bagi masyarakat yang harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan. Seorang sastrawan dalam sebuah karyanya ingin menyampaikan “sesuatu” kepada pembaca, sesuatu itu dapat berupa pesan, ide, ataupun opini. Analisis terhadap karya sastra penting dilakukan untuk mengetahui relevansi karya sastra dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat pada dasarnya mencerminkan realita sosial dan memberikan pengaruh terhadap masyarakat. Adapun cara menganalisis novel melalui pendekatan strukturalisme. Pendekatan ini dipandang lebih obyektif karena hanya berdasarkan sastra itu sendiri. Tanpa campur tangan unsur lain, karya sastra tersebut akan dilihat sebagaimana cipta estetis (Suwardi, 2011:51 ).

Struktur berasal dari kata structura (bahasa latin) yang berarti bentuk atau bangunan. Strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur yaitu struktur itu sendiri dengan mekanisme antar hubungannya, Hubungan unsur yang satu dengan yang lainnya, dan hubungan antar unsur dengan totalitasnya. Strukturalisme sering digunakan oleh peneliti untuk menganalisis seluruh karya sastra, dimana kita harus memperhatikan unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Struktur yang membangun sebuah karya sastra sebagai unsur estetika dalam dunia karya sastra antara lain: alur, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, tema dan amanat (Ratna, 2004 : 19-94).

Pendekatan strukturalisme murni hanya berada di seputar karya sastra itu sendiri. Prinsipnya jelas : analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, sedetail, dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh ( Teeuw, 1984:135 ).

Dalam lingkup karya fiksi, Stanton ( 1965: 11-36, dalam Drs. Tirto Suwondo, Metodologi Penelitian Sastra, 2001:56 ) mendeskripsikan unsur-unsur struktur karya sastra seperti berikut. Unsur-unsur pembangun struktur terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Fakta cerita itu sendiri terdiri atas alur, tokoh, dan latar; sedangkan sarana sastra biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa dan suasana, simbol-simbol, imaji-imaji, dan juga cara-cara pemilihan judul. Di dalam karya sastra, fungsi sarana sastra adalah memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna karya sastra itu dapat dipahami dengan jelas.

Oleh karena itu, saya menganalisis novel Rinal Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan  dengan menggunakan beberapa unsur intrinsik, yaitu : tema, alur, tokoh, penokohan, setting atau latar, dan sudut pandang.  Penjelasannya akan saya sajikan per bagian agar jelas dan dapat dipahami.

 

BAB II
PEMBAHASAN

Latar

Latar merupakan penanda identitas permasalahan fiksi yang mulai secara samar diperlihatkan alur atau penokohan. Latar memperjelas suasana, tempat dan waktu peristiwa itu berlaku. Latar memperjelas pembaca untuk mengidentifikasikan masalah fiksi, apakah fiksi mengungkapkan permasalahan tahun 20-an, atau 80-an, pagi, siang atau malam, di kota atau di desa, di perkampungan atau di hutan, berhubungan dengan kultur Minangkabau atau Sunda, permasalahan remaja atau dewasa, dan lain-lain (Muhardi dan Hasanuddin 1992:30).

Unsur-unsur latar menurut Nurgiantoro (2010:227), yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu berhubungan dengan masalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.

Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; latar sosial; dan latar suasana.

latar tempat

terdapat banyak latar tempat yang dapat dipaparkan dalam novel ini, namun dalam analisi ini hanya latar tempat yang paling dominan atau berpengaruh dalam cerita yang akan saya ditulis yaitu

Aceh dalam kutipan bukunya “Di sebuah kampung kecil pesisir pantai Aceh Utara.” (Subhan, 2013:2)

Kajai Pasaman dalam kutiapan bukunya “ ia tiba di bumi Pasaman meski ia harus menumpang bus lagi agar dapat ke kampung halaman ibu kandungnya di Kajai.” (Subhan, 2013:39)

Padang dalam kutipan bukunya “Bus yang ditumpangi Fikri terus masuk ke terminal ditengah Kota Padang.” (Subhan, 2013:139)

Jakarta dalam kutipan bukunya “Kota Jakarta sangat teriknya siang itu.” (Subhan, 2013:300)

Buklittinggi dalam kutipan  bukunya “Fikri berangkat ke Bukittinggi,” (Subhan, 2013:318)

 

Latar Waktu

Untuk latar waktu penulis lebih banyak pada siang hari yaitu ketika tokoh utama menceritakan keelokan alam minangkabau pada toko utama berkeling sumatara barat, berada dikampung ibunya dan segala aktifitas di kota padang, jakarta, bukittinggi, aceh lebih dominan disiang hari. Seperti kutipan “Matahari pelahan naik” (Subhan, 2013:23), “Pagi itu langit tampak sangat indah” (Subhan, 2013:84), “Siang itu” (Subhan, 2013:171),

 

LATAR SOSIAL BUDAYA

Untuk latar sosial budaya penulis memakai budaya adat Minangkabau. Dapat dilihat dari latar ceritanya daerah Sumatera Barat dan tokoh utamanya Fikri keturanan Minang. Seperti kutiapan “Sebenrnya, Maimunah, ibu Fikri, Keturunan Minang.” (Subhan, 2013:18)

 

Latar Suasana

Untuk latar suasana penulis lebih dominan suasana sedih karena dalam cerita tokoh utaman selalu mengalami musibah seperti meninggalnya ayah Fikri “ia menangisi kepergian ayahnya” (subhan, 2013:7), meninggalnya Mak Safri “Mamakk..!!! Terdengarlah raungan anak muda itu” (Subhan, 2013:97), meninggalnya ibu Fikri, Adik Fikri, Bu Aiysah dan juga kisah cinta Fikri yang tidak direstui.

 

2.      Alur atau Plot

Alur adalah sambung-sinambungnya peristiwa berdasarkan sebab akibat. Alur tidak hanya mengemukakan dan menunjukkan mengapa peristiwa itu terjadi melainkan juga mengemukakan dan menunjukan akibat peristiwa itu terjadi. Jadi, alur adalah struktur gerak yang terdapat dalam suatu cerita atau sebuah konstruksi yang dibuat pengarang yang secara logik dan kronologik saling berkaitan yang diakibatkan atau dialami pelaku (Luxemburg, 1984 : 149). Setiap karya sastra tentu saja memunyai kekhususan rangkaian cerita. Namun, ada beberapa unsur yang ditemukan pada hampir semua cerita. unsur-unsur tersebut merupakan pola umum alur cerita.

Pola bagian awal adalah paparan. Paparan itu sendiri adalah penyampaian informasi pada pembaca, disebut juga eksposisi. Dalam paparan ini, rangkaian peristiwa lebih dominan disajikan secara kronologis, yaitu urutan peristiwa. Jika dalam penyajian cerita disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya maka cerita tersebut terdapat sorot balik (flash back). Pola kedua adalah pertikaian, perumitan, dan klimaks. Pertikaian adalah perselisihan yang timbul akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan. Perkembangan dari gejala pertikaian menuju klimaks cerita disebut perumitan. Perumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima seluruh dampak dari klimaks.. Pola bagian terkhir adalah peristiwa yang menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah penyelesaian.

Pada umumnya alur itu dibedakan menjadi dua, yaitu alur maju dan alur mundur. Alur maju adalah alur yang menyajikan rangkaian peristiwa yang urutannya sesuai dengan urutan waktu kejadian, dimulai dari pada masa kini ke masa yang akan datang. Alur mundur adalah alur yang menyajikan rangkaian peristiwa yang susuannya bertolak ke belakang, mulai dari masa kini kemudian ke masa lalu. Alur maju mundur adalah alur yang menyajikan rangkaian peristiwa yang dimulai dari masa kini ke masa yang akan datang atau sebaliknya. Dan peristiwanya tidak sesuai dengan urutan waktunya.

 

Menurut saya, alur yang digunakan pada novel ini merupakan alur maju.

dimana peristiwa-peristiwa dikisahkan secara kronologis, peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa selanjutnya, atau secara runtun, cerita dimulai dari tahap awal, tengah, dan akhir. pengarang mula-mula menceritakan peristiwa demi peristiwa. Urutan alur tersebut adalah pengarang mulai melukiskan keadaan, kemudian peristiwa bergerak, lalu peristiwa mulai memuncak, selanjutnya peristiwa mencapai puncak (klimaks) dan akhirnya pengarang menciptakan alternatif penyelesaian.  Berikut Kutipannya :

Kutipan 1:

“Dia terlahir dari keluarga miskin. Ayahmnya seorang buruh di pelabuhan, berupah harian sangat rendah. Tak sebanding kerja kerasnya setiap hari. Pagi-pagi lelaki tua itu sudah bangkit dari pembaringannya,salat subuh lalu pergi ke pelabuhan. Senja baru pulang dengan tubuh berbalut debu dan peluh. Pahitnya hidup melukis letih di wajahnya” (subhan, 2013:2)

 

Kutipan 2:

“Lelaki itu telah tiada, kembali ke haribaanNya. Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun...”(Subhan, 2013:6)

Kutipan 1 dan 2 merupakan awal peristiwa sebagai pembuka jalan cerita. Dimana tokoh utama berniat pegi merantau ke Padang akan tetapi terhambat karena kondisi orang tua yang sakit.

Kutipan 3:

“Suatu hari, minggu pagi, Annisa datang bersama suaminya Hasan menjemput ibunya, Maimunah” (subhan, 2013:17)

Pada akirnya kondisi tokoh utama yang terhalang untuk pergi merantau terselesaikan bekat bantuang adik Fikri yang mau merawat ibunya. Jalan ceritapun berlanjut dengan kepergian Fikri ke Padang dan seterusnya.

 

 

3.      Tokok dan Penokohan

Aminuddin (2002:79) menyatakan tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin cerita. Penokohan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berubah, pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat-istiadatnya, dan sebagainya (suharianto, 1982:3). Jadi dapat disimpulkan bahwa Tokoh  dan penokohan merupakan dua  istilah  yang sering  dijumpai  dalam penelitian sastra, tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa sehingga peristiwa itu mampu menjalin sebuah cerita sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Bila ditinjau dari segi pengarang ada dua metode untuk melukiskan dan memperkenalkan tokoh dan watak, yaitu :

.              Metode langsung yaitu pengarang langsung melukiskan tokoh baik bidang fisiologi, sosiologi dan psikologi. Metode ini disebut juga metode atau cara analitik. Metode tak langsung adalah pengarang secara tidak langsung membuat deskripsi tentang para tokoh. Pembaca mengetahui para tokoh dan perwatakannya bukan dari keterangan yang diberikan pengarang, tetapi dari hal-hal lain.

 

 

 

1.            Tokoh

Tokoh utama : Fikri

Memiliki sifat tauladan yang baik. Dengan tutur bahasa yang sopan dan santun dalam cerita, tokoh utama memperlihatkan kewibawaannya dan pantang menyerah untuk menggapai cita-citanya. Namun Fikri memiliki hati yang rapuh dan mudah merasa sedih. Berikut kutipannya “Hati siapa yang tak menaruh belas kasihan pada anak muda itu karena ia seorang pemuda yang polos, jjur, lembut tutur katanya, dan takzim kepada orang tua.” (Subhan, 2013:36)

Tokoh Sampingan :

-              Maimunah (Ibu Fikri)

Sayang terhadap anaknya. Rela bekorban banting tulang membantu suami untuk membiayai kehidupan keluarga. Berikut kutipannya “Maafkan ibu yang selalu memarahimu. Ibu ingin kehidupanmu lebih baik dari kehidupan ibu” (Subhan 2013:21)

-              Munaf (Ayah Fikri)

Menginginkan anaknya sekolah setinggi-tingginya dan melihat anaknya menjadi orang yang berguna bagi orang lain. Berikut kutipannya “Ayah ingin kau menjadi sarjana kelak” (subhan, 2013:13)

-              Anisa (Adik Fikri)

Anak yang berbakati terhadap orang tua. Merawat ibunya Maimunah yang sakit-sakitan setelah ditinggal mati suamainya. Berikut kutipannya “Raut wajah annisa tampak gembira karena ibunya iu mau ikut bersamanya.” (subhan, 2013:17)

-              Mak Tuo (Bibi Maimunah) dan Mak Bujang (Sepupu Maimunah)

Tokoh yang merawat dan memberi tempat tinggal Fikri di kampung halaman Ibunya. Menyanyangi Fikri seperi anak kandungnya sendiri. Berikut kutipannya “Saya pamit, Mak. Lepas saya dengan doa ujar Fikri kepada Mak Tuo dan Mak Bujang yang berdiri di jenjang rumah gadang. Kedua orang tua itu dengan harunya melepas kepergian Fikri.” (subhan, 2013:117)

-              Mak Safri (Mamak Fikri)

Kakak kandung Ibu Fikri, yang sewaktu kecil sangat menyanyangi Maimunah. Berikut kutipannya “Kasih sayang di antara kakak adik itu sangat erat. Mereka bersekolah bersama, mengaji bersama, bermain bersama. Tiada hari tanpa kebersamaan” (Subhan, 2013:59)

-              Yusuf (Sahabat Fikri)

Tokoh masyarakata kampung halaman ibu Fikri yang berani melawat tokoh masyarakat lain saat akan menyelakai Fikri. Berjiwa besar selalu mendampingi Fikri kemana saja. Salah satu tokoh yang sangat mempengarui kesuksesan Fikri. Berikut kutipannya “suatu hal yang membuatnya dapat mengarang dengan mudahnya, lantaran yusuf sahabatnya sangat setia membantu segala urusan di rumah. Yusuflah yang mencukupi kebutuhan meski fikri yang memberi uang bekal belanja” (Subhan, 2013:330)

-              Bu Rohana dan Pak Usman

Tokoh yang merawat dan memberi tempat tinggal Fikri di Padang dan menyanyangi Fikri seperti anak kandungnya. Berikut kutipannya “ Oh anakku, mulia benar aklhakmu, sungguh berat kami melepaskan engkau pergi dari rumah ini. Semoga allah menolong hidupmu di kemudian hari...” )shubhan, 2013:319)

-              Bu Aisyah

Sosok penyelaman Fikri saat tinggal di Padang. Menyanyai Fikri. Memiliki jiwa yang sangat peduli terhadap lingkungan sekitar. Berikut kutipannya “nantilah ibu ceritakan. Sekrang beristirahatlah dahulu. Biarkan keselamatanmu pulih kembali, jawab orang tua itu lembut. Dibetulkannya letak selimut yang membalut tubuh fikri. Sungguh penuh kasih sayangnya perempuan itu. Baikan kasih ibu kandungnya sendiri” (subhan, 2013:148)

-              Rahima

Kekasih Fikri. Anak Bu Aysaha. Wanita yang berhati mulia dan rapuh. Mudah merasa sedih, Penurut dan patuh. Berikut kutipannya “mulailah perlahan terbuka kedua mata perempuan yang terbaring lemah itu. Meski dalam keadaan sakit yang teramat berat, namun cahaya kecantikan masilah teramat terpancar di wajahnya. Tatapnnya berkunang-kunang, pandangannya samar, namun tampaklah di matanya sosok lelaki yang pernah dicintainya itu” (subhan, 2013:369)

-              Ningsi

Tokoh Antargonis. Mementingkan diri sendiri tanpa melihat akibatnya bagi orang lain. Namun juga mimiliki hati yang rapuh, merasa bersalah dan merasa menyesal. Berikut kutipannya “ ningsih yang menyasikan kenyataan itu tak pula dapt membendung air matanya. Rebah kepalanya di pundak suaminya dan menagis sejadi-jadinya menyesali segala perbuatan selama ini. Barulah ia sadar bahwa cinta kasih kedua orang di hadapanya itu adalah cinta yang sungguh suci dan mulia. Namun dialah yang merengutnya dan mengotori kesucian itu” (subhan, 2013:370)

 

1.      Tema

Istilah tema menurut Scharbach ( Aminuddin, 2010:91 ) berasal dari bahasa Latin yang berarti ‘tempat meletakkan suatu perangkat’. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannyaTema utama juga disebut dengan tema sentral. Yang dimaksud tema sentral adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian peristiwa dalam cerita. Adapun tema lainnya adalah tema sampingan. Tema sampingan adalah tema-tema lain yang mengiringi tema senral dalam cerita. Sebab itulah penyikapan terhadap tema yang diberikan pengarangnya dengan pembaca umumnya terbalik. Seorang pengarang harus memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur signifikan yang menjadi media pemapar tema tersebut.

 

Novel Rinai Kabut Singgalang bertema tentang kasih tak sampai. Cinta Fikri yang tak sampai dengan Rahima, karena Fikri dianggap orang datang tidak beradat dan miskin harta. Kakak Rahima yang bernama Ningsih memisahkan mereka berdua, Rahima dipaksa untuk menikah dengan teman Ningsih lantaran hutang budi. Ningsih rela menjual harga diri adiknya demi mementingkan kehendaknya

 

 

Pada bagian awal cerita, dipaparkan tentang gambaran Kabilah Bani Amir yang bertempat di Lembah Hijaz, Arabia diantara kota Makkah dan Madinah. Tempat dimana tokoh utama dan tokoh yang lain tinggal. Pemaparan tokoh utama tidak langsung melalui kalimat, melainkan melalui pendeskripsiannya. Seperti dalam kutipan:

Istri Syed Omri melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan rupawan, bagai bintang kejora diantara bintang-gemintang dilangit. Kulitnya kemerah-merahan, rambutnya ikal, matanya sejernih embun pagi, ditambah dengan lesung pipit di pipinya yang membuat semua orang terpanah. Qays nama bayi itu  (Layla Majnun, 2002:5).

 

Tokoh selanjutnya yaitu Layla. Tokoh layla muncul setelah pendeskripsian tentang diri Layla. Yaitu  gadis yang memiliki paras cantik. Berikut kutipannya :

Diantara anak-anak dari berbagai kabilah, terlihat seorang gadis cantik berusia belasan tahun. Wajahnya anggun mempesona, lembut sikapnya, dan penampilannya amat bersahaja. Gadis itu bersinar cerah seperti matahari pagi, tubuhnya laksana pohon cemara, dan bola matanya hitam laksana mata rusa. Rambutnya hitam, tebal bergelombang. Gadis yang menjadi buah bibir dan penghias mimpi itu bernama layla (Layla Majnun, 2002 : 9).

Dari sinilah cerita cinta dimulai, Qays merasakan pancaran keindahan. Qays benar-benar jatuh hati pada Layla, sang mawar jelita. Seperti pada kutipan berikut:

Qays sendiri sejak pertama kali melihat pancaran cahaya keindahan itu, jiwanya langsung bergetar. Ia seperti merasakan bumi berguncang dengan hebatnya, hingga merobohkan sendi-sendi keinginannya untuk menuntut ilmu. Qays belum pernah melihat keindahan yang menakjubkan di bumi seperti keindahan paras Layla (Layla Majnun, 2002:11 ).

 

               Dari pemaparan dua tokoh yang berperan sangat  penting dalam novel ini, maka tema sentralnya sangat jelas. Tema sentral dari novel Layla Majnnun adalah tentang percintaan yang kental dengan nuansa religi, yang terjadi di sekitar di daerah Arab. Dapat kita lihat, dua insan ini saling jatuh cinta. Cara mereka mencintai juga bernuansa religi, tidak vulgar, namun tampak secara perlahan.

Dari waktu ke waktu cinta tumbuh subur dan berbunga harum di dalam taman hati Qays dan Layla. Tetapi jiwa mereka masih malu-malu, lidah mereka kelu, hingga tiada kata-kata indah merayu yang terucap, hanya mata mereka yang berbicara. Ketika keduanya pasang mata saling pandang, maka sabda jiwa mereka tak mampu disembunyikan lagi. Melalui pancaran mata, jiwa mereka seolah mengatakan tidak ingin berpisah, sembari merasakan kehangatan cinta (Layla Majnun, 2002:13).

 

Tema bawaannya adalah perjuangan cinta seorang pemuda terhadap seorang yang sangat ia cintai, hal ini sangat terlihat pada saat mereka harus terpisah. Namun Qays tetap bersikeras mencari dimana Layla dipindahkan. Seperti dalam kutipan dibawah ini:

Qays menjadi gelisah, tak sekejappun ia sanggupkan memejamkan mata. Jika malam datang, secara sembunyi-sembunyi Qays meninggalkan rumah, berjalan tak tentu arah, menerobos semak belukar menuju padang belantara dengan langkah gontai. Ia sedang mencari sesuatu, namun tak jua bersua yang dicari. Kenangan pada Layla, membuat Qays tidak peduli segala bahaya yang menghadang (Layla majnun, 2002:17).

 

Cinta terlarang juga menjadi tema sampingan dalam novel ini, hal ini terlihat pada saat orang tua Layla mengetahui hubungan mereka berdua, dan orang tua Layla segera memisahkan mereka berdua. Seperti dalam kutipan dibawah ini:

Angin berhembus membawa kisah asmara pada keluarga si gadis. Kabar itu bagai arang hitam yang membuat bani Qhatibiah tersinggung, harga diri mereka ternoda. Bukankah ada pepatah yang mengatakan lebih baik kehilangan nyawa dari pada menanggung malu? Lebih baik memutus ruh cinta dari pada terus-menerus menanggung aib. Itulah yang dipikirkan ayah Laila (Laila Majnun, 2002:15).

Kasih sayang orang tua terhadap anaknya adalah tema sampingan berikutnya, hal ini terlihat pada saat ayah Qays merasa sedih melihat anaknya bertingkah aneh, menderita dalam cinta. Dan berusaha mengobati kesedihan putranya “Tak urung tabiat Qays menjadikan Syed Omri merasa bersedih. Dengan cinta dan kasih nan tulus seorang ayah, Syed Omri berusaha mengobati kesedihan putranya dengan memberi nasihat dan menghiburnya” (Layla Majnun, 2002:33).

 

Saya akan memaparkan tokoh-tokoh beserta penokohannnya yang terdapat dalam novel Layla Majnun karya Syaikh Nizami ini.

Qays merupakan tokoh sentral dalam cerita ini. Dalam novel ini, Qays di gambarkan sebagai tokoh protagonis, yaitu seorang anak yang cerdas, tekun, dan juga ringan tangan. Berikut kutipannya:

Qays termasuk anak yang cerdas dan tekun. Ia dapat dengan cepat menerima pelajaran yang disampaikan oleh sang guru. Ia juga termasuk anak yang mudah bergaul, karena memiliki kefasihan lidah, dan pandai merangkai kata-kata menjadi syair yang sangat indah. Dan juga termasuk anak yang ringan tangan, gemar membantu kawan-kawannya yang ditimpa musibah dan kemalangan (Layla Majnun, 2002:9).

 

Qays juga digambarkan sebagai sosok yang rela berkorban dan memperjuangkan cintanya. Dalam cerita, pada saat Layla di pingit, Qays rela pergi dari rumah untuk mencari pengobat hatinya. Berikut kutipannya :

Qays menjadi gelisah, tak sekejappun ia sanggupkan memejamkan mata. Jika malam datang, secara sembunyi-sembunyi Qays meninggalkan rumah, berjalan tak tentu arah, menerobos semak belukar menuju padang belantara dengan langkah gontai. Ia sedang mencari sesuatu, namun tak jua bersua yang dicari. Kenangan pada Layla, membuat Qays tidak peduli segala bahaya yang menghadang (Layla majnun, 2002:17).

 

               Tokoh selanjutnya adalah Syed Omri, penulis memaparkan bahwa Syed Omri adalah tokoh tritagonis, ia seorang pimpinan kabilah, pemipin kaya raya, wibawa, gagah, dan pemberani. Seperti dalam kutipan berikut:

Walau sudah tua, namun kekuasaan Syed Omri begitu disegani laksana kekuasaan seorang raja, kata-katanya menjadi sabda, dan perintahnya adalah titah yang tak seorangpun berani melawan. Demikian besar pengaruh kewibawaan Syed Omri, sehingga namanya tersohor bukan hanya di negerinya sendiri, tapi sampai ke negeri-negeri lain. Harta kekayaannya melimpah, bak kekayaan nabi Sulaiman. Meski tujuh turunan menikmati hasil kekayaannya, niscaya harta itu tidak akan berkurang (Layla Majnun, 2002:2).

 

               Syed Omri adalah seorang pemimpin yang selalu bersyukur, sabar, dan rendah hati, ia selalu berdoa kepada allah meskipu keinginannya belum terkabul. sebagaimana kutipan berikut:

Tuhan, aku selalu memujamu, selalu menyembahmu, tapi mengapa doaku belum juga engkau kabulkan? Laksana kaum pecinta, air mata ku yang beninng dan jernih menetes merinduka buah hati nan tidak kunjung jua beri. Ya allah ya tuhanku, engkau adalah ilham dan pemberi keturunan, hamba memohon kepadaMu hilangkan kepedihan dan kerinduan hamba (Layla Majnun, 2002:3).

 

               Layla adalah kotoh selanjutnya, di awal pemunculannya. Tokoh layla digambarkan oleh pengarang sebagai seorang gadis cantik, sabar, perhatian, lemah lembut dan tabah.  Sehingga Layla termasuk tokoh protagonis. Sebagaimana kutipan berikut:

Diantara anak-anak dari berbagai kabilah, terlihat seorang gadis cantik berusia belasan tahun. Wajahnya anggun mempesona, lembut sikapnya, dan penampilannya amat bersahaja. Gadis itu bersinar cerah seperti matahari pagi, tubuhnya laksana pohon cemara, dan bola matanya hitam laksana mata rusa. Rambutnya hitam, tebal bergelombang. Gadis yang menjadi buah bibir dan penghias mimpi itu bernama layla (Layla Majnun, 2002 : 9).

 

Tokoh Layla juga memunculkan rasa belas kasih, ketika ia mendengar kabar yang memilukan tentang pujaan hatinya yaitu Qays. Layla sangat merasakan apa yang dirasakan Qays “Dengan suara lirih seperti rintihan orang tak berdaya, Layla berkata, “aku adalah gadis yang selalu bersabar terhadap segala hal yang menimpa. Namun dalam cinta, aku tidak mampu bersabar. Kumohon wahai tuan, ceritakan lagi keadaan Qays” (Layla Majnun, 2002:88).

 

Tokoh selanjutnya  adalah Ibu Qays. Dalam penokohannya, ibu Qays digambarkan sebagai ibu yang pengertian terhadap kondisi Qays.  Ibu Qays mengerti apa yang diinginkan putranya, sehinnga ia meminta kepada Suaminya agar cepat meminang Layla untuk Qays, sehingga menjadi tokoh penengah atau tritagonis. Berikut kutipannya:

Cinta telah membuatnya buta, hingga semua wajangan tidak bisa masuk ke telinganya. Ia memang gila. Tapi gila karena cinta. Bila engkau ingin ia sembuh dan tidak bekelakuan ganjil, maka hanya ada satu cara, seperti api yang akan menyala bila ada minyak, seperti dedaunan akan bergoyang bila tertiup angin. Itulah yang harus dilakukan ayah yang budiman. satukan mereka dalam ikatan cinta, hannya dengan  itu kegilaannya akan terobati (Layla Majnun, 2002 : 34).

 

               Tokoh selanjutnya adalah Ayah Layla, penokohan yang saya dapat dari tokoh ini adalah, tokoh ini sangat sensitif dan keras pendiri dan menjadi penentang dalam novel ini atau antagonis, pada saat Syed Omri datang ke rumah Layla berniat meminang Layla untuk Qays, namun Ayah Layla tidak menyetujui anaknya menikah dengan orang tidak waras seperti Qays.

               Kutipan 1:

Ayah Layla adalah orang yang keras pendirian. Kata-kata Syed Omri menyinggung harga dirinya Lalu ia menjawab dengan meninggikan suara, “jodoh manusia tidak tergantung pada kehendak kita, tapi pada surga, tempat semua kekuatan, kebenaran dan kejujuran diberikan. Kita hanya bisa berencana dan mengemukakan alasan, namun suratan takdir yang menentukan (Layla Majnun, 2002:37).

 

               Kutipan 2:

Memang secara lahir anak tuan gagah dan tampan bagai rembulan, namun penyakit yang ia derita tidak mengkin dapat disembunyika. Tuan tidak dapat membohongi atau menutup-nutupi kenyataan ini. Dan maaf seribu maaf, sebaiknya lupakanlah apa yang telah tuan ucapkan, apalah guna berangan-angan, jika hanya akan menyesatkan akal dan pikira! (Layla Majnun, 2002:37).

 

Tokoh berikutnya adalah Naufal. Dalam penokohannya, Naufal adalah seorang Bangsawan yang baik dan termasuk tokoh penengah atau tritagonis. Dialah yang menolong dan memberikan makanan kepada Qays di tengah padang pasir yang sepi akan Pemukiman. Berikut kutipannya:

Kemudia ia meminta pengikutnya untuk mendirikan sebuah tenda dan menyiapkan hidangan untuk mereka. Buah-buahan segar, anggur manis, dan daging lezat dihidangkan. Naufal mempersilakan Majnun menikmati hidangan itu, namun Majnun tampak enggan. Setelah dibujuk dengan mengucapkan nama Layla, barulah Majnu mengambil satu potong roti (Layla Majnun, 2002:97).

 

4.      Setting atau

 

5.      Sudut Pandang

Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya ( Aminuddin, 2010:90 ). Narator atau pengisah yang juga berfungsi sebagai pelaku cerita. Narrator observer adalah bila pengisah hanya berfungsi sebagai pengamat terhadap pemunculan para pelaku serta hanya tahu dalam batas tertentu tentang perilaku batiniah para pelaku. Berkebalikan dengan narrator observer, dalam narrator omniscient pengarang, meskipun hanya menjadi pengamat dari pelaku, dalam hal itu juga merupakan pengisah atau penutur yang serba tahu meskipun pengisah masih juga menyebut nama pelaku dengan ia, mereka, maupun dia.

Yang dimaksud sudut pandang orang pertama adalah cara bercerita di mana tokoh pencerita terlibat langsung mengalami peritiwa-peristiwa cerita (akuan). Penceritaan akuan sertaan, penceritaan akuan di mana pencerita menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut. Pencerita akuan taksertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencerita tidak terlibat menjadi tokoh sentral dalam cerita.

  Sedangkan yang dimaksud sudut pandang orang kedua adalah sudut pandang bercerita dimana tokoh pencerita tidak dalam peristiwa-peristiwa cerita (diaan). sudut pandang orang ke tiga serba tahu,  penulis tahu segala sesuatu tentang semua tokoh dan peristiwa dalam cerita. Sudut pandang orang ke tiga terbatas penulis seolah-olah hanya melaporkan apa yang dilihatnya saja. Penulis hanya memaparkan atau melukiskan lakuan dramatik yang diamatinya.

Dalam novel fiksi ini, pengarang menggunakan sudut pandang orang ke tiga terbatas, “Tiba-tiba Majnun melepaskan pelukannya dari nisan Layla” (Layla Majnun,2002:195).

penulis seolah-olah hanya melaporkan apa yang dilihatnya saja. Penulis hanya memaparkan atau melukiskan lakuan dramatik yang diamatinya.

 

 

6.      Gaya Bahasa

Bahasa dalam karya sastra bukan hanya untuk menyampaikan ide atau pendapat pengarang. Juga untuk mengungkapkan perasaan. Beberapa cara yang ditempuh oleh pengarang dalam memberdayakan bahasa dalam karya sastra adalah dengan menggunakan perbandingan, penghidupan benda mati, melukiskan sesuatu dengan tidak sewajarnya, dan sebagainya. Itulah sebabnya terkadang dalam karya sastra sering dijumpai kalimat-kalimat khas, seperti ungkapan, peribahasa, dan gaya bahasa.

 Hampir dari semua isi dan hampir disetiap halaman, gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang adalah bahasa kiasan. Seperti majas perbandingan, “Mawar bergoyang mewangi, diantara pesona keindahannya, ia menyimpan duri yang bisa melukai orang yang berusaha mendekat” (Layla Majnun, 2002:120).  Maksud dari kutipan tesebut, layla memang cantik. Tapi dibalik kecantikan itu, layla tidak hanya membuat seorang akan merasa senang. Tapi juga bisa membuat seorang sakit hati padanya. Seperti halnya kutipan berikut, “Tubuh dan wajah majnun yang dulu bak bulan purnama dengan keharuman bunga lili, kini terbalut debu” (Layla Majnun, 2002:44). Maksud dari kutipan tersebut, Qays adalah laki-laki tampan, harum. Tapi kini ketampanannya ditutupi oleh kesedihannya. Dan juga pada kutipan, “Angin apakah membawa tuan kemari dengan membawa kuda-kuda pilihan dan rombongan yang gagah perkasa?” (Layla majnun,2002:35).

Sastra timur tengah memang khas dengan penggunaan bahasa kiasan, seperti beberapa kutipan yang telah saya paparkan di atas. Namun sastrawan di Indonesia, juga banyak menggunakan bahasa-bahasa kiasan dalam novelnya. Perbedaannya menurut saya, dalam novel Layla Majnun ini hampir semua isi novel menggunakan bahasa-bahasa kiasan, peribahsa dan lain-lain. Menurut saya, novel-novel modern di Indonesia hanya beberapa saja dalam penggunaan bahasa-bahasa kiasannya, misalnya di bagian pemaparan tokoh. Beda halnya dengan karya Syaikh Nizami ini. Tiap dialog antar tokoh, pemaparan tokoh, dan lain-lain. Syaikh Nizami menggunakan bahasa kiasan, peribahasa, perbandingan, dan lain-lain. Sehingga memiliki keindaha tersendiri. 

 

7.      Amanat

Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Amanat bisa disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau tingkah laku tokoh menjelang akhir cerita. Dapat pula secara eksplisit yaitu dengan meyampaikan seruan, saran, peingatan, nasihat, anjuran, larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita. Amanat yang bisa di ambil dari novel Layla majnun ini, dalam menghadapi sebuah cobaan seberat apapun, kita harus tetap semangat bangkit dan tak menyerah memperjuangkan cinta, karena dunia akan terasa bermuram durja tanpa seorang kekasih untuk menghiburmu. Seperti halnya Qays memperjuangkan cintanya untuk Layla. Namun jangan lah membuang waktu kita hanya untuk sesuatu yang tidak emungkinkan untuk kita dapatnya.

Bertingkahlah sopan, karena jika anda dihormati orang lain maka hormatilah orang. Jangan sampai menyakitkan hati orang lain

Memang secara lahir anak tuan gagah dan tampan bagai rembulan, namun penyakit yang ia derita tidak mengkin dapat disembunyika. Tuan tidak dapat membohongi atau menutup-nutupi kenyataan ini. Dan maaf seribu maaf, sebaiknya lupakanlah apa yang telah tuan ucapkan, apalah guna berangan-angan, jika hanya akan menyesatkan akal dan pikiran! (Layla Majnun, 2002:37).

 

D.    PENUTUP

Dari analisis novel yang telah saya paparkan diatas, maka dapat saya simpulkan bahwa,

 Tema dari novel Layla Majnun  adalah tentang percintaan yang kental dengan nuansa religi, yang terjadi di sekitar Timur Tengah. Dapat kita lihat, Cara mereka mencintai juga bernuansa religi, tidak vulgar, namun tampak secara perlahan. Alur yang digunakan pada novel ini merupakan alur maju.  Tokoh-tokoh yang terdapat dalam laila majnun adalah Qays, Layla, syed Omri, ibu Qays, Naufal, Ayah layla.

Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; soial budaya; dan latar suasana. Latar tempat di Arabia, latar waktu malam hari, latar sosial budaya Timur tengah, dan latar suasana yang hampir mendominasi suasana mengharukan.

Gaya bahas yang digunakan penulis adalah bahasa kiasan, perbandingan, dan peribahasa.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Nizami, Syaikh. 2002.  Layla Majnun. Yogyakrta: NAVILA

Sulaiman . 2012.KAJIAN KESASTRAAN persoalan peta Sastra Indonesia hingga Sastra Anak. Surabaya: Pustaka Radja.

Bahasa Indonesia Kontekstual .2013.surabaya: Tim MKU Bahasa Indonesia Universitas Trunojoyo Madura

Anonim. Memperkenalkan Tokoh Watak, (Online), (http://memperkenal-kan-tokoh-watak.-123337/4756.pdf , diakses pada 25 April 2014 )

Anakunhas. teori strukturalisme sastra dan tokoh-tokoh pencetusnya, (Online), (http:// teori strukturalisme sastra dan tokoh-tokoh pencetusnya _ Anakunhas.htm, diakses pada 25 April 2014)

Junus, Umar. Strukturalisme dari Segi Sastera, (Online), (http://Strukturalisme_dari_Segi_Sastera_UM.pdf, diakses pada 25 April 2014)

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

____________. 2007. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

____________. 2009. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kuta. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Previous Post
Next Post

0 Comments: