BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Golongan LGBT ini menggeliat dan kian mendapat tempat baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Tercatat sudah 14 negara di dunia yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Pernikahan sesama jenis pertama kali dilegalkan di Belanda, pada 2001. Menyusul Kanada, Afrika Selatan, Belgia, dan Spanyol. Kemudian Argentina, Denmark, Islandia, Norwegia, Portugal, dan Swedia serta terakhir Perancis. Di Amerika Serikat, perdebatan soal perkawinan sejenis belum sampai ke level Mahkamah Agung dan masih terus dikembangakan. Namun ada sekitar 12 negara bagian dan District of Columbia (DC) di Amerika telah melegalisasi pernikahan sesama jenis.
Negara-negara yang menganggap LGBT sebagai kriminal tercatat baru 3 negara yaitu Russia, Ugandan, dan Macedonia. Sisanya, sebanyak 78 negara lebih termasuk negara negara berpenduduk Islam seperti, negara-negara Timur Tengah, Indonesia, Brunai dan Malaysia tidak mempunyai undang-undang anti LGBT sehinggga negara-negara tersebut bisa dianggap negara yang membolehkan LGBT, walaupun tidak melegalkan pernikahan sesama jenis.
Seiring dengan maraknya aktifitas kaum LGBT di negara-negara berpenduduk muslim seperti Arab Saudi, Lebanon, Syria, Malaysia bahkan Indonesia, mereka semakin memberanikan diri untuk menunjukan identitas. Masyarakat yang mayoritas penduduknya muslim pun digiring kepada opini yang menganngap bahwa perilaku tersebut adalah wajar dan harus dilindungi dari tekanan-tekanan pihak-pihak yang menolaknya. Masyarakat terus diarahkan kepada opini kebebasan atau liberalisme serta hak asasi. Menurut mereka kaum LGBT tersebut adalah seperti manusia yang juga mempunyai hak untuk mendapat kehidupan di tengah masyarakat secara layak.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
1. Apa pengertian LGBT?
2. Apa penyebab LGBT?
3. Apa saja ciri-ciri LGBT?
4. Bagaimana dampak dari LGBT?
5. Bagaimana cara mengatasi LGBT
C. Tujuan Pembahasan
Seperti rumusan masalah diatas, bahwa tujuan penulisan makalah ini dibuat yakni:
1. Untuk mengetahui pengertian LGBT.
2. Untuk mengetahui apa saja penyebab LGBT.
3. Untuk mengetahui apa saja ciri-ciri dari LGBT
4. Untuk mengetahui apa saja dampak LGBT
5. Untuk mengetahui bagaimana cara mengatatasi LGBT?
PEMBAHASAN
A. Pengertian LGBT
LGBT atau GLBT adalah akronim dari "lesbian, gay, biseksual, dan transgender". Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa “komunitas gay” karena istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan. Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman “budaya yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender”.
1. Lesbian
Lesbi adalah sebuah hubungan emosional yang melibatkan rasa, cinta, dan kasih sayang dua manusia yang memiliki jenis kelamin sama. Pemahaman ini sama dengan pemaknaan kata homoseksual. Hanya, pada homoseksual belum mengacu kepada jenis kelamin tertentu dan masih bersifat luas.
Sedangkan lesbi lebih dimaknai bahwa pelaku aktifitas sejenis tersebut berasal dari kaum wanita. Lesbianisme tergolong dalam abnormalitas seksual yang disebabkan adanya partner-seks yang abnormal. Lesbianisme berasal sari kata Lesbos. Lesbos sendiri adalah sebutan bagi sebuah pulau ditengah Lautan Egeis, yang pada zaman kuno dihuni oleh para wanita (dalam Kartono, 1985). Homoseksualitas dikalangan wanita disebut dengan cinta yang lesbis atau lesbianisme. Memang, pada usia pubertas, dalam diri individu muncul predisposisi (pembawaan, kecenderungan) biseksuil, yaitu mencintai seorang teman puteri, sekaligus mencintai teman seorang pria. Pada proses perkembangan remaja yang normal, biseksualitas bisa berkembang menjadi heteroseksual (menyukai lawan jenis). Sebaliknya jika prosesnya abnormal, misalnya disebabkan oleh faktor endogin atau eksogin tertentu, maka biseksualitas bisa berkembang menjadi lesbian, dan obyek-erotisnya adalah benar-benar seorang wanita. Pada umumnya, cinta seorang lesbianisme itu sangat mendalam dan lebih hebat dari pada cinta heteroseksual. Meskipun pada relasi lesbian, tidak didapatkan kepuasan seksual yang wajar. Cinta lesbian juga biasanya lebih hebat daripada cinta homoseksual diantar kaum pria.
Lesbianisme banyak distimulir oleh hormon eksogin dan faktor lingkungan. Lantas apakah Lesbianisme merupakan sebuah gaya hidup ataukah abnormalitas seksual? kami menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca, dan yang mesti di ingat sebelum menyimpulkan adalah pada faktanya kaum lesbi menjadi sebuah gaya hidup para wanita ketika issue gender semakin menguat. Menuduh mereka abnormalitas seksual juga terlalu naif, karena lesbian Indonesia belum ada yang diteliti hormon penyebabnya. Bisa jadi semakin banyaknya lesbian Indonesia karena ‘ketidakmampuan’ laki-laki menempatkan perempuan dalam tempat yang seharusnya.
Di kota kota besar, kehidupan kaum lesbi lebih mulai terbuka. Jika sebelumnya para lesbi hanya berani sembunyi-sembunyi dalam melakukan aktifitasnya, kini mereka sudah berani menunjukkan eksistensinya. Salah satunya dengan membentuk organisasi yang mewadahi kaum lesbi tersebut.
Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh longgarnya penerapan norma susila dimasyarakat. Selain juga karena makin tingginya rasa individualisme di kota – kota besar. Apalagi pelaku seks bebas dikalangan mudah turut mempengaruhi meningkatnya pertumbuhan kaum lesbi ini.
Di Indonesia, lesbianisme rupanya berkembang cukup pesat dalam wilayah sosial kemasyarakatan. Kalau dulu, sebisa mungkin menyembunyikan jati dirinya, tapi saat ini mereka berhimpun dalam wadah atau organisasi yang semua orang bisa mengetahuinya. Lihat saja group-group lesbian yang bertebaran di facebook maupun situs-situs dewasa lainnya.
Lesbianisme tergolong dalam abnormalisme seksual yang disebabkan adanya partner seks yang abnormal. Lesbian berasal dari kata Lesbos. Lesbos sendiri adalah sebutan bagi sebuah pulau ditengah Lautan Egeis, yang pada jaman kuno dihuni oleh para wanita. Homoseksualitas (hubungan sejenis) di kalangan wanita disebut dengan cinta yang lesbis atau lesbianisme. Memang pada usia pubertas, dalam diri individu muncul predisposisi (pembawaan kecenderungan) biseksual yaitu mencintai seorang teman putri, sekaligus mencintai teman seorang pria.
Pada umumnya cinta seorang lesbi sangat mendalam dan lebih hebat dari pada cinta heteroseksual. Meskipun pada relasi lesbian tidak didapatkan kepuasan seksual yang wajar, cinta lesbian juga biasanya lebih hebat dari cinta homoseksual diantara kaum pria (gay)
2. Gay
Gay adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan untuk merujuk orang homoseksual atau sifat-sifat homoseksual. Istilah ini awalnya digunakan untuk mengungkapkan perasaan “bebas/ tidak terikat”, “bahagia” atau “cerah dan menyolok”. Kata ini mulai digunakan untuk menyebut homoseksualitas mungkin semenjak akhir abad ke-19 M, tetapi menjadi lebih umum pada abad ke-20. Dalam bahasa Inggris modern, gay digunakan sebagai kata sifat dan kata benda, merujuk pada orang-orang terutama pria gay dan aktivitasnya, serta budaya yang diasosiasikan dengan homoseksualitas.
Pada akhir abad ke-20, istilah “gay” telah direkomendasikan oleh kelompok-kelompok besar LGBT dan paduan gaya penulisan untuk menggambarkan orang-orang yang tertarik dengan orang lain yang berkelamin sama dengannya. Pada waktu yang hampir bersamaan, penggunaan menurut istilah barunya dan penggunaannya secara peyoratif menjadi umum pada beberapa bagian dunia. Di Anglosfer, konotasi ini digunakan kaum muda untuk menyebut “sampah” atau “bodoh” (misalnya pada kalimat: “Hal tersebut sangat gay”). Dalam konteks ini, kata gay tidak memiliki arti “homoseksual” sehingga bisa digunakan untuk merujuk benda tak bergerak atau konsepsi abstrak yang tidak disukai. Dalam konteks yang sama, kata “gay” juga digunakan untuk merujuk kelemahan atau ketidakjantanan. Namun, saat digunakan dalam konteks ini, apakah istilah gay masih memiliki konotasi terhadap homoseksualitas, masih diperdebatkan dan dikritik dengan kasar
Kata gay sampai di Inggris pada abad ke-12 M dari bahasa Perancis kuno gai, yang dipastikan berasal dari sumber Jerman. Hampir sepanjang keberadaannya dalam bahasa Inggris, kata gay diartikan sebagai “gembira”, “bebas/ tidak terikat”, “cerah dan menyolok". Kata gay sangat umum digunakan menurut pengertian di atas dalam berbagai percakapan dan literatur. Misalnya, masa optimisme pada tahun 1980an masih sering dijuluki sebagai Gay Nineties. Judul balet Perancis tahun 1938, Gaîté Parisienne (Parisian Gaiety atau "Keriangan penduduk Paris"), yang menjadi film Warner Bros. tahun 1941 dengan judul The Gay Parisian, juga mengilustrasikan konotasi tersebut. Barulah pada abad ke-20, kata tersebut mulai digunakan secara spesifik untuk pengertian "homoseksual", meskipun sebelumnya sudah memiliki konotasi seksual.
Sebutan gay seringkali digunakan untuk menyebut pria yang memiliki kecenderungan mencintai sesama jenis. Definisi gayyakni lelaki yang mempunyai orientasi seksual terhadap sesama lelaki (Duffy & Atwater, 2005) Michael dkk (endal, 1998), mengidentifikasikan tiga kriteria dalam menentukan seseorang itu homoseksual, yakni sebagai berikut :
a. Ketertarikan seksual terhadap orang yang memiliki kesamaan gender dengan dirinya.
b. Keterlibatan seksual dengan satu orang atau lebih yang memiliki kesamaan gender dengan dirinya.
c. Mengidentifikasi diri sebagai gayatau lesbian
Sebutan Gay seringkali digunakan untuk menyebut pria
3. Biseksual
Biseksualitas merupakan ketertarikan romantis, ketertarikan seksual, atau kebiasaan seksual kepada pria maupun wanita. Istilah ini umumnya digunakan dalam konteks ketertarikan manusia untuk menunjukkan perasaan romantis atau seksual kepada pria maupun wanita sekaligus. Istilah ini juga didefinisikan sebagai meliputi ketertarikan romantis atau seksual pada semua jenis identitas gender atau pada seseorang tanpa mempedulikan jenis kelamin atau gender biologis orang tersebut, yang terkadang disebut panseksualitas.
Biseksualitas adalah salah satu dari tiga klasifikasi utama orientasi seksual, bersama dengan heteroseksualitas dan homoseksualitas, yang masing-masing merupakan bagian dari Rangkaian kesatuan heteroseksual-homoseksual. Suatu identitas biseksual tidak harus memiliki ketertarikan seksual yang sama besar pada kedua jenis kelamin; biasanya, orang-orang yang memiliki ketertarikan pada kedua jenis kelamin tetapi memiliki tingkat ketertarikan yang berbeda juga mengidentifikasikan diri mereka sebagai biseksual. Biseksualitas umumnya dikontraskan dengan homoseksualitas, heteroseksualitas, dan aseksualitas.
Biseksualitas telah teramati terdapat dalam berbagai golongan masyarakat manusia dan juga pada kelompok hewan di sepanjang sejarah tertulis. Istilah biseksualitas, sebagaimana hetero- dan homoseksualitas, diciptakan pada abad ke-19 M.
Biseksualitas merupakan ketertariksan romantis atau seksual pada pria dan wanita. American Psychological Association menegaskan bahwa "orientasi seksual merupakan suatu kontinum (rangkaian kesatuan). Dengan kata lain, seseorang tidak pasti benar-benar heteroseksual atau homoseksual, tetapi bisa merasakan keduanya dengan taraf yang bervariasi. Orientasi seksual berkembang sepanjang masa hidup seseorang, orang-orang yang berbeda menyadari apakah mereka hetersoseksual, biseksual, atau homoseksual pada titik-titik berbeda dalam hidup mereka.
Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu spesies atau kejadian yang merupakan kebetulan dari karakteristik pria dan wanita dalam satu tubuh (Bowie dalam Storr, 1999). Ellis (dalam Storr, 1999) kemudian meninggalkan istilah psychosexual hermaphroditism dan memperluas makna dari biseksual sebagai hasrat seksual untuk pria maupun wanita yang dialami oleh individu.
Menurut Freud (1905), biseksual merupakan kombinasi dari maskulinitas dan feminitas, sedangkan menurut Stekel (1920) dan Klein (1978), biseksual bukanlah merupakan kombinasi dari maskulinitas dan femininitas melainkan heteroseksualitas dan homoseksualitas (dalam Storr, 1999).
Dalam pengertian umumnya, biseksual adalah orientasi seksual yang mempunyai ciri-ciri berupa ketertarikan estetis, cinta romantis, dan hasrat seksual kepada pria dan wanita. Menurut Masters (1992), biseksual adalah istilah untuk orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Biseksual juga didefinisikan sebagai orang yang memiliki ketertarikan secara psikologis, emosional dan seksual kepada laki-laki dan perempuan (Robin & Hammer, 2000 dalam Matlin, 2004).
4. Transgender
Menurut Yash (2003) Transgender adalah kata yang digunakan untuk mendeskripsikan bagi orang yang melakukan, merasa, berfikir atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang telah ditetapkan sejak lahir. Transgender tidak mengacu pada bentuk spesifik apapun ataupun orientasi seksual orangnya. Seorang transgender dapat saja mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang heteroseksual, homoseksual, atau biseksual.
Menurut Yash (2003) Transeksualisme adalah salah satu bentuk Gender Dysphoria (kebingunan gender). Gender Dysphoria adalah sebuah term general bagi mereka yang mengalami kebingunan atau ketidaknyamanan tentang gender-kelahiran mereka.
Mereka yang merasakan ketidaknyamanan dengan gender-kelaminya, akan melakukan operasi pergantian kelamin atau yang disebut dengan transgender. Namun langkah mereka tidak hanya sampai disitu, setelah melakukan sebuah operasi pergantian kelamin maka selanjutnya dilakukan sebuah pergantian identitas.
Mereka yang berani melakukan transgender atau operasi penggantian kelamin, bukanlah termasuk pada kategori penyuka sesama jenis (homoseksual / lesbian) tetapi karena memiliki kelainan pada orientasi seksualnya atau merasa terjebak pada jenis kelaminnya tersebut. Salah satu penyebab transgender adalah 2 pengaruh hormonal yang membentuk karakteristik kelamin manusia, dan ini bukanlah merupakan penyakit mental.
Meski seorang transgender masih dipandang sebelah mata, dianggap tabu dan mengundang kontroversi, namun beberapa diantara mereka berhasil diakui keberadaannya dengan segudang prestasi yang berhasil mereka raih, mulai dari dunia hiburan sampai ke ajang kecantikan dunia.
Banyak fenomena yang terjadi sekarang ini bisa di cermati sebagai contoh nyata mengapa seseorang memilih untuk menjadi seorang waria, gay, lesbian, atau mungkin transgender/transeksual. Salah satunya karena memang di dalam jiwa seorang lelaki terdapat sifat lemah lembut seperti layaknya perempuan dan dia berniat untuk menjadi seorang yang berkelakuan menyimpang dari identitas aslinya hanya untuk menunjukan siapa dia sebenarnya. Alasan lain bisa karena kejadian masalalu dalam keluarga dimana seorang ayah menelantarkan anak lelaki dan istrinya, hingga pada akhirnya anak lelaki tersebut menjadi begitu membenci sosok laki-laki.
Transgender adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan orang yang melakukan, merasa, berpikir atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan saat mereka lahir. "Transgender" tidak menunjukkan bentuk spesifik apapun dari orientasi seksual orangnya. Orang-orang transgender dapat saja mengidentifikasikan dirinya sebagai heteroseksual, homoseksual, biseksual, panseksual, poliseksual, atau aseksual. Definisi yang tepat untuk transgender tetap mengalir, namun mencakup:
· Tentang, berkaitan dengan, atau menetapkan seseorang yang identitasnya tidak sesuai dengan pengertian yang konvensional tentang gender laki-laki atau perempuan, melainkan menggabungkan atau bergerak di antara keduanya.
· Orang yang ditetapkan gendernya, biasanya pada saat kelahirannya dan didasarkan pada alat kelaminnya, tetapi yang merasa bahwa deksripsi ini salah atau tidak sempurna bagi dirinya.
· Non-identifikasi dengan, atau non-representasi sebagai, gender yang diberikan kepada dirinya pada saat kelahirannya.
· Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai gejala transseksualisme ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment Surgery).
B. Penyebab LGBT
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang itu cenderung untuk menjadi bagian dari LGBT antaranya adalah:
Anne Krabill Hersberger menjelaskan bahwa sampai saat ini, fakor penyebab timbulnya seseorang menjadi LGBT belum dapat diketahui dengan pasti. Ada beberapa teori yang yang mencoba menjelaskannya. Beberapa orang percaya bahwa perilaku orientasi seks sejenis terjadi karena adanya perkembangan yang terhambat selama pubertas. Ada juga yang mengatakan bahwa hal tersebut disebabkan oleh adanya hormon abnormal dalam tubuh seseorang yang belum teridentifikasikan. Ada juga yang mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh faktor keturunan. Dan ada juga yang mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh lingkungan, misalnya: kekacauan dalam rumah tangga.
Secara garis besar, terdapat tiga kemungkinan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya homoseksual sebagai berikut:
1) Faktor Biologis
Kombinasi/rangkaian tertentu di dalam genetik (kromosom), otak, hormon, dan susunan syaraf diperkirakan mempengaruhi terbentuknya homoseksual.
Deti Riyanti dan Sinly Evan Putra, S.Si mengemukakan bahwa berdasarkan kajian ilmiah, beberapa faktor penyebab orang menjadi homoseksual dapat dilihat dari:
a. Susunan Kromosom
Perbedaan homoseksual dan heteroseksual dapat dilihat dari susunan kromosomnya yang berbeda. Seorang wanita akan mendapatkan satu kromosom x dari ibu dan satu kromosom x dari ayah. Sedangkan pada pria mendapatkan satu kromosom x dari ibu dan satu kromosom y dari ayah. Kromosom y adalah penentu seks pria.
Jika terdapat kromosom y, sebanyak apapun kromosom x, dia tetap berkelamin pria. Seperti yang terjadi pada pria penderita sindrom Klinefelter yang memiliki tiga kromosom seks yaitu xxy. Dan hal ini dapat terjadi pada 1 diantara 700 kelahiran bayi. Misalnya pada pria yang mempunyai kromosom 48xxy. Orang tersebut tetap berjenis kelamin pria, namun pada pria tersebut mengalami kelainan pada alat kelaminnya.
b. Ketidakseimbangan Hormon
Seorang pria memiliki hormon testoteron, tetapi juga mempunyai hormon yang dimiliki oleh wanita yaitu estrogen dan progesteron. Namun kadar hormon wanita ini sangat sedikit. Tetapi bila seorang pria mempunyai kadar hormon esterogen dan progesteron yang cukup tinggi pada tubuhnya, maka hal inilah yang menyebabkan perkembangan seksual seorang pria mendekati karakteristik wanita.
c. Struktur Otak
Struktur otak pada straight females dan straight males serta gay females dan gay males terdapat perbedaan. Otak bagian kiri dan kanan dari straight males sangat jelas terpisah dengan membran yang cukup tebal dan tegas. Straight females, otak antara bagian kiri dan kanan tidak begitu tegas dan tebal. Dan pada gay males, struktur otaknya sama dengan straight females, serta pada gay females struktur otaknya sama dengan straight males, dan gay females ini biasa disebut lesbian.
d. Kelainan susunan syaraf
Berdasarkan hasil penelitian terakhir, diketahui bahwa kelainan susunan syaraf otak dapat mempengaruhi prilaku seks heteroseksual maupun homoseksual. Kelainan susunan syaraf otak ini disebabkan oleh radang atau patah tulang dasar tengkorak.
Kaum LGBT pada umumnya merasa lebih nyaman menerima penjelasan bahwa faktor biologis-lah yang mempengaruhi mereka dibandingkan menerima bahwa faktor lingkunganlah yang mempengaruhi. Dengan menerima bahwa faktor biologis-lah yang berperan dalam membentuk seksual maka dapat dinyatakan bahwa kaum LGBT memang terlahir sebagai LGBT, mereka dipilih sebagai LGBT dan bukannya memilih menjadi LGBT.
Walaupun demikian, faktor-faktor biologis yang mempengaruhi terbentuknya LGBT ini masih terus menerus diteliti dan dikaji lebih lanjut oleh para pakar di bidangnya.
2) Faktor Lingkungan
Lingkungan diperkirakan turut mempengaruhi terbentuknya seksualitas. Faktor lingkungan yang diperkirakan dapat mempengaruhi terbentuknya LGBT terdiri atas:
a. Faktor Budaya/Adat-istiadat
Dalam budaya dan adat istiadat masyarakat tertentu terdapat ritual-ritual yang mengandung unsur homoseksualitas, seperti dalam budaya suku Etoro yaitu suku pedalaman Papua New Guinea, terdapat ritual keyakinan dimana laki-laki muda harus memakan sperma dari pria yang lebih tua (dewasa) untuk memperoleh status sebagai pria dewasa dan menjadi dewasa secara benar serta bertumbuh menjadi pria kuat.
Karena pada dasarnya budaya dan adat istiadat yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu sedikit banyak mempengaruhi pribadi masing-masing orang dalam kelompok masyarakat tersebut, maka demikian pula budaya dan adat istiadat yang mengandung unsur seksualitas dapat mempengaruhi seseorang. Mulai dari cara berinteraksi dengan lingkungan, nilai-nilai yang dianut, sikap, pandangan, maupun pola pemikiran tertentu terutama yang berkaitan dengan orientasi, tindakan, dan identitas seksual seseorang.
b. Faktor Pola asuh
Cara mengasuh seorang anak juga dapat mempengaruhi terbentuknya LGBT. Sejak dini seorang anak telah dikenalkan pada identitas mereka sebagai seorang pria atau perempuan. Dan pengenalan identitas diri ini tidak hanya sebatas pada sebutan namun juga pada makna di balik sebutan pria atau perempuan tersebut, meliputi:
· Kriteria penampilan fisik: pemakaian baju, penataan rambut, perawatan tubuh yang sesuai, dan sebagainya.
· Karakteristik fisik: perbedaan alat kelamin pria dan wanita; pria pada umumnya memiliki kondisi fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan wanta, pria pada umumnya tertarik dengan kegiatan-kegiatan yang mengandalkan tenaga/otot kasar sementara wanita pada umumnya lebih tertarik pada kegiatan-kegiatan yang mengandalkan otot halus.
· Karakteristik sifat: pria pada umumnya lebih menggunakan logika/ pikiran sementara wanita pada umumnya cenderung lebih menggunakan perasaan/ emosi; pria pada umumnya lebih menyukai kegiatan-kegiatan yang membangkitkan adrenalin, menuntut kekuatan dan kecepatan, sementara wanita lebih menyukai kegiatan-kegiatan yang bersifat halus, menuntut kesabaran dan ketelitian.
· Karakteristik tuntutan dan harapan: Untuk masyarakat yang menganut sistem paternalistik maka tuntutan bagi para pria adalah untuk menjadi kepala keluarga dan bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarganya. Dengan demikian pria dituntut untuk menjadi figur yang kuat, tegar, tegas, berani, dan siap melindungi yang lebih lemah (seperti istri, dan anak-anak). Sementara untuk masyarakat yang menganut sistem maternalistik maka berlaku sebaliknya bahwa wanita dituntut untuk menjadi kepala keluarga.
Jika dilihat secara universal, sistem yang diakui universal adalah sistem paternalistik. Namun baik paternalistik maupun maternalistik, setiap orang tetap dapat berlaku sebagai pria ataupun wanita sepenuhnya. Yang membedakan pada kepala keluarga: pria dalam paternalistik dan wanita dalam maternalistik adalah pendekatan yang digunakan dalam memenuhi tanggung jawab mereka sebagai kepala keluarga.
Pola asuh yang tidak tepat, seperti contoh yang tidak asing yaitu: anak laki-laki yang dikenakan pakaian perempuan, didandani, diberikan mainan boneka, dan diasuh seperti layaknya mengasuh seorang perempuan, ataupun sebaliknya dapat berimplikasi pada terbentuknya identitas homoseksual pada anak tersebut. Mengapa demikian? Karena sejak dini ia tidak dikenalkan dan dididik secara tepat & benar akan identitas seksualnya, dan akan perbedaan yang jelas antara laki-laki dan perempuan.
· Figur orang yang berjenis kelamin sama dan relasinya dengan lawan jenis Dalam proses pembentukan identitas seksual, seorang anak pertama-tama akan melihat pada: orang tua mereka sendiri yang berjenis kelamin sama dengannya; anak laki-laki melihat pada ayahnya, dan anak perempuan melihat pada ibunya; dan kemudian mereka juga melihat pada teman bermain yang berjenis kelamin sama dengannya.
LGBT terbentuk ketika anak-anak ini gagal mengidentifikasi dan mengasimilasi apa, siapa, dan bagaimana menjadi dan menjalani peranan sesuai dengan identitas seksual mereka berdasarkan nilai-nilai universal pria dan wanita.
Kegagalan mengidentifikasi dan mengasimilasi identitas seksual ini dapat dikarenakan figur yang dilihat dan menjadi contoh untuknya tidak memerankan peranan identitas seksual mereka sesuai dengan nilai-nilai universal yang berlaku. Seperti: ibu yang terlalu mendominasi dan ayah yang tidak memiliki ikatan emosional dengan anak-anaknya, ayah tampil sebagai figur yang lemah tak berdaya; atau orang tua yang homoseksual. Namun penting diketahui! Tidak semua anak yang dihadapkan pada situasi demikian akan terbentuk sebagai homoseksual karena masih ada faktor lain yang juga dapat mempengaruhi dan tentunya juga karena kepribadian dan karakter setiap orang berbeda-beda.
C. Ciri-ciri LGBT
Seseorang yang memiliki kecendrungan LGBT akan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Lesbian
Orang yang menjadi lesbian tidak selalu mempunyai ciri yang kuat yang membedakan dengan yang tidak lesbian. Ciri yang sering muncul misalnya:
a. Memposisikan diri sebagai maskulin atau biasa dikenal sebagai “ Buchi” (peran pria pada pasangan lesbi) penampilannya sangat maskulin, punya hobi maskulin, posesif, menunjukkan ketertarikan pada wanita
b. Sebaliknya ciri lesbi yang berperan sebagai feminim (Femmie), biasanya penampilannya dingin, ketergantungan tinggi pada pasangannya, tidak mandiri, sering cemas, jaga jarak dengan wanita lain yang bukan pasangannya, sentimentil, dan adem ayem saja dengan laki-laki.
2. Gay
Pria gay yang statusnya hidden akan sulit dikenali, karena penampilannya layaknya pria kebanyakan. Bahkan akan lebih sulit lagi jika pria tersebut sedang bersama wanita. Dari pengakuan sebagian besar gay, mereka mendapatkan keahlian mengenali kawan sejenisnya itu karena jam terbang. Semakin tinggi jam terbang pria gay tersebut, maka semakin besar peluang kebenaran “insting”nya.
a. Tatapan. Seorang pria akan menatap pria lain lebih lama dari pria biasa. Biasanya lebih dari 3 detik, dan itu dilakukan berulang-ulang. Tentunya hal ini akan dilakukan terhadap pria yang memang disukainya. Bahkan tatapan ini akan diakhiri dengan senyuman. Bagi sebagian gay mengaku, tatapan mata seorang gay terhadap pria itu sangat dalam dan terasa “menusuk”.
b. Wangi parfum lebih mencolok daripada wanita. Dan parfum yang digunakan biasanya branded. Bahkan jika tidak mendapatkan parfum branded, yang aspal bahkan jadi, yang penting baunya mendekati alias mirip-mirip.
c. Cara berpakaian yang lebih dandy, modis, matching dan update. Motif yang dipakai biasanya garis garis lurus dan warnanya tidak terlalu eye-catching. Namun beberapa ada juga yang suka tampil dengan warna-warna mencolok dan ngejreng. Bahkan untuk kaos, lebih disukai yang ketat, sehingga memperlihatkan lekuk tubuh lebih jelas. Termasuk kemeja juga dipilih ukuran yang lebih ngepas biar kelihatan bentuk tubuhnya, apalagi jika didapatkan dari hasil fitnes.
d. Tata rambut yang lebih klimis dan trendy. Selain penampilan, baju, dan wajah. Tak kalah pentingnya adalah tatanan rambutnya, biasanya pria gay lebih klimis dibanding pria heteroseksual. Umumnya mereka suka memakai produk rambut jenis gel yang membuat lebih wet look dan terlihat fresh.
e. Cara bicara yang lebih sopan. Umumnya tata bahasa yang dipakai lebih ditata. Bahkan pada kebanyakan gay, cara mereka bicara lebih kental huruf ‘s’ nya, dan parahnya lagi kebanyakan suaranya cempreng. Hal ini akan sangat nampak pada gay yang tingkat femininnya lebih tinggi. Makanya kalo kencan buta via telpon, umumnya dapat dikenali dari suara cempreng dan agak lembut, maka langsung bisa terdeteksi apakah pria itu gay atau bukan.
f. Gesture dan sikap. Pria gay , umumnya lebih menjaga sikap seperti cara berdiri, cara duduk hingga cara berjalan. Ketika duduk, dapat dengan mudah dikenali bagaimana pria gay menaruh tangan dan memposisikan atau menyilangkan kaki dengan anggun.
g. Pria gay lebih berani dalam menunjukan sikap dan ketertarikan. Jika dia merasa tertarik dengan anda, maka dia takkan ragu untuk mendekat menghampiri anda dan mengajak kenalan.
3. Biseksual
· Biseksual mencakup ketertarikan romantis atau seksual pada semua identitas gender atau memiliki ketertarikan seksual pada seseorang terlepas dari jenis kelamin biologis atau gender orang tersebut.
· Potensi untuk tertarik secara romantika atau seksual pada orang-orang dengan lebih dari satu jenis kelamin atau gender, tidak harus pada saat yang bersamaan, tidak harus dengan cara yang sama, dan tidak harus dengan derajat ketertarikan yang sama.
· Biseksual tidak menunjukkan perilaku di depan semua orang. Dia bisa normal dengan lawan jenisnya, dan bertindak berbeda ketika dia berada disekitar sesama jenisnya.
· Jika dia tidak nyaman dengan ide menjadi lesbian/gay atau biseksual, maka ia juga bisa menggunakan kata-kata makian untuk lesbian/gay atau biseksual. Atau, mungkin menghindari berbicara tentang topik biseksualitas.
4. Trasgender
Transgender (pondan) adalah asal tubuhnya lelaki, jiwanya jiwa wanita dan karena itu mereka tertarik kepada lelaki. Secara umunya, homoseksual tidak dapat dilihat daripada ciri-ciri tubuh maupun tingkah laku. Jika ada yang menyebut dirinya homoseksual tetapi sissy (berwatakan lembut seperti wanita), maka secara jujur, sebenarnya dia adalah transgender. Lelaki yang dianggap transgender dipengaruhi oleh jiwanya, adalah jiwa wanita maka dia akan bertingkah laku dan bertutur secara
feminism, dan bila merasa bahwa dia adalah wanita maka dia akan mencintai lelaki
a. Seks Biologis
Mereka memiliki keambiguan 1 genital internal dan genital eksternal mereka. Namun secara umum mereka tidak menampakkan kebingungan atas identitas gender mereka. Fenomena inilah yang dinamakan interseksual.
b. Identitas gender
Transgender adalah orang yang mengadopsi peran dan nilai-nilai lawan jenis kelamin biologisnya, misalnya seseorang yang secara biologis perempuan lebih nyaman berpenampilan dan berperilaku seperti stereotipe laki-laki..
c. Ekspresi gender
Ekspresi gender dapat diartikan sebagai cara seseorang berperilaku untuk mengkomunikasikan gendernya dalam budaya tertentu, misalnya dalam hal pakaian, pola komunikasi dan ketertarikan. Ekspresi gender seseorang bisa saja tidak konsisten dengan peran gender secara sosial dan mungkin juga tidak mencerminkan identitas gendernya. Ekspresi gender menyangkut masalah kemaskulinan dan kefemininan. Nilai-nilai maskulin dan feminin ini ditentukan oleh budaya, tapi prosesnya sendiri bisa jadi sangat subjektif.
d. Ketertarikan (orientasi seksual)
Orientasi seksual mengacu pada jenis kelamin mana seseorang tertarik secara emosional dan seksual. Ketertarikan ini bersifat tidak kasat mata. Artinya, hanya orang itu sendiri yang bisa merasakan kepada siapa dia lebih tertarik. Kategori-kategori ini meliputi ketertarikan pada jenis kelamin yang sama.
D. Dampak Dari LGBT
Setiap tindakan atau perbuatan pasti ada dampaknya. Demikian juga dalam hal seksualitas, baik itu homoseksual (Lesbian/Gay), biseksual maupun transgender. Untuk menjelaskan tentang dampak yang ditimbulkan oleh homoseksualitas, berikut diuraikan tulisan Veronica Adesla, S.Psi sebagai berikut:
Dampak yang harus dihadapi dari lingkungan eksternal
Keberadaan kaum LGBT di tengah-tengah masyarakat dan di dalam berinteraksi atau bersosialisasi dengan lingkungan senantiasa dihadapkan pada hukum, norma, nilai-nilai, dan aturan tertulis maupun tidak tertulis, serta stereotipe yang berlaku di masyarakat. Misalnya saja hukum negara yang tidak memperbolehkan terjadinya pernikahan antara sesama jenis kelamin, norma agama yang tidak memperbolehkan LGBT, aturan tidak tertulis yang berlaku di masyarakat untuk menghindari relasi dengan kaum homoseksual, menutup kesempatan bagi kaum homoseksual untuk berkarya atau bekerja, bersekolah atau pun kesempatan untuk mendapat pelayanan kesehatan yang sama dengan yang lain.
Situasi di atas berpotensi menghasilkan reaksi dan perlakuan yang bermacan-macam dari lingkungan di sekelilingnya. Ada yang bersikap biasa, ada yang memandang sebelah mata, ada pula yang hingga perlakuan yang tidak menyenangkan seperti dikucilkan, disisihkan atau dijauhi oleh keluarga, teman, dan lingkungan kerja, serta masyarakat.
Inilah sekelumit gambaran resiko-resiko yang kerap dihadapi oleh kaum homoseksual ketika mereka berada di tengah-tengah masyarakat dan menjalin interaksi atau bersosialisasi dengan lingkungannya. Tidak menutup kemungkinan ada kaum homoseksual yang menghadapi situasi dan respon berbeda dari masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan hukum dan budaya yang berlaku antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dengan demikian sangat mungkin terjadi kaum homoseksual tertentu di masyakat A dengan budaya dan nilai-nilai tertentu memiliki resiko perlakuan yang berbeda dengan kaum homoseksual di masyarakat B dengan budaya dan nilai-nilai yang tidak sama.
Resiko yang berasal dari perilaku sendiri / lifestyle
Seorang LGBT senantiasa berhadapan dengan adanya realitas gaya hidup tertentu yang berlaku di kalangan kaum LGBT. Gaya hidup ini meliputi cara, perilaku, dan kebiasaan tertentu baik itu dalam mengekspresikan orientasi seksual, bersosialisasi, maupun menjalani hidup sehari-hari.
Gaya hidup tertentu pada kaum LGBT dapat beresiko buruk terhadap kesehatan fisik maupun mental & emosional, seperti: berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seksual (berhubungan intim); melakukan hubungan seksual yang tidak aman (tidak menggunakan kondom); melakukan anal sex; minum-minuman keras & narkoba.
Gaya hidup demikian beresiko terhadap terganggunya kesehatan fisik, seperti: STI’s (Sexual Transmitted Infections)/ STD’s (Sexual Transmitted Diseases) termasuk HIV-AIDS; dan terganggunya kesehatan mental & emosional, seperti: kecemasan berlebihan, depresi, merusak atau menyakiti diri sendiri, dan sebagainya.
E. Mengatasi LGBT
LGBT memiliki tingkatan. Tingkatan yang lebih rendah disebut hemofilia yaitu pengalaman jatuh cinta kepada orang sejenis kelamin, tetapi cinta itu belum begitu mendalam atau belum sampai pada permainan seksual setingkat hubungan seksual pada suami-istri. Homifilia ini seringkali terjadi karena lingkup pergaulan yang hanya terbatas pada teman-teman sejenis kelamin saja. Maka untuk mengobati homofilia ini bisa dengan membuka pergaulan supaya menjadi lebih luas, memungkinkan pergaulan yang kerap dan akrab dengan orang-orang dengan jenis kelamin yang lain. Secara moral homofilia, walaupun memang salah, tidak layak dinilai sebagai tindakan yang melawan moralitas secara berat. Apalagi bila keduanya, atau salah seorang, memang menderita kelainan mental di bidang seksual. Mereka atau dia itu lebih layak dinilai sebagai penderita kelainan daripada pelaku tindakan immoral.
Demikian juga yang sudah jauh ke taraf homoseksual, lesbianism, biseksual, atau transgender telah sampai pada taraf permainan seksual setingkat dengan senggama suami-istri. Maka mereka yang betul-betul bermental LGBT lebih layak dianggap sebagai penderita kelainan daripada sebagai yang bertindak immoral. Ia lebih membutuhkan pengertian penuh kasih daripada teguran yang mendakwa. Oleh karenanya tindakannya juga tidak dapat disebut sebagai tindakan jahat, walaupun secara objektif tidak biasa.
Sebagaimana telah uraikan dari atas bahwa seksualitas ini sebaiknya dilihat dari sudut pandang bahwa ini adalah kelainan atau sebagai penyakit. Bila kita beranjak dari sudut pandang tersebut maka ada harapan bahwa kelainan seksual ini bisa diobati. Proses pemulihan ini terutama berasal dari sipenderita itu sendiri. Keinginan untuk berubah dari kelainan seksual yang diidapnya.
Secara Psikologis
Untuk menganalisa cara mengatasi penderita homoseksualitas dan lesbianisme secara psikologi, maka di sini saya mengungkapkan contoh kasus yang diuraikan oleh Sawitri sebagai berikut:
· Studi Kasus (kasus S)
S, berusia 24 tahun, seorang mahasiswa teknik Sipil di salah satu perguruan tinggi di Bandung, mengeluh bahwa dirinya merasa kurang dapat konsentrasi dalam belajar, gairah belajar menurun, sehingga dua semester terakhir ini S merasa gagal dalam ujian-ujiannya. S merasa penuh dengan keraguan dan tanda tanya yang selalu mencekam dirinya, yaitu “Apakah dirinya seorang homoseksual?”
S adalah anak ketiga dari empat bersaudara, dengan urutan kakak laki-laki (2 orang), kemudian S dan adik yang bungsu perempuan. Perbedaan umur antar empat bersaudara itu lebih kurang dua tahun. Sejak S berumur satu tahun, oleh orang tuanya S dititipkan pada kakek atau neneknya. Setelah umur 6 tahun S kembali pada orangtuanya sendiri.
Kesan yang sangat mendalam pada 5 tahun pertama kehidupannya adalah seringnya kakek dan nenek berselisih paham, dan bila perselisihan paham memuncak, mereka melempar benda yang ada di dekatnya atau saling menyiramkan air. Kalau keadaan sudah demikian, S bersembunyi ketakutan dan gemetar seluruh tubuhnya. Setelah pertengkaran, biasanya nenek dan kakek saling tidak tegur sapa. Dalam keadaan ini, maka nenek biasanya sangat baik terhadap S dan kemana nenek pergi, S harus ikut. Bahkan pada saat nenek memasak dan membersihkan rumah pun S harus berada dekat nenek. Untuk itu, S sering juga membantu nenek.
Setelah S dewasa, S baru sadar bahwa alasan orang tua menitipkan dirinya di rumah nenek atau kakek sebetulnya untuk menurunkan frekuensi pertengkaran nenek atau kakek. Tapi seingat S, pertengkaran antar mereka tidak mereda. Pribadi nenek menurut S keras dan dominan, begitu pula dengan pribadi kakek yang juga sama-sama keras.
Sekembalinya ke rumah orang tuanya pada umur 6 tahun, S merasakan pula kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya dibandingkan dengan sikap orang tua terhadap kedua kakak laki-lakinya. Orang tua S memiliki sebuah toko emas dan keduanya sibuk dengan toko. Anak-anak lebih banyak dilepas tanpa pengawasan yang cukup dan hanya dipercayakan pada pembantu rumah tangga.
Ibu bersikap lebih dominan dibanding ayah dan seringkali ibu lebih mampu mengambil keputusan dalam urusan dagang. Menurut S, ayahnya agak lamban dalam bertindak dan sering bersikap ragu-ragu. Kedua kakak S sangat nakal dan kasar tingkah lakunya dalam bermain. Sedang S tidak suka pada tingkah laku kasar dan nakal, sehingga S lebih suka bermain dengan adik perempuannya. S senang main masak-masakkan, main ibu-ibuan dan sering memakai rok adiknya dalam permainan itu.
Pada waktu S kelas V SD, suatu hari S diajak oleh kakak laki-laki yang pertama untuk melakukan onani bersama. Dan seingat S, pernah pula S atas anjuran kakaknya tersebut mencoba melakukan relasi seks dengan adik perempuannya. Percobaan ini dilakukan satu kali dan S merasa tidak berhasil.
Kemudian, pernah kakak pertama memaksa S melakukan oral seksual dengan S atau melakukan onani bersama. Hal ini sering terjadi, sampai akhirnya kakak S melanjutkan pelajaran di Jakarta, sedang S melanjutkan sekolah di Semarang. S tinggal di rumah bibinya yang memiliki anak laki-laki sebaya dengan S dan tinggal satu kamar dengan saudara sepupunya itu. Pada suatu saat, saudara sepupunya itu mencium S sehingga akhirnya berkembang menjadi homoseksual. Dalam relasi ini S lebih sering bersifat pasif. Setelah kira-kira satu tahun mengadakan relasi itu, saudara sepupunya ini pindah ke kota. Namun, S segera mendapatkan teman pengganti, yaitu teman sekelasnya sendiri. Tetapi, teman ini meninggal karena sakit. S merasa kesepian dan pada saat munculnya kebutuhan seksual S melakukan onani. Dalam onani, S kadang-kadang membayangkan wanita atau pria, tetapi menurut S lebih sering membayangkan pria daripada wanita.
Setelah beberapa bulan S tidak mempunyai teman akrab, kemudian S mendapatkan teman pria yang mau mengerti keadaan S dan tidak dapat merasakan penderitaan S. Bahkan sering menasihati S untuk menghentikan tingkah laku homoseksual tersebut dan mengatakan bahwa tingkah laku tersebut kurang baik.
Setelah lulus SMA, S pindah ke Bandung dan bersekolah di Bandung. Rasa takut terhadap abnormalitas semakin meningkat karena S tidak pernah merasa tertarik terhadap wanita. Apalagi pada tahun pertama S berkenalan dengan seorang pria satu angkatan lebih tinggi. Dengannyalah S melakukan relasi homoseksual beberapa kali, selama kurang lebih satu tahun. Atas kesadaran partnernya ini, S dinasehati oleh partnernya untuk memutuskan hubungan mereka. S menerima keputusan ini dengan harapan S dapat terlepas dari kebiasaann yang menurut S sendiri abnormal.
Pada suatu ketika, S memaksakan diri untuk mencari pacar dan kebetulan wanita ini memang tertarik pada S dan bersedia menjadi pacarnya. S merasa senang karena ini adalah kesempatan bagi S untuk melepaskan diri dari abnormalitasnya. Tetapi rupanya S tidak tahan terhadap konsekuensi-konsekuensi sebagai pria yang punya pacar pada saat-saat dibutuhkan dan lain-lain.
Tuntutan pacar akan ‘apel’ akhirnya menjadi beban bagi dirinya, pacar S sering marah kalau S terlambat ‘apel’. S mulai tidak suka karena S paling takut kalau melihat orang yang marah-marah dan hatinya menjadi tidak enak. Sejak kecil pun S takut melihat orang bertengkar.
Kecuali itu, sejak remaja S suka mencoba resep masakan dari majalah. Ibu mendorongnya untuk lebih menerampilkan diri pada bidang masak-memasak. Atas kesukaannya ini, ayah S hanya berkomentar “Anak laki-laki koq senang masak, nanti kalau besar mau jadi apa?!”
S juga merasa bahwa ia mudah tersinggung, tetapi walaupun tersinggung, S tidak pernah menunjukkan kemarahannya pada orang lain melainkan memendamnya saja. S merasa bahwa tindakan pacarnya pun sering menyinggung perasaannya, sehingga rasa tidak tertarik pada pacarnya ini semakin berkembang dan dalam kenyataannya, S juga tidak pernah mengalami rangsangan erotis kalau duduk berdekatan dengan pacarnya. Sampai akhirnya, S merasa jenuh dan berat beban mentalnya dalam memenuhi tuntutan-tuntutan pacarnya. Akhirnya, ia pun memberanikan diri untuk memutuskan hubungan dengan pacarnya. Setelah lepas dari pacar, ia merasa ringan.
Di Bandung S tinggal bersama kakak laki-laki nomor dua, yang bersekolah di fakultas kedokteran. Hubungan dengan kakak nomor dua tidak akrab, kakak ini agak mengacuhkan diri S. Pada permulaan tahun 1980 kakaknya pergi ke luar Jawa. Karena merasa kesepian, akhirnya S mengajak temannya untuk menemaninya. Kebetulan teman pria yang diajak adalah partner relasi homoseksual ketika S baru lebih kurang satu tahun di Bandung.
Situasi rumah yang sepi memungkinkan S mengulangi relasi tersebut, walaupun sebetulnya selama kurang lebih tiga tahun S berhasil menahan diri dalam melakukan relasi homoseksualnya. Kalaupun kebutuhan seksualnya mendesak, S hanya melakukan onani saja. Tetapi kemudian, temannya ini menyadarkan kembali akan kesalahannya dan S pun berusaha untuk menghindari tingkah laku tersebut. Akibatnya, muncullah konflik dalam jiwanya yang lebih ekstrim yang bersumber pada keraguan identitas jenis kelaminnya (gender identity).
Untuk mengatasi konflik ini, S mencoba melakukan hubungan heteroseksual dengan seorang wanita tuna susila, tetapi S tidak berhasil. Kegagalan ini menambah tingkat ekstrenuitas ketegangan mentalnya sehingga sangat mempengaruhi kemampuannya dalam konsentrasi. Ia pun menjadi kehilangan gairah belajar, karena benaknya dipenuhi oleh tanda tanya.
Secara otomatis prestasi studinya menurun, hal ini mendorongnya untuk berkonsultasi pada psikolog.
Observasi Penampilan
S, berkulit sawo matang. Kesan fisik tingggi besar (tinggi ± 1,68 cm; berat ± 78 kg), tetapi mimik muka serta gerak-gerik halus dan hati-hati. Cara bicaranya sopan.
Hasil Pemeriksaan Psikologi
Hasil pemeriksaan psikologi menunjukkan beberapa data-data psikologi S yang menonjol, sehubungan dengan perkembangan tingkah laku homoseksual sebagai berikut:
1) Draw A. Man Test
Gambar Wanita.
Ketika diminta menggambar pria, terlihat kecenderungan efimisasi dari pada ekspresi hasil gambar
2) Dari SSCT (Sacks Sentece Completion Test)
Sikap terhadap ayah:
Saya rasa ayahku jarang memutuskan suatu persoalan secara baik dan tepat.
Sekiranya ayahku hanya bermalas-malasan dan bekerja seenaknya saja.
Saya ingin ayahku keras dan bertindak.
Saya rasa, ayahku kurang tegas.
Sikap terhadap ibu:
Ibuku seorang yang agak keras sifatnya dan dominan tapi dekat dengan saya.
Ibuku dan saya dekat sekarang ini.
Saya kira kebanyakan ibu berusaha melindungi anak-anaknya.
Saya suka pada ibuku, tapi beliau terlalu menyalahkan ayah saya.
Sikap terhadap hubungan heteroseksual
Apabila saya melihat seorang perempuan bersama seorang laki-laki, saya iri, mengapa saya tidak semesra itu.
Mengenai kehidupan perkawinan, perasaan saya adalah ngeri untuk menghadapinya.
Umpamakan saya mempunyai hubungan seksual, saya akan berusaha sebaik mungkin.
Kehidupan seksual saya merasa tidak normal.
Untuk SSCT, penulis (Sawitri – ed) memang sengaja hanya mengarahkan perhatian pada ketiga macam sikap tersebut di atas. Dari pengetahuan terhadap ketiga sikap S tersebut, dapat dilihat kecenderungan yang ekstrim terhadap kemungkinan terbinanya tingkah laku homoseksual pada S
3) Wartegg Test:
Dari hasi Wartegg Test pun terlihat jelas akan kecenderungan efiminasi (kecenderungan feminin) dalam memberikan responnya baik dalam keurutan gambar maupun isi (content) dari gambar.
Analisa Kasus
Latar belakang kehidupan jiwa S ditandai oleh masa kecil yang kurang bahagia. Kejadian-kejadian yang impresif bagi S, bahkan dapat dikatakan bernilai traumatis, pertengkaran-pertengkaran kakek dan neneknya, mengakibatkan rasa takut yang luar biasa. Sehingga, sampai saat ini pun S tidak suka pada keributan-keributan, pertengkaran-pertengkaran dan S tumbuh menjadi sangat perasa serta menyukai situasi yang tenang. Nenek yang menjadi figur ibu adalah seorang dominan dan dalam suasana pertengkaran dengan suaminya, nenek menarik S untuk memihak pada dirinya dengan menjauhkan S dari kakek. Iklim relasi tersebut, memungkinkan S justru mengambil figur nenek sebagai pemegang peranan dalam proses identifikasinya.
Demikian pula sekembalinya S ke rumah orang tuanya sendiri. Ketika umur 6 tahun, S menjumpai pola relasi orang tuanya yang juga tidak sehat. Ibu keras, dominan, sering menyalahkan ayah di muka anak-anaknya. Ayah yang lamban, serta agak lemah akhirnya menciptakan sikap S terhadap ayah yang negatif (jelas terlihat pada hasil tes SSCT). Relasi dengan ayah menjadi tidak memuaskan bagi S, situasi relasi antara ayah dan ibunya ini memungkinkan tokoh identifikasi terdahulu (nenek) beralih pada ibu.
Pengalaman demi pengalaman di atas membawa S pada situasi yang kurang menguntungkan bagi perkembangan gender identity-nya. Penampilan yang halus dan penurut mengundang kakak S untuk mengajak S onani bersama, bahkan mengadakan hubungan oral seksual.
Pengalaman ini ditambah dengan pengalaman homoseksual baik di Semarang maupun di Bandung yang menjadi faktor penguat bagi terbinanya tingkah laku homoseksual. Tetapi, S belum mencapai homoseksual adjusment yang optimal karena tampak bahwa konflik-konflik neurotis masih menyertai S.
Dapat disimpulkan bahwa S mengalami gangguan dalam perkembangan gender identity, tetapi karena ganggguan tersebut belum S sadari sepenuhnya, maka masih ada usaha-usaha S untuk melawan kondisi ini dengan mencoba berpacaran dengan wanita. Ia mencoba mengadakan relasi heteroseksual dengan wanita tuna susila.
Kenyataan akan kegagalan dalam usaha tersebut tidak membantu S untuk menerima keadaan dirinya dengan sepenuh hati, tetapi justru merupakan salah satu keadaan yang menambah ketegangan mentalnya. Keluhan-keluhan psikis, seperti gangguan konsentrasi, menurunnya gairah belajar, keraguan dan rasa tidak bahagia merupakan manifestasi dari ketegangan mentalnya. Kalau melihat derajat ekstrimitas tingkah laku homoseksualnya, S kiranya dapat dikelompokkan dalam kategori homoseksual eksklusif dengan tipe pasif. Walaupun penampilan fisik umum S tampak tinggi besar, tetapi apabila kita amati dengan cermat ciri-ciri efiminasi akan tampak.
Treatment
Walaupun pendekatan psikoanalitis terhadap masalah LGBT banyak mengungkapkan penyebab berkembangnya tingkah laku seksual, tetapi Freud sendiri berpendapat bahwa harapan untuk menyembuhkan penderita seksual dengan psikoanalisa sedikit sekali. Kalaupun psikoanalisa melakukan usaha penyembuhan, maka hasilnya akan terbatas pada pencapaian self acceptance dan penyesuaian sosial yang lebih baik (better social adjustment).
Apabila seorang LGBT merasa tidak bahagia, neurotis dan terganggu oleh konflik, terhambat dalam kehidupan sosialnya, maka psikoanalisa akan membawa mereka ke dalam kehidupan psikis yang lebih harmonis, tenang dan efisiensi fungsional yang optimal. Freud percaya bahwa keinginan seksual untuk perubahan tidak berdasar pada keinginannya sendiri (self motivation), tetapi hanya sebagai akibat dari situasi tekanan sosial (external motivation) seperti tradisi-tradisi yang mengancam pilihan obyek seksual mereka.
Jadi dalam hal ini, psikolog atau psikiater yang menangani penderita hendaknya lebih memusatkan perhatiannya serta lebih bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan serta ketenangan kehidupan perasaan mereka, daripada berharap bahwa hasil penanganan akan merubah menjadi heteroseksual.
BAB III
KESIMPULAN
Hidup sebagai LGBT bukanlah pilihan. Seseorang menjadi LGBT tidaklah dari dirinya sendiri tetapi lebih disebabkan karena ada faktor baik itu faktor biologis yaitu susunan kromosom, ketidakseimbangan hormon, struktur otak dan juga kelainan susunan syaraf serta faktor lingkungan yaitu: faktor budaya/adat-istiadat dan juga faktor pola asuh.
Oleh karenanya sikap kita terhadap penderita LGBT janganlah menjauhi mereka atau mengatakan bahwa sikap itu adalah sebagai sebuah kejahatan. Walaupun dari sudut pandang etika sikap itu adalah tidak dibenarkan atau dianggap sebagai dosa, namun harapan untuk pemulihan penderita LGBT tetap ada.
0 Comments: