2020-11-07

Analisis Puisi Akan Menghuni Abad Ini Sajakah Kita Karya Upita Agustine

 


BAB I
PENDAHULUAN

 

Puisi sebagai salah sebuah karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Puisi dapat dikaji struktur yang tersusun dari unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Dapat pula puisi dikaji jenis-jenis atau ragam-ragamnya, mengingat bahwa ada beragam-ragam puisi.

Wordworst (dalam Pradopo, 2012 : 6) mempunyai gagasan bahwa puisi adalah peryataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangkankan. Adapun Auden (dalam Pradopo, 2012 : 6) mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur. Jadi, puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indra dalam susunan yang berirama. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang berkesan.

Memahami atau menganalisis puisi pada hakikatnya adalah membaca kehidupan.Karena puisi dapat mencerminkan suatu corak kehidupan masyarakat pada suatu masa, dan mampu menjelaskan harkat dan martabat manusia secara utuh, serta berisikan masalah kehidupan yang universal. Dalam puisi Akan Menghuni Abad Ini Sajakah Kita karya Upita Agustine, penulis akan mencoba menganalisis puisi tersebut serta mengkaji dari unsur intrinsik dan ekstrinsik.

 


 

BAB II
PEMBAHASAN

 


Akan Menghuni Abad Ini Sajakah Kita

Akan menghuni abad ini sajakah kita?

Hidup dalam perubahan warna-warna

Bagaikan nyala lampu lampu di kapal nelayan

Tak bergerak memagari tepi lautan

Mengapung dalam warna senja

Mendatangkan sunyi demi sunyi

Akan kita tinggalkankah abad ini

Tanpa suatu titipan

 

Upita Agustine

Padang, 1967

 

 

Kutipan 1

Akan menghuni abad ini sajakah kita?,

Pada kutipan 1, penyair mengambarkan perasaan ketidakpuasaanya dengan kehidupan yang telah dilalui. Kata “abad” dalam KBBI ialah masa 100 tahun. masa yang sangat lama yang digambarkan oleh penyair sebagai perasaan ketidakpuasaanya telah hidup dalam waktu lama akan tetapi belum menemukan apa tujuan hidupnya.

Kutipan 2

Hidup dalam perubahan warna-warna

Pada kutipan 2, kata “perubahan warna-warna” mengambarkan bahwa hidupnya memang telah sesuai harapan. Memiliki banyak pengalaman yang berarti bagi hidupnya sendiri. Akan tetapi pada baris ketiga,  dipertegas dengan perasaan bahwa hidup ini tidak memiliki makna terhadap kehidupan sekitar dan hanya menjadi orang biasa tanpa melakukan  perubahan, seperti kata “bagaikan nyala lampu lampu di kapal nelayan”. Warna-warna kehidupan yang telah dilalui hanyalah sebatas “lampu lampu” nelayan yang hanya bisa dilihat dari kejauahan. Yang berarti bahwa kesuksesan hidup hanya penyair yang merasakan tanpa memberi perubahan terhadap lingkungan sekitar.

Kutipan 3

tak bergerak memagari tepi lautan

Pada kutipan 3, digambarkan bahwa dirinya sebenarnya mampu untuk memberi perubahan terhadap kehidupan sekitar dan membagi semua pengalaman-pengalaman hidup yang telah dilaluinya akan tetapi perasaannya yang telah merasa nyaman dengan kehidupan yang biasa tanpa memikirkan masalah yang lain membuat dirinya enggan untuk  bergerak memberi perubahan.

Kutipan 4

Mengapung dalam warna senja,

Pada kutipan 4, kata “senja” bermakna cahaya sore hari, cahaya yang semakin gelap. dalam puisi ini kata senja bermakna waktu yang akan habis. Sisa waktu yang semakin menipis membuat penyair semakin merasa menyesal karena waktu yang banyak tersebut hanya habis untuk dirinya sendiri tanpa bermakna untuk orang lain. 

Kutipan 5

Mendatangkan sunyi demi sunyi

Pada kutipan 5, penyair merasa semakin hari perasaan ketidakpuasan ini semakin berlarut larut. 

Kutipan 6

Akan kita tinggalkankah abad ini
Tanpa suatu titipan

Pada kutipan 6, perasaan ini pun terus berulang dirasakan dan semua sudah telambat bagi penyair karena sisa waktu yang tinggal sedikit. 

 

 

 

A.    Makna Puisi

Penyair berpesan bahwa hidup ini tidak ada arti bila kita hanya menjadi orang biasa-biasa saja tanpa melakukan perubahan bagi lingkungan sekitar. Manfaatkan hidup ini sebaik baiknya agar hidup bisa lebih bermakna bagi banyak orang. Makna dari puisi ini ialah kata “kita” disana penyair mencoba membawa pembaca merasakan apa yang dirasakan oleh penyair, menjadikan pembaca sebagai tokoh utama puisi dan ikut serta merasakan penyesalan, yang penyesalan tersebut menjadi pembelajaran bagi orang lain bahwa hidup ini tidak berati tanpa melakukan perubahan bagi kehidupan sekitar.

 

B.    Unsur Intrinsik

 

1.     Tema

Tema atau idea atau gagasan dalah pokok persoalan yang dikemukakan suatu puisi. Tema ini menduduki tempat utama di dala puisi. Hanya ada satu tema utama di dalam satu puisi, walaupun puisi tersebut panjang atau sangat panjang. Tema puisi Akan Menghuni Abad Ini Sajakah Kita mengambarkan sosok seorang yang merasa hampa dengan hidupnya. Merasa bahwa hidup yang telah lama dilalui ternyata tidak menghasilkan makna bagi orang sekitar.

2.     Diksi

Diksi adalah pilihan kata yang digunakan dalam sebuah puisi. Dalam puisi, diksi yang diunakan bisa bermakna denotatif dan konotatif. Denotatif ialah makna sebenarnya atau makna yang memang sesuai dengan pengertian yang dikandung oleh kata tersebut. Sedangkan Konotafi ialah makna yang tidak sebenarnya atau makna kiasa atau makna tambahan. Dalam puisi Akan Menghuni Abad Ini Sajakah Kita ini, penyair memakai diksi konotatif. Seperti kutipan berikut :

Tak bergerak memagari tepi lautan

Pada kutipan tersebut bahwa kata memagari bermakna tidak bergerak atau hanya berdiri di tepi laut bukan pagar yang berada di tepi laut.

3.      Perasaan

Perasaan ialah ungkapan atau ekspresi penyair yang dituangkan ke dalam puisinya. Rasa atau perasaan yang ada pada puisi dapat berupa rasa indah, senang, bahagia, sedih. Dalam puisi Akan Menghuni Abad Ini Sajakah Kita mengambarkan perasaan gelisah. Bisa dilihat dari kutipan berikut :

Mendatangkan sunyi demi sunyi

            Pada kutipan ini jelas bahwa penyair merasa gelisah, tidak nyaman dengan keadaan hampa tanpa jalan hidup yang jelas.

4.     Amanat

Amanat adalah hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanat berhubungan dengan makna karya sastra. Makna bersifat kias, subjektif, dan umum. Makna berhubungan dengan individu, konsep seseorang dan situasi tempatpenyair mengimajinasikan puisinya. Amanat puisi Akan Menghuni Abad Ini Sajakah Kita ialah

-        Berbuatlah hal yang bermanfaat untuk sekitar

-        Jangan mementingkan diri sendiri

-        Penyesalan tidak ada gunanya maka manfaatkan waktu yang ada

 

 

C.    Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik pada puisi meliputi unsur biografi, dan sosial

Pertama kali dikenal di bawah nama kepenyairan Upita Agustine, Raudha Thaib (lengkapnya Puti Reno Raudhatuljannah Thaib) sebenarnya bukan nama/wajah baru dalam kepenyairan Indonesia. Mulai menulis ejak berstatus mahasiswi, ia dikenal produktif sekali pada tahaun-tahun akhir dekade 1960-an dan pada dekade 1970-an.

Mengaku diam-diam terus menulis sajak-sajak tapi kurang getol mempublikasikannya, sebenarnya Raudha adalah penyair yang subur. Tapi dia tidak teliti menyimpan sajak-sajaknya. Puluhan sajak-sajak tahun-tahun pertamanya telah hilang, entah dipinjam teman tak kembali atau tercecer entah di mana.

Sajak-sajaknya dimuat di koran-koran yang terbit di Padang. Juga di majalah Horison, Jakarta. Juga telah dimuat dalam berbagai antologi, antara lain Laut Biru Langit Biru susunan Ayip Rosidi.

Upita Agustine – yang kini Raudha Thaib berkali-kali membacakan sajak-sajaknya dalam forum pertemuan Sastrawan Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Ia juga dikenal sebagai pelukis.

Raudha Thaib yang lahir tanggal 31 Agustus 1947 di Pagaruyung Batusangkar, adalah alumnus dan insyinyur pertanian Universitas Andalas. Ia adalah staf pengajar Fakultas Pertanian Unand. Pada pihak lain ia adalah seorang pewaris tahta kerajaan Minangkabau sebab ia adalah putri mahkota.

Bersama suaminya Wisran Hadi dan rekan-rekan lainnya ia memimpin Sanggar Bumi yang bergerak di bidang Teater, senirupa, sastra dan lain sebagainya. Sebagai orang teater ia juga dikenal sebagai pemegang peran dalam berbagai pertunjukan teater.”

Ini tambahan: buku puisinya antara lain Dua Warna (Padang, 1974, bersama Hamid Jabbar), Bianglala (INS Kayutanam, 1975), Terlupa dari Mimpi (Yayasan Studi Kreativitas Padang, 1986). Juga terdapat dalam Tonggak 3 (Gramedia, 1986). Ia adalah pimpinan Silek Tua Pagaruyung dan wirid adat di Istano Si Linduang Bulan.

 

Kumpulan puisi Nyanyian Anak Cucu, dibagi-bagi berdasarkan tahun penciptaan. Misalnya  Sajak sajak 1967 (3 puisi), Sajak sajak 1968 (4 puisi), Sajak sajak 1969 (5 puisi), ….. Sajak sajak 1995 (1 puisi), Sajak sajak 1996 (2 puisi), Sajak sajak 1997 (7 puisi), Sajak sajak 1996 (3 puisi), dan terakhir Sajak sajak 1999 (2 puisi). Total ada 172 puisi. Tahun paling produktif 1978 (22 puisi), 1974 (18 puisi), dan 1975 (17 puisi). Yang paling tidak produktif berisi 1 puisi saja, yaitu tahun 1987, 1989, 1991, 1994, 1995. Ada juga tahun-tahun ketika tak satu puisi pun tercantum, yaitu 1979-1998. Dan di daftar isi cuma ditulis KELAHIRAN ANAK ANAKKU 1979-1984.

 

 


BAB III
KESIMPULAN

 

 

Puisi Akan Menghuni abad Ini Sajakah Kita karya Upita Agustine merupakan puisi yang sangat emosianal. Dimana di dalam puisi, penyair memakai diksi konotatif yang tepat sehingga mengambarkan suasana puisi yang emosional. Unsur pesan yang terkandung di dalam puisi sangat dalam dan luas, sehingga pembaca dapat menafsirkannya dalam berbagai sudut pandangan.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Agustine, Upita. 2000. Nyanyian Anak Cucu. Bandung: Angkasa.

Pradopo, Rahmat Djiko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

SALAWAT DULA



Salawat dulang atau Salawaik Dulang adalah sastra lisan Minangkabau bertemakan Islam. Sesuai dengan namanya, Salawat dulang berasal dari dua kata yaitu salawat yang berarti salawat atau doa untuk nabi Muhammad SAW, dan dulang atau talam, yaitu piring besar dari Loyang atau logam yang biasa digunakan untuk makan bersama. Dipertunjukkan oleh minimal dua klub diiringi tabuhan pada ‘dulang’, yaitu nampan kuningan yang bergaris tengah sekitar 65 cm. Dalam bahasa sehari-hari, sastra lisan ini hanya disebut ‘salawat’ ataupun ‘salawek’ saja. Di beberapa tempat, salawat dulang disebut juga salawat talam.

Dalam sastra rakyat Minangkabau, salawat dulang adalah penceritaan kehidupan nabi Muhammad, cerita yang memuji nabi, atau cerita yang berhubungan dengan persoalan agama Islam dengan diiringi irama bunyi ketukan jari pada dulang atau piring logam besar itu. (Djamaris, 2002: 150).

Pertunjukan salawat dulang biasanya dilakukan dalam rangka memperingati hari-hari besar agama Islam dan ‘alek nagari’. Pertunjukan ini tidak dilakukan di kedai (lapau) atau lapangan terbuka. Biasanya hanya dipertunjukkan di tempat yang dipandang terhormat seperti mesjid, surau. Pertunjukan juga biasanya dimulai selepas isya. Sifat pertunjukan yang bertanya jawab, saling serang dan saling berusaha mempertahankan diri. Dalam pertunjukannya, kedua tukang salawat duduk bersisisian dan menabuh talam secara bersamaan. Keduanya berdendang secara bersamaan atau saling menyambung larik-lariknya. Larik-larik itu berbentuk syair.

Tradisi ini berkembang di hampir seluruh wilayah Minangkabau, baik ‘darek’ maupun ‘pasisia’. Hampir di semua wilayah Minangkabau tradisi ini bisa ditemukan seperti Luhak Agam, Tanah Datar, Lima Puluh Koto, bahkan pasisia atau Rantau. Satu-satunya daerah yang tidak ada penutur salawat dulang adalah di pasaman. Masing-masing daerah mengklaim kalau tradisi ini adalah tradisi mereka.

Sejarah

Salawat dulang berawal dari banyaknya ahli agama Islam Minang yang belajar ke Aceh,diantaranya adalah Syeh Burhanuddin. Ia kemudian kembali ke Minang dan menetap di Pariaman. Dari daerah itu Islam menyebar ke seluruh wilayah Minangkabau. Saat berdakwah, beliau teringat pada kesenian Aceh yang fungsinya adalah menghibur sekaligus menyampaikan dakwah, yaitu tim rebana. Beliau kemudian mengambil talam atau dulang yang biasa digunakan untuk makan dan menabuhnya sambil mendendangkan syair-syair dakwah.

Ada juga yang menyatakan bahwa salawat dulang berasal dari tanah datar oleh kelompok tarekat syatariah sebagai salah satu cara untuk mendiskusikan pelajaran yang mereka terima. Oleh karena itu, teks salawat dulang itu lebih cenderung berisi ajaran tasawuf.
Ada juga yang menghubungkan bahwa Salawat Dulang ditanah datar tidak lepas dari tiga tokoh tanah datar yaitu Tuanku Musajik (1730-1930), Tuanku Limopuluh (1730-1930) dan Katik Rajo (1880-1960).

Pertunjukan Salawat Talam baru dapat dilaksanakan jika ada paling tidak dua klub, karena teksnya mengandung tanya jawab. Artinya, pertunjukan sastra lisan ini juga merupakan sebuah kompetisi. Penampilan satu teks tersebut disebut salabuahan atau satanggak ataupun satunggak; memakan waktu 25-40 menit.

Teks salabuahan terdiri dari pambukaan, batang, dan panutuik. Bagian batang berisi kaji, yaitu bagian inti salabuahan penampilan Salawaik Dulang. Teks tersebut dihapal oleh tukang salawat kata demi kata. Umumnya, ia merupakan tafsiran dari ayat Al-quran atau pun Hadist. Bagian berikutnya adalah bagian penutup, yang dimulai dengan pertanyaan, lalu memberi pertanyaan. Bagian penutup ini juga dapat disisipi dengan pesan-pesan pemerintah, seperti keluarga berencana, supra insus, bahkan pemilihan umum; atau sekedar hiburan dengan syair-syair lagu yang tengah populer.

Tradisi ini masih berkembang hingga sekarang, hal ini bisa dilihat dari banyaknya tukang salawat, semakin sering dipertunjukkan dan irama pendendangnya semakin terbuka yaitu mengikuti perkembangan irama lagu-lagu yang telah populer di tengah masyarakat. Salawat Dulang adalah tradisi minangkabau yang bersidat terbuka karena memiliki daya adaptif baik dari segi tema maupun irama, dapat diimprovisasi sesuai dengan hal-hal yang disenangi masyarakat baik dari segi isi maupun irama.

Pada awalnya tradisi lisan ini berfungsi sebagai sarana dakwah dan hanya dipertunjukkan dalam perayaan-perayaan agama Islam. Saat ini fungsi tradisi lisan ini tidak hanya dakwah saja, namun juga sebagai sarana hiburan serta sarana menarik perhatian penonton untuk mengikuti suatu aktivitas, seperti penggalangan dana.

Tradisi salawat dulang ini telah diusulkan sebagai warisan budaya tak benda.

 

Analisis Struktural Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli

 


PENDAHULUAN

  1. Pengertian Kajian Struktural

Pendekatan struktural merupakan pendekatan instrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra. (Satoto,1993:32)

 

ISI

Judul novel     : Memang Jodoh

Karya              :Marah Rusli

 

A.    Tokoh/Penokohan

Tokoh adalah yang menunjukkan pada orangnya, pelaku dalam sebuah cerita. (Nurgiyantoro.2000:165)

 Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut, ini berarti ada dua hal penting yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian tokoh-tokoh tersebut. (Suroto,1989:92-93)

 

a.      Hamli

Hamli adalah seorang pemuda yang tampan, pandai, berbudi pekerti yang baik dan memiliki darah keturunan bangsawan. Hamli bersekolah di sekolah Raya Bikittinggi dan melanjutkan kuliah pertanian di Bogor. Dia juga seorang pemuda yang memegang prinsip dalam mengambil suatu keputusan. Hamli memperjuangkan dan memprotes adat istiadat Minangkabau. Khusunya memprotes adat perkawinan yang tidak mengizinkan menikah dengan perempuan di luat Minang, oleh sebab itu Hamli mengambil keputusan keluar dari adat. Dengan keyakinannya keluar dari kaum dan mempertahankan pernikahannya yang tidak disetujui oleh banyak pihak. hamli merupakan laki-laki yang terlahir di Minangkabau yang berusaha keras untuk mengubah ada yang telah jauh melenceng.

·       Berani menentang pada suatu hal yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.

 “niatku semata-mata ingin mengingatkan pada kepincangan pelaksanaan adat istiadat”

·       Penurut

 “entahlah, belum dapat kupastikan. Semuanya tergantung ayahku.”

·       Tidak ingin mengecewakan ayahnya

“tetapi bagaimana kata ayahanda nanti, yang telah bersusah payah dan merugi-rugi supaya Ananda beroleh pangkat yang telah tinggi dan gaji yang lebih besar.”

·       Penyayang ibu.

 “oleh sebab itu, diputuskannyalah akan menuruti permintaan ibunya, dan mengurungkan perjalanan ke negeri belanda, walaupun dengan sepenuh penyesalan di hatinya.”

·       Senang melamun.

“oleh sebab itu melayanglah pikiranku kesana kemari, di tempat yang tiada kuketahui.”

·       Penyedih.

“telah kukatakan kepada teman-temanku disana, bahwa aku seorang penyedih dan perayu.”

·       Penutup diri.

“mungkin dia tidak mau mengatakannya.”

·       Hemat.

“Hamli menambah muridnya yang belajar bermain biola kepadanya, sehingga pendapatannya bertambah dan semakin hemat dalam berbelanja.”

 

b.     Nyai Radin Asmawati

            Nyai Radin Asmawati yang kerap dipanggil Din Wati adalah gadis keturunan bangsawan dan juga seorang cucu Bupati di tanah Pasundan. Dia adalah istri Hamli yang mempunyai paras cantik, berpendidikan tinggi, anggun dalam berpakaian, santun dalam berbahasa.

·       Penolong

“baiklah, sahut Radin Asmawati. Dia rupanya kasihan melihat bibinya dalam kesulitan”

·       Suka meledek

“hendak digodanya karena dia gemar menggoda orang latah.”

·       Teguh pada pendirian

“pada wajahnya membayangkan ketetapan hati yang teguh yang tak dapat diubah lahi.”

·       Rela menyakiti dirinya demi cinta

“tetapi, Dinwati tidak mau mendengar nasehatnya, bahkan akan membunuh dirinya jika tak dikawinkan dengan hamli.”

·       Percaya pada hamli

“oleh sebab itu, Din wati telah percaya benar kepada suaminya.”

·       Rajin

“pada keesokan harinya, pagi-pagi benar Din Wati telah bangun dari tidurnya, lalu mulai memasak kue-kue.”

·       Penyabar

“Din Wati dapat menyabarkan hatinya dan menyembunyikan semua kesedihannya dari suaminya.”

 

c.      Siti Anjani (ibu kandung Hamli)

Ibu Hamli yang berasal dari tanah Jawa tetapi sudah dianggap orang padang karena sudah menikah dengan sultan Bendahara yaitu ayah Hamli.

Siti Anjani dimadu dengan seorang perempuan Minangkabau karena adat istiadat Minangkabau yang tidak mengizinkan menikahi perempuan di luar Minangkabau kecuali dia mau dimadu oleh suaminya. 

·       Penyayang kepada Hamli.

“akulah yang akan meminta kepadanya, supaya anakku sebiji mata jngan diceraikannya sejauh itu dariku.”

·       Memegang adat padang.

“Siti anjani telah menggunakan keringanan hati Hamli untuk mencapai kewajiban tiap-tiap ibu Padang untuk mengawinkan anaknya selekas mungkin.”

d.     Sutan Bendahara (Ayah Hamli)

·       Mendukung keputusan Hamli.

“beberapa hari kemudian, datang pula surat kawat dari sutan Bendahara yang membawa izin ini disertai uang belanja perkawinan.”

e.      Siti Ramala (ibu tiri Hamli)

·       Memndang rendah Din Wati.

“tanya Siti Ramala yang belum juga percaya pada perkataan menantunya ini. Dia menyangka Din Wati berlagak tahu untuk mengambil muka.”

f.      Khatijah (nenek Hamli)

Khatijah adalah nenek Hamli. Khatijah yang merawat Hamli mulai ia berseklah di sekolah Raya Bukittinggi hingga melanjutkan kuliah pertanian di Bogor. Khatijah berjuang menyembuhkan penyakit cucunya.

·       Sayang kepada Hamli.

“di salah satu rumah inilah Marah Hamli tinggal bersama neneknya Khatijah, yang selalu mengikuti dan menjaganya sejak dia kecil.”

g.     Raden Jaya Kesuma (ayah Din Wati)

·       Percaya kepada ramalan.

“tetapi rupanya, dia sangat yakin dan percaya akan ramalan Ajengan Kiai Naidin itu.”

·       Mendukung Din Wati.

“lima hari kemudian, datanglah surat kawat dari Raden Jaya Kesuma, yang membawa izin perkawinan itu serta surat kuasa kepada penghulu.”

 

h.     Ratu maimunah (ibu Din Wati)

·       Santun.

“tatkala dilihatnya Radin Asmaya, disapanya dengan bahasanya yang baik.”

·       Mendukung Din Wati.

“kawinlah dengan Hamli! Bunda izinkan dengan rela dan tulus iklas.”

i.       Radin Asmaya

·       Menghormati yang lebih tua.

“Radin Asmaya mendekati perempuan itu, dengan hormat berlutut dimukanya dan menjabat seraya mencium tangannya dengan amat khidmat.”

j.       Mpok Nur

·       Percaya kepada ramalan.

“tetapi, Mpok Nur sangat peracaya pada kartunya ini.”

k.     Baginda Raja (adik Siti Anjani)

·       Pemarah

“dia seorang pemarah. Tentu akan putus persaudaraan kami, sedangkan aku bergantung padanya.”

l.       Patih Anggawina (adik Raden Jaya)

·       Suka suuzon

“astaghfirullah! Bukankah telah aku katakan, kau telah kena ilmu anak seberang itu.”

·       Ingin melindungi din Wati

“apakah kedua peristiwa ini belum cukup untuk menyadarkan dan menginsafkan kita, supaya jangan menyerahkan anak kita lagi kepada laki-laki yang tiada kita kenal yang berasal dari sumatra?”

m.   Baginda Alim (paman Hamli)

·       Ingin memisahkan Hamli dengan Din Wati

“dicobanya mengganggu menantunya ini dengan harapan apabila sampai maksudnya, dapat diperoleh suatu jalan untuk menceraikan Din Wati dari Hamli.”

·       Tidak mudah putus asa

“karena telah tiga kali dicobanya berturut-turut mengingat hamli , pertama melalui ayahnya, kedua melalui ibunya, dan ketiga dicobanya melalui Din Wati.”

n.     Wedana suriadilaga

·       Suka menghina

“tetapi rupanya sekarang, dia hidup seperti seorang babu cuci yang harus menyasah pakaian suami yang dicintainya itu.”

B.    Latar

Latar adalah sesuatu yang menggambarkan situasi atau keadaan dalam penceritaan. Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana.(Sumardjo dan Saini K.M.1997:76)

1.     Latar tempat

·       Bukittinggi

“jalan raya di depan sekolah Raja bukittinggi.”

·       Bogor

“kebun raya di Kota Bogor adalah sebuah taman yang permai, yang letaknya di tengah kota.”

 

·       Sukabumi

“dia berbicara di depan keluarga dan sahabatnya di rumahnya di Salabintana, Sukabumi, dalam pesta perayaan ulang tahun pernikahannya dengan sang istri.”

2.     Latar Waktu

·       Pagi hari

“sejak kemarin sampai pagi itu, dia sibuk kesana kemari menemui guru-guru dan sahabat-sahabatnya.”

·       Siang hari

“hari menjelang tengah hari, karena telah pukul sebelas siang.”

·       Malam hari

“pada malam hari di dalam suasana sepi yang menyelimuti gelap, penyakit ini sangat keras datangnya.”

3.     Latar Suasana

·       Bahagia

“kami sangat mensyukuri kerukunan dan kemesraan ini, lebih-lebih di hari tua kami ini.”

·       Penuh perselisihan

“pernikahan kami yang bahagia ini bukan tanpa perslisihan, perbedaan, pertentangan kata, dan masalah-masalah lain, yang  bisa mengganggu kelanggengan perkawinan.”

·       Ramai

“di tempat ini? Dalam keramaian seperti ini? Tanya aminullah tak percaya.”

·       Sedih

“selama tinggal di Semarang, banyak peristiwa yang menyedihkan yang terjadi berturut-turut dalam kaum keluarga yang sangat dicintainya.”

 

 

C.    Konflik

a.      Konflik internal

Terjadi pernikahan antara etnis Minangkabau dengan Sunda. Hamli adalah seorang laki-laki yang berdarah bangsawan Padang yang mencoba menuntut ilmu di rantau orang. Di perantauan Hamli bertemu dengan perempuan bangsawan Sunda yang bernama Radin Asmawati atau bisa dipanggil Din Wati. Berawal dari perkenalan, merekapun saling jatuh hati dan menjalin hubungan. Mengingat penyakit Hamli yang semakin hari semakin membaik, nenknya Khatijah mengambil keputusan untuk menikahkan cucunya tersebut tanpa sepengetahuan keluarganya di Padang.

Pernikahan antara etnis yang berbeda ini membawa petaka pada Hamli, yang terikat dengan peraturan-peraturan adat di minangkabau, khusunya dalam adat pernikahan. Menurut adat seorang laki-laki Minang tidak diizinkan untuk menikahi perempuan di luat suku Minang  dan dilazimkan mempunyai istri lebih dari satu.

Pernikahan Hamli dengan Din Wati mengalami banyak rintangan, tidak hanya ditolak oleh keluarga besar Hamli di Padang tetapi di Bogor Hamli juga mendapat kecaman dari mamanda Din Wati yang tidak menyetujui adsanya perkawinan terebut.

b.     Konflik Individual

Banyak halangan dan rintangan dalam perkawinan mereka, tak sedikitpun rasanya Hamli berniat untuk memadu istrinya, ditambah lagi kehadiran buah cinta diantara mereka, menambah rasa cinta Hamli terhadap Din Wati. Ketua rapat saat itu memberikan pilihan kepada Hamli, jika ia tidak ingin memadu istrinya ninik mamak meminda Hamli untuk menceraikan istri sundanya tersebut. Hamli tidak ingin menyakiti hati istrinya dengan adat istiadat yang ada di Minangkabau ini.

Hamli menolak permintaan ninik mamaknya untuk menikah kembali dengan perempuan minang, karena ia tidak ingin mengikuti aturan adat Minangkabau ini dan ia tidak ingin memadu istrinya yang sangat ia cintai yaitu Din Wati. Karena penolakan Hamli tersebut ia dibuang dari kaumnya dan diusir dari negerinya demi mempertahankan cinta terhadap Din Wati.

D.    Alur

Alur merupakan unsur fiksi yang paling penting karena kejelasan alur merupakan kejelasan tentang keterkaitan antara peristiwa yang dikisahkan secara kronologis akan mempermudah pemahaman kita terhadap cerita yang ditampilkan. (Sudjiman,1992:54)

Dalam novel Memang Jodoh ini menggunakan a lur mundur. Pada novel ini menceritakan masa lalu tentang kehidupan dalam memperjuangkan keadilan atas dirinya. Dia tidak ingin jodoh yang menjadi takdir Tuhan harus ditentukan oleh adat Padang. Dia mencoba memberontak dan menentukan sendiri apa yang menjadi kehendaknya.

E.     Sudut pandang

Sudut Pandang adalah

Novel Memang Jodoh ini menggunakan sudut pandang orang ketiga pelaku utama, dimana setiap tokoh yang diceritakan dengan nama yang ditentukan.

 

F.     Tema

Tentang percintaan dan perjuangan dalam mempertahankan ikatan cinta terhadap peraturan adat Padang yang menuntut mereka untuk berpisah. Dia tetap melanjutkan niatnya untuk menikahi gadis sunda yang menarik hatinya.